new-header-kesaksian

 

Pendeta James Ho

Saya menonton sebuah acara televisi beberapa waktu yang lalu. Acaranya adalah sebuah film horor. Dalam sebuah adegan, ketika ada dua orang masuk ke dalam sebuah ruangan, sesuatu yang mengerikan membuat mereka tercekam. Salah satu dari kedua orang itu seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun temannya segera menutupi mulut orang ini dengan tangannya dan memperingatkan, “Diam saja!” Adegan ini mengingatkan saya akan sebuah film yang belum lama ini beredar, dibintangi oleh Michael Douglas. Judul film itu adalah ‘Don’t Say a Word (Jangan berkata sepatahpun)!’

Entah bagaimana, kalimat tersebut terus terngiang di benak saya. Dalam keadaan bagaimanakah kita harus tunduk pada perintah atau saran seperti itu? Saya telah menyaksikan film ‘Don’t Say a Word’, namun saya tidak tahu mengapa produsernya memilih judul semacam itu. Namun saya sepakat bahwa memang ada keadaan di mana kita lebih baik tidak berkata apa-apa daripada bereaksi dengan kata-kata yang tidak layak.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu, saat kita mengadakan Pendalaman Alkitab membahas Kitab Yakobus. Pasal 3 berfokus pada penggunaan lidah. Saat itu kami terlibat dalam suatu diskusi yang menarik. Dalam kesempatan itu, kami menanyakan para peserta mengenai isi pembicaraan yang paling banyak mereka bicarakan sehari-hari. Mayoritas peserta PA memberikan jawaban yang sama, dan mengagetkan: gosip, keluhan dan kecaman tanpa dasar. Jarang kita menyadari bahwa kita begitu gemar membuat penilaian di dalam percakapan sehari-hari kita sehingga kita menyalahgunakan idah kita sekedar untuk mengungkapkan sikap kritis kita terhadap orang lain dalam bentuk gosip dan keluhan.

Yakobus 3:6 mengatakan, “Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka..” Saya lalu menyarankan para peserta PA agar lebih memilih untuk diam saja daripada menyalahgunakan lidah untuk tujuan yang jahat. Kemudian, salah satu peserta PA menanggapi dengan berkata bahwa kalau dia harus menahan dirinya dari pembicaraan gosip dan keluhan, maka dia akan kehilangan bahan pembicaraan dan tidak tahu harus berbicara tentang apa lagi.

Kami semua tertawa mendengar tanggapan ini. Namun bukankah hal tersebut terjadi pada kebanyakan dari kita? Bayangkan apa yang akan terjadi jika seluruh dunia diwajibkan untuk menetapkan satu hari tertentu untuk tidak berbicara. Tak ada kata yang terucap; pasti tidak akan ada gerutuan dan gosip. Mungkin bisa menjadikan dunia ini lebih baik sebagai tempat tinggal, paling tidak selama satu hari. Saya sendiri lebih suka menjadi orang yang sedikit berbicara dari pada menjadi orang yang fasih berbicara namun hanya berisi omong kosong dan keluhan. Tanpa dicemari kata-kata yang sia-sia, mungkin kita bisa mendengar dan menyelaraskan diri dengan suara Allah.

Kita tahu bahwa hidup ini penuh dengan lonjakan naik dan turun. Dan pada saat kita jatuh, seringkali merupakan saat di mana jati diri kita terungkap. Itu juga merupakan saat di mana kita bisa mengetahui jati diri atau siapa sebenarnya diri kita, seberapa dalam atau dangkal iman kita kepada Allah. Sebagai contoh, saat kita berada dalam keadaan krisis, saat keadaan sedang tidak menguntungkan atau ketika kita menghadapi berita buruk, bagaimana kita akan bereaksi terhadap saat-saat seperti itu? Kecenderungannya adalah: kita akan mengeluh dan menggerutu. Kadang kala, kita bahkan memberontak dan menjerit: “Mengapa harus saya?”

Di dalam Alkitab, yakni di 1 Korintus 10, rasul Paulus menunjukkan kegagalan-kegagalan bangsa Israel sebagai umat Allah. Salah satu dari sekian banyak kegagalan adalah bahwa umat Israel sering menggerutu dan mengeluh setiap kali menghadapi situasi krisis. Sebagai contoh, di dalam Keluaran pasal 14, ketika Musa memimpin umat Israel menuju Laut Merah, dan mereka sedang dikejar oleh Firaun beserta pasukannya. Umat Israel menggerutu kepada Musa.

