new-header-kesaksian

 

Christopher Yuan |

Ibu saya lahir di Tiongkok dan tidak mengenal Tuhan. Dia datang ke Amerika untuk kuliah pasca-sarjana, tetapi malah menikah dengan ayah tanpa restu orang tuanya. Disebabkan hubungan yang buruk dengan keluarganya, ibu mendambakan sebuah keluarga dengan ayah tempat dia merasa dimiliki dan dikasihi. Lewat kerja keras dan ketekunan, ibu membantu ayah untuk meraih dua ijazah kedokteran dan membangun tempat praktek gigi yang sukses.

Dari luar, mereka kelihatannya sedang mewujudkan the American Dream. Mereka memiliki semuanya: rumah impian di pinggiran kota Chicago, dua mobil mewah, dan dua putra yang sedang kuliah untuk menjadi dokter gigi. Sesuai dengan standar duniawi, harusnya ibu sangat bahagia. Namun, dia sangat melarat. Saya tahu itu, karena dari saat saya masih anak kecil, setiap kali orang tua bertengkar – hal yang sering terjadi – ibu akan mencari saya dan menangis di bahu saya. Saat mereka mulai proses perceraian juga merupakan momen saya memutuskan untuk memberitahu mereka tentang kecondongan seksual saya.

Pada Mei 17, 1993, saya pulang ke rumah setelah tahun pertama di University of Louisville School of Dentistry dan mengumumkan kepada orangtua saya: “Saya gay.” Hal ini menghancurkan ibu. Kabar kematian saya akan lebih mudah diterima baginya dibandingkan dengan hal ini. Dia pikir dengan memberi saya ultimatum akan membuat saya sadar. Ibu lalu menuntut saya agar memilih antara dua, keluarga atau “itu” (ibu bahkan tidak bisa mengucapkan kata “gay”). Di pikiran saya, tidak ada pilihan. Saya tidak dapat berubah. Saya merasa saya telah diusir oleh keluarga. Akan tetapi, bagi ibu, saya telah mengkhianati dia. Tanpa ada keluarga gereja, dia tidak ada tempat untuk berpaling. Jadi, dia mulai mencari-cari di buku panduan telpon dan mendengar siaran radio dengan harapan untuk menemukan bantuan. Saat dia sudah kehabisan akal, dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.


Hati yang Diubah

Setelah bertemu dengan seorang pendeta yang memberinya pamflet tentang homoseksualitas, ibu membeli tiket satu arah untuk kereta Amtrak yang menuju Louisville. Ibu berencana untuk pamit dengan saya sebelum dia mengakhiri hidupnya. Hanya dengan berbekalkan dompet dan pamflet itu, dia memulai perjalanan yang mengubah hidupnya buat selamanya.

Saat dia mulai membaca pamflet itu di kereta, dia langsung terpana. Pamflet itu menjelaskan tentang rencana keselamatan – bahwa kita semua adalah orang berdosa, tetapi Allah masih mengasihi setiap dari kita sekalipun kita orang dosa. Mata hatinya terbuka dan dia sadar bahwa sebagaimana Allah mengasihi dia, dia masih bisa mengasihi saya… sekalipun saya hidup sebagai seorang gay. Sebelumnya dia tidak dapat menemukan dalam dirinya untuk bisa mengasihi anaknya yang gay. Namun sekarang, dia menyadari bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan mengasihi saya sebagaimana Kristus terlebih dahulu mengasihi dia. Ibu, yang tidak sedang mencari Tuhan, telah ditemukan oleh Penciptanya yang Pengasih.

Saat dia memandang keluar jendala merenungkan kasih Allah, ibu mendengar suara yang kecil berkata: “Engkau milik-Ku”. Tiga kata dari Allah itu umpama balsam yang menyembuhkan hatinya yang hancur. Di Louisville, Allah tidak mengizinkan ibu mengakhirnya hidupnya; malah Dia memberinya hidup yang baru. Seorang wanita Kristen di Louisville memuridkan ibu selama enam minggu. Pada titik itu, ibu sadar bahwa sudah waktunya dia memulihkan pernikahannya. Jadi, ibu kembali ke rumah. Ayah sangat terkesan dengan perubahan dalam diri ibu dan dalam beberapa bulan, ayah memutuskan untuk bergabung dengan ibu dalam perjalanannya dengan Yesus. Namun, saat Allah mulai dengan ajaib memulihkan hubungan mereka, saya sendiri semakin terpuruk ke dalam hidup penuh dosa.

Di kampus, saya melewati hubungan demi hubungan dalam usaha mencari kebahagiaan, tetapi saya menemukan diri saya semakin kesepian dibandingkan dengan pada awalnya. Saya mulai coba-coba narkoba, dan akhirnya menjual narkoba untuk membiaya kebiasaan saya. Saya coba menjalani kehidupan ganda dengan ke kuliah di siang hari dan berpesta di malam hari. Namun, hal itu tidak berhasil. Empat bulan sebelum saya lulus, saya dikeluarkan dari universitas.  Berhadapan dengan pukulan yang dahsyat ini, saya semakin mengejar kepuasan-kepuasan kedagingan dengan pindah ke Atlanta dan menjadi bandar narkoba yang utama di bagian tenggara.

Ibu berusaha merangkul saya dengan kasih dan belas kasih selama tahun-tahun itu, tetapi saya tidak meladeninya. Setidaknya seminggu sekali ibu akan mengirimkan kartu dengan tulisan, “Selamanya mengasihimu, Ibu.” Namun, tanpa bahkan membacanya, saya akan membuangnya ke dalam tong sampah. Saat ibu menelpon, saya mengabaikan panggilannya atau saya akan memprovokasinya sebelum mematikan telpon. Saya pernah berkata kepada ibu, “Jika ibu pernah sekali-kali memberitahu saya tentang Yesus atau Alkitab, ibu tidak akan melihat saya lagi.”


