Di dalam karya agung Victor Hugo, Les Miserables, terdapat kisah tentang dua tokoh, Uskup M.Myriel dan Jean Valjean.
Jean Valjean ditangkap polisi, dianiaya dan akhirnya dilempar ke dalam penjara hanya karena ia mencuri roti untuk memberi makan 7 keponakannya yang kelaparan. Akibat dari perlakuan yang tak berperi kemanusiaan selama bertahun-tahun ia berubah dari seorang yang lugu dan baik hati menjadi seorang yang berhati keras, penuh kebencian dan kepahitan. Hatinya sudah lama tidak lagi dapat merasa. Setelah 19 tahun di penjara, ia akhirnya dibebaskan. Surat keterangan dari penjara menggambarkan Valjean sebagai seorang penjahat yang sangat kejam dan berbahaya. Wajahnya saja sudah cukup membuat orang seram.
Selama empat hari ia berjalan dari satu kota ke kota yang lain tetapi tidak ada tempat penginapan yang mau menerimanya dan tidak ada tempat makan yang mau menjualnya makanan, sekalipun ia memiliki uang, hasil dari pekerjaannya di pertambangan penjara. Di suatu kota kecil, seorang wanita yang tidak mau menjual makanan kepadanya berkata bahwa hanya ada satu orang yang akan memberinya tumpangan, Uskup M.Myriel yang tidak pernah mengunci pintu rumahnya, apakah siang atau malam.
Sesuai dengan yang dikatakan, saat ia mendorong pintu rumah Uskup Myriel, pintu langsung terbuka dan ia melihat seorang pria tua bersama adiknya duduk di meja makan. Valjean langsung diundang untuk makan bersama dan disiapkan tempat tidur untuknya bermalam. Uskup di Perancis pada tahun-tahun 1800an mempunyai penghasilan yang cukup besar, sekitar £15,000, tetapi Uskup Myreil menyumbang £14,000 kepada orang-orang yang miskin dan hanya hidup dengan uang £1,000 per tahun. Motto hidupnya adalah, kita hidup bukan untuk melindungi nyawa kita tetapi untuk melindungi jiwa orang lain. Makanan yang disajikan tentunya sangat sederhana jadi Valjean tidak tahu bahwa ia sedang makan bersama seorang Uskup. Tetapi satu-satunya barang berharga di rumah Uskup tua itu adalah peralatan makan dan sepasang tempat lilin yang dibuat dari perak, yang merupakan harta warisan Uskup Myriel.
Sekitar jam 2 pagi, Valjean terjaga dari tidur dan pelbagai pikiran melintasi benaknya tetapi salah satu hal yang muncul terus adalah peralatan makan perak yang bisa saja bernilai sekitar £200. Tanpa berpikir panjang, Valjean dengan berhati-hati meninggalkan tempat tidur dan menghampiri lemari yang tak berkunci di ruang makan. Setelah mengambil peralatan makan yang berharga itu, ia melarikan diri lewat jendela di kamarnya.
Seperti biasa Uskup Myriel bersarapan dengan roti dan susu dari lembu peliharaannya. Pembantunya sebelum itu sudah mengabarkan bahwa peralatan makan peraknya sudah hilang dan Valjean sendiri sudah kabur. Uskup hanya berkata, “Ah, memang aku salah karena telah menyimpan apa yang sebenarnya merupakan milik orang-orang miskin. Valjean orang miskin dan memang barang-barang itu miliknya.”
Pintu rumah Uskup Myriel sekali lagi didorong dan terlihat tiga polisi menggiring Valjean. Wajah Valjean sedikit ketakutan. Sebelum sempat polisi itu berkata apa-apa, Uskup Myriel langsung maju ke arah Valjean dan berseru, “Ah, engkau datang kembali juga! Saya senang melihat kamu. Tapi mengapa? Aku memberikan kepada kamu tempat lilin itu juga, yang sama seperti yang lain, diperbuat dari perak. Tempat lilin itu saja bisa dijual dengan harga £200. Kenapa hanya membawa peralatan makan?”
