new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Seorang murid universitas sedang berada di kelas filosofi dimana ada diskusi mengenai keberadaan Tuhan. Profesornya menyajikan logika seperti berikut:

“Apakah ada orang di kelas ini yang pernah mendengarkan Tuhan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Apakah ada orang di kelas ini yang pernah memegang Tuhan?”

Tetap tidak ada yang menjawab.

“Apakah ada orang dikelas ini yang pernah melihat Tuhan?”

Ketika tidak ada yang menjawab untuk ketiga kalinya, dia kemudian dengan mudahnya berkata, “Maka tidak ada Tuhan.”

Seorang murid berpikir sejenak, kemudian dia meminta izin untuk menjawab. Dengan rasa ingin tahu untuk mendengarkan jawaban murid yang berani ini, profesor itu mengizinkan murid ini untuk menjawab, dan murid ini berdiri dan bertanya pertanyaan-pertanyaa berikut kepada teman-teman sekelasnya:

“Apakah ada orang di kelas ini yang pernah mendengarkan otaknya profesor?”

Hening.

“Apakah ada orang dikelas ini yang pernah memegang otak profesor kita ini?”

Hening lagi.

“Apakah ada orang dikelas ini yang pernah melihat otak profesor kita ini?”

“Ketika tidak ada seorang pun di kelas itu yang berani berbicara, maka murid itu menyimpulkan, “Maka, berdasarkan logika profesor kita,  maka pasti benar bahwa profesor kita tidak memiliki otak!”

(…Murid ini mendapatkan nilai “A” di kelas tersebut)