new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Dwight A. Pryor

Yesus berkata, “Hari Sabat diadakan untuk manusia” (Markus 2:27). Akan tetapi selama berabad-abad Gereja berkeras menyatakan bahwa hari Sabat hanya untuk orang Yahudi. Peringatan peristiwa tujuh hari penciptaan itu bukan untuk orang Kristen, demikianlah ujar bapa-bapa gereja, karena ketujuh hari itu sudah dilampaui oleh hari kedelapan dari kebangkitan dan munculnya ciptaan baru di dalam Kristus. Akhirnya, orang Yahudi beribadah di hari Sabtu sedangkan orang Kristen beribadah di hari Minggu

Sudah tentu, hari Sabat sangatlah berharga bagi umat Israel, yang secara khusus diwariskan kepada umat Yahudi. Setelah peristiwa keluarnya umat Israel dari Mesir, Allah membawa umat Israel ke gunung Sinai, dan di sana, seperti mempelai yang mengasihi pasangannya, Dia mengundang mereka untuk menjadi mempelai-Nya – yakni untuk menerima dan meneguhkan perjanjian yang pernah Dia buat bersama Abraham. Setelah mendengarkan kesepuluh Perintah itu – umat Israel dengan bulat menyatakan, “Semua yang disampaikan akan kami jalankan!” (Kel 24:7).

Sebagai lambang abadi (‘ot olam) bagi perjanjian yang berkelanjutan ini, Allah menganugerahkan umat Israel hari Sabat yang sangat mulia itu. Seperti halnya dengan cincin pernikahan, anugerah ini merupakan lambang yang kekal bagi perjanjian khusus   persekutuan mereka (31:16-17). Inilah sebabnya mengapa para nabi seperti Yeremia bisa memahami bahwa ketaatan pada ketentuan mengenai hari Sabat adalah pertanda dari ketaatan atau penyelewengan umat Israel pada perjanjian di Gunung Sinai tersebut. Setiap kali umat Israel melepaskan ‘cincin pernikahan’ tersebut, maka hal itu berarti bahwa umat tersebut sedang menyeleweng dengan para baal atau, dengan istilah lain, suami yang lain.

Sedemikian pentingnya hari Sabat bagi vitalitas dan keberadaan perjanjian dengan Tuhan ini sehingga ketidak-taatan akan berakibat pada dikeluarkannya si pelanggar dari tengah masyarakat (31:14). Bahkan penghormatan pada hari Sabat ini juga lebih diutamakan dari pembangunan kemah Allah atau Tabernakel (35:2-3 dst). Menghormati Allah dengan cara menguduskan waktu memiliki prioritas yang lebih tinggi daripada membangun tempat kudus bagi Dia.

Jadi, memang benar bahwa hari Sabat itu secara unik buat umat Yahudi. Umat Yahudi adalah ‘milik kepunyaan’ Sang Raja (19:5); dan mereka juga menghormati hari Sabat seperti menghormati seorang Ratu.

Lalu, DALAM PENGERTIAN APAKAH kita bisa memaknai Sabat sebagai sesuatu buat umat manusia – termasuk orang-orang Kristen yang juga ingin menghormati Allah dengan memperingati hari Sabat

Petunjuk bagi karakter universal dari hari Sabat bisa dilihat dalam Sepuluh Perintah, yang tercatat di dua tempat: di Keluaran 20 dan di Ulangan 5. Kedua ayat yang menyebutkan tentang Sabat itu pada dasarnya identik kecuali dalam satu kata. Yang satu memakai kata ‘ingatlah (zachor)’ hari yang ketujuh, sedangkan ayat yang satu lagi memakai kata ‘taatilah (shamor)’ Sabat itu.

Perhatikan bahwa alasan bagi perintah untuk ‘mengingat’ hari Sabat adalah peristiwa penciptaan alam semesta (Kel 20:11). Sementara kewajiban kovenan untuk ‘memelihara’ atau ‘mentaati’ hari Sabat dilandasi oleh peristiwa penebusan mereka keluar dari Mesir (Ulangan 5:15). Tentu saja, kedua dasar itu sangat relevan bagi umat Israel, namun di tingkat yang berbeda kita bisa menarik dasar yang relevan bagi umat manusia secara umum untuk menghormati hari Sabat. Lagi pula, jauh sebelum kedua loh batu perjanjian dengan Israel itu di ukir di gunung Sinai, Allah telah menciptakan Adam (umat manusia) di taman Eden dan selanjutnya berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya. Sabat adalah prinsip penciptaan yang universal sebelum ia menjadi bagian khusus di dalam sepuluh perintah Allah.

Setiap orang diciptakan menurut gambar Allah, oleh karenanya, adalah baik dan bijaksana jika kita meniru Pencipta kita dengan beristirahat dari pekerjaan kita dan untuk menghormati Dia pada hari ketujuh. Jika dijalankan dengan benar, dan dalam sukacita, maka hari Sabat itu bisa memulihkan jiwa, meneguhkan keluarga dan membawa kita lebih dekat kepada Allah.

Penelitian yang cermat pada catatan-catatan dalam Injil mengungkapkan bahwa Yeshua memelihara hari Sabat sebagai bagian dari umat Yahudi yang taat (tentu saja, melanggar hari Sabat akan merupakan suatu dosa). Terhadap para pengkritik-Nya yang sangat cerewet itu, yang ingin menerapkan aturan Sabat yang kaku dan rumit, Yesus menekankan bahwa hari Sabat itu dimaksudkan oleh Allah sebagai berkat yang sangat berguna bagi kehidupan. Hari Sabat diciptakan buat umat manusia.

Jemaat generasi awal, sama seperti Yesus, melanjutkan penghormatan atas hari Sabat dan untuk beribadat di Sinagoga. Namun setelah masa Sabat itu berakhir, maka mereka akan berkumpul dari rumah ke rumah di ‘hari pertama minggu berikutnya’ (Kisah 20:7) untuk menerima pengajaran dari para rasul dan untuk mengadakan persekutuan doa, serta membagikan sumbangan kepada kaum miskin (1 Kor 16:2). Dengan kata lain, mereka menghormati Sang Pencipta dan Allah Israel sekaligus berkumpul di hari Minggu dalam rangka memperingati Tuhan mereka yang telah bangkit. Kedua hal itu bukanlah dua hal yang harus saling bertolak belakang

Sabat bisa menjadi berkat yang luar biasa bagi setiap orang, bagi orang Yahudi dan juga orang Kristen, buat keluarga dan juga masyarakat. Hari Sabat itu diperuntukkan bagi umat manusia. Yesus sendiri yang menegaskannya!