new-header-kesaksian

 

Amanda Chan |

Saya Amanda, usia saya 24 tahun. Saya dilahirkan di Australia dan sekarang sedang kuliah tahun pertama dan juga sedang melayani Tuhan full time di sebuah gereja di Hong Kong. Saat saya masih muda, tak terlintas di pikiran saya untuk meninggalkan negara asal saya, apa lagi melayani Tuhan. Sejak kecil, saya tidak mempunyai mimpi besar tentang apa yang ingin saya lakukan, tapi saya menganggap pasti bahwa saya akan kuliah, cari pekerjaan dan tinggal terus di Australia, tanah kelahiran saya. Kelihatannya Tuhan punya rencana lain.

Karena saya bertumbuh di keluarga Kristen dan kedua orang tua saya melayani Tuhan, saya telah melihat kasih Allah di dalam keluarga kami selama ini. Saya menyerahkan hidup saya kepada Allah lewat baptisan di tahun kedua sekolah menengah atas. Sejak dulu, saya seorang yang pendiam dan pemalu, tapi waktu saya memberikan diri kepada Allah, saya meminta Dia untuk mengaruniakan kepada saya keberanian untuk mensharingkan kebenaran-Nya. Harapan saya adalah untuk membagikan apa yang telah Allah kerjakan dalam hidup saya kepada orang lain dan menggenapi Amanat Agung, “Pergilah dan memuridkan semua bangsa.” Itu merupakan titik awal dari suatu kehidupan yang baru dan menarik bagi saya.

Saya menyelesaikan sekolah menengah atas dan mulai kuliah tahun pertama di tahun 2004. Pada awal tahun itu, saya tahu orang tua saya akan memimpin sekelompok jemaat untuk menjalankan tahun sabat di China di tahun 2005. Itu berarti mereka akan meninggalkan kehidupan mereka di Australia dan berada di China selama satu tahun untuk mengalami Allah dan melayani Dia dalam pelbagai cara. Saat ditanya apakah saya mau menyertai mereka, jawaban saya langsung dan sederhana: “tidak.” Saya mendaftarkan alasan panjang mengapa saya tidak mau ikut. Saya baru mulai kuliah; saya tidak fasih berbahasa Chinese; saya tidak punya kasih untuk orang di China; saya aktif di gereja dan saya tidak perlu pergi sampai ke China untuk melayani Allah. Semuanya itu alasan yang benar dan praktis, tapi satu hal yang lupa saya pertimbangkan adalah: apakah kehendak Allah bagi saya?

Hanya setelah tiga atau empat bulan berlalu sebelum tiba-tiba saya dikejutkan dengan kenyataan bahwa saya belum bertanya pada Allah tentang kehendak Tuhan bagi saya. Saya telah memutuskan secara sepihak dan bahkan tidak menyerahkan hal ini dalam doa kepada Allah. Lalu saya berdoa kepada Allah dan berkata, “Bapa, apakah Engkau mau aku ke China? Jika ya, beritahukan dengan jelas kepada saya. Jika saya tidak mendapatkan pesan dari Engkau, maka saya tidak akan pergi.” Itu suatu doa yang keanak-anakan, tapi oleh kasih karunia Allah, Dia membuka hati saya kepada kemungkinan untuk meninggalkan Australia. Dan di bulan-bulan berikutnya, pesan itu menjadi jelas. Allah memberikan kesan yang mendalam di hati saya suatu pesan yang juga Dia berikan kepada Abraham, “Pergilah dari negerimu… ke tanah yang akan Aku tunjukkan padamu.

Tidak ada hal dramatis yang terjadi, tapi Allah berbicara kepada saya melalui khotbah hari Minggu dan juga pembacaan saya akan firman Tuhan. Saya mulai melihat bahwa orang yang berjalan bersama Allah adalah mereka yang rela melangkah keluar dari zona nyaman mereka dan mengikuti Allah sepenuh hati ke mana saja Allah memimpin.

