new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Billy Graham |

Seorang filsuf Perancis pernah berkata, “Seluruh dunia sedang pontang panting mencari keamanan dan kebahagiaan.” Mantan persiden Universitas Harvard menyatakan, “Dunia ini sedang mencari-cari kredo yang bisa mereka percayai dan lagu yang bisa mereka nyanyikan.”

Seorang jutawan Texas memberi tahu, “Saya kira uang bisa membeli kebahagiaan – saya sangat dikecewakan sekali.”

Seorang bintang film tersedu-sedu:

“Saya punya uang, kecantikan, glamor dan popularitas. Seharusnya saya wanita  paling bahagia di dunia, tetapi saya merana. Mengapa?”

Salah satu peminpin sosial dari jenjang paling atas berkata, “Saya kehilangan semua hasrat saya untuk terus hidup, meskipun saya punya segala-galanya dan alasan untuk hidup. Ada apa gerangan?”

Ada orang yang pergi ke psikiater. Katanya, “Dokter, saya kesepian, sangat sedih, dan merana. Anda bisa membantu saya?” Psikiater itu menyarankan dia pergi ke sirkus dan menonton badut termashur di sana. Menurut orang, ia bahkan bisa membuat yang paling sedih tertawa gembira.

Pasiennya berkata, “Sayalah badut itu.”

Seorang mahasiswa senior berkata, “Saya berusia dua puluh tiga tahun. Saya sudah menjalani cukup banyak pengalaman untuk menjadikan saya tua, dan sekarang saya sudah bosan dengan hidup ini.”

Seorang negarawan besar berkata pada saya, “Saya sudah tua. Kehidupan ini sudah kehilangan semua arti. Saya siap melakukan lompatan nekat ke dalam apa yang saja yang tidak dikenal. Anak muda, apa Anda bisa memberi saya seberkas harapan?”

Sebaliknya, orang Kristen punya perspektif berbeda mengenai arti kebahagiaan.CS Lewis berkata, “Kegembiraan adalah urusan sorga yang sungguh-sungguh.” Ia menambahkan, “Semua perintahNya adalah kegembiraan.” Ibu Teresa dari Calcutta berkata, “Kekudusan yang sejati adalah melakukan kehendak Allah dengan tersenyum.”

Yesus menyatakan, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yohanes 10.10). Atau ia menyatakan lagi, “Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya sukacitaku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15.11).

Mencari Kebahagiaan di tempat-tempat yang salah

Kurang lebih 2500 tahun yang lalu nabi Yesaya memandang ke bangsa yang merindukan kebahagiaan dan keamanan tetapi mencarinya di tempat-tempat yang salah. Mereka berlari-lari ke pasar dan ke tempat hiburan, menghambur-hamburkan uang secara gila-gilaan untuk hal-hal yang tidak memberi mereka kepuasan yang kekal.

Pada suatu hari, ia berdiri di hadapan mereka dan menyampaikan Firman Allah, “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah. Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat (Yesaya 55:1,2).

Yesaya tidak berbicara dengan nada negatif atau memaki mereka untuk dosa mereka.Ia tidak menjambret botol dari tangan pemabuk, dan ia tidak mengkuliahi mereka tentang sisi-sisi buruk dan jahat dari kerakusan, ia tidak mempermalukan mereka untuk praktek tak bermoral mereka. Saat itu ia mengabaikan hal-hal tersebut. Ia hanya secara sederhana menanyakan mereka, “Apakah kalian mendapat apa yang kalian kehendaki dari hidup ini?Mengapa kalian menghabiskan uang untuk sesuatu yang bukan roti dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?

Allah punya jawabannya

Yesaya tidak meninggalkan mereka dengan pertanyaan tak terjawab. Ia melanjutkan dengan memberitahu mereka, bahwa ada cara menjalankan kehidupan ini secara memuaskan, jika mereka mau mencarinya. Ia mendesak agar mereka menghentikan upaya sia-sia mereka mencari kekayaan, dan mulai mencari kebahagiaan di tempat kebahagiaan itu berada, yakni dalam hubungan yang benar dengan Allah.

Dunia materialistis kita terus terpacu dalam pencarian yang tak pernah lekang, mengejar-gejar sumber kebahagiaan! Semakin banyak pengetahuan yang kita peroleh, semakin kurang kita memiliki kearifan. Semakin kita mengecap kemantapan ekonomi, semakin kita bosan dan tidak yakin. Semakin banyak kita menikmati kesenangan duniawi, semakin kita tidak puas dengan kehidupan. Kita seperti lautan yang tidak tenang, menemukan sedikit kedamaian di sini dan sedikit kesenangan di sana, tetapi tidak ada yang kekal dan memuaskan. Jadi, pencarian berlanjut! Orang akan membunuh, berdusta, menipu, mencuri dan pergi perang untuk memuaskan pencarian kekuasaan, kesenangan, dan kekayaan. Dengan berbuat demikian mereka berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan kedamaian, keamanan, kepuasan dan kebahagiaan untuk diri mereka sendiri dan kelompok tertentu mereka, tetapi semua cuma-cuma saja.

Tetapi di dalam diri kita ada suara kecil yang terus menerus berkata, “Bukan maksudnya bahwa kita harus begini – kita dimaksudkan untuk hal-hal yang lebih baik.” Kita punya perasaan misterius bahwa  di suatu tempat ada sumber berisi kebahagiaan yang membuat kehidupan ini patut dijalani. Kita terus berkata kepada diri kita sendiri bahwa di suatu tempat, suatu ketika kelak, kita akan menemukan rahasia itu. Kadang-kadang, kita merasakan bahwa kita sudah menemukannya – hanya ternyata bahwa rahasia itu seperti ilusi saja, menjadikan kita kecewa, bingung, tidak bahagia, dan masih terus saja mencari.

Kita perlu menyadari bahwa ada dua macam kebahagiaan. Satu macam kehidupan yang datang kepada kita apabila keadaan kita menyenangkan dan kita boleh dibilang bebas kesulitan. Kebahagiaan semacam ini tidak memuaskan, karena berlangsung sesaat saja dan tidak meninggalkan kesan apa-apa. Apabila keadaan berubah – suatu hal yang tidak bisa dicegah-maka kebahagiaan semacam ini menguap seperti embun pagi dalam panas matahari. Di samping itu, bahkan apabila keadaan lahir kita nampak ideal, batin kita mungkin masih diusik lapar atau rindu yang tidak reda-reda, mendambakan sesuatu yang tidak bisa diidentifikasikan. Kita mengatakan bahwa kita “bahagia” – tetapi jauh di dalam diri kita, kita ketahui bahwa keadaan itu hanya seklias dan tidak ada artinya. Ya, dari waktu ke waktu kita mungkin mengira bahwa kita sudah menemukan semacam kebahagiaan, tetapi cepat atau lambat perasaan itu akan menghilang. Pencarian kita akan kebahagiaan tetap saja tidak dipenuhi.

Tetapi ada jenis kebahagiaan yang lain – jenis yang kita semua dambakan. Kebahagiaan jenis kedua ini adalah kedamaian dan kegembiraan yang abadi, di dalam diri kita, yang mengatasi keadaan apapun. Suatu kebahagiaan yang kekal tak peduli, apa pun menghadang jalan kita – dan bahkan mungkin menjadi lebih kuat dalam keadaan sulit. Inilah macam kebahagiaan yang dimaksudkan Yesus dalam Ucapan Bahagia. Kebahagiaan yang hanya bisa datang dari Allah. Ia sendiri memiliki jawabannya terhadap pencarian kita akan kebahagiaan abadi.

Kebahagiaan yang membuat kehidupan ini layak untuk waktu yang lama bukanlah kebahagiaan cetek yang bergantung kepada keadaan. Inilah kebahagiaan dan kepuasan yang mengisi jiwa meskipun kita berada dalam keadaan paling menyedihkan dan lingkungan paling bermusuhan. Inilah jenis kebahagiaan yang tetap bertahan meskipun keadaan tidak banyak menunjang. Kebahagiaan yang membuat kita tersenyum meskipun kita sedang menangis. Kebahagiaan yang sangat dirindukan jiwa kita adalah kebahagiaan yang tidak diganggu keberhasilan atau kegagalan. Kebahagiaan demikian bermukim jauh di dalam diri kita dan memberi kesenangan, kedamaian, dan kepuasan di dalam diri, tak peduli bagaimana parahnya masalah di permukaan. Kebahagiaan seperti itu tidak memerlukan rangsangan luar.

Di dekat rumah saya terdapat sumber air. Aliran airnya tidak pernah berubah di musim apa pun. Banjir bisa saja mengamuk di dekatnya, tetapi volume airnya tidak pernah bertambah. Musim kering yang panjang boleh saja datang berkunjung, tetapi airnya tidak akan berkurang. Sumber air itu tetap dan selalu sama. Begitulah jenis kebahagiaan yang kita dambakan.

