Pada tahun 1987, Dave Dever, seorang pekerja serabutan diminta untuk membantu mengangkut barang-barang untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah. Sebuah kardus berisi buku-buku lama menarik perhatiannya.
Ia berpikir, “Apakah saya harus membuangnya atau menyimpannya?”
Ia kemudian memutuskan untuk membawanya pulang. Sesampainya di rumah ia menyimpannya di gudang dan melupakan buku-buku itu. Hanya pada musim dingin berikutnya, ia melihat kardus buku itu dan memutuskan untuk membakarnya di tempat perapian. Istrinya, Abby, melarang dia membakar buku-buku tersebut. Salah satu buku yang diselamatkan dari jilatan api itu adalah biografi seseorang yang bernama John Paton yang berlayar ke sebuah pulau bernama Vanuatu di kepulauan Pasifik pada tahun 1858.
Buku tentang John Paton dan pengalaman hidupnya bersama suku kanibal meninggalkan kesan yang mendalam di dalam kehidupan Dave and Abby. Setelah berkali-kali membacanya, mereka tergerak untuk berbuat sesuatu bagi penduduk di situ. Walaupun mereka bukan orang berada, mereka melakukan pelbagai usaha, termasuk menjual sofa, tempat tidur, mesin cuci, meja dan kursi milik mereka di Kanada untuk membantu orang-orang di Vanuatu.
Siapakah John Paton yang walaupun telah meninggal 100 tahun sebelumnya tetapi dapat terus menginspirasi keluarga Dever untuk begitu berapi-api membantu satu suku yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya?
John Paton lahir di Skotlandia pada tahun 1824, di sebuah keluarga miskin yang kedua orang tuanya sangat mengasihi Tuhan. Setiap kali sehabis makan malam, ayahnya pasti akan masuk ke kamar yang hanya sebesar lemari dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Sejak kecil ia sudah tahu bahwa di saat-saat itu, dia dan adik-adiknya tidak boleh berisik. Kesaksian kedua orang tuanya yang cemerlang meninggalkan kesan yang sangat mendalam di dalam kehidupan Paton. Di usia yang sangat muda, Paton sudah memutuskan untuk memberikan hidupnya bagi pelayanan Tuhan.
Ketika berusia 12 tahun, Paton putus sekolah dan bekerja untuk membantu keluarganya. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk terus mempersiapkan diri untuk pelayanan Tuhan. Ia dengan tekun mempelajari bahasa Latin dan Yunani setiap hari walaupun ia harus bekerja dari jam 6 pagi hingga 10 malam. Tuhan terus memimpinnya dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, dan sepanjang masa itu Paton dengan gigih berusaha mengimbangi pekerjaan dan studinya. Akhirnya setelah 10 tahun, ia lulus dari Universitas Glasgow dan sekolah Teologia. Ia juga sempat mengambil kursus medis di sebuah akademi.
Pada waktu itu, organisasi di gerejanya telah dua tahun berturut-turut mengiklankan lowongan untuk mencari misionaris ke kepulauan Vanuatu tetapi masih belum berhasil mendapatkan calon yang tepat. Paton merasa Tuhan berbicara kepadanya untuk melamar posisi itu. Paton menulis, “Saya melamar untuk misi ke Vanuatu dan setelah itu saya kembali ke kamar dengan hati yang damai, suatu hal yang sudah lama tidak saya nikmati. Tidak ada hal lain yang begitu menyenangkan dibandingkan dengan keputusan untuk maju melakukan apa yang Anda tahu sebagai kehendak Tuhan.”
Mendengar keputusan Paton untuk meninggalkan Skotlandia demi melayani suku kanibal di kepulauan Pasifik, gereja tempatnya melayani tidak mau melepaskan Paton. Mereka langsung menawarkan kepadanya untuk mengambil alih sebuah Jemaat yang besar dengan gaji yang besar. Seorang penatua terus-menerus berkata kepadanya, “Mereka itu kanibal! Engkau akan dimakan oleh kanibal!!” Gerejanya memberitahu dia, “Tempat inilah yang paling bagus untukmu, karena Tuhan telah memberkatimu dengan kelayakan yang diperlukan dan telah begitu memberkati pelayananmu. Engkau hanya akan menyia-nyiakan hidupmu di antara suku kanibal itu.”
