Philip Yancey |
Memandang ke Sekeliling
Saya terbiasa datang ke gereja dengan semangat konsumen. Saya memandang pujian seperti sebuah pertunjukan. Berikan saya sesuatu yang saya suka. Hiburlah saya.
Soren Kierkegaard berkata bahwa kita cenderung berpikir bahwa gereja itu seperti sebuah teater: kita duduk sebagai penonton, dengan penuh perhatian menonton sang aktor yang berada di atas panggung yang berusaha menarik setiap pasang mata untuk melihatnya. Kalau memuaskan, kita berterima kasih dengan bertepuk tangan atau memberikan sorakan. Namun, sebenarnya gereja harus menjadi yang sebaliknya dari teater. Di dalam gereja Tuhanlah yang menjadi penonton dan bukannya kita.
Pada akhir dari puji-pujian, pertanyaan yang seharusnya dikemukakan bukanlah, “Apa yang saya dapatkan dari semua ini?” tetapi “Apakah Tuhan puas dengan apa yang sudah terjadi?” Sekarang, sewaktu kebaktian penyembahan, saya mencoba untuk mengarahkan pandangan saya kepada Tuhan, dan bukannya pada apa yang saya lihat di atas podium.
Perubahan semacam ini menolong saya untuk menghadapi kekurangan-kekurangan yang saya temui di dalam berbagai macam gereja. Beberapa gereja melibatkan orang awam untuk terlibat di dalam penyembahan. Mereka mengarang lagu atau puisi, memainkan drama singkat, bernyanyi dalam trio dan mengekspresikan diri mereka dengan tari-tarian. Saya mengakui bahwa dengan penilaian standar estetika yang obyektif, dan bahkan dengan standard “cara menyembah” yang subyektif, banyak dari cara-cara yang semacam ini tidak mempertinggi nilai penyembahan saya.
Saya mencoba belajar dari C.S Lewis, yang menulis tentang gerejanya sebagai berikut:
Saya sangat tidak menyukai himne-himne dengan nada-nadanya yang membosankan. Tetapi ketika saya sadar bahwa himne-himne tersebut bagaimanapun juga dinyanyikan dengan penuh kesetiaan oleh seorang tua yang saleh yang mengenakan sepatu bot dan duduk di seberang bangku gereja dan kemudian Anda sadar bahwa sebenarnya, membersihkan sepatu botnya pun Anda tidak layak. Dan hal ini akan menghilangkan kesombongan saya yang tersembunyi.
Pada prinsipnya, gereja berdiri untuk kita memuji Tuhan, bukannya untuk menyediakan hiburan atau memberi semangat kepada orang-orang yang terluka atau membangun kepercayaan diri atau memberi fasilitas dalam menjalin persahabatan; kalau kita gagal dalam hal memuji Tuhan, berarti kita gagal secara keseluruhan.
Di dalam gereja, saya dapat melihat ke podium sebagai penonton, atau saya juga bisa melihat ke atas, kepada Tuhan. Allah pernah berkata kepada bangsa Israel, “Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu dan kambing jantan dari kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung.” Karena banyak memperhatikan hal-hal di luar penyembahan, akibatnya mereka sudah kehilangan tujuan keseluruhan.
Allah hanya tertarik dengan korban persembahan hati, sikap penundukan diri, dan pengucapan syukur. Sekarang, sewaktu saya menghadiri gereja, saya mencoba untuk memfokuskan diri pada keadaan rohani yang ada di dalam diri saya sendiri daripada hanya duduk di bangku gereja, seperti yang terjadi di dalam sebuah teater dan membuat penilaian-penilaian estika.
(Dikutip dan diedit seperlunya dari buku Gereja: Mengapa dirisaukan?)