Leo Tolstoy, novelis Russia yang terkenal dengan novel realis-nya War and Peace dan Anna Karenina pernah berkata bahwa banyak orang mencoba mengubah dunia, tetapi mereka lupa mengubah diri mereka sendiri. Tolstoy sendiri berhasil mengubah dunia sastra dan Rusia lewat revolusi sosial dan reformasi religius. Tetapi apakah ia berhasil mengubah dirinya?
Perjalanan spiritual Tolstoy yang panjang dan berliku-liku bermula setelah kematian saudaranya yang membuatnya bertanya, “Apakah ada makna di dalam kehidupanku yang dapat mengalahkan maut yang sedang menanti? Sekalipun sudah menjadi penulis Rusia yang terkenal dan mencapai segala yang ia pernah impikan, tetapi Tolstoy tidak bahagia, “Walaupun buku-bukuku telah menjadikanku seorang selebriti aku bertanya kepada diriku sendiri, ‘Baik, sekarang kamu sudah menjadi lebih terkenal dari Gogol, Pushkin, Shakespeare, Moliere dan semua penulis di dunia, lalu apa?'”
Di usianya yang ke 51 ia menjadi begitu depresi hingga ia harus menyembunyikan tali-tali tambang dan senjata api di rumahnya agar ia tidak tergoda untuk bunuh diri. Seperti kebanyakan orang di zamannya, ia percaya bahwa pengetahuan akan menyediakan jalan keluar dari penderitaannya.
Lalu, Tolstoy mulai dengan rajin membaca karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia bertanya dan menulis surat kepada banyak tokoh-tokoh di zamannya, tetapi ilmu pengetahuan, filsafat atau apa pun tidak menyediakan jawaban yang dicarinya. Dari sini bermulalah tahap kedua dari pencariannya, Tolstoy mulai mendalami studi akan Budhisme, Islam dan Kekristenan. Ia akhirnya tiba kepada kesimpulan bahwa solusi kepada “masalah kehidupan” dapat ditemukan di dalam kata-kata dan ajaran Yesus tetapi bukan pada doktrin ataupun penyimpangan yang ada di gereja pada waktu itu.
Suatu hari di musim semi saat ia sedang berjalan-jalan di hutan, Tolstoy mengambil satu langkah iman. Allah, katanya adalah seperti vodka, harus ditelan dengan sekali tegukan tanpa terlalu memikirkannya. Di dalam buku catatannya, Tolstoy menulis, “Saat aku memikirkan Tuhan, gelombang sukacita membanjiri diri aku. Segala sesuatu menjadi hidup dan berarti. Mempercayai-Nya, aku hidup. Melupakan-Nya, aku mati.”
Tolstoy menghabiskan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk membuat perenungan dalam bidang agama. Beratus-ratus halaman buku catatannya penuh dengan tulisan-tulisan yang bersifat rohani yang ditulis setiap hari. Ia juga menulis buku-buku yang mengulas keyakinan-keyakinan agamanya dengan terperinci. Hal ini sangat mengecewakan para pengulas maupun pembaca sastra yang mendambakan lebih banyak novel yang sangat bagus dirinya.
Setelah menjadi seorang Kristen, Tolstoy menjadi sangat tidak tenang dengan kenyamanan dan kemewahan kehidupannya selama ini. Keinginannya untuk hal-hal materil dan cita-cita pribadinya menimbulkan konflik batin di dalam dirinya. Keseriusannya meresponi ajaran Yesus, membuatnya melakukan hal-hal yang revolusioner.
Yesus berkata kepada orang muda yang kaya, “Juallah segala milikmu dan berikan kepada orang miskin, dan engkau akan memiliki harta di Surga.” Setelah membaca ayat tersebut, Tolstoy membebaskan para budak pengolah tanahnya, menyerahkan harta miliknya kepada orang lain dan menjual perkebunannya yang luas. Untuk menyamakan dirinya dengan orang kebanyakan, ia mengenakan pakaian petani, membuat sepatunya dengan tangan sendiri, dan mulai bekerja di ladang. Namun upaya-upaya Tolstoy untuk bersikap jujur dan membuat pembaruan menimbulkan persoalan tanpa akhir di dalam keluarganya sendiri. Apa yang Tolstoy lakukan sebagai langkah-langkah menuju hidup kudus dinilai oleh Sonya, istrinya, sebagai kebodohan dan pelecehan terhadap keluarga. Pendapatan keluarga semakin berkurang dan karena ia menyerahkan hak cipta buku-bukunya kepada orang lain membuatnya tidak dapat mewariskan apa-apa bagi anak-anaknya. Di dalam buku catatannya, Tolstoy menulis bahwa istrinya menghambat dia dalam memenuhi keinginannya untuk hidup kudus dengan mendesaknya agar menjalani hidup “normal”.
Sampai menjelang kematiannya, Tolstoy sendiri menilai bahwa ia telah gagal untuk mencapai kesempurnaan. Buku-buku catatannya berisi tema-tema penyesalan bahwa ia telah gagal untuk menjembatani cita-cita Injil, utamanya Khotbah di Bukit dengan keseharian hidupnya. Ia merasa telah gagal untuk mempraktekkan apa yang dikhotbahnya. Kebaikan dan kekudusan yang coba dipraktekkannya tidak lahir dari hatinya tetapi dari prinsip-prinsip semata.
Memang banyak yang menilai bahwa Tolstoy telah berusaha tetapi gagal untuk menerapkan hukum moral yang ideal ke dalam dirinya. Membaca tulisan akan kegagalannya membangkitkan lebih banyak keputusasaan dibanding pengharapan. Karena jika Tolstoy nyaris tidak dapat menolong dirinya, bagaimana mungkin ia diharapkan dapat membantu kita?
Menjelang akhir hayatnya, Tolstoy menanggapi kritikan terhadapnya dengan menulis, “Seranglah aku, aku pun menyerang diriku sendiri. Seranglah aku, jangan serang jalur yang kuikuti dan yang kutunjukkan kepada setiap orang yang menanyai aku di mana letak jalur itu. Seandainya aku tahu jalan pulang dan aku berjalan mengikutinya dengan mabuk, apakah jalan itu menjadi kurang tepat karena aku limbung!”
Memang diperlukan ketajaman persepsi untuk dapat memisahkan di antara cita-cita Injil dari kelemahan-kelemahan para pengikut Injil. Setiap kali kita melihat jurang di antara keduanya, kita akan tergoda untuk meninggalkan apa yang Injil ajarkan karena kita menyimpulkan bahwa itu tidak mungkin diraih. Mungkin lebih mudah untuk kita berkata kepada orang yang mengkritik kita, “Seranglah aku, janganlah serang jalur yang aku ikuti.”
Mahatma Gandhi yang menemukan inspirasi untuk prinsip-prinsip anti-kekerasan dari buku Tolstoy, The Kingdom of God is Within You, justru memberikan tantangan kepada kita lewat komentarnya, “Jika saja setiap orang Kristen hidup sesuai dengan ajaran Injil, maka tidak akan ada orang yang tidak percaya.”
Philip Yancey di dalam bukunya Soul Survivor dengan tepat mengungkapkan sumber kegagalan Tolstoy, “Yang menyedihkan, Tolstoy tidak pernah mengizinkan Injil menghadirkan penghiburan di dalam hidupnya. Ia tidak mampu mengambil langkah lebih jauh untuk mempercayai kasih karunia Tuhan guna mengatasi kegagalannya itu.” Demikianlah hanya sekadar mengandalkan prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin semata dan tanpa kasih karunia dari Tuhan, memang mustahil kita dapat menggenapi cita-cita Injil di dalam hidup kita.
Tolstoy sebagaimana yang diakuinya memang telah gagal mengubah dirinya sendiri karena tidak kira sekeras mana kita mencobanya, harimau tidaklah dapat mengubah belangnya (Yer.13.23). Hanya Tuhan yang dapat mengubah kita. Di matanya sendiri Tolstoy menilai bahwa dirinya telah gagal tetapi sejarah tidak menilai demikian karena kejujuran dan upayanya untuk mengejar iman yang sesungguhnya tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang sampai ke hari ini.