Jawab Paton kepada mereka, “Saya hanya mati sekali. Biarlah waktu, tempat dan bagaimana saya mati ditentukan oleh Tuhan sendiri.” Kepada yang lainnya ia berkata, “Mati atau hidup saya untuk melayani dan memuliakan Yesus Kristus, tidak ada bedanya apakah saya dimakan oleh kanibal atau oleh ulat. Di hari kebangkitan nanti, tubuh saya akan bangkit dan akan sama mulianya dengan tubuh Anda.”
Hampir setiap hari ada saja Jemaat di gerejanya yang memohon kepadanya untuk tidak berangkat. Sangatlah mudah jika yang menentang keputusannya adalah orang-orang luar tetapi ia terus-menerus menerima tentangan dari teman-teman seiman yang adalah juga orang-orang yang akrab dengannya. Akhirnya Paton sendiri bimbang, apakah ia sedang menjalankan kehendak Tuhan atau hanya menuruti keinginannya sendiri.
Sama seperti hal-hal penting lainnya, Paton berkonsultasi dengan kedua orang tuanya. Surat dari kedua orang tuanya berbunyi,
“Kami tidak pernah memberitahu karena kami tidak mau mempengaruhi keputusanmu, tetapi kami memuji Tuhan untuk keputusan yang telah engkau ambil. Ayahmu memang ingin menjadi seorang pelayan Tuhan, tetapi karena pelbagai hal, ia terpaksa melepaskan keinginan itu. Saat Tuhan memberikanmu kepada kami, kami menyerahkanmu ke atas altar Tuhan, anak sulung yang diserahkan kepada Tuhan. Kami berkata kepada Tuhan, ‘Jika Tuhan berkenan, kami ingin menyerahkan anak ini untuk dijadikan seorang misionaris bagi bangsa-bangsa.‘ Sejak dulu doa kami adalah agar engkau akan dipersiapkan dan dilayakkan untuk tugas ini. Dengan sepenuh hati kami berdoa agar Tuhan menerima persembahanmu, melindungimu dan menyelamatkan banyak jiwa yang terhilang lewat pelayananmu.”
Dengan doa restu dari kedua orang tuanya, maka pada tanggal 30 Agustus 1858, Paton menginjakkan kaki di Aneityum, salah satu pulau di Vanuatu, bersama istri yang baru dinikahinya. Lalu mulailah perjuangan berat untuk memenangkan suku kanibal itu. Tidak sampai satu tahun, Paton sudah kehilangan isteri dan anaknya yang baru lahir karena penyakit tropis. Kata-kata terakhir istrinya yang tercinta adalah, “Janganlah sekali-kali berpikir bahwa saya menyesal telah datang ke tempat ini. Jika diberi kesempatan sekali lagi, saya akan melakukan hal yang sama dengan penuh kegembiraan.” Dalam suratnya Paton menulis, “Jika bukan karena Yesus dan persekutuan dengan Dia, saya pasti sudah menjadi gila atau mati di samping pusara anak dan isteri saya.”
Situasi medan sangatlah sulit, ia harus mempelajari bahasa suku yang sama sekali asing baginya dan setiap hari ia harus berhadapan dengan orang yang siap untuk membunuh dan memakannya. Ia tidak pernah meninggalkan rumah tanpa parang atau senjata api. Walaupun ia tahu ia sendiri tidak akan menggunakannya tetapi ini membuat musuhnya tidak akan begitu terdorong untuk menyerangnya jika ia terlihat membawa senjata.
Setelah menguasai bahasa suku itu, Paton mulai menyampaikan pesan Injil. Pernah sekali Paton mengadakan kebaktian di sebuah desa. Ia mengabarkan bahwa jika mereka mengikut Tuhan Yahweh, Yahweh akan melindungi mereka dari musuh-musuh mereka dan menuntun mereka ke dalam hidup yang penuh sukacita. Tiga orang dukun bangkit berdiri dan mengumumkan bahwa mereka tidak percaya pada Yahweh. Mereka berkata bahwa mereka tidak memerlukan Yahweh dan dapat dengan mudah membunuh Paton dengan ilmu sihir yang disebut nahak. Yang mereka perlukan untuk menyihir Paton hanyalah sisa makanannya. Untuk melindungi diri dari sihir mereka, penduduk di sana memang sangat berhati-hati dengan sisa makanan mereka. Kulit pisang, kulit jeruk atau makanan sisa akan dilindungi dengan baik agar tidak jatuh ke tangan musuh mereka.
