Austin Gutwein |
Di musim semi tahun 2004, saat saya berusia 9 tahun, saya menonton suatu filem dokumenter tentang seorang anak di Zambia yang bernama Maggie yang kehilangan semua anggota keluarganya karena penyakit Aids – ibunya, ayahnya, neneknya, kakeknya, tante dan omnya, termasuk adiknya meninggal karena penyakit Aids.
Maggie yang seusia dengan saya tinggal bersama buyut perempuannya yang berusia 73 tahun, satu-satunya saudaranya yang masih hidup, di sebuah gubuk yang diperbuat dari tanah liat yang ukurannya sedikit lebih besar dari lemari pakaian kami. Maggie tidak bersekolah, tidak punya tempat tidur dan harus berpelukan dengan buyutnya di bawah terpal saat hujan turun.
Setiap pagi saat Maggie bersama buyutnya bangun, mereka tidak tahu apakah ada makanan untuk hari itu. Mereka akan membantu tetangga atau orang kampung yang lain untuk membersihkan kebun dengan harapan bisa mendapatkan sedikit makanan. Tapi seringkali mereka tidak makan sepanjang hari.
Saat saya menatap wajah Maggie di video itu, hati saya merasa sangat sedih. Bagaimana jika saya berada di posisinya?
Suara dari video itu berkata,
“Maggie tidak berharap bagi kita untuk mengubah dunia tapi Anda bisa membantu untuk mengubah hidup dia. Melainkan Anda tidak berbuat apa-apa.”
Dan dokumenter itu diakhiri dengan dua kalimat.
Anda punya satu hidup.
Lakukan sesuatu.
Ayah mematikan layar televisi, tapi saya tidak dapat mendiamkan gejolak yang ada di dalam hati saya. Malam itu saat saya tidur di ranjang saya yang empuk dan nyaman, air mata mengalir di pipi saya. Saya membayangkan Maggie menangis karena harus bangun keesokan harinya untuk menghadapi satu lagi hari yang penuh penderitaan.
Saya merasakan Allah sedang memanggil saya untuk berbuat sesuatu untuk menolong mereka. Sejak kecil, kalimat yang sering saya dengar, apakah dari orang tua, gereja atau guru sekolah minggu adalah, “Allah mau memakai kamu.” Mungkin kalimat ini sudah saya dengar lebih dari ribuan kali. Tapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Suatu hari, ayah saya bertindak. Dia menelpon orang dari World Vision untuk mengatur pertemuan. Dia berkata, “Kami telah menonton video yang dikirim. Video itu sangat mengguncang hidup anak saya, Austin. Setiap hari selama tiga bulan terakhir ini, dia meminta kami untuk berbuat sesuatu. Apakah World Vision punya program untuk anak yang berusia 9 tahun?
Orang itu bertanya. “Berapa usianya?”
Ayah menjawab, “9 tahun.”
Orang itu tidak langsung menjawab.
Ayah bertanya lagi, ” Saya tahu kalian punya banyak program, apakah ada yang sesuai untuk anak saya.”
Orang dari World Vision itu bertanya lagi, “Berapa usianya tadi?”
“9 tahun.”
Setelah berdiam agak lama, dia berkata, “Oke, kami punya staf di kantor pusat yang punya beberapa anak kecil. Nanti akan saya cek dan suruh dia telpon Austin”.
Saat saya ditelpon saya sedang menonton kartun.
“Austin? Nama saya adalah Dana Buck dari World Vision….”
Sejujurnya saya tidak ingat apa yang dia katakan sepanjang percakapan itu. Setelah agak lama berbicara, dia akhirnya bertanya,
“Jadi Austin, apa yang menjadi minat kamu?”
“Arr…Saya suka olahraga. Saya paling suka main bola basket.”
“Oke, kalau begitu pakailah bola basket untuk mengubah dunia.”
Saya sama sekali tidak tahu bagaimana bisa menggunakan bola basket untuk mengubah hidup seorang yang ada di Afrika. Tapi karena Tuan Dana berkata saya bisa, maka saya mulai mengatur rencana.
Saya memutuskan untuk menggalang dana bagi anak-anak yatim piatu di Afrika dengan memasukkan bola ke dalam basket dan mengundang orang untuk menyumbang. Pada hari Aids Sedunia di 1 Desember 2004, saya mengadakan acara lemparan bebas (free throw) bola basket dan ayah membantu untuk mendesain website di mana orang bisa memberikan donasi. Pada hari itu saya melontarkan 2,057 lemparan bebas dan kami berhasil mengumpulkan USD 3,000. Uang itu dipakai oleh World Vision untuk mensponsori 8 anak yatim piatu di Afrika.
Sejak 2004, ribuan orang telah bergabung dengan saya dalam mengadakan shoot-a-thon bola basket yang disebut Hoops of Hope. Dengan melakukan hal sederhana seperti melemparkan lemparan bebas bola basket, kami telah menggalang lebih dari USD 2 juta.
Anak-anak yatim piatu yang orang tuanya mati karena penyakit Aids sekarang punya akses kepada makanan, pakaian, tempat tinggal, sebuah sekolah baru dan juga sebuah klinik yang kami diberitahu bisa menyelamatkan satu generasi baru. Balai pengobatan yang kedua sedang dibangun sekarang.
Saya benar-benar percaya bahwa, setiap orang, tidak kira apa usia dan keahlian kita, dapat dipakai Allah untuk berbuat sesuatu yang berdampak kepada hidup orang lain.
(Bagi yang berminat untuk menonton video Maggie dan mengetahui lebih banyak tentang Hoops of Hope bisa mengakses www.youtube.com/hoopsofhope dan klik di link videonya. Kisah Austin dapat dibaca dengan lengkap di bukunya Take Your Best Shot terbitan Thomas Nelson.)