“Dilaporkan di BBC suatu kisah benar tentang penulis, Bernard Hare yang mengalami suatu kebaikan yang mengubah hidupnya secara mendalam. Di tahun 1982, ia seorang pelajar miskin yang tinggal di utara London dan suatu sore polisi datang ke tempat tinggalnya. Tapi ia tidak berani untuk membuka pintu karena pikirnya mereka datang untuk mengusirnya karena sudah lama ia tidak membayar uang sewanya.
Tapi setelah itu, ia mulai berpikir bahwa ibunya lagi sakit apakah mungkin polisi datang dalam hubungan dengan hal itu. Berikut adalah kisahnya yang muncul di majalah BBC tanggal 24 Desember 2010.
Tempat tinggal saya tidak punya telpon dan pada waktu itu belum ada hp, jadi saya menyelinap keluar untuk mencari telpon umum. Saya menelpon ke rumah dan ayah memberitahu bahwa ibu lagi di Rumah Sakit dan tidak diharapkan untuk dapat melewati malam itu. “Pulanglah nak,” kata ayah.
Saya langsung ke stasiun tapi keretapi yang terakhir ke Leeds sudah berangkat. Ada keretapi lain yang pergi sampai ke Peterborough, tapi saya terlambat 20 menit untuk menyambung perjalanan dengan keretapi yang akan ke Leeds.
Saya seorang pelajar miskin dan tidak punya uang untuk naik taksi dari London sampai ke rumah, tapi saya punya obeng di kantong dan juga kunci maling (skeleton keys). Saya nekat untuk pulang dan merencanakan untuk mencuri mobil di Peterborough, mencari tumpangan mobil, mencuri uang, atau apa pun. Saya tahu dari nada suara ayah bahwa ibu akan meninggal pada malam itu dan saya harus pulang sekalipun harus menggadaikan nyawa.
“Mohon tiketnya.” Saya terus menatap ke luar jendala yang gelap itu. Saya meraba-raba mencari tiket dan memberikan kepada kondektur saat ia menghampiri. Ia menandainya, tapi ia terus berdiri di situ memandang pada saya. Saya sempat menangis dan mata saya masih merah, dan penampilan saya pasti mengundang banyak pertanyaan.
“Kamu baik-baik saja?” dia bertanya.
“Tentu saja, saya baik-baik,” jawab saya. “Mengapa tidak? Dan apa kaitannya dengan kamu?”
“Kamu terlihat tidak begitu baik,” katanya. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Pergi dari sini dan jangan ganggu aku,” kata saya. “Itu sudah sangat membantu.” Saya lagi tidak mau bicara dengan orang.
Perawakannya agak pendek dan ia pasti sudah bisa membaca tanda-tanda bahaya di dalam bahasa tubuh dan nada suara saya, tapi ia duduk berseberangan dengan saya dan terus berusaha berbicara dengan saya.
“Jika ada masalah, saya di sini untuk membantu. Itulah pekerjaan saya.”
Di waktu muda saya, tubuh saya gagah besar, sempat terlintas di pikiran saya untuk langsung meninju dia, tapi sepertinya kurang pantas. Dia tidak berbuat salah. Tapi pada waktu itu saya sedang melewati semua tahap-tahap kesedihan sekaligus: penyangkalan, marah, rasa bersalah, penarikan diri dan semuanya. Perasaan saya pada waktu itu berkecamuk dan penuh dengan api kemarahan dan dia menempatkan diri menjadi sasaran empuk kemarahan saya.
Hal lain yang dapat saya pikirkan agar dia tidak menggangu saya adalah untuk memberitahunya kisah saya.
“Lihat, ibu saya sedang sekarat di rumah sakit, dia tidak akan bisa bertahan sampai pagi, saya tidak akan sempat untuk naik keretapi yang ke Leeds dari Peterborough, dan saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai ke rumah.”
