Noriko Iguchi |
Di awal Agustus 1997, saya diberitahu bahwa kakak lelaki saya berada dalam kondisi kritis dan saya harus pulang ke Jepang secepatnya, lalu saya berangkat dari Filipina (tempat saya belajar). Ini adalah perjalanan darurat saya yang kedua dalam empat bulan karena kondisi penyakitnya.
Untuk bisa berangkat pulang, saya harus menelantarkan kuliah saya di sebuah sekolah tinggi dan juga pelatihan yang sedang saya jalani di sebuah gereja di Manila. Dalam perjalanan ke Jepang dengan pesawat terbang saya menguatkan hati untuk berkonsentrasi dalam melayani kakak saya yang bukan orang Kristen dan ibu saya yang merawat dia.
Saat saya sampai di Jepang, kakak saya yang berusia 35 tahun, Atusushi, berada dalam kondisi di mana dia bolak-balik pingsan. Dia dilahirkan dalam kondisi lemah dan sistem kekebalan tubuhnya juga lemah. Oleh karenanya, tubuhnya tidak mampu menahan penyakit yang menyerangnya. Akibatnya, dia menderita epilepsi, meningitis dan berbagai penyakit lainnya. Sekarang dia terkena sirosis hati. Dia menjalani hidup dalam kungkungan penyakit sejak usia 5 tahun.
Hubungan antara saya dengan kakak saya tidak begitu baik selama bertahun-tahun. Sejak masa remaja saya, saya memandang dia sebagai orang yang egois. Saya tahu bahwa dia memiliki masalah fisik dan mental, namun saya tidak bisa menerima wataknya yang egois. Sekalipun kami tinggal di rumah yang sama, tidak banyak komunikasi terjadi di antara kami. Akan tetapi, Tuhan menunjukkankepada saya akan sisi baik karakter kakak saya yang tersembunyi dan membimbing saya untuk bertobat dari sikap saya yang keliru terhadapnya dua tahun yang lalu, ketika saya sedang jauh dari rumah, belajar di Filipina. Saya meminta maaf kepadanya saat saya pulang sebelum ini. Dan kali ini, Tuhan memberi saya pelajaran yang sangat penting mengenai hal ‘mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri’, di dalam berurusan dengan saudara saya.
Beberapa minggu setelah kepulangan saya ke Jepang, kondisi kakak saya membaik sehingga dia memiliki cukup tenaga untuk bercakap-cakap. Pada awalnya, komunikasi antara kami terlihat mengalami kemajuan dibandingkan sebelumnya. Pembicaraan terasa lancar. Saya menyimak omongannya. Dia berbicara tentang acara televisi yang dia tonton di rumah sakit dan juga tentang kenangan masa mudanya. Akan tetapi, belakangan, hubungan kami mulai memburuk. Dia mulai berkata kepada saya, “Aku tidak butuh bantuanmu! Aku bisa mengerjakannya sendiri!” Dia bahkan berkata, “Kamu tidak perlu berada di sini (di rumah sakit). Kamu pulang saja!” Dan dia menolak bantuan saya. Dia bersikap sangat memaksa dan serinbgkali dia tidak menunjukkan rasa terima kasih pada saya dan ibu saya disaat kami berbuat sesuatu untuk dia. Seiring dengan berlalunya hari, saya menjadi muak dengan sikapnya. Saya berpikir, “Dia pikir siapa dia ini?” Bertingkah seperti raja! Ibu menderita rematik, namun masih tetap merawatnya dengan sangat sabar, sambil menanggung rasa sakit di persendian tangan dan kakinya. Aku juga harus mengabaikan kuliah dan pelatihan di gereja untuk pulang menjenguknya.” Dia bahkan berkata kepada saya, “Kamu harus menolongku sebelum aku minta tolong kepadamu. Kamu harus menebak apa yang kubutuhkan.”
Bagaimana mengasihi orang semacam ini? Dia menderita sakit parah, tetapi sukar untuk dikasihi. Saya bingung, karena saya tahu bahwa saya harus mengasihi saudara saya. Namun bagaimana? Saya benar-benar tidak punya kekuatan untuk mengasihi dia. Pendeta Eric Chang, dalam sebuah rekaman khotbahnya, memberi sebuah saran yang sangat praktis buat saya yang sedang putus asa. Dia membahas tentang kasih dengan mengutip 1 Korintus 13, dan mengatakan hal berikut, “Kasih adalah hal yang berasal dari Tuhan. Kita tidak memiliki kasih. Jadi kita harus menerimanya dari Tuhan. Jaman sekarang ini banyak orang berbicara tentang kasih, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara mengasihi. Di dalam 1 Korintus 13, bisa kita dapati bahwa kasih itu dirumuskan dalam bentuk yang positif dan negatif (aktif dan pasif). Bentuk yang positif misalnya ‘kasih itu sabar, kasih itu murah hati’. Sedangkan bentuk yang negatif misalnya ‘kasih tidak memegahkan diri, kasih tidak sombong’ untuk memulainya, kita bisa mengawali praktek mengasihi dengan menjalankan bentuk yang negatif. Selanjutnya anda akan siap untuk membiarkan kuasa Allah bekerja melalui anda. Allah akan menangani bentuk yang positifnya.” (Catatan: saya tidak mengutip khotbah Pendeta Eric Chang secara harfiah). Setelah menyimak isi rekaman tersebut, saya menuliskan bentuk-bentuk negatif dari kasih. Saya pilih satu dari delapan dan berkata pada diri saya, “Baiklah, saya akan coba untuk tidak menjadi marah atas kata-kata kakak saya.”
