Saya dilahirkan dalam keluarga Kristen. Sejak kecil, orang tua saya sudah mengajarkan pada anak-anak ajaran Alkitab. Saya tahu “peri laku Kristen” yang diharapkan dari saya. Saya tahu bagaimana harus berkelakuan di gereja, di hadapan orang tua, tidak bersifat kasar, menghafal ayat-ayat Alkitab dan seterusnya. Sebagai contoh, kalau saya berkelahi dengan adik saya, walaupun bukan salah saya, ayah saya tetap akan menegur saya karena bagi ayah, berkelahi untuk alasan apapun adalah salah.
Di usia remaja, saya tidak mempunyai hubungan yang baik dengan ayah. Ayah seorang Kristen yang taat dan tidak banyak berbicara. Saya masih ingat, pada waktu kami kecil, saya dan saudara laki-laki mengira ayah tidak mengasihi kami karena dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan para pendeta dibandingkan kita kami di rumah. Kami sadar bahwa dia mengasihi Allah, namun apakah itu berarti dia boleh mengabaikan keluarganya? Karena kesalah-pahaman ini dan juga cara yang keras saya dibesarkan, saya secara pelahan-lahan menjadi orang yang tidak tahu bagaimna untuk mengekspresi diri.
Saat saya mulai bisa berpikir untuk diri saya sendiri, saya merasa tidak nyaman dengan semua larangan dan kekangan yang diterapkan ke atas saya. Mengapa saya tidak boleh mempunyai standar dan prinsip saya sendiri? Mengapa saya harus mengasihi musuh? Apakah itu berarti sebagai seorang Kristen Anda harus mengasihi semua orang – yang baik dan jahat tanpa membedakan? Sekalipun saya tetap dengan ketat berpegang pada ajaran alkitab, saya menganggap itu semua sebagai tugas saja. Saya masih melayani di gereja, namun kebanyakan waktu saya melakukannya demi kemuliaan diri saya sendiri dan berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari orang tua saya. Ini membuat saya lelah dan secara pelahan-lahan hati saya mulai mengeras. Akhirnya saya hanya menjadi seorang Kristen pada nama saja.
Di waktu saya berusia 17 tahun, saya mengambil bagian dalam Sarawak Youth Christian Conference yang diorganisir oleh Gereja Metodis. Di konferensi itu, pendeta mengundang anak-anak Kristen dari keluarga Kristen untuk menyelidiki hati kami, apakah kami telah pernah mengalami Allah dan apakah kami telah lahir baru. Sejak waktu itu, saya mulai berpikir, “Apakah saya sesungguhnya seorang Kristen?” Lalu, saya mulai mencari jawabannya. Allah tidak langsung memberikan kepada saya jawaban yang jelas. Sebaliknya, Allah memimpin saya untuk mengalami Dia, untuk menemukan hal-hal yang kurang di dalam kehidupan Kristen saya.
Pertama pertobatan: 1 Yohanes 1.9, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Di depan mata manusia, saya seorang Kristen yang sempurna. Tetapi jauh di dalam lubuk hati saya, bersarang banyak hal yang tidak diketahui orang seperti kebenaran diri, keangkuhan dstnya. Saya tahu semuanya itu adalah dosa, namun saya meremehkan kasih karunia Allah. Saya mengira karena Allah itu maha pemurah, saya hanya perlu bertobat lewat doa, dan itu sudah cukup. Saya tidak pernah terpikir bahwa saya harus meninggalkan semuanya. Di konferensi itu, saya mengalami pertobatan. Air mata saya mengalir terus, saya benar-benar diinsafkan dan merasakan saya seorang pendosa, dan sangat tidak layak untuk menerima kasihNya. Saya sudah menganggap pasti kasih Allah.
Kedua, menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuan (Savior and Lord). Allah tidak hanya menginginkan seorang “Kristen hari Minggu”. Dia tidak menghendaki orang Kristen yang di dalam gereja saja. Apa yang Allah kehendaki adalah orang Kristen berkemenangan yang menjalani kehidupan Kristen selama tujuh hari seminggu. Hal ini hanya dapat terjadi kalau Yesus adalah benar-benar Juruselamat dan Tuan atas kita. Sekalipun saya bisa berpura-pura menjadi seorang Kristen yang sempurna di mata semua orang, saya tidak bisa berpura-pura saat saya sendiri. Hanya apabila Kristus adalah Juruselamat dan Tuan saya, saya dapat mempunyai iman dan kuasa untuk memuliakan dia setiap waktu.
Ketiga tentang penerimaan Roh Kudus. Saya dibaptis saat muda namun tidak pernah mengalami Roh Kudus. Hanya pada saat saya bertobat dan menerima Kristus sebagai Juruselamat dan Tuan, saya mengalami-Nya. Saya dihiburkan lewat firman Allah. Saya diingatkan dengan satu ayat lewat Roh Allah, “Janganlah berlaku demikian hanya pada waktu kalian diawasi, hanya untuk mendapat pujian manusia. Tetapi hendaklah kalian melakukannya sebagai hamba Kristus yang sedang menuruti kemauan Allah dengan sepenuh hati. (Eph 6:6 BIS).” Saat saat mulai kendor, Roh Kudus akan mengingatkan saya melalui ayat ini.
Perubahan-perubahan ini tidak bersifat eksternal, namun dari hati. Jika bukan karena kasih-Nya, saya tidak akan mempunyai keberanian dan kekuatan untuk mengalahkan dosa dalam hidup saya. Sekarang, hubungan saya dengan ayah saya sudah berubah, saya mulai mendekatinya dan berbicara dengannya, dan saya menjadi lebih mengenal dia. Dia juga senang melihat perubahan di dalam diri saya namun saya rindu untuk memulihkan hubungan dengan adik laki-laki saya. Walaupun kami punya masalah di waktu lalu, namun sekarang saya sudah bisa menulis kepadanya dan memberitahunya bahwa saya mengasihi dia. Semua perubahan ini terjadi di dalam hati, saat saya rela mengasihi dan melayani Dia dengan segenap hati. Saya menjadi lebih mengalami Dia. Karena itu, saya ingin bersyukur kepada Allah, karena Dia telah memberikan saya kesempatan untuk mengenal Dia sejak kecil dan menerima keselamatan dari-Nya setelah saya beranjak dewasa. Tuhan bagi saya bukan hanya satu agama maupun konsep namun Pribadi yang nyata dan masih bekerja di dalam hati manusia. Amin.
Susan Ong