Leon Alderman |
Orang Jerman punya pepatah: “Orang Jerman mau anaknya punya keahlian. Orang Jepang mau anaknya punya pendidikan. Orang Amerika mau anaknya bahagia.” Pepatah ini mengungkapkan apa yang penting di dalam budaya kita. Sebagai orang Kristen, apakah yang Allah inginkan bagi kita? Saya pikir Allah seperti orang tua yang lain, menginginkan anak-anaknya bahagia.
Bertahun-tahun yang lalu, sekitar tahun 1982, saya pulang berlibur ke rumah orang tua saya. Di suatu hari yang panas di bulan Juli, ayah saya meminta saya membantunya mengganti tempat mencuci piring untuk ibu saya. Ayah saya adalah seorang pensiunan angkatan laut; tipe orang yang keras dan tidak mendengarkan pendapat orang lain. Saya setuju untuk membantunya dan kami pun memulai pekerjaan kami.
Setelah mematikan saluran air ke dalam rumah, kami membongkar semua pipa dan akhirnya menurunkan tempat mencuri piring yang lama. Pekerjaan yang cukup melelahkan di hari yang panas. Saat kami menaikkan tempat mencuci piring yang baru dan mulai menyambung pipanya, saya berkata pada ayah saya, “Mari kita buka kembali keran utama untuk memastikan sambungan pertama ini tidak bocor.” Ayah saya mengabaikan saran saya dan berkata, “Tidak perlu”. Jadi kami memasangnya semua sambungan pipanya yang mengambil waktu sekitar selama dua jam.
Setelah semuanya tersambung, kami membuka keran air dan apa yang terjadi? Kebocoran di sambungan pipa yang pertama! Semua yang sudah kami pasang selama dua jam itu harus dibongkar dan kami harus memulai dari awal lagi! Bukan saja saya ‘panas’ di luar tapi saya ‘panas’ di dalam. Seharusnya ayah saya mendengarkan saran saya tadi! Mengikuti perasaan hati saya, saya mau segera meninggalkan dapur yang sumpek itu dan pergi berenang di pantai. Biar dia yang selesaikan semuanya karena dia merasakan dirinya begitu pintar!
Tiba-tiba saya mendengar suatu suara kecil berkata pada saya, “Hormatilah ayah dan ibumu (Kel. 20.12)
“Allah – saya sudah berusaha, tapi Engkau lihat apa yang terjadi tadi.” Tapi suara kecil itu mengulangi pesan yang sama. Dengan sangat enggan, saya menaati perintah yang dari Kitab Suci itu. Setelah sekitar empat jam, kami menyelesaikan pekerjaan itu. Ibu saya mempunyai tempat mencuci piring yang baru.
Saya lalu ke ruang tamu dan berbaring di atas sofa. Saya merasa lelah bukan karena pekerjaan fisik tapi lebih karena pergumulan di dalam hati saya. Di saat saya berbaring di situ, entah mengapa saya mengalami suatu sukacita dan kebahagiaan yang mendalam. Rasanya, setiap anggota tubuh saya dipenuhi sukacita yang luar biasa. Saya tidak pernah merasakan penghiburan dan sukacita yang sedemikian besar! Mengapa saya begitu bahagia? Saya baru saya menjalani empat jam yang penuh sengsara!
Ayat dari Amsal 29.18 terlintas di benak saya.
Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum.
Kesimpulannya bersifat subyektif, tapi saya merasakan Allah sedang berbisik pada saya: “Leon, adalah merupakan tanggungjawanmu untuk menaati Aku. Adalah tanggungjawab Aku untuk membahagiakan kamu.”
Kebahagiaan datang dari ketaatan!
Dengan kata lain, kekudusan membawa pada kebahagiaan. Kita bisa saja ‘senang’ setelah bertindak egois namun saat kita menyangkal diri dan bertindak sesuai keinginan Tuhan, “kebahagiaan” yang diberikan Tuhan itu sangatlah indah dan menakjubkan!
-as