new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Benih yang tidak jatuh dan mati, tidak akan menghasilkan buah

Lima puluh tahun yang lalu lima orang misionaris muda dibantai oleh suku India Waodani (juga dikenali sebagai suku Auca) di pendaratan pertama mereka di pemukiman suku terpencil itu di hutan Ekuador. Mereka yang ditombak mati adalah Nate Saint, Jim Elliot, Pete Fleming, Ed McCully and Roger Youderian. Para misionaris muda ini rata-rata berumur di bawah 35 tahun pada saat nyawa mereka dihabisi dengan kejam. Pembantaian mereka menimbulkan efek yang sangat dramatis. Foto-foto yang penuh sensasi tentang pembantaian itu menghiasi majalah Life dan Time. Lima puluh tahun kemudian mungkin banyak yang tidak mengetahui peristiwa ini. Namun saya kira pasti banyak yang tertarik untuk mengetahui apakah yang menjadi buah dari pengorbanan mereka. Karena janji firman Tuhan, setiap benih yang jatuh dan mati pasti akan menghasilkan banyak buah. (Yohanes 12:24-25)

Bagi yang berminat untuk mengetahui secara rinci dapat membaca buku “End of Spear” (Ujung Tombak), buku yang baru terbit dan dikarang oleh Steven Saint, putra kepada salah satu korban, Nate Saint. Buku itu mengisahkan riwayat hidup ayahnya dan efek penebusan dari tragedi tersebut. Steve baru berusia 5 tahun saat ayahnya dibunuh.

Para peminat filem kungfu Cina atau film silat, pasti akrab dengan plot cerita yang kebanyakannya mengisahkan pembunuhan tragis sang hero yang akan mengakibatkan permusuhan yang tiada akhirnya. Demi mempertahankan kehormatan dan menuntut keadilan, keluarga korban pasti akan saling membunuh untuk membalas dendam dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Istilah pengampunan tidak pernah terlintas di benak mereka. Kalau dilihat dari sudut pandang dunia, pembunuhan para misionaris itu juga seharusnya dibalas, mungkin tidak dengan prinsip mata ganti mata, tetapi minimal, pemikiran yang muncul adalah orang-orang barbar ini sangat tidak layak untuk menerima Injil. Janganlah menyia-yiakan waktu mendatangi mereka lagi. Mereka tidak layak, tidak tahu menghargai.

Tetapi cara pandang Tuhan dan anak-anak-Nya sangatlah berbeda. Landasan utama iman Kristiani adalah pengampunan dan perdamaian. Steve menceritakan bahwa setelah ayah dan teman-temannya mati, ibunya terus mendoakan orang-orang yang telah membunuh mereka. Tidak lama setelah pembantaian kejam itu, tante Steve, Rachel Saint, bersama dengan salah satu janda korban Elisabeth Elliot menghabiskan banyak tahun tinggal bersama suku Waodani untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dimulai oleh kelima misionaris itu.

Saat diwawancara baru-baru ini Steve berkata, “Saya memiliki warisan pengampunan dari orang tua saya, dari keempat janda yang lain dan juga dari suku Waodani itu sendiri. Ia melanjutkan, “Itu tidak berarti saya tidak merasa kehilangan – rasa sakit akibat kehilangan ayah sangatlah pedih. Tetapi karena ibu saya terus mendoakan mereka, di saat saya menemui mereka, saya tidak memikirkan mereka sebagai orang yang telah membunuh ayah saya, tetapi sebagai orang yang paling spesial di dunia ini.” Liburan sekolahnya sering dihabiskan bersama tantenya melayani suku Waodani ini. Dan setelah tantenya meninggal pada tahun 1994, Steve bersama keluarganya pindah dan tinggal di antara suku Waodani selama satu setengah tahun. Mungkin hal yang paling ajaib adalah salah satu orang yang bertanggungjawab atas kematian ayahnya, Mincaye, sekarang merupakan kawan akrabnya and anak-anaknya menganggap Mincaye seperti kakek mereka sendiri. Kelima misionaris itu dibunuh oleh 6 orang, dan tiga dari mereka yang masih hidup melayani sebagai penatua di gereja.

Pada tahun 2001, mungkin ada yang masih ingat tentang sepasang suami istri, Gracia dan Martin Burnham yang disandera oleh kelompok militan di Selatan Filipina. Mereka adalah misionaris dari Amerika yang diutus oleh New Tribes Mission. Dalam operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah Filipina untuk menyelamatkan mereka, Martin terbunuh dan Gracia berhasil diselamatkan. Beberapa tahun setelah itu Steve sempat bertemu dengan Gracia dan anak-anaknya yang sekarang harus dengan tabah melanjutkan kehidupan tanpa ayah yang sangat mereka kasihi. Gracia meminta Steve untuk berbicara kepada anak-anaknya. Steve yang pernah mengalami hal yang sama memberitahu mereka, “Hidup kita akan mempunyai bab-bab yang susah, tetapi biarlah Tuhan yang menulis ceritanya, dan janganlah menghakimi sebelum kita membaca bab yang terakhir.” Kita tidak tahu apa yang akan Tuhan lakukan atau apa yang telah Tuhan rencanakan bagi kita. Lewat kematian kelima misionaris itu Tuhan dapat bekerja secara luar biasa entah di dalam hidup keluarga korban maupun di suku Waodani itu sendiri. Namun hal ini tidak akan terjadi jika keluarga korban tidak mengikuti jejak Yesus dengan mengampuni dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.. Tidak ada perdamaian tanpa pengampunan, dan pengampunanlah yang justru telah menyelamatkan mereka dari kepahitan.

Di sisi lain, mungkin akan ada orang yang berpendapat, tidakkah harga yang harus dibayar oleh kelima misionaris itu terlalu tinggi? Menurut pemikiran Steve, kelima misionaris itu tidaklah merasakan bahwa harga yang mereka bayar itu terlalu tinggi. Bagi mereka, apa yang mereka lakukan itu, yaitu menjangkau suku yang terpencil yang belum pernah mendengar Injil adalah tugas yang sangat penting, dan resikonya memang layak ditanggung, sekalipun mereka harus meresikokan nyawa mereka.

Bagaimana dengan kita?

– Hana Karuna