Allah punya rencana yang berbeda bagi setiap orang, tapi bagi saya, saya harus memutuskan apakah untuk mengikuti Dia, sekalipun itu berarti meninggalkan kenyamanan dan hidup saya di Australia. Saya sempat bergumul, tapi saat saya tahu saya dapat mengalami Dia dengan lebih mendalam, sesungguhnya tidak ada pilihan lain melainkan untuk pergi. Saat saya rela melakukan apa yang Allah mau dari saya, semuanya yang menghalang saya untuk pergi itu kelihatannya sepele karena saya tahu Allah akan menyediakan semua yang saya butuhkan. Saya memasukkan permohonan untuk menunda kuliah saya selama satu tahun dan mulai menantikan fasa baru kehidupan saya.

Di awal tahun 2005, bersama dengan saudara-saudara yang lain saya pergi ke China. Rencananya saya akan berada di sana selama satu tahun, tapi saya punya perasaan aneh bahwa saya akan berada di situ lebih lama dari itu. Satu tahun di China itu suatu pengalaman yang luar biasa. Kami tiba di sana tanpa pemahaman apa pun tentang orang dan budaya di sana, tapi kami belajar untuk percaya pada Allah setiap langkah. Doa-doa terjawab. Kekhawatiran dan kelemahan teratasi.

Kami melihat bagaimana Allah memimpin kami untuk bertemu dengan orang yang dalam kebutuhan dan yang tertarik dengan Injil. Kami menjalin persahabatan yang erat dan melihat bagaimana anak-anak muda yang kami kenal mulai berubah karena kasih Allah. Satu tahun dengan cepat berlalu dan akhirnya sudah tiba waktunya untuk pulang. Bagaimanapun, seraya saya memandang kembali pada pengalaman saya di satu tahun itu, saya tidak mau pulang.

Satu tahun itu membuka mata saya untuk melihat kebutuhan orang lain dan mengubah pandangan saya akan kehidupan. Saya mengalami Allah secara pribadi di dalam cara yang tidak pernah saya alami sebelumnya sekalipun saya bertumbuh di dalam lingkungan yang religius. Saya tidak mau mengambil resiko untuk kembali ke kehidupan lama saya dan melupakan tentang semua yang sudah Allah lakukan. Jadi saya mengambil keputusan untuk tetap tinggal di China bersama dengan orang tua saya dan saudara perempuan saya; meninggalkan pendidikan dan masa depan saya di tangan Allah.

Saya tinggal di sana selama satu setengah tahun sebelum masuk ke pelatihan full-time untuk melayani Allah. Pelatihan dua tahun itu membantu saya menjadi dewasa sebagai seorang anak muda yang memahami apa artinya sesungguhnya berhubungan dengan Allah dan melayani umat-Nya. Setelah selesai pelatihannya, pemimpin saya bertanya apakah saya mau menyelesaikan studi saya sambil melayani di Hong Kong. Pikiran itu tidak pernah terlintas di benak saya dan sejujurnya, itu bukan sesuatu yang ingin saya capai lagi. Namun, saat saya melanjutkan diskusi bersama pemimpin saya, saya bisa melihat bahwa jika saya punya kesempatan untuk menyelesaikan kuliah saya, hal itu dapat membantu saya untuk melayani Allah dengan lebih efektif lagi di masa depan.

Kali ini saya tidak ragu untuk meminta pimpinan Allah. Dengan penuh kesungguhan hati saya berkata kepada Allah, “Saya sesungguhnya tidak tahu apa yang terbaik. Beritahukan kepada saya, apakah Engkau mau aku kuliah lagi.” Saya tidak dapat terlalu lama menunda keputusan itu, jadi saya memberi diri saya 10 hari untuk membuat keputusan dan berharap Allah akan memberitahu saya kehendak-Nya. Selama 10 hari, saya merenungkan hal ini dan mempertimbangkan semua yang pro dan kontranya di pikiran saya. Jika saya kuliah, diperlukan tiga tahun sebelum saya wisuda. Saya akan sibuk dengan ujian dan tugasan dan hal itu akan menganggu pelayanan saya di gereja. Namun jika saya selesai kuliah, saya dapat menjangkau lebih banyak orang muda dan pelajar di pelbagai tempat. Kelihatannya tidak ada jawaban yang jelas dari Allah, tapi pada hari yang ke-10, saya tahu saya harus membuat suatu keputusan. Saya berkata kepada Allah, “Tiga tahun itu waktu yang lama, tapi jika dengan belajar lagi saya dapat mengambil bagian dengan lebih efektif di dalam melayani Engkau, maka itulah yang akan saya lakukan. Saya akan kuliah lagi. Harapan saya, Engkau akan menghibur saya jika memang ini yang Engkau mau aku lakukan.” Saya membuat Alkitab pada bacaan saya pada hari itu.

