Mark Ellis
Satu demi satu anggota keluarganya di Korea Utara berguguran, baik oleh kelaparan maupun oleh kebrutalan penguasa. Dalam pengembaraan mereka mencari kebebasan, mereka mendapatkan ‘pemenuhan’ pada tingkat yang tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
“Kami bertumbuh sebagai ateis,” kata Jin Hye Jo, 24, dia sekarang tinggal di Virginia bagian utara bersama saudara perempuannya, Eun, dan ibunya, Han. Mereka adalah yang tersisa dari sebuah keluarga berjumlah delapan orang. Neneknya meninggal akibat kelaparan di depan matanya, dan keinginan terakhir dari si nenek adalah makan sebutir kentang kukus.
Pada tahun 1990-an, kemarau yang berkepanjangan dan runtuhnya Uni Soviet membuat keluarga ini tak lagi bisa menerima jatah ransum dari pemerintah. Mereka terpaksa mencari bahan makanan kemana-mana. Batang pohon pinus dan rumput dipakai untuk memasak tongkol jagung yang mereka giling menjadi bahan kue. Mereka memburu segala sesuatu yang bergerak atau merayap di atas tanah untuk dimakan.
Pada tahun 1997, ayah dan ibu Jin Hye, yakni Jo dan Han, sudah tidak tahan lagi. Mereka memutuskan untuk menempuh resiko menyeberangi perbatasan menuju China untuk mendapatkan makanan. Mereka merencanakan untuk mengontak seorang keponakan di sana, lalu kembali dengan apapun yang bisa mereka bawa.
Setelah berhasil menyeberangi perbatasan, orang tua Jin Hye terkejut mendapati bahwa bahan pangan tersedia cukup banyak di China. Mereka kembali setelah satu minggu, dengan beberapa karung berisi beras. Orang tua Jin Hye melakukan dua kali perjalanan lagi ke China, namun malangnya, informan lingkungan telah melaporkan aksi sembunyi-sembunyi ini kepada pihak yang berwajib.
Ayah dan ibu ditangkap dan dianiaya
Ayah Jin Hye, Jo, segera ditangkap dan pihak keluarga tidak pernah bisa melihatnya lagi. Hari berikutnya, para petugas datang menjemput ibunya. Di kantor polisi, mereka memaksa ibu Jin Hye untuk berlutut di hadapan mereka, lalu mereka menendangi serta memukulinya dengan tongkat kayu. Pukulan-pukulan yang dialaminya membuat tulang kepala ibu Jin Hye retak di empat tempat.
Mereka lalu menyuruhnya untuk menaruh kedua tanannya di atas lantai semen, kemudian para petugas menginjak-injak kedua tangannya dengan sepatu boot mereka. Tanpa alasan yang jelas, mereka membebaskannya. Han menduga bahwa ‘kemurahan’ mereka mungkin disebabkan oleh karena mereka tahu dia sedang hamil.
Jin Hye kemudian mengetahui bahwa Ayahnya meninggal di dalam kereta tahanan setelah dipaksa untuk berdiri dengan tangan terikat di atas kepala selama 10 hari tanpa diberi makan dan minum. “Penguasa tidak mampu memberi makan rakyatnya, dan juga para tahanan,” ungkap Jin Hye penuh kesedihan.
Sekembalinya sang ibu dari tahanan polisi, dia melihat bahwa polisi telah menyita beras yang mereka bawa dari China. Kakak perempuan Jin Hye yang berusia 18 tahun memutuskan untuk pergi ke China mencari makanan buat keluarga. Mereka tak pernah melihatnya kembali, diyakini bahwa dia sudah jatuh ke tangan komplotan penjual budak.
Beberapa bulan kemudian, Han melahirkan seorang bayi laki-laki. Walaupun resikonya tinggi, Han memutuskan untuk pergi ke China mencari makanan. Dia juga akan berusaha untuk melacak anak perempuannya yang hilang. “Saat ibu saya pergi ke China, bayi itu meninggal di pelukan saya karena kelaparan,” kata Jin Hye. “Bayi itu menunggu kembalinya sang ibu untuk menyusui dia, namun dia tidak sanggup menunggu.”
Anggota keluarga berguguran
Dua bulan kemudian, Han kembali membawa makanan, namun dia mendapati bahwa bayinya dan juga ibunya yang berusia 76 tahun meninggal akibat kelaparan. Dalam waktu kurang dari setahun, jumlah anggota keluarga sudah berkurang separuh.
Sudah merupakan kebijakan dari pemerintah Korea Utara untuk menghukum seluruh anggota keluarga dari pelanggar hukum. Keluarga Jin Hye tidak terkejut ketika para petugas muncul pada suatu malam di tahun 1998, dan menyuruh mereka untuk pergi dari rumah atau pihak yang berwenang akan membakar rumah tersebut.
Beberapa hari kemudian, dalam keadaan tuna wisma, tiada tempat tinggal, Han mengumpulkan ketiga anaknya yang selamat – Jin Hye, saat itu 11 tahun, Eun, 7 tahun dan BoKum, 5 tahun – dan memulai perjalanan 100 Km dengan berjalan kaki ke perbatasan China.
“Karena kami tidak punya sepatu, kaki kami segera saja terluka dan bernanah, dan kami juga dilemahkan oleh kondisi kelaparan. Ibu kami masih menderita akibat siksaan di tahanan dan tidak mampu merawat kami bertiga,” kenang Jin Hye.
Mereka berhenti di sebuah desa untuk bermalam di rumah seorang teman, seorang janda yang dipercayai oleh keluarga Jin Hye. Karena masih ada dua gunung yang harus diseberangi, dan juga Sungai Tumen, mereka putuskan untuk menitipkan BoKum yang berusia 5 tahun kepada teman tersebut. Han berjanji akan membawakan beras buat si janda sebagai imbalan untuk menjaga BoKum.
“Mengapa kakakku ikut sedang aku tidak?” BoKum menangis keesokan pagi, dia mulai merengek dan berpegangan pada kain celana kakaknya. Mereka berjanji untuk kembali dalam lima hari. Untuk menenangkan BoKum, mereka memberinya kue tongkol jagung dan menjanjikan untuk memberinya permen serta biskuit lainnya saat kembali nanti.
Namun mereka terkena hambatan di China dan tidak bisa kembali tepat waktu. Sungai Tumen sedang banjir akibat hujan, mustahil bagi mereka untuk menyeberang karena mereka tidak bisa berenang. Selama menunggu air sungai surut, mereka bersembunyi di ladang-ladang dan mencuri labu dan jagung untuk bertahan hidup.
Sementara itu, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan teman yang merawat BoKum. Janda itu tidak mampu lagi memberi makan BoKum karena dia sendiri juga kelaparan, jadi dia mengusir BoKum dan menyuruhnya untuk mencari makan sendiri..
BoKum meninggal di padang rumput dengan tangisan, “Ibu, kapan engkau kembali?” Baru belakangan mereka tahu akan hal itu. Saat Han tahu bahwa anak laki-lakinya meninggal, dia merasa hatinya seperti dicabik-cabik.
“Sampai sekarang, saya masih menyesal tidak membawa dia serta saat itu, saya merindukannya setiap waktu,” kata Jin Hye.
Han dan kedua anak perempuannya memutuskan untuk tetap tinggal di China, hanya itu harapan buat mereka. Selama tahun-tahun pertama di China, mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
Menjalani kehidupan bawah tanah di China
Suatu hari, Jin Hye sedang berjalan menuruni bukit dan dia mendengar alunan musik yang terasa asing dari sebuah gubuk. Ternyata itu adalah sebuah lagu rohani Kristen, hal yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Lagu tersebut adalah ‘Father I Stretch My Hands to Thee (Bapa kuulurkan tanganku kepadaMu)’, karya Charles Wesley dan W. Shield yang dinyanyikan dengan memakai nada lagu ‘Aud Lang Syne’.
Terpesona oleh bait dan musiknya, dia berdiri diam beberapa saat. “Saat saya asyik mendengarkannya, seorang nenek tua keluar dari gubuk dan berkata pada saya, ‘Ini adalah tempat bagi orang yang letih dan lesu, kamu bisa mendapat tuntunan rohani dan kesembuhan di sini.'”
“Saya mulai berkenalan dengan para misionaris dan mulai menghadiri sebuah Sekolah Alkitab bawah tanah,” kata Jin Hye. Saat Jin Hye tenggelam dalam Firman Allah, menghapalkan ayat-ayat Alkitab. Firman dan Roh menentramkan hatinya.
Tak lama kemudian, Jin Hye menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (Lord and Savior). “Saya didoakan oleh jemaat yang lain, dan saya merasakan Roh Kudus datang kepada saya, dan saya tahu bahwa saya adalah anak Allah.”
Akan tetapi, indoktrinasi ateistis terhadap Han membuatnya menolak iman yang baru ditemukan oleh anak perempuannya itu. “Kalau kamu menjadi Kristen, kamu bukan anakku lagi,” kata Han kepada anaknya.
Tidak ada yang mustahil
Jin Hye mulai berdoa kepada Allah untuk melembutkan hati ibunya. Suatu malam, Yesus datang kepada Han dalam sebuah mimpi, “Kalau kamu percaya kepadaku, maka aku akan mengaruniakan sesuatu kepadamu,” kata Sang Juruselamat kepadanya.
Sikap Han berubah secara dramatis setelah perjumpaannya dengan Yesus dan dia mulai datang sendiri ke gereja, dan belakangan membangun iman yang kokoh di dalam Kristus. Saudara perempuan Jin Hye, Eun, kemudian ikut mengenal Yesus sebagai Juruselamatnya..
Han dan anak-anaknya bersembunyi di China selama 10 tahun. Mulanya mereka tinggal bersama sanak keluarga, dan kemudian bersama teman-teman yang lain. Mereka juga mendapat pertolongan dari para misionaris Korea.
Mereka tertangkap oleh pihak yang berwajib di China lalu dikirim pulang ke Korea Utara sampai beberapa kali. Pemerintah Korea Utara menaruh mereka di tempat penampungan yatim piatu atau di kamp-kamp pendidikan ulang. Namun mereka selalu berhasil melarikan diri atau menyogok untuk kembali ke China.
Pada akhirnya, Han dan kedua anak perempuannya mendatangi Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Beijing dan memohon agar diijinkan untuk tinggal di Amerika. Setelah menunggu selama 16 bulan, permohonan mereka dikabulkan dan mereka sampai di Amerika di tahun 2008. Mereka diterima sebagai pengungsi dan menjadi penduduk tetap negara AS.
Sekarang, Han bekerja merawat orang-orang tua dengan giliran malam di panti jompo milik pemerintah Amerika. Kedua anak perempuannya juga bekerja di kantor panti jompo tersebut dan masuk sekolah malam.
Jin Hye berniat untuk belajar teologi dan menjadi misionaris untuk rakyat Korea Utara suatu hari nanti. “Jika kedua Korea bisa bersatu, saya ingin kembali ke Korea Utara dan memberitakan Firman Allah kepada rakyat Korea.”