Selama bertahun-tahun, C.S Lewis penulis karya Narnia, merupakan seorang ateis yang sangat sulit untuk diyakinkan tentang keberadaan Tuhan. Dibutuhkan pergumulan intelektual yang panjang sebelum Lewis akhirnya menerima keberadaan Tuhan. Lewis seringkali membombardir teman-temannya di Oxford, tempatnya belajar dan tempat dimana akhirnya ia mengajar, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang baginya memang tidak ada jawabannya.
“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu kejam?”
“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan seorang bayi meninggal?”
“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan hewan yang tidak berdaya menderita sakit?”
“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu besar tapi hanya satu planet yang dapat didiami?”
“Mengapa alam semesta ciptaan Tuhan Anda ini berjalan sesuai dengan perkiraan para ilmuwan?”
“Jika Tuhan Anda itu baik dan maha kuasa, mengapa begitu banyak dari makhluk ciptaan-Nya yang tidak gembira? Bukankah Ia maha pengasih?”
“Mengapa manusia selalu terlibat dalam perang dan saling membunuh?”
Salah satu teman diskusinya adalah J.R.R Tolkien, penulis trilogi “Lord of the Ring” yang sangat dihormati Lewis sebagai lawannya dalam berdebat. Salah satu hal yang membuat Lewis mempertimbangkan keberadaan Tuhan yaitu dikarenakan hampir semua teman-temannya yang brillian di Oxford merupakan orang yang percaya pada Tuhan, termasuk Tolkien. Di benaknya, ia sering dibayangi pertanyaan, “Mengapa?”
Lewis adalah sosok yang sangat gemar membaca. Semua karya tulisan dari penulis barat yang terkenal dipelajari dan diteliti olehnya. Chesterton, Samuel Johnson, Spenser, Milton, Dante, John Donne, George Herbert dan Bunyan. Ia menemukan bahwa tulisan mereka sangat mendalam, kaya dan begitu nyata dalam menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dan penulis-penulis ini semuanya merupakan orang Kristen. Bagaimana dengan penulis-penulis humanis yang terbesar, yang kebanyakannya adalah ateis? George Bernard Shaw, H.G Wells, John Stuart Mill dan Voltaire – mengapa karya mereka terkesan begitu dangkal, tidak kaya ataupun berisi makna bagi kehidupan sehari-hari?
Pada waktu itu Lewis hanya percaya pada rasionalisme dan materialisme. Tetapi di dalam pencariannya yang panjang, ia akhirnya harus mengakui bahwa materi dan rasio tidak dapat menjelaskan pengalaman manusia. Setelah begitu banyak membaca, ia semakin menyakini akan eksisnya satu pengaruh supranatural. Tetapi masih sulit baginya untuk menerima bahwa rasio yang berada di balik alam semesta ini atau pengaruh supranatural itu adalah Tuhan.
Malam demi malam ia bergumul sendirian di kamarnya di Magdalen Kolej, ia terus menolak untuk menerima identitas dan realitas Sang Mutlak. Di musim semi 1929, saat ia sedang berada di dalam sebuah bus di Oxford, tanpa kata-kata dan sesuatu apapun, tiba-tiba ia merasa terbebani dan dingin, seperti manusia es yang tidak terjangkau. Sesaat ia merasa harus membuat suatu keputusan. Lalu, hatinya yang sekeras batu, sedikit demi sedikit mulai mencair. Ia kemudian percaya. Di dalam kesendiriannya di atas bus, ia akhirnya mengakui bahwa Yang Mutlak adalah Roh. Roh adalah Tuhan. Dan Lewis menjadi seorang percaya (theis).
Ia menulis pada temannya, “Aku menyerah. Aku mengaku Tuhan adalah Tuhan.” Ia menggambarkan dirinya sebagai orang percaya yang paling enggan dan patah hati. Ia menulis kepada teman baiknya, “Hal-hal yang mengerikan sedang terjadi kepada saya, sebaiknya Anda segera datang untuk menemui saya, jika tidak saya mungkin akan masuk biara…”
Walaupun Lewis akhirnya menerima eksisnya Tuhan tetapi ia masih belum dapat memahami seluruh konsep tentang Kristus. Ia tidak dapat memahami bagaimana kehidupan dan kematian seseorang yang hidup 2000 tahun yang lalu dapat membantunya sekarang. Ia cukup mengenal Kekristenan untuk mengetahui bahwa teladan Kristus bukanlah jantung dari Kekristenan. Ia tahu bahwa ia harus menyakini bahwa darah Domba Allah itu telah menebusnya sekarang.