Tiga hal yang kita cari

Pertama, kita mencari kedamaian. Sebagaimana kita baru saja lihat, segenap umat manusia dibakar pencarian terhadap kedamaian, kebahagiaan, dan kegembiraan batin.

Kedamaian yang kita cari bukanlah sekadar kedamai an pikiran yang tidak ada artinya, yang buta terhadap realita dan pergi datang sesuai dengan suasana hati atau keadaan kita. Kedamaian yang dicari setiap laki-laki dan perempuan adalah kedamaian yang akan membebaskan mereka dari kerisauan dan frustrasi yang disebabkan konflik dan masalah yang mengganggu dalam kehidupan. Yang dicari ialah kedamaian jiwa yang mernembus ke seluruh diri kita, kedamaian yang bekerja melalui cobaan dan beban kehidupan.

Kedua, kita mencari tujuan. Manusia bingung dan keblinger, bertanya-tanya dari mana gerangan ia datang, mengapa ia ada di sini, dan kemana ia pergi, ia ingin mengetahui apakah di semesta alam ini ada kebenaran – kebenaran yang bisa seperti bintang. Bimasakti, menuntunnya dan memberinya arti.

Beberapa berspekulasi bahwa umat manusia adalah kecelakaan di planit ini. Menurut pandangan mereka, manusia tidak ditempatkan di sini untuk sesuatu tujuan – ia begitu saja terjadi. Sang filsuf eksistensialis menyatakan bahwa manusia – oleh Allah- tidak diberikan tujuan. Manusia dibiarkan menentukan tujuan dan arti kehidupan ini sendiri jika ia bisa. Tetapi kita menghendaki sesuatu yang lebih pasti, jauh di dalam diri kita. Bahkan orang yang skeptis pun mencari kebahagiaan, karena manusia memerlukan kebahagiaan sedangkan binatang tidak – bukan saja kebahagiaan ilmu fisika dan matematika, tetapi kebahagiaan mengenai dirinya sendiri dan mengapa ia ada di sini.

Ketiga, kita mencari hubungan dengan Allah. Bahkan apabila manusia secara sengit menyangkal keberadaan Allah, mereka masih saja mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan dalam jiwa mereka. Tetapi itulah kekosongan yang Allah, Pencipta kita tempatkan di sana – dan hanya Ia bisa mengisinya.

Manusia dicipta di dalam citra Allah. Pada awalnya, Adam dan Hawa mempunyai hubungan persaudaraan yang sempurna dengan Allah. Tetapi mereka memunggungi Allah, menempatkan diri mereka sendiri – dan bukan Allah, Pencipta mereka – di pusat kehidupan mereka. Sekarang manusia menjadi pengelana tersesat dan kesepian di bumi, terpisah dari Allah. Tidaklah cukup kalau hanya memiliki pengetahuan samar bahwa Ia ada. Manusia ingin mengetahui bahwa ia tidak sendiri di dalam semesta ini, bahwa ada Kuasa Yang Lebih Tinggi yang menuntun takdirnya. Ia mendambakan hubungan dengan Penciptanya – bahkan jika ia tidak mengakuinya.

Ucapan Bahagia: Kunci Allah terhadap Pencarian Manusia

Ya, setiap manusia yang pernah dilahirkan mendambakan kedamaian, tujuan dan Allah. Tetapi bisakah kita mendapatnya dan mengenalnya? Bisakah pencarian kita terhadap kebahagiaan sejati terpuasi? Alkitab menyatakan dengan tegas, “Ya!” Dan di dalam delapan Ucapan Bahagian ini Yesus menunjukkan jalannya.

Dalam masing-masing ucapan Bahagia – yang pernah seseorang sebut “kebahagiaan yang indah” – Yesus menggunakan kata berbahagialah. Sebenarnya kata ini sukar sekali diterjemahkan, karena dalam bahasa asli Perjanjian Baru, ialah bahasa Yunani, kata tersebut mempunyai arti yang jauh lebih kaya. Yesus menguraikan bagi kita rahasia kebahagiaan sejati di Matius 5.1-12. Kiranya sebagai umat yang percaya pada Allah, kita akan menjadikan tujuan dan sasaran hidup kita untuk menghayati dan menerapkan Ucapan Bahagian di dalam kehidupan kita untuk sesungguhnya dapat menemukan kebahagiaan yang sejati!