Philip Yancey |
Sebagai seorang Kristen, saya merasa diri saya sangat kurang dalam hal berdoa. Dan saya menemukan bahwa saya tidak sendirian dalam hal ini. Sangat ironis bahwa seorang Kristen mempunyai penghargaan yang begitu besar untuk berkomunikasi dengan Allah semesta alam, namun kita bergumul untuk berkomunikasi dengan-Nya.
Saya mulai bertanya mengapa ada doa yang dijawab dan ada yang tidak? Mengapa ada kalanya kita berhadapan dengan tembok bisu Allah. Apakah ada bedanya jika satu orang atau sepuluh juta orang yang berdoa untuk kesembuhan seseorang? Apakah doa mengubah Allah atau mengubah kita? Mengapa menyampaikan sesuatu kepada Allah padahal Dia sudah mengetahuinya? Jadi pada intinya, pertanyaan saya adalah apakah ada bedanya jika kita berdoa atau tidak?
Thomas Merton pernah berkata bahwa dalam hal berdoa kita semua adalah pemula (beginners). Dan hal ini sedikit menghibur saya.
Sebagai anak kecil, doa saya sangat tradisional seperti kita semua. Kita mau Allah menuntaskan permasalahan kita, apakah untuk mencarikan barang-barang kita yang hilang ataupun menyembuhkan anjing kita yang sakit. Saya yakin Allah menjawab doa-doa saya pada waktu itu, sekalipun tidak semua. Bahkan di saat itu, saya sudah mulai bertanya, mengapa tidak semua doa terjawab? Bagaimana memahami misteri doa?
Bagi saya, doa beralih dari pendekatan di mana kita bertransaksi dengan Allah kepada meluangkan waktu bersama Allah. Sejalan dengan pertumbuhan saya, saya merasakan tembok pemisah di antara doa dan kehidupan seharian saya semakin kurang kentara. Saya melihat doa sebagai perenungan sepanjang hari bersama Allah, yang selalu ada dan merindukan perhatian kita. Di pihak kita, kita perlu menyetel frekuensi kita agar kita berada di gelombang yang sama dengan Allah, dan ini sudah tentu membutuhkan perhatian dan displin.
Dengan berjalannya waktu, saya menjadi lebih santai tentang doa. Ada yang bertanya apakah saya sedang melakukannya dengan benar. Menurut saya, seperti yang saya tuliskan dalam buku saya (Doa: Apakah ada dampaknya?), selagi Anda berdoa, Anda melakukan dengan benar. Dalam penelitian saya, saya menemukan berbagai macam pendekatan dan gaya doa, yang sesuai dengan pelbagai watak dan kepribadian orang.
Masalahnya adalah kita menjalani hidup yang penuh dengan kebisingan: email, faks, televisi, radio, internet. Untuk mendengarkan Allah kita perlu berhenti dari semua kegiatan dan memberikan perhatian kepada Allah. Untuk bisa melakukan ini sepanjang hari, saya membutuhkan keahlian yang tinggi, yang menuntut saya untuk berlatih seumur hidup saya.
Bagi saya alam sangat membantu. Alam memenuhi saya dengan kemuliaan dan pujian. Alam merupakan satu petunjuk yang mengarahkan saya kepada Allah. Melihat terumbu karang yang unik dan bunga-bunga liar di hutan memberitahu saya seperti apa Allah itu dan ciptaan-Nya menimbulkan rasa syukur yang luar biasa di dalam hati saya. Karena hati saya dipenuhi rasa syukur, saya mencari-cari kepada siapa saya harus berterima kasih.
“Diamlah dan ketahuilah bahwa Aku Tuhan,” kata salah satu pemazmur. Doa merendahkan saya karena ia mengingatkan saya bahwa saya bukan pusat bagi alam semesta ini, dan di saat yang bersamaan, hal berdoa, meninggikan saya karena saya diberi jaminan bahwa Allah peduli bahkan pada hal yang paling sepele dalam hidup saya.
