new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Henri J.M Nouwen |

Selama beberapa dasawarsa yang terakhir ini, kita telah begitu dibanjiri oleh keributan kata-kata. Ke mana saja kita pergi, kita di kelilingi oleh kata-kata: kata-kata yang dengan lembut dibisikkan, yang diproklamir dengan keras atau diteriakkan dengan penuh amarah; kata-kata yang diucapkan, dihafal, atau dinyanyikan; kata-kata dalam catatan, di buku-buku, di tembok-tembok, atau bahkan di langit; kata-kata dalam banyak macam bunyi, warna atau bentuk; kata-kata untuk diperdengarkan, diperlihatkan, dibaca atau dipandang; kata-kata yang berkedip-kedip, yang bergerak pelahan, yang menari-nari, melompat-lompat atau yang bergoyang-goyang. Perkataan, perkataan, perkataan! Kata-kata membentuk lantai, tembok, dan langit-langit keberadaan kita.

Tidak selalunya begini. Terdapat suatu masa tidak lama dahulu tanpa radio atau televisi dan berbagai macam papan-papan tanda yang dihiasi lampu neon yang memberitakan berbagai macam hal. Terdapat suatu masa di mana tidak ada iklan-iklan yang sekarang meliputi seluruh kota dengan kata-kata.

Baru-baru ini saya mengemudi melewati kota Los Angeles, dan tiba-tiba saya mempunyai sensasi aneh sedang melewati suatu kamus yang besar. Ke mana saja saya memandang terdapat kata-kata yang berusaha mengalihkan perhatian saya dari jalan. Mereka berkata, “Pakailah aku, ambillah aku, belilah aku, minumlah aku, ciumlah aku, sentuhlah aku, tidurlah dengan aku.”

Semuanya ini menyarankan bahwa kata-kata, termasuk kata-kata saya, sudah kehilangan kuasa kreatifnya. Multiplikasi kata-kata tanpa batas telah membuat kita hilang keyakinan pada kata-kata dan membuat kita berpikir, “Semua itu hanyalah kata-kata.”

Guru-guru berbicara kepada para murid untuk enam, dua belas, delapan belas dan ada kalanya dua puluh empat tahun. Tetapi para murid sering kali keluar dari pengalaman itu dengan perasaan, “Semuanya itu hanya kata-kata.” Pengkhotbah memberitakan khotbah mereka minggu demi mingu dan tahun demi tahun. Tetapi jemaatnya tetap sama dan sering berpikir, “Semuanya itu hanya kata-kata.” Politikus, pengusaha, Ayatollah dan Paus menyampaikan pidato dan membuat pernyataan “di dalam musim dan di luar musim”, tetapi mereka yang mendengar berkata: “Semuanya itu hanya kata-kata…hanya satu lagi gangguan.”

Akibat dari semua ini adalah fungsi utama kata-kata, yaitu komunikasi, tidak lagi membangun persekutuan, tidak lagi menciptakan komunitas, dan dengan demikian tidak lagi memberikan hidup. Kata-kata tidak lagi menawarkan dasar yang dapat dipercaya di mana orang dapat bertemu satu dengan yang lain dan membangun masyarakat.

Apakah saya sedang membesar-besarkan persolan? Marilah kita fokuskan sejenak pada pendidikan teologi. Apa lagi yang menjadi gol pendidikan teologis jika bukan untuk membawa kita lebih dekat kepada Allah Tuhan kita supaya kita dapat lebih setia kepada perintah untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22.37)?

Seminari dan sekolah Alkitab harus memimpin para murid teologia ke dalam persekutuan yang hidup dengan Tuhan, sesama dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan teologis dimaksudkan untuk membentuk seluruh kepribadian kita ke arah menjadi semakin serupa dengan pemikiran Kristus agar cara kita berdoa dan cara kita percaya akan menjadi satu.

Tetapi apakah hal ini sedang terjadi? Seringkali kelihatannya kita yang belajar atau yang mengajarkan teologia menemukan diri kita terjerat di dalam jaringan diskusi, debat dan percekcokan yang kompleks tentang Allah dan “persoalan tentang Allah” dimana percakapan sederhana dengan Allah atau hadirat sederhana bersama Allah telah sama sekali menjadi tidak mungkin. Kemampuan verbal kita yang semakin sofis, ada kalanya telah menjadi pengganti yang miskin untuk komitmen yang terfokus pada Firman yang adalah hidup. Jika ada suatu krisis di dalam pendidikan teologis, maka krisis itu adalah krisis kata-kata. Ini tidak berarti bahwa karya kritis intelektual tidak mempunyai tempat di dalam pelatihan teologis.

Tetapi apabila kata-kata kita tidak lagi mencerminkan Firman ilahi yang di dalam dan melalui-Nya dunia telah diciptakan dan ditebus, maka kata-kata itu sudah kehilangan dasarnya dan telah menjadi sama menggiurkan dan menyimpang seperti kata-kata yang digunakan untuk menjual suatu produk.

Terdapat suatu masa di mana pilihan yang jelas untuk pendidikan teologis adalah biara. Di sana kata-kata lahir dari kesunyian dan dapat memimpin seseorang lebih dalam lagi ke dalam keheningan. Walaupun biara tidak lagi menjadi tempat paling lazim untuk pendidikan teologis, keheningan tetap diperlukan hari ini sebagaimana di waktu yang lampau.  Firman Tuhan lahir dari keheningan kekal Allah dan  kepada Firman yang lahir dari keheningan itulah kita mau menjadi saksi.

Keheningan adalah rumah kepada kata-kata. Keheningan  memberikan kekuatan dan keberhasilan kepada kata-kata itu.