Umat Israel mendapati diri mereka berada dalam situasi yang tak teratasi: di hadapan mereka, membentang Laut Merah, dan di belakang mereka, bala tentara Mesir sedang melaju mengejar mereka. Mereka kehilangan iman mereka kepada Allah dan kepada hambaNya, Musa. Demikianlah, reaksi awal mereka adalah menggerutu. Namun coba lihat bagaimana sikap hamba Allah, Musa, dalam bereaksi terhadap keadaan ini. Di dalam Keluaran 14:14, Musa menegaskan, “TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.” Dengan kata lain, “Diam saja!”

Secara alami, saat situasi di luar kendali kita, kita cenderung panik dan kebanyakan dari kita akan mengucapkan kekecewaan, kata-kata keluhan. Hal ini hanya menunjukkan kurangnya iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang mengendalikan segala sesuatu di bawah kontrolNya. Situasi krisis hanya mengingatkan kita akan realitas dari kelemahan dan ketergantungan penuh kita kepada Allah. Kita harus belajar untuk tetap diam dan biarkan Allah yang menangani keadaan. Jangan berkata sepatah pun, karena kebanyakan dari reaksi awal kita muncul dari semangat menggerutu dan mengeluh. Dan lagi, di dalam Mazmur 46:10, di situ tertulis, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!” Dengan kata lain, ayat ini bermakna ‘Diamlah!’ Atau ‘Jangan berkata sepatah pun!’ Dan biarkan Allah menyatakan diriNya.

Pada tahun 1988, ketika saya melamar untuk melayani Tuhan full time, istri saya keberatan dengan lamaran yang saya ajukan itu. Sebelum menjalani wawancara, kami pergi berlibur ke Amerika. Suatu perjalanan wisata yang penuh kenangan, penuh dengan pengalaman ajaib dari Allah. Saat kami dalam penerbangan pulang ke Toronto, saya menanyakan istri saya, Kathleen apakah dia sudah berubah pikiran mengenai rencana saya untuk masuk pelatihan pelayanan full time. Dia menjawab bahwa hal itu mungkin baik buat saya tetapi jelas tidak baik buat dia. Saya tanyakan kepadanya, hal apa yang bisa mengubah pendiriannya. Dia menjawab bahwa jika tidak terjadi mujizat yang luar biasa pada dirinya, dia tidak akan mau memasuki kehidupan yang diabdikan kepada Tuhan secara full time. Saya katakan kepadanya bahwa saya akan berdoa agar mujizat yang luar biasa itu terjadi.

Segera setelah kembali ke Toronto, saya berangkat untuk menjalani wawancara dengan Pendeta Eric Chang. Setelah menjawab beberapa pertanyaan yang penuh selidik, akhirnya lamaran saya diterima oleh Pendeta Chang. Pada saat itu, perasaan saya campur aduk. Di satu sisi, saya merasa sangat bahagia karena diterima untuk mengemban tanggungjawab istimewa yakni melayani Tuhan. Di sisi lain, saya dicekam oleh beban perasaan yang sangat berat karena mungkin harus menghadapi kenyataan berpisah dengan Kathleen. Saat saya pulang ke rumah dan menyampaikan kabar ini kepada Kathleen, dia marah besar.

Perlu anda ketahui bahwa setiap tahun gereja kami mengadakan perkemahan musim panas. Pada tahun tersebut, tema perkemahan berfokus pada Lukas 18:8, ‘.. jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?’ Setan ingin mencegah keikutsertaan Kathleen dalam perkemahan. Namun banyak saudara seiman di gereja yang mendoakan dengan sungguh-sungguh agar dia bisa ikut serta. Saya belajar untuk tidak membujuk dia untuk ikut melainkan berusaha untuk hidup dengan iman kepada Allah. Akhirnya, dia ikut serta dalam perkemahan. Lalu saya mendoakan hal yang lain, kali ini agar tiga orang tertentu mendapat kesempatan untuk berbicara secara khusus dengan Kathleen. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah istri Pendeta Eric Chang, yakni Helen. Selama masa perkemahan, saya mendapat beberapa kesempatan untuk duduk berhadapan dengan Helen. Saya sangat tergoda untuk memohon dia agar mau berbicara dengan Kathleen. Namun, saya kembali belajar untuk hidup dalam iman dan ‘Diam saja’. Saya merasa jika saya sampai meminta Helen untuk berbicara dengan Kathleen, berarti saya belum benar-benar menjalankan iman saya.