Namun seringkali saya tidak menemukan jawaban dan harus mengandalkan iman dalam hal berdoa. Saya tidak akan pernah dapat menuntaskan misteri doa. Begitu banyak pertanyaan. Mengapa Allah tidak campur tangan di Auschwitz, dan karena Ia tidak campur tangan dalam hal yang sepenting itu, bagaimana saya mengharapkan Allah campur tangan dengan hal-hal dalam kehidupan saya, yang jika dibandingkan dengan Auschwitz begitu sepele? Saya kira tidak ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Pada intinya, doa adalah satu deklarasi atau pernyataan kepercayaan. Yesus memberikan kita model di Getsemani. Doanya dimulai dengan, “Biarlah cawan ini berlalu daripada-Ku,” kepada “Bukan kehendak-Ku, tapi kehendak-Mu yang jadi.” Sendirian, teman-temannya sedang tidur, dikeliling oleh para musuh-Nya, Dia juga merasakan perasaan terasing dan keputus-asaan yang ada kalanya juga kita rasakan saat kita berdoa.
Kehidupan doa saya juga ada jatuh bangunnya. Ada periode di mana berdoa itu kelihatannya sia-sia bagi saya, seperti satu kegiatan mengomel sendirian di dalam kegelapan dan kata-kata itu seolah-olah dipantul kembali kepada kita tanpa ada yang mendengarnya. Hal ini berlanjut sampai satu tahun. Pada waktu itu, saya berpaling kepada doa-doa orang lain, yang dari Alkitab maupun yang dari penulis-penulis besar yang lain. Saya meminta Allah menjadikan doa-doa mereka itu doa saya sendiri. Saya bersandar pada iman mereka di saat saya tidak memiliki iman saya sendiri. Lalu suatu hari, awan itu terangkat dan saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya merupakan masalah saya.
Hal berdoa dapat saya samakan dengan kegiatan menulis saya. Saya tidak pernah duduk dan menanti datangnya inspirasi, jika saya melakukan itu, tidak akan ada buku yang tertulis. Saya bekerja keras setiap hari, menuliskan kata-kata di kertas sekalipun kata-kata itu sepertinya lemah dan tidak mantap. Namun saya terus melakukannya dan akhirnya akan ada hasil yang muncul.
Jika saya ditanya apakah hal yang paling sulit tentang hal berdoa? Bagi saya adalah bagaimana mendamaikan keengganan Allah untuk campur tangan dalam hal-hal besar seperti Auschwitz dan penghimbauan dari Alkitab yang meminta kita untuk mendoakan hal-hal yang kecil. Saya tidak dapat mendamaikan kedua hal tersebut.
Menurut saya, salah satu kekeliruan yang paling besar orang Kristen adalah menganggap persoalan doa sebagai satu transaksi dengan Allah, dan bukannya satu persoalan persahabatan. Hal berdoa bukan soal rumus atau prosedur. Doa itu bukan suatu displin tapi satu penghargaan. Saya menemukan banyak buku-buku yang bagus tentang doa dan kebanyakan buku-buku ini merupakan tulisan dari para penulis Katolik.
Menurut pengalaman banyak orang, jawaban-jawaban doa yang paling spektakuler selalunya didoakan oleh orang yang imannya baru bertumbuh. Seolah-olah ada satu prinsip kebalikan: semakin dewasa orang itu secara rohani, semakin banyak ujian yang datang, dan semakin kurang doanya akan dijawab sesuai dengan keinginannya.
Bagi saya sekarang, apa saja dapat diubah menjadi doa. Saat saya mengalami sesuatu yang indah ketika mendengar musik atau menikmati alam, saya mengubah itu menjadi suatu doa dan ucapan syukur. Saat saya bertemu dengan orang yang menguji kesabaran saya, saya mengubah itu menjadi doa untuk memohon bantuan. Hal-hal ini membantu saya untuk menerapkan doa di dalam setiap bagian kehidupan saya, tidak hanya di waktu khusus berdoa.
(Artikel ditulis berdasarkan wawancara Philip Yancey mengenai bukunya, Prayer: Does it Make Any Difference?)