Walau hari-hari berlalu, hubungan dengan kakak saya tidak juga membaik. Saya bingung apa yang masih kurang dari saya? Apa yang harus saya perbuat, atau saya harus bagaimana? Saya tidak tahu bagaimana cara mengasihi kakak saya dan saya merasa tertekan dengan hal ini.
Suatu hari, Tuhan memberi saya jawaban melalui buku yang saya baca. Judul buku itu adalah “Berbahagialah Mereka yang Miskin di Hadapan Allah.” Penulisnya, Jean Vanier, adalah pendiri dari komunitas yang disebut ‘L’arche’ (artinya ‘Bahtera’), komunitas di mana orang-orang dengan keterbelakangan mental dan orang-orang normal hidup bersama-sama. Di dalam buku ini, J. Vanier membagi pemahaman yang bersumber dari pengalamannya saat hidup bersama dengan orang-orang yang mengidap penyakit ini. Dia memberitahu kita bahwa mengasihi seseorang dengan tulus bukan berarti kita berbuat sesuatu buat orang itu. Sangatlah mudah melukai perasaan orang lewat cara berbuat sesuatu bagi dia. Anda mengira bahwa anda sedang melayani orang itu dengan sekuat tenaga, namun secara tidak sadar anda sedang berkata kepada orang itu, “Kamu tidak bisa mengerjakan hal yang aku kerjakan buatmu.”
Vanier mendorong kita untuk belajar dari Yesus tentang bagaimana mendekati orang yang sedang dalam penderitaan, seperti cara Yesus mendatangi perempuan Samaria. Catatan tentang perempuan Samaria tertulis dalam Yohanes pasal 4, yang memberitahu kita betapa dia dipandang remeh oleh masyarakat. Dia telah menjalani hidup bersama lima laki-laki dan pria yang sekarang hidup dengannya bukanlah suaminya. Masyarakat sangat memandang rendah dirinya dan tidak mau bergaul dengannya. Mungkin saat itu dia merasa kesepian dan merasa bersalah akan kehidupannya.
Bagaimana cara Yesus mendekatinya? Vanier menyampaikan bahwa Yesus mendatanginya dan berkata, “Berilah Aku minum.” (ayat 7). Ini berarti Yesus meminta pertolongannya. Dengan kata lain, Yesus datang mendekatinya dan, pada dasarnya, berkata, “Aku memerlukanmu.” Di sini Yesus mengajari kita bagaimana cara mendekati orang miskin dan yang kekurangan. Tidaklah mungkin memberi pertolongan sambil mempertahankan posisi di tempat yang lebih tinggi dari orang yang berusaha anda tolong. Cara Yesus mendatangi perempuan Samaria adalah, pertama dia mengakui bahwa dia sendiri miskin dan dia memberitahu perempuan itu bahwa dia memerlukan pertolongannya!
Penulis buku ini juga berkata bahwa mengasihi seseorang berarti anda membawa orang itu menemukan kebaikan yang tersembunyi dalam dirinya dan anda ajak dia melihatnya. Mengasihi seseorang berarti memberi ruang bagi orang tersebut untuk tampil. Dan mengasihi berarti menunjukkan kepada orang itu betapa penting dan berartinya dia.
Melalui buku ini saya belajar tentang kesalahan sikap saya. Cara saya melayani kakak saya melukai perasaannya karena secara tidak sadar saya membuat dia merasa tidak berguna dan tidak mampu mengerjakan hal-hal yang saya kerjakan buat dia. Sesungguhnya saya tidak bermaksud melukai perasaannya, namun saya melukai hatinya lewat sikap saya.
Menyadari hal ini, saya sangat berbahagia dan bersyukur kepada Tuhan. Saya bertobat dan meminta maaf kepada kakak saya. Secara perlahan Tuhan menolong saya memahami bahwa kakak saya merasa frustrasi melihat saya begitu sehat dan dalam kondisi yang selalu baik. Dia, dalam kelemahan dan keterbatasan yang dia alamai, tidak mampu mengerjakan hal-hal yang secara fisik ingin dia kerjakan, sedangkan saya selalu bisa mengerjakan apapun karena saya sehat. Saat saya berusaha mendengarkan dengan kerendahan hati hal-hal yang menjadi keluhan kakak saya, saya mulai menyadari kepedihannya akan situasi yang dia hadapi. Kemudian, saya menyadari bahwa dia tidak rewel jika sedang dalam keadaan sehat. (Seperti yang sudah saya sebutkan sejak awal, dia tidak pernah berada dalam keadaan sehat sejak kecilnya). Saya mulai menyadari bahwa mungkin kesedihannya akibat kondisi kesehatannya telah mengeraskan hatinya dan menjadikannya berperilaku seperti itu.
Pengalaman ini membuat saya bisa melayaninya dengan lebih baik bahkan disaat dia dalam keadaan rewel dan egois. Setelah melewati pengalaman mengasihi sesama manusia, yakni kakak saya, seperti mengasihi diri sendiri, saya belajar tentang satu hal: Dia adalah orang yang tidak dapat saya kasihi selama bertahun-tahun. Akan tetapi, Tuhan memakai kakak saya, orang yang paling tidak bisa saya kasihi, untuk mengajari saya cara mengasihi. Cara Tuhan mengungkapkan sesuatu hal terlihat paradoksal. Sebelumnya, saya tidak bisa mengucapkan syukur demi kakak saya. Namun sekarang saya bisa bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi saya pelajaran penting ini.
Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya. (2 Korintus 8:9).
(Setelah saya berangkat kembali ke Manila, ada seorang pendeta yang tinggal di dekat rumah sakit yang mengunjungi kakak saya secara teratur dan membantu pertumbuhan rohaninya. Kakak saya meninggal dunia tiga bulan setelah saya kembali ke Manila).