new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

AW Tozer |

Kerendahan hati secara mutlak diperlukan bagi seorang Kristen. Tanpanya tidak akan ada pengenalan akan diri, pertobatan, iman dan keselamatan.

Janji-janji Tuhan diberikan kepada yang rendah hati: orang yang sombong karena kesombongannya sudah mengorbankan setiap berkat yang dijanjikan kepada yang rendah hati, dan yang akan ia dapatkan dari tangan Tuhan hanyalah hukuman yang setimpal.

Bagaimanapun, janganlah kita lupa bahwa terdapat kerendahan hati yang palsu, yang sulit sekali dibedakan dari yang sesungguhnya tetapi yang seringkali ditemukan di kalangan orang Kristen, tanpa mereka sendiri menyadari bahwa kerendahan hati yang mereka miliki itu palsu.

Kerendahan hati yang sejati adalah suatu hal yang sehat. Yang rendah hati menerima kebenaran tentang dirinya sendiri. Ia percaya bahwa di dalam naturnya tidak ada hal yang baik. Ia menerima bahwa di luar Tuhan ia bukan apa-apa; ia tidak memiliki apa-apa, ia tidak mengetahui apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi pengetahuan ini tidak membuatnya lemah semangat, karena ia juga tahu bahwa di dalam Kristus ia signifikan dan bernilai. Ia tahu bahwa ia berharga kepada Tuhan lebih dari biji mata-Nya sendiri dan ia juga tahu ia dapat melakukan segala sesuatu melalui Kristus yang memberinya kekuatan; yakni, ia dapat melakukan segala yang di dalam kehendak Tuhan baginya.

Kerendahan hati yang palsu sebenarnya hanyalah kesombongan dengan wajah yang berbeda. Hal ini sangatlah nyata terlihat di dalam doa seorang yang mengutuk dirinya sendiri di hadapan Tuhan sebagai lemah, berdosa dan bodoh tetapi akan bereaksi dengan marah jika hal yang sama dikatakan kepadanya oleh istrinya.

Orang demikian tidak semestinya munafik juga. Doa yang mengutuk diri sendiri itu bisa saja sepenuhnya tulus, dan di waktu yang bersamaan membenarkan dirinya sendiri, sekalipun kedua hal itu kelihatannya saling bertentangan. Kedua hal itu sama karena dilahirkan dari orang tua yang sama, bapanya adalah kasih pada diri sendiri dan ibunya adalah percaya pada diri sendiri.

Orang yang dipenuhi dengan kekaguman akan dirinya sudah tentu akan mengharapkan hal yang besar dari dirinya sendiri dan sangatlah pahit saat ia gagal. Orang Kristen yang memandang tinggi dirinya sendiri memiliki ideal moral yang sangat tinggi: ia akan menjadi orang yang paling kudus di gereja, jika bukan yang paling suci di generasinya. Ia akan berbicara mengenai kerusakan total, kasih karunia dan iman, namun pada waktu yang bersamaan ia secara tanpa sadar mempercayai dirinya, mengangkat dirinya dan hidup bagi dirinya sendiri.

Dikarenakan ia memiliki aspirasi yang begitu tinggi, setiap kegagalan dalam mencapai idealnya akan membuatnya begitu kecewa dan marah. Lalu serangan terhadap hati nurani akan muncul yang ia secara salah menafsirnya sebagai bukti kerendahan hati padahal itu hanyalah penolakan untuk mengampuni dirinya karena sudah gagal mencapai opininya yang tinggi terhadap dirinya sendiri. Hal yang sejajar ada kalanya ditemukan di dalam orang yang sombong, dalam bapa yang berambisi, yang berharap untuk  melihat anaknya menjadi orang yang ia harapkan dari dirinya sendiri tetapi gagal, dan saat anaknya gagal mencapai pengharapan yang ia tetapkan, ia tidak akan mengampuninya. Kesedihan bapanya bukannya karena ia mengasihi anaknya tetapi karena kasihnya pada dirinya sendiri.

Orang yang sesungguhnya rendah hati tidak akan mengharapkan kebaikan di dalam dirinya sendiri, dan saat ia tidak menemukannya ia tidak akan kecewa. Ia tahu bahwa apa pun perbuatan baik yang ia lakukan adalah hasil dari perbuatan Tuhan di dalam dia, dan jika itu adalah pekerjaannya sendiri ia tahu bahwa hal itu tidak baik, tidak kira betapa hal itu kelihatannya baik.

Saat keyakinan ini menjadi sebagian dari seseorang di mana hal ini beroperasi tanpa disadarinya seperti semacam refleks maka ia dilepaskan dari beban dimana ia berusaha untuk mencapai opini tentang dirinya sendiri. Ia dapat dengan santai mengandalkan Roh untuk menggenapi hukum  moral di dalam dirinya. Penekanan hidupnya beralih dari “si aku” kepada Kristus, yang seharusnya sudah terjadi sejak awal, dan dengan demikian ia dibebaskan untuk melayani di generasinya oleh kehendak Tuhan tanpa seribu satu macam hambatan seperti yang sebelumnya.

Sekiranya orang ini gagal ia akan mengaku salah dan bertobat, dan ia tidak akan meluangkan waktu untuk menghukum dirinya karena kegagalannya. Ia akan berkata seperti Bruder Lawrence: “Aku tidak akan dapat berbuat lebih baik jika Engkau membiarkan aku sendiri: Engkaulah yang harus mencegah kejatuhan aku dan memperbaiki apa yang kurang,” dan setelah itu “tidak lagi merepotkan diri’ dengan hal itu.

Di saat kita membaca tentang kehidupan dan tulisan orang-orang kudus, di saat itulah kerendahan hati yang palsu menjadi kentara. Kita membaca Augustinus dan kita tahu bahwa kita tidak memiiki inteleknya; kita membaca Bernard of Clairvaux dan merasakan kehangatan di dalam rohnya yang tidak ada di dalam kita; kita membaca jurnal George Whitefield dan dipaksa untuk mengakui bahwa dibandingkan dengan dia kita hanyalah orang yang baru mau memulai, orang yang masih hijau secara spiritual dan walaupun hidup kita kelihatan begitu sibuk, hanya sedikit yang telah dicapai oleh kita atau sama sekali belum mencapai apa-apa. Kita membaca surat-surat Samuel Rutherford dan merasakan bahwa kasihnya bagi Kristus begitu melebihi kasih kita.

Di saat itulah kerendahan hati yang palsu mulai bekerja dalam nama kerendahan hati yang sejati dan membawa kita ke dalam abu mengasihani diri sendiri dan mengutuk diri sendiri. Kasih akan diri kita beralih arah dan akan dengan galak mencela diri karena kurangnya kesalehan. Marilah kita berhati-hati di sini. Apa yang menurut kita adalah penyesalan bisa saja semacam iri hati dan tidak lebih dari itu. Mungkin saja kita iri terhadap manusia-manusia besar itu dan merasa putus asa karena tidak mungkin dapat menandingi mereka dan di waktu yang bersamaan kita merasa sok suci karena merasa sedih dan patah semangat.

Saya telah bertemu dengan dua macam orang Kristen: yang tinggi hati tetapi membayangkan bahwa mereka rendah hati dan yang rendah hati yang khawatir bahwa mereka tinggi hati. Harus ada satu lagi jenis: yang melupakan diri dan meninggalkan seluruh persoalan ini di dalam tangan Kristus dan menolak untuk membuang waktu coba untuk membuat diri mereka baik. Mereka akan tiba pada gol itu jauh lebih cepat dari yang lain.