Pengharapan Seorang Ibu

Orang tua sering membelikan saya tiket pesawat untuk pulang pada hari Thanksgiving dan Natal, dengan harapan saya akan mengunjungi mereka. Pada suatu malam sebelum Natal, ibu berdiri di ruang kedatangan bandara memandang terus pada pintu keluar pesawat. Namun, saat penumpang terakhir keluar, dia sadar saya tidak ada di pesawat itu. Jadi, dia menyetir pulang, lalu kembali lagi beberapa jam setelah itu untuk menantikan kedatangan pesawat selanjutnya – dengan penuh pengharapan. Saat melihat pilot dan awak pesawat keluar, ibu tahu sekali lagi, saya tidak pulang untuk Natal tahun itu. Sudah sangat jelas bahwa saya sama sekali tak terjangkau dan sepenuhnya tanpa harapan. Namun, lewat Kristus, dia berkomitmen untuk tidak fokus pada kekecewaan, tetapi pada janji-janji Allah.

Lalu, ibu mulai memanjatkan suatu doa yang cukup berani: “Tuhan, lakukan apa saja untuk membawa anak yang hilang ini pulang ke pangkuan Engkau.” Selama tujuh tahun, ibu berpuasa setiap Senin, dan pernah sekali, selama 39 hari untuk saya. Saat situasi saya semakin terpuruk dan kelam, ibu semakin tenggelam dalam firman Allah. Ibu meluangkan waktu berjam-jam setiap pagi di ruang doanya membaca Alkitab dan bersyafaat bagi orang lain. Ibu juga melangkah keluar dari zona nyamannya dan mulai melayani wanita lain di Persekutuan Pendalaman Alkitab sebagai pemimpin diskusi. Ketaatannya dan juga keterbukaannya di dalam pelayanan sangatlah esensial bagi penyembuhannya sendiri.

Seperti janda yang tidak menyerah, ibu terus membombardir surga dengan pemohonannya. Dia tahu dibutuhkan mukjizat untuk membawa anaknya yang hilang untuk kembali ke Bapa. Jawabannya datang suatu hari lewat ketukan di pintu rumah saya. Saat membuka pintu rumah, saya berhadapan dengan 12 agen dan polisi Atlanta dan 2 anjing German Shephard. Mereka menyita kiriman obat terlarang yang setara dengan 9.1 tons marijuana dari kediaman saya. Saat saya duduk di sel penjara, saya dengan cepat menyadari siapa sesungguhnya teman-teman saya karena tidak satu pun yang mau menerima panggilan telpon dari saya. Sebagai jalan keluar terakhir, saya menelpon rumah, sambil mengantisipasi kata-kata penuh amarah dari keluarga. Namun, kata-kata pertama dari ibu adalah, “Nak, apakah kamu oke?”


Ucapan Syukur

Walaupun sulit, ibu tahu tanpa ragu bahwa apa yang terjadi merupakan jawaban Allah bagi doa-doanya. Dia menulis di secarik kertas kecil ucapan syukurnya yang pertama: “Christopher berada di tempat yang aman dibandingkan dengan sebelumnya, dan dia menelpon ke rumah buat pertama kalinya.” Pada keesokan harinya, ibu terbang ke Atlanta untuk mengunjungi saya di penjara, dan sebelum dia pulang, dia menumpangkan tangan di kaca pemisah dan mendoakan saya. Dengan berjalannya waktu, kabar-kabar buruk yang lain mulai berdatangan, termasuk hukuman penjara saya selama enam tahun dan juga saya didiagnosa menderita HIV positif. Namun, ibu tetap berdiri teguh dan terus bersyukur di tengah-tengah kesusahan. Daftar ucapan syukur dari ibu yang ditulis di kertas sudah lebih panjang dan lebih tinggi dari dirinya.

Tuhan terus bekerja di dalam hidup saya waktu saya di penjara. Saya dibebaskan pada Juli 2001, dan mulai kuliah di Moody Bible Institute pada bulan Augustus 2001. Saya lulus dari Moody pada tahun 2005 dan melanjutkan untuk kuliah eksegesis Alkitab dari Wheaton College pada tahun 2007. Saya juga kuliah S3 dari Bethel Seminary. Pada tahun 2011, saya bersama ibu menulis buku mencatat perjalanan saya dari seorang gay menuju Allah dan pencarian seorang ibu mencari pengharapan. Sekarang, saya bersama orang tua saya melayani untuk memproklamirkan kebenaran dan kasih karunia Tuhan dalam hal LGBT dan saya juga mengajar di Moody di departemen Bibel.

Walaupun kisah saya dramatis, tetapi kesaksian ibu tentang ketekunan merupakan suatu pesan yang penuh kuasa dan sangat membangun. Ibu tidak fokus pada keadaan, tetapi berpegang erat pada firman Tuhan saat semuanya kelam dan tanpa harapan. Seperti yang dikatakan oleh Oswald Chambers,

“Kita ada di sini bukan untuk membuktikan bahwa Allah menjawab doa; kita ada di sini sebagai monumen hidup bagi kasih karunia-Nya.”

(Christopher Yuan menulis buku Out of a Far Country: A Gay Son’s journey to God, A Broken Mother’s Search for Hope bersama ibunya, Angela. Yuan bisa dihubungi di www. ChristopherYuan.com)

 

Berikan Komentar Anda: