Philip Yancey |
Memandang ke luar
Archbishop William Temple berkata, “Gereja adalah satu-satunya masyarakat kooperatif di dunia yang eksis bukan untuk kepentingan anggotanya.” Ini adalah pelajaran yang paling jelas dari gereja saya di Chicago, LaSalle Street Church yang misinya melebar untuk menjangkau kebutuhan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Salah satu alasan jemaat yang berbeda-beda dapat bekerja sama dengan baik adalah karena kami terikat untuk menjangkau masyarakat sekeliling. Melayani orang lain akan menyebabkan Anda tidak banyak berpikir tentang melayani diri sendiri.
Ketika para guru Sekolah Minggu memperhatikan banyak murid tidak dapat membaca, mereka menyediakan diri untuk mengajar sesudah jam kebaktian. Kebutuhan ini sangat besar karena angka siswa sekolah menengah atas yang tidak melanjutkan sekolah alias drop out melebihi 75%. Tidak lama kemudian banyak mahasiswa mendaftarkan diri untuk turut mengajar. IBM dan perusahan-perusahaan lainnya menyumbang peralatan, sehingga program tutor ini terus bertumbuh.
Untuk menolong penduduk yang mendapat perlakuan yang tidak baik dari polisi atau tuan tanah, seorang pengacara berhenti dari perusahaannya untuk memulai sebuah Lembaga Bantuan Hukum yang menawarkan bantuan hukum gratis kepada penduduk yang tidak mampu. Di Chicago, sama seperti kebanyakan kota-kota lainnya yanga da di Amerika, banyak bayi yang lahir dari ibu yang tidak bersuami, dan segera gereja mendirikan suatu badan untuk menolong mereka.
Dan masih banyak kebutuhan yang muncul. Ketika pemerintah mendapatkan laporan bahwa sepertiga dari semua makanan anjing dan kucing dibeli oleh para gelandangan yang terlalu miskin untuk mampu membeli “makanan manusia” , gereja mulai memikirkan untuk menolong para gelandangan tersebut. Sang direktur mengadakan permainan ‘bingo’ yang sangat digemari oleh orang-orang itu, dan sebagai hadiahnya adalah makanan kaleng dan bukan uang; para senior itu menikmati permainan tersebut dan memenangkan satu kantong makanan kemudian pergi tanpa pernah menjatuhkan martabat mereka.
Selama sebelas tahun, istri saya memimpin program terhadap para gelandangan ini di gereja. Dia mempunyai tujuhpuluh sukarelewan, dan melalui dia saya belajar kebaikan dari para jemaat yang bergabung bersama untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang yang ada di sekeliling mereka. Seorang DJ radio setempat dengan mengendarai mobil sport merahnya mengunjungi sebuah rumah bobrok setiap minggu dan mengirim makanan ke orang tua yang sudah menjadi lumpuh. Seorang pengacara muda membawa anak-anaknya dalam kunjungan mingguannya ke seorang buta. Seorang suster dari gereja melayani panggilan ke rumah-rumah. Dua kali seminggu sukarelawan memasakkan makanan untuk para orang tua – bagi mereka, makanan itu adalah makanan panas satu-satunya yang mereka dapatkan sepanjang minggu. Banyak dari antara sukarelawan ini yang bekerja tanpa pamrih. Seringkali mereka belajar salah satu keuntungan utama dari memberi adalah dampaknya terhadap si pemberi. Kebutuhan kita untuk memberi sama besarnya dengan kebutuhan orang-orang miskin untuk menerima.
Ketika saya mencari sebuah gereja, saya mencari sebuah gereja yang mengerti akan kebutuhan untuk melihat ke luar. Saya yakin bahwa kemampuan untuk menjangkau ke luar adalah faktor yang paling penting dari kesuksesan atau kegagalan sebuah gereja.
Saya menemukan sebuah paradoks iman, orang yang membagikan kasih selalu akan diperkaya, bukannya dimiskinkan. Seperti yang tertulis di Kitab Suci, adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima – Kisah 20.35.