Sungguh merupakan suatu pergumulan yang sangat berat untuk bisa tetap diam di saat saya mendapat kesempatan untuk memohon pertolongan pada ketiga orang itu. Namun saya tidak mengucapkan apa-apa. Saya menjalankan prinsip ‘Diam saja.” Saya serahkan perkara ini kepada Tuhan karena saya tahu bahwa Dia memegang kendali sepenuhnya. Dan memang benar, Tuhan menjawab doa saya dan mujizat luar biasa itu memang terjadi. Kathleen mengalami kasih Tuhan yang begitu mendalam. Ketiga orang itu juga turut ambil peranan di dalam memulihkan imannya kepada Tuhan. Sampai dengan hari ini, saya dan Kathleen sudah melayani Tuhan bersama-sama selama lebih dari 12 tahun. Prinsip rohani di balik ungkapan ‘Diam saja’ adalah bergantung sepenuhnya dalam iman kepada Allah.

Apakah menjalankan prinsip ‘Diam saja’ ini berarti ‘Tidak melakukan apa-apa’? Yang jelas, kuncinya adalah tidak mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat saat menghadapi keadaan yang tak terkendali. Namun bukan berarti bahwa kita tidak melakukan apa-apa. Pokok utamanya adalah bahwa kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan persoalan yang membuat kita kuatir. Kita melakukan hal ini dengan berdoa dan memelihara iman. Kita harus belajar untuk mencurahkan kekuatiran kita kepada Tuhan (Filipi 4:6) dan tidak usah kuatir akan apa yang akan terjadi. Dari pada berpandangan ke dalam dan menyeret diri kita ke dalam kekuatiran dan penderitaan yang makin berat, yang akhirnya menyebabkan kita menggerutu dan mengeluh, lebih baik kita berpandangan keluar dan bertindak memenuhi kebutuhan orang lain.

Beberapa minggu yang lalu, saya menghadiri ibadah pemakaman. Anak laki-laki dan perempuan dari almarhum berangkat langsung dari Hong Kong untuk menghadiri pemakaman. Mungkin mereka terlalu terburu-buru berangkat sehingga tidak mengantisipasi perbedaan musim. Anak perempuan dari almarhum tidak membawa baju musim dingin. Setelah ibadah di rumah duka, kami berangkat menuju pekuburan untuk menyaksikan pemakaman. Udara cerah namun tetap dingin. Suhu udara sekitar 16 derajat Celsius. Namun anak perempuan almarhum hanya mengenakan kemeja hitam berlengan pendek. Dia naik pesawat penerbangan malam dan tiba pagi hari untuk langsung menghadiri upacara pemakaman. Dalam keadaannya, dia bisa dengan mudah jatuh sakit. Lalu saya tawarkan jas luar saya, dan akhirnya saya hanya mengandalkan kemeja berikut dasi untuk menghadapi cuaca dingin.

Malam itu, kami menghadiri jamuan makan malam di rumah almarhum. Akan tetapi kami masih ada jadwal ibadah PA yang harus kami hadiri. Jadi, setelah makan malam, saya meninggalkan mereka sekalipun anak perempuan dari almarhum masih mengenakan jas luar saya. Di Australia, suhu pada sore dan malam hari bisa berbeda cukup jauh. Saat kami meninggalkan restoran, suhu di luar sekitar 12 derajat Celsius. Kathleen melihat bahwa saya tidak mengenakan jas luar dan dia kuatir akan hal itu. Namun saya segera berbisik, “Diam saja!” Jadi, kami melangkah keluar dari restoran tanpa menoleh ke belakang lagi.

Saat kami tiba di gereja untuk mengikuti PA, cuaca sangat dingin. Semua orang mengenakan pakaian musim dingin mereka, namun masih ada juga yang menggigil kedinginan. Saat saya muncul hanya dengan kemeja dan dasi, mereka terheran-heran. Namun salah satu saudari dalam kelompok PA segera mendatangi saya dan berkata bahwa dia punya jas luar ekstra di mobilnya. Lalu dia bergegas keluar dan memberikan jas luar tersebut kepada saya. Saya sangat terharu pada kasih Allah. Dia mengendalikan segala sesuatu dan Dia tahu kebutuhan kita sekalipun kita tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia akan menyediakan seiring dengan perbuatan kita menyediakan kepada orang lain.

Jika kita terapkan prinsip ‘Diam saja’, maka kita berpeluang untuk mengurangi konflik dengan orang lain. Kita mungkin bisa menjadi lebih selaras dengan Allah. Dan, secara khusus bagi mereka yang sedang dalam krisis, ‘Jangan berkata sepatah pun’, diam saja, dan landaskan iman anda kepada Allah. Biar Allah yang mengendalikan dan anda akan mengalami pembebasanNya yang ajaib. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” Dan yang terakhir, jika kita memang harus mengucapkan sesuatu, hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” (Kolose 4:6)