Yesaya 37.30 Dan inilah yang akan menjadi tanda bagimu, hai Hizkia: Dalam tahun ini orang makan apa yang tumbuh sendiri, dan dalam tahun yang kedua, apa yang tumbuh dari tanaman yang pertama, tetapi dalam tahun yang ketiga, menaburlah kamu, menuai, membuat kebun anggur dan memakan buahnya.

Dari perikop ini, saya melihat bahwa segala sesuatu di dalam hidup, dibutuhkan waktu persiapan. Seperti pohon perlu ditanam dan berakar sebelum menghasilkan buah, maka tiga tahun untuk kuliah ini merupakan waktu bagi saya untuk lebih lagi diperlengkapi dan dibentuk untuk melayani Allah. Tidak akan sia-sia waktunya.

Namun, terdapat suatu masalah kecil karena waktu pendaftaran untuk kuliah sudah tutup tiga bulan yang lalu. Mereka memang menerima permohonan yang terlambat tapi kesempatan untuk diterima hanyalah 5% dan itupun jikalau siswanya mempunyai prestasi yang cemerlang dan situasinya unik. Saya tidak yakin saya termasuk dalam kedua golongan itu. Saya sempat ragu apakah mungkin saya harus menunggu satu tahun lagi. Namun saya tahu jikalau rencana untuk kembali belajar ini menyenangkan Allah, Dia akan membuka jalannya. Saya mengambil langkah iman dan memasukkan permohonan saya. Saya menyerahkan hal ini dalam tangan Allah dan mulai melayani di gereja. Saya diterima untuk kuliah di universitas dua bulan setelah itu.

Saat saya memegang surat penerimaan itu, hanya satu kata yang mengungkapkan perasaan saya – ucapan syukur kepada Allah. Saya tahu bahwa kesempatan ini dari Allah. 5 tahun yang lalu, saya mulai kuliah di Australia. 5 tahun kemudian saya berada di Hong Kong untuk memulai pendidikan saya di universitas sekali lagi. Saya seringkali berpikir kembali, dan bertanya-tanya apakah saya seharusnya menyelesaikan kuliah saya di Australia dan setelah itu melayani Allah. Dengan berbuat demikian saya tidak perlu kembali lagi ke titik awal. Tapi saya tidak kembali ke titik awal. Jika saya tidak memilih untuk taat pada pimpinan Allah pada waktu itu, saya mungkin tidak akan pernah meninggalkan zona nyaman saya. Saya tidak akan mengalami semua hal yang terjadi selama 5 tahun ini. Semuanya akan berbeda. Dan saya sudah menjadi orang yang berbeda.

Sekarang, mengimbangi antara kuliah dan melayani di gereja memang suatu tantangan, tapi yang pasti kasih karunia Allah lebih dari cukup bagi saya dan saya menikmati setiap momen. Sebagai anak muda, kita seringkali mencemaskan apa yang di depan dan apa yang akan jadi dengan diri kita. Kita bergumul dengan pilihan yang harus dibuat dan sangat dipengaruhi oleh pengharapan dari masyarakat. Tapi saat Allah yang memimpin jalan kita, gambarannya sama sekali berbeda. Sekalipun jalannya tidak akan mulus tapi yang pasti berjalan bersama Allah itu jauh lebih baik dari apa saja yang dapat Anda bayangkan!