Lewis mendiskusikan dilemanya dengan Tolkien. Di suatu malam saat mereka berjalan-jalan di antara rusa dan pohon-pohon besar di taman, Lewis mengutarakan dilema yang dialaminya.
Tolkien berkata, “Kekristenan adalah kebenaran, satu fakta historis.”
“Jika saya tidak memahami makna penyaliban atau kebangkitan atau penebusan, bagaimana saya dapat percaya pada Kristus?” Lewis berdiskusi.
Tolkien yang tahu Lewis sangat menyukai naskah bukunya tentang Hobbit dan mitos, yang akhirnya diterbitkan sebagai trilogi, “Lord of the Ring”, bertanya, “Anda sangat menyukai mitos, bukan?
“Tentu saja” jawab Lewis.
“Apakah Anda senang dengan unsur seorang tuhan yang mati namun hidup kembali?”
“Ya”, aku Lewis, “tapi saya tidak tahu mengapa”.
“Saya juga tidak,” jawab Tolkien. “Mengapa Anda begitu menuntut kejelasan tentang Kekristenan? Terima saja fakta bahwa Kekristenan adalah mitos yang sesungguhnya terjadi.”
“Tetapi mitos itu bohong,” Lewis berargumentasi, “tidak ada nilainya, walaupun mitos begitu menyenangkan.”
“Tidak,” Tolkien berpendapat, “mitos yang Anda katakan bohong itu adalah mitos manusia, walaupun mereka mengandung sedikit kebenaran. Mitos yang sepenuhnya benar – kelahiran, kematian dan kebangkitan Kristus – adalah mitos Allah.”
“Mungkin saya terlalu menuntut dari suatu misteri, tetapi bukankah percaya itu pada akhirnya adalah kasih karunia dari Allah?” Lewis menalar.
Seminggu setelah percakapan itu, Lewis dibonceng oleh kakaknya, Warnie untuk mengunjungi kebun binatang. Perjalanan ke kebun binatang itu hanya berjarak 50 km, tetapi bagi Lewis perjalanan itu menempuh jarak 2000 tahun. Lewis sendiri tidak dapat merumuskan proses atau alasan yang dapat menjelaskan tentang apa yang terjadi. Ia berkata, bahwa seolah-olah selama ini ia sedang tertidur lena dan tiba-tiba ia sadar dan bangun. Saat ia turun dari sepeda motor itu, ia percaya pada Kristus. Lewis dengan rendah hati menyimpulkan, “Itulah kasih karunia Tuhan”. Pada waktu itu Lewis berusia 33 tahun.
Buku pertama yang ditulisnya setelah ia percaya adalah Pilgrim Regress yang mendapat sambutan yang baik dari publik. Lewat buku-buku dan program-program radionya yang popular, Lewis banyak menyakinkan orang awam akan kebenaran Kekristenan. Tetapi Lewis juga sangat menyadari bahwa banyak orang tertarik dengan Kekristenan pada awalnya tetapi, setelah mereka mempelajarinya lebih dalam, mereka akan menolak dengan keras. Karena Kekristenan itu tidak mudah. Tuhan menuntut penyerahan yang total dan memperlihatkan kepada manusia akan jurang yang begitu besar antara daging dan yang supranatural.
Untuk menyadarkan orang Kristen akan bahaya yang mengiringi perjalanan spiritual orang percaya, Lewis menulis 31 artikel yang akhirnya dibukukan menjadi The Screwtape Letters. The Screwtape Letters merupakan surat-surat dari seorang setan senior kepada setan junior, yang sedang belajar bagaimana untuk menghancurkan iman orang Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1942 dan Lewis mendedikasikan buku itu kepada Tolkien.
Pergumulan intelektual Lewis dari seorang ateis menjadi seorang percaya membuatnya calon yang tepat untuk menulis tentang apologetika atau mempertahankan iman Kekristenan. Lewis akhirnya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang sering dipakainya untuk menantang orang-orang percaya. Buku yang berjudul The Problems of Pain yang bertujuan untuk menjelaskan penderitaan kemudian menerima sambutan yang hangat di kalangan orang awam. Ia berkata kepada kakaknya, “Saya harus menyakinkan pembaca bahwa saya menganjurkan Kekristenan bukan karena saya menyukainya atau karena itu baik bagi masyarakat, tetapi karena Kekristenan adalah kebenaran. Hal ini memang terjadi. Suatu fakta sentral dalam keberadaan kita!” Dari seseorang yang keras menolak kebenaran, Lewis kemudian menjadi seseorang yang tidak tergoyahkan dalam keyakinannya akan kebenaran dan eksistensi Tuhan.
(Artikel berdasarkan buku berjudul “C.S. Lewis, Creator of Narnia” oleh Sam Wellman, 1997.)