Mata Jean Valjean terbelalak memandang Uskup Myriel.
“Yang Mulia,” tanya ketua polisi itu, “jadi apa yang dikatakan orang ini benar? Kami melihat dia berkelakuan seperti orang yang mau melarikan diri. Kami menemukan barang-barang perak ini…”
Uskup sambil senyum memotong percakapannya, “Dan dia memberitahu Anda, bahwa barang-barang ini telah diberikan oleh seorang imam tua yang memberinya tumpangan? Ah, dan Anda membawanya kembali ke sini? Anda telah keliru.”
“Maksud Yang Mulia, kami bisa melepaskan dia?”
“Tentu saja,” jawab Uskup Myriel.
“Apakah benar saya dibebaskan?” tanya Valjean dengan suara yang hampir tidak kedengaran, seperti orang yang sedang berbicara dalam mimpi.
“Sahabatku,” lanjut Uskup Myriel, “sebelum Anda pergi”. Uskup Myriel berjalan ke arah lemari dan mengambil tempat lilin itu dan menyerahkan kepada Valjean, “Ini dia, ambillah.”
Jean Valjean dengan gemetaran dan tanpa berpikir menghulurkan tangannya mengambil kedua tempat lilin itu.
“Sekarang” kata Uskup itu, “Pergilah dengan damai. Dan lain kali, saat Anda kembali, tidaklah perlu lewat jendela. Pintu tidak pernah dikunci, tidak kira apakah siang atau malam.”
Setelah polisi itu pergi, Uskup mendekati Valjean dan dengan suara yang perlahan berkata, “Jangan, jangan pernah lupa, bahwa Anda telah berjanji untuk menggunakan uang ini untuk menjadi orang yang jujur.”
Seingat Jean Valjean ia tidak pernah menjanjikan apa-apa. Tetapi lidahnya kelu. Uskup Myriel melanjutkan dengan penuh keseriusan, “Jean Valjean, saudaraku, Anda tidak lagi milik yang jahat tetapi Anda milik yang baik. Yang telah aku beli dari-mu adalah jiwa-mu; Aku telah mengambilnya dari pikiran yang jahat dan roh kehancuran, dan aku memberinya kepada Tuhan.”
Dari rumah Uskup Myriel, Jean Valjean meninggalkan kota itu seperti orang yang sedang dikejar bayangannya sendiri. Ia melintasi hutan, lembah, pergunungan seperti orang yang baru disambar petir. Ia tidak berpikir, tidak merasa karena ia tidak tahu apa yang harus dipikirnya. Sesuatu sedang terjadi di dalam hatinya. Terdapat pergolakan yang hebat di dalam jiwa dan sanubarinya. Hatinya yang sekeras batu, pertahanan yang menjadi perlindungannya selama ini mulai terkikis. Pikiran yang menghantuinya adalah “Kamu telah berjanji untuk menjadi orang yang jujur, jiwa-mu sudah kubeli, sudah kuberikan kepada Tuhan.”
Di bawah sebuah pohon yang besar, akhirnya pertahanannya luluh dan buat pertama kali dalam 19 tahun ia menangis. Lama sekali Jean Valjean menangis. Ia menangis seperti seorang perempuan, dan dengan penuh ketakutan seperti seorang anak kecil. Terang mulai masuk ke dalam hatinya yang gelap. Hati yang sekeras batu mulai hancur dan hati nuraninya pelahan-lahan mulai hidup kembali.
Pengampunan Uskup yang tak diharapkannya itu merupakan serangan yang paling hebat ke atas kekerasan dan kebencian yang ada di dalam hatinya. Pengampunan itu juga yang mengembalikan kembali pengharapan dan terang di dalam hidupnya yang selama 19 tahun dijalani di dalam kegelapan. Sesuai dengan pesan Uskup Myriel, sejak hari itu Valjean menjalani hidupnya sebagai seorang yang jujur dan berintegritas.
(Perjalanan hidup Jean Valjean yang seterusnya dapat dibaca di dalam novel klasik sastrawan Perancis, Victor Hugo yang berjudul Les Miserables)