new-header-kesaksian

 

“Anakku, aku bukan orang yang terlalu menuntut, tetapi jika engkau menolak, aku menganggap bahwa engkau nekat untuk memalukan nama baik keluarga dan aku tidak punya pilihan kecuali tidak lagi mengaku engkau sebagai anak. Engkau dilahirkan seorang Sikh, engkau tidak pernah menggunting rambutmu sebagai tanda engkau seorang Sikh, apakah Engkau lupa apa artinya nama yang telah dipilih oleh leluhur kita, Singh? Sudah tiba waktunya engkau membuat pilihan.”

Sundar Singh kembali ke kamarnya. Ia berdoa dan setelah itu ia menggunting rambutnya. Dengan tindakan itu ia sudah menyatakan pilihannya. 

Wajah ayahnya sangat mengerikan; perasaan ayahnya bercampur aduk – selain marah, ia juga merasa frustrasi dan malu. Dengan hati yang berat ia akhirnya mengusir anaknya, “Dari hari ini engkau bukan lagi anak-ku. Bagi-ku, engkau tidak pernah lahir. Pergilah, kami tidak pernah mengenal engkau.” Lalu pintu rumah ditutup dan Sundar ditinggalkan sendirian di kegelapan malam.

Sundar Singh menulis, “Aku tidak akan pernah melupakan malam di mana aku diusir dari rumah. Aku tidur di bawah pohon dan cuacanya cukup dingin. Aku tidak pernah mengalami hal sedemikian. Aku membatin, ‘Malam tadi aku tinggal di rumah yang nyaman. Sekarang aku kedinginan, haus dan lapar. Kemarin aku memiliki segala sesuatu, malah lebih. Hari ini, aku bahkan tidak punya tempat berlindung dan tidak ada pakaian dan makanan.”

Memang secara eksternal, malam itu sangat sulit bagiku tetapi aku memiliki sukacita yang indah dan damai di hati. Aku sedang mengikuti langkah tuan aku yang baru – Yesus, yang juga tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya, dan Ia juga dihina dan ditolak. Di tengah kemewahan dan kenyamanan rumah, aku tidak menemukan damai. Tetapi Tuan aku telah mengubah penderitaan-ku menjadi damai, dan damai ini tidak pernah meninggalkan aku.

Setelah keluar dari rumah, aku mencari guru-guru yang pernah mengajar-ku di sekolah dulu dan mereka menerima aku dan mengatur untuk-ku belajar di Christian Boys’ Boarding school di kota Ludhiana. Orang-orang di sana menerima dan merawat aku dengan baik. Tetapi aku kaget melihat kehidupan pelajar-pelajar lain yang sama sekali tidak percaya pada Tuhan termasuk beberapa pelajar Kristen lokal. Sebelumnya aku pikir bahwa orang-orang Kristen adalah seperti malaikat, tetapi dalam hal ini ternyata aku keliru.”

Pada hari ulang tahunnya yang ke-16, Sundar Singh meninggalkan sekolahnya dan menghilang ke dalam hutan. Setelah tiga puluh tiga hari ia muncul kembali dengan memakai jubah seorang sadhu*. Pengembaraannya bermula.

Dari titik itu ia berpaling total dari dunia dan menganggap dirinya sebagai seorang yang tidak memiliki apa-apa sama seperti seorang pengemis – yaitu seorang sadhu untuk Yesu. Hutan menjadi tempat tinggalnya dan hewan-hewan liar menjadi temannya. 

Setiap kali Sundar keluar dari hutan ia akan mengunjungi pelajar-pelajar di sekolah Kristen tempat ia belajar sebelumnya. Dan anak-anak di sekolah itu sangat senang mendengarkan dia dan keberanian dan kesaksian hidup Sundar menjadi inspirasi bagi mereka. 

Teman baik Sundar Singh, C.F Andrews menceritakan bagaimana hidup  sekelompok pelajar berubah karena persahabatan mereka dengan Sundar Singh. Seorang pelajar dan atlet yang berprestasi di sekolah memutuskan untuk tidak menerima jabatan yang tinggi di pemerintah setelah ia lulus tetapi memilih  untuk mengabdikan diri pada Tuhan. Bila seorang dari kasta “untouchable” (tidak boleh disentuh) jatuh sakit, beberapa pelajar tinggal bersamanya di mes yang kotor dan merawatnya hingga sembuh. Suatu malam seorang pelajar senior menemukan seorang tua yang sudah sekarat yang ditinggalkan di dalam hutan untuk mati. Pria tua itu menderita penyakit yang dapat menular tetapi tanpa memikirkan resiko, pelajar itu menggendongnya sejauh 5 km melewati jalan gunung untuk mencari bantuan. Hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi di dalam sejarah sekolah itu. Dari kelompok kecil ini, pengaruh Sundar Singh sebagai seorang sadhu India bagi Yesu mulai berkembang dan semakin banyak orang yang tertarik untuk mendengarkannya dan menjadi pengikutnya.

Sepanjang hidupnya, Sundar Singh sangat menghargai ungkapan pengabdian orang-orang Hindu, Budha, Sikh dan Muslim. Ia sangat akrab dengan semua ajaran agama-agama tersebut. Tetapi pertemuan mistis yang memimpin pada pertobatannya meninggalkan kesan yang begitu mendalam yang membuatnya mengabdi total kepada Kristus. Ia tidak pernah mengkritik praktik agama yang lain tetapi ia selalu siap untuk menceritakan bagaimana Yesu telah menyentuh dan mentransformasi dia.

Baginya Yesu adalah Kebenaran itu – kegenapan kerinduan manusia yang terdalam untuk damai yang internal dan juga eksternal. Kerinduan dia untuk membagikan ini membuatnya mengembara dari suatu tempat yang ke suatu tempat yang lain selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia menjelajah melintasi benua India dan mendaki pergunungan Himalaya ke Tibet dan Nepal.

Ia juga mengunjungi China, Malaysia dan Jepang di Asia dan akhirnya ia melanjutkan perjalanan ke Australia, Inggris, Amerika dan juga Eropa. Setiap tempat yang ia kunjungi, ribuan bahkan puluhan ribu orang datang untuk mendengarkannya.

Tetapi pengalaman dan pengamatannya akan kekristenan yang ditemukannya membuat ia menyimpulkan bahwa kekristenan Barat mungkin kaya dengan organisasi, teologi, doktrin dan tradisi tetapi miskin dalam roh dan sangat perlu dipusatkan kembali pada foundasi aslinya, yaitu Kristus yang hidup.

Di tahun kedua puluh tiga ia hidup sebagai seorang sadhu, Sundar Singh menghilang di pergunungan Himalaya dalam perjalanannya melintasi pergunungan ke Tibet. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi kepadanya.

Selain daripada kesaksian hidupnya ia meninggalkan bagi kita 6 buku kecil yang ditulisnya di akhir hidupnya atas dorongan teman-teman dan pengikutnya. Seperti lazimnya seorang mistis, tulisannya sangat padat dan singkat karena di dalam pengertian Sadhu Sundar Singh, salib itu bukan sekadar untuk dikhotbahkan tetapi untuk dijalankan. Itulah inti dari seluruh pesan hidup salah satu tokoh spiritual yang paling besar di Asia.

*Sadhu secara harfiah berarti “orang miskin” atau “pengemis”

(Artikel ini ditulis berdasarkan buku Wisdom of the Sadhu, The Teachings of Sundar Singh, oleh Kim Comer)