Memandang ke dalam
Mungkin untuk menentang legalisme semasa kecilnya, Bill Leslie, gembala sidang di LaSalle Street Church, tidak pernah bosan-bosannya berbicara tentang Anugerah. Hampir setiap Minggu dia berbicara tentang kebutuhan manusia yang tiada akhirnya akan anugerah, dan mengkhotbahkannya dengan cara-cara yang berbeda. Ketika saya duduk di bawah pelayanannya dari Minggu ke Minggu, secara bertahap saya mulai menyerap tentang anugerah, seolah-olah melalui osmosis. Saya percaya dan sungguh-sungguh percaya bahwa Allah mengasihi saya bukan karena saya layak tetapi karena Dia adalah Allah dari anugerah. Kasih Allah itu gratis tanpa label harga yang menempel. Tidak ada yang dapat saya perbuat untuk membuat Allah mengasihi saya lebih – atau kurang.
Saya berkesimpulan bahwa anugerah adalah faktor paling mencolok yang tidak hadir dari gereja semasa saya kecil. Andaikan gereja kami dapat mengkomunikasikan anguerah kepada seluruh dunia yang dipenuhi dengan persaingan, ranking – dunia yang tidak beranugerah – maka gereja akan menjadi tempat orang-orang berkumpul tanpa paksaan, seperti pengendara yang berada di sekeliling oasis. Sekarang sewaktu saya menghadiri gereja, saya melihat ke dalam dan meminta Tuhan untuk menjauhkan saya dari racun persaingan dan kritik untuk mengisi kehidupan saya dengan anguerah. Dan saya mencari gereja yang berdiri karena anugerah.
Saya mendapat suatu pelajaran tentang seperti apa tampaknya anugerah itu dalam respons dari gereja saya terhadap Adolphus, seorang pemuda berkulit hitam dengan wajahnya yang liar dan penuh kemarahan yang terpancar keluar dari matanya. Sebetulnya hampir semua kota mempunyai sedikitnya satu Adolphus. Dia sudah pernah tinggal di Vietnam dan sepertinya segala kesulitannya dimulai dari sana. Dia tidak dapat bertahan dalam satu pekerjaan untuk jangka waktu yang lama. Kemarahannya yang tiba-tiba dan kegilaannya seringkali membawa dia rumah sakit jiwa.
Kalau Adolphus mendapat pengobatan di hari Minggu, dia dapat diatasi. Jika tidak, gereja akan lebih semarak daripada biasanya. Dia melompati bangku-bangku gereja, mulai dari belakang sampai ke depan altar. Dia mengangkat tangan selama menyanyikan lagu-lagu himne dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak senonoh. Atau dia akan memakai headphone dan menyetel lagu-lagu rap yang bukan bagian dari kebaktian.
Sebagai bagian dari penyembahan, LaSalle mempunyai acara doa syafaat. Kami semua bangkit berdiri secara spontan dan secara bergiliran orang-orang akan berdoa dengan keras untuk perdamaian, untuk orang yang sakit, dan untuk keadilan dalam masyarakat yang ada di sekitar kami. Dengan bersama-sama kami memberikan respons “Tuhan, dengarlah doa kami” setelah doa itu selesai diucapkan. Adophus menggunakan kesempatan ini sebagai podium yang ideal baginya untuk menyatakan kepeduliannya.
“Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah menciptakan Whitney Houston dengan tubuhnya yang indah!” dia berdoa di suatu pagi. Setelah hening sesaat, beberapa orang berkata dengan ragu-ragu seraya mengucapkan, “Tuhan, dengarlah doa kami.”
“Tuhan, terima kasih untuk kontrak rekaman yang besar yang telah saya tanda tangani minggu kemarin, dan juga untuk segala sesuatu yang baik yang terjadi pada kelompok band saya!” doa Adolphus. Bagi mereka yang kenal Adolphus, menyadari bahwa dia sedang berkhayal, tetapi yang lainnya dengan sungguh-sungguh berkata, “Tuhan, dengarlah doa kami.”
Pengunjung yang datang secara teratur sudah tahu tentang doa Adolphus yang liar ini. Tetapi orang baru tidak tahu apa yang dipikirkan: mata mereka akan terbuka dan leher mereka terjulur mencari-cari sumber dari doa yang aneh ini.
Suatu kali Adolphus berdoa, “Semoga para gembala sidang kulit putih dari gereja ini akan melihat rumahnya terbakar pada minggu ini.” Tidak ada satu pun yang menanggapi doa tersebut.
Adolphus sudah pernah tiga kali diusir dari tiga gereja lainnya. Dia memilih untuk datang ke gereja yang dipenuhi dengan orang kulit hitam dan putih karena dia senang membuat orang kulit putih mendelik. Pernah sekali waktu dia hadir di dalam kelas Sekolah Minggu saya ketika saya sedang mengajar dan berkata, “Andaikan aku mempunyai sebuah senjata M-16, maka aku akan membunuh kalian semua orang kulit putih yang ada di dalam ruangan ini.” Kami orang kulit putih pun mendelik ke arahnya.
