Hana Karuna |
Kita seringkali tidak jelas dengan motivasi hati kita. Apakah kita mengasihi karena kita mengasihi atau karena kita ingin dikasihi? Yang pertama itu murni, tapi yang kedua tidak lebih baik dari sama sekali tidak mengasihi. Saat kita mengasihi untuk mendapatkan sesuatu, orang yang kita kasihi itu sedang diperalatkan, dan saat kita bertindak benar untuk mendapatkan sesuatu dalam kehidupan spiritual kita, kebenaran kita tidaklah sesungguhnya benar. Mungkin karena ini Paulus berkata bahwa kebenarannya adalah seperti sampah. Semuanya hanya suatu tipu daya, bukannya untuk menipu orang lain tapi diri kita sendiri.
Tidak mudah untuk bebas dari ini.
Alkitab berbicara tentang berbuat baik tanpa tangan kanan kita mengetahui apa yang tangan kiri kita lakukan. Salah satu cara saya memahaminya adalah kita harus berbuat baik karena dimotivasi oleh kasih dari dalam hati kita, kasih yang terlebih dahulu mengalir masuk dari Allah dan memenuhi kita.
Saat kita merenungkan betapa Allah mengasihi kita dan bukannya betapa penyayangnya diri kita, kita cenderung mengasihi orang lain tanpa keegoisan. Namun saat kita mengasihi untuk dikasihi, kasih kita didorong suatu kebutuhan untuk dikasihi kembali. Saat kasih kita tidak dibalas, kita tidak lagi ingin mengasihi. Hal yang sama dengan kebenaran. Saat kita berpikir betapa baiknya diri kita, kita tidak lagi baik. Sebaliknya, saat kita renungkan betapa baiknya Allah, dan betapa kita dikasihi oleh Dia, maka kita akan hidup di dalam kebenaran itu. Memang tidak mudah untuk membedakan keduanya, tapi yang satunya akan mengikat kita dan satunya akan memerdekakan.
Kita hidup dan mengasihi tanpa mengharapkan apa-apa karena kita hidup di dalam keyakinan bahwa Allah mengasihi kita. Kita mengasihi orang lain demi Allah dan bukan demi diri kita sendiri.