Mendengar tantangan dari ketiga dukun itu, Paton meminta 3 buah prem dari seorang perempuan di sampingnya. Setelah menggigit sedikit dari buah itu ia memberikan sisanya kepada ketiga dukun itu, “Kalian telah melihat saya memakan buah ini”. Paton berbicara kepada orang banyak, “Para dukun ini mengatakan bahwa mereka dapat membunuh saya dengan nahak. Saya menantang mereka untuk melakukannya, tapi bukan dengan menggunakan parang, panah atau pun tombak. Para dukun tidak mempunyai kuasa atas saya!”
Para penduduk desa langsung berteriak ketakutan dan banyak yang meminta agar Paton segera melarikan diri. Tetapi Paton tetap tinggal di situ dan menyaksikan upacara nahak. Upacara pun dimulai, mereka mulai membacakan mantra. Ketiga dukun itu masing-masing mengambil daun keramat dan memasukkan sisa makanan Paton ke dalamnya dan menggulungnya seperti lilin. Setelah menyalakan daun itu, dengan berbagai gerakan mereka meneruskan bacaan mantra sambil memandang ke arah Paton. Setelah upacara berjalan agak lama dan Paton masih baik-baik saja, mereka akhirnya bangkit berdiri dan berkata, “Kami harus menunda upacara ini sampai semua dukun kami terkumpul. Kami pasti akan membunuh engkau sebelum hari Minggu. Biarlah semua orang menyaksikannya, engkau pasti akan mati!”
“Baiklah, saya menantang semua imam dan dukun kalian untuk bersatu dan membunuh saya dengan nahak. Jika pada hari Minggu depan saya kembali ke desa ini dalam keadaan sehat, kalian harus mengakui bahwa ilah-ilah kalian tidak mempunyai kuasa atas saya, dan saya dilindungi oleh Tuhan Yahweh yang Benar dan Hidup!”
Setiap hari sepanjang minggu itu, ada saja utusan yang datang ke rumah Paton untuk melihat apakah dia masih hidup. Melihat Paton masih hidup penduduk desa semakin bersemangat menunggu datangnya hari Minggu. Sesuai dengan janjinya, Paton berangkat ke desa itu. Orang banyak berkerumun dan mereka terkejut luar biasa melihat Paton masih hidup.
“Salam kasih sobat-sobatku! Saya datang kembali untuk mengabarkan tentang Tuhan Yahweh dan bagaimana caranya menyembah Dia.”
Ketiga dukun itu mengangkat suara. “Kami mengaku kami sudah mencoba membunuhmu tetapi kami gagal. Mengapa kami gagal? Karena engkau adalah seorang suci. Tuhanmu lebih besar dari pada tuhan kami dan Ia telah melindungimu.”
“Sesungguhnya, Tuhan Yahweh itu lebih besar dari pada ilah-ilah kalian. Ia telah melindungi dan membantu saya. Ia adalah satu-satunya Tuhan yang Hidup dan Benar, satu-satunya Tuhan yang dapat mendengar dan menjawab doa. Ilah-ilah kalian tidak dapat mendengar doa-doa kalian. Berikanlah hati dan hidup kalian kepada Dia, kasihilah dan layanilah Dia. Inilah Tuhan saya, dan Ia juga adalah sahabat kalian jika kalian mau mendengar dan mengikuti suara-Nya.”
“Marilah duduk bersama, saya akan mengabarkan tentang kasih dan belas kasihan Tuhan saya.” Dua orang dari ketiga dukun itu turut bergabung untuk mendengar tetapi yang satunya lagi, yaitu pemimpin mereka, pergi meninggalkan mereka. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa tombak dan mengarahkannya kepada Paton.
Paton dengan tenang duduk di tengah-tengah kerumunan orang banyak sambil memperhatikan dukun yang membawa tombak itu memarahi orang-orang desa karena mendengarkan Paton. Syukurlah kedua dukun yang lain berpihak kepada Paton dan bersama beberapa orang lain melindungi Paton dengan tubuh mereka. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, Paton menawarkan untuk meninggalkan tempat itu.
Sejak hari itu kedua dukun tersebut menjadi teman baik Paton, dan beberapa penduduk desa juga mulai berdoa kepada Yahweh.
Demikianlah sepenggal dari pengalaman Paton mengabarkan Injil kepada para kanibal di Vanuatu. Berkat usaha Paton bersama banyak para misionaris lain sesudahnya, mayoritas penduduk kepulauan Vanuatu hari ini percaya kepada Tuhan Yahweh.
(Materi kisah pengalaman John Paton ini dikutip dari biografi yang ditulis oleh John Paton sendiri pada tahun 1891.)