Sekelompok orang termasuk seorang dokter dan psikiater, mengambil Adolphus sebagai proyek istimewanya. Setiap kali dia meledak, dan berkata dengan kata-kata yang tidak layak, mereka menarik dia ke samping. “Adolphus, kemarahanmu dapat dimaklumi. Tetapi ada beberapa cara yang tepat dan tidak tepat untuk menyatakannya. Berdoa supaya rumah gembala sidang terbakar adalah sesuatu yang tidak tepat.”
Kami melihat Adolphus kadang-kadang berjalan sepanjang lima mil untuk pergi ke gereja di hari Minggu karena dia tidak mampu untuk naik bis. Beberapa anggota mulai menawarkan dia tumpangan. Beberapa mengundang dia untuk makan. Dia menghabiskan waktu di hari Natal dengan keluarga wakil gembala sidang.
Karena dia sering menyombongkan talentanya dalam bidang musik, Adolphus diminta untuk bergabung dengan kelompok musik gereja yang bernyanyi sepanjang kebaktian komuni. Ternyata terbukti bahwa dia sama sekali tidak punya kemampuan dalam hal musik. Setelah beraudisi, pemimpin kelompok musik ini berkompromi. Adolphus dapat berdiri dengan yang lainnya dan bernyanyi tetapi pada waktu gitar listriknya tidak dipasang. Kemudian setiap kali itu tampil, Adolphus berdiri dengan mereka dan bernyanyi dan juga memainkan gitar yang, puji Tuhan, tidak menghasilkan suara. Pada umumnya kerjasama ini berjalan lancar kecuali pada hari Minggu ketika Adolphus melewatkan pengobatannya di hari Minggu. Dengan meniru gaya Joe Crocker dia berputar-putar melewati podium ketika kami sedang berbaris untuk menerima roti dan anggur.
Suatu hari Adolphus minta untuk bergabung dengan gereja. Orang-orang tidak begitu percaya dan agak pesimis tapi akhirnya memutuskan untuk memberikan masa percobaan untuknya. Dia dapat bergabung ketika dia mampu menunjukkan bahwa dia mengerti apa artinya menjadi seorang Kristen dan belajar untuk bertingkah laku dengan tepat pada orang lain di dalam gereja.
Dengan segala kejanggalannya, cerita Adolphus berakhir dengan gembira. Dia menjadi tenang. Dia memanggil orang-orang di gereja ketika dia merasa kegilaannya muncul kembali. Dia bahkan menikah. Dan pada kesempatan berikutnya, pada akhirnya, dia diterima sebagai anggota gereja.
Anugerah datang pada orang-orang yang tidak layak, dan bagi saya, Adolphus datang untuk memberi arti tentang anugerah. Dalam keseluruhan hidupnya, tidak pernah ada orang yang bersedia memberikan tenaga dan perhatian padanya. Dia tidak mempunyai keluarga, hidupnya tidak stabil. Gereja bagi dia adalah satu-satunya tempat yang paling stabil. Gereja masih tetap menerimanya walaupun dia sudah melakukan banyak hal yang mengundang penolakan.
Gereja itu tidak berputus asa dengan Adolphus. Gereja memberi dia kesempatan kedua, ketiga dan bahkan keempat. Orang-orang yang sudah merasakan anugerah Allah memancarkan anugerah tersebut pada Adolphus yang keras kepala. Anugerah yang tidak terpadamkan ini memberikan suatu gambaran kepada saya betapa Tuhan sangat bersabar dengan memilih mencintai orang seperti saya. Saya sekarang mencari gereja yang memancarkan anugerah semacam ini.
Paul Tournier pernah berkata, “Ada dua hal yang tidak dapat kita lakukan sendiri, yang satu adalah menikah dan yang lainnya adalah menjadi seorang Kristen.” Dalam pengalaman saya dengan gereja, saya mendapati bahwa sebuah gereja memegang peranan penting, bahkan peranan yang sangat dibutuhkan. Kita adalah “masyarakat Tuhan yang baru” di atas muka bumi ini.
(Dikutip dan diedit seperlunya dari buku “Gereja Mengapa dirisaukan?”)