“Kalau saya tidak sampai malam ini saya tidak akan pernah sempat melihat ibu lagi. Saya lagi kacau ini, saya benar-benar tidak ingin berbicara. Jadi saya akan sangat berterima kasih jika kamu meninggalkan saya sendirian. Oke?”
“Oke,” katanya. Pada akhirnya ia bangun. “Saya turut bersedih nak. Semoga kamu sampai ke rumah sebelum terlambat.” Lalu ia pergi.
Saya terus memandang ke luar jendela yang gelap gulita itu. Sepuluh menit kemudian, ia kembali ke tempat saya. Oh tidak, ada apa lagi! Kali ini rasanya saya benar-benar mau memukulnya.
Dia menyentuh lengan saya. “Dengar, saat kita tiba di Peterborough, kamu langsung bergegas ke Platfom 1 secepatnya. Keretapi yang ke Leeds akan menunggu di sana.”
Terkejut, saya hanya memandangnya. Otak saya tidak dapat mencerna. “Apa?” saya bertanya seperti orang bodoh. “Apa maksudmu? Keretapinya terlambat atau apa?”
“Tidak, keretapinya tidak terlambant,” katanya dengan sedikit membela diri, seolah-olah ia benar-benar peduli apakah keretapinya terlambat atau tidak. “Tidak, saya telpon ke Peterborough. Mereka akan menahan keretapi itu untuk kamu. Setelah kamu naik, mereka akan langsung jalan.”
“Semua orang akan bersungut-sungut tentang keterlambatan itu, tapi jangan khawatir tentang itu. Anda harus pulang dan itulah yang penting. Selamat dan Tuhan memberkati.”
Lalu, kondektur itu melanjutkan ke gerbong yang lain. “Mohon tiketnya. Ada lagi tiketnya?”
Tiba-tiba saya menyadari kebodohan dari sikap saya tadinya. Saya mengejarnya. Saya mau memberinya semua uang yang di dompet saya, SIM saya, kunci saya apa saja, tapi saya tahu itu akan membuatnya tersinggung.
Saya meraih tangannya, “Oh…er, saya hanya mau…” Tiba-tiba saya terbungkam. “Saya, err..”
“Nga pa pa,” katanya. “Tidak masalah.” Ia tersenyum hangat dan belas kasihan yang tulus terpancar dari matanya. Dia seorang yang baik dan tidak membutuhkan imbalan apa pun.
“Kiranya saya punya cara untuk mengucapkan terima kasih,” kata saya. “Saya sangat menghargai apa yang telah Anda lakukan.”
“Tidak masalah,” ia berkata lagi. “Jika Anda mau berterima kasih, lain kali saat Anda melihat orang dalam masalah, bantulah mereka. Itu sudah cukup untuk membayar saya.”
“Beritahu mereka untuk membalasnya dengan membantu orang yang lain, dan dengan cepat dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik.”
Saya berada di sisi ibu saat dia meninggal menjelang subuh. Bahkan sampai sekarang, saya tidak dapat memikirkan ibu tanpa mengingat kondektur yang baik di keretapi malam jurusan Peterborough itu.
Perjumpaan saya dengan kondektur itu mengubah saya dari seorang yang berwatak egois dan penuh amarah menjadi seorang yang manusia yang layak, tapi hal itu tentunya mengambil waktu.
Saya sudah beribu kali membayar kembali sejak waktu itu, “Saya selalu memberitahu orang muda yang saya bantu bahwa saya akan terus melakukannya sampai saya mati. Anda tidak berhutang apa pun pada saya. Sama sekali tidak.”
“Jika Anda merasa berhutang pada saya, saya berikan nasehat yang sama yang telah diberikan oleh kondektur yang baik itu, lakukan hal yang sama pada orang lain. Salurkan terus.”
Di Lukas 10.37, Yesus memberitahu orang yang mau memperoleh hidup kekal, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Itulah semangat dari orang Samaria yang baik hati dan itulah yang dilakukan oleh kondektur itu.