new-header-kesaksian

 

Tas sudah dikemas dan saya sudah tidak sabar untuk memasuki fasa baru kehidupan saya. Kakak saya mengajak,  “Ayo Joni, mari kita renang.” Lalu saya mengikutinya ke pantai. Terdapat satu rakit yang berlabuh tidak jauh dari pantai. Saya langsung berenang ke arah rakit itu dan naik ke atas. Pikir saya air di situ dalam, jadi tanpa berpikir panjang saya langsung terjun.

Sesaat kemudian kepala saya menghantam dasar laut, dan tubrukan yang keras itu langsung mematahkan tulang leher saya. Tidak ada rasa sakit, tetapi saya tahu sesuatu yang mengerikan sudah terjadi, karena saya merasakan seolah-olah tangan saya terpisah dari tubuh saya. Dalam waktu sedetik, seluruh kehidupan saya berubah total.

Kecelakaan ini menimpa Joni Earekson Tada ketika ia berusia 17 tahun. Sejak itu Joni lumpuh dari bagian leher dan hidupnya harus dijalani di atas kerusi roda. Dari seorang remaja yang aktif dan atletis, sekarang ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dibantu. Dua tahun pertama, hari-harinya dijalani di rumah sakit dan pusat rehabilitasi, ia mengalami depresi dan kekecewaan. Baginya hidupnya sudah tamat. “Saya depresi. Saya patah semangat. Malam-malam tertentu saya akan dengan keras coba menghantam kepala saya di bantal dengan harapan saya dapat membunuh diri. Saya mau mati. Saya juga berpikir jika saya ditinggalkan di atas kerusi roda yang dapat dikemudi sendiri, saya akan menuju ke tempat tinggi dan terjun dari situ.”

Banyak teman-teman dari gereja yang mengunjungi dan coba menghibur saya. Salah satu ayat Alkitab yang diberikan kepada saya oleh teman saya adalah dari Perjanjian Baru, 1 Tesalonika 5:18, “Dalam segala hal, bersyukur, karena inilah kehendak Tuhan dan Yesus Kristus bagi-mu.” Jawab saya, “Apa, Anda pasti bercanda. Saya tidak merasa bersyukur untuk ini. Sama sekali tidak. Teman saya berkata, “Joni, dengarlah. Tidak dikatakan Anda harus merasa bersyukur. Mempercayai Tuhan tidak ada kaitannya dengan perasaan mempercayai. Dikatakan di sini adalah bersyukur. Jadi, Ambillah langkah iman dan lakukanlah.” Ini permulaan dari pergumulan panjang bagi Joni untuk menerima situasinya.

Suatu malam, saat saya terlantar sendirian di rumah sakit, saya membuat satu keputusan. Saya berkata, “Tuhan, jika saya tidak dapat mati, tolonglah tunjukkan kepada saya bagaimana saya harus hidup, karena saya tidak suka dengan kelumpuhan ini. Saya tidak siap. Saya tidak tahu suatu apa pun tentang kelumpuhan. Itu bukan hal yang saya bayangkan untuk kehidupan saya. Tuhan, jika memang saya tidak dapat mati, tunjuklah kepada saya bagaimana saya harus hidup.”

Dan selama 39 tahun Tuhan dengan setia sudah menunjukkan kepada Joni bagaimana ia harus hidup. Joni sudah melakukan jauh lebih banyak dari orang yang sehat tubuh jasmaninya. Membaca kisah hidupnya mau tidak mau kita harus menyimpulkan bahwa semangat juangnya yang tak terkalahkan dan sikap hatinya yang benar dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan kunci bagi pencapaian dan keberhasilannya.

Walaupun Joni tidak dapat menggerakkan bahkan jari di tangannya tetapi jutaan orang sudah digerakkan lewat teladan kehidupannya. Walaupun tangan dan kakinya tidak berfungsi tetapi terpenjara di dalam tubuhnya adalah jiwa dan akal budi yang merupakan anugerah dari Tuhan. Joni sudah menulis lebih dari 35 buah buku dan program radionya disiarkan di lebih dari 1000 stasiun dengan pendengar yang berjumlah jutaan orang. Lewat organisasi Joni and Friends yang didirikannya, Joni menjangkau ribuan penyandang cacat di Amerika dan seluruh dunia. Pada tahun 2005 Joni dilantik oleh Pemerintah Amerika menjadi anggota Komite yang menasihati Sekretaris Negara Condoleeza Rice mengenai kebijakan dan program yang berkaitan dengan penyandang-penyandang cacat di Amerika dan di seluruh dunia. Katanya “Penderitaan telah membuat saya lebih peka terhadap luka dan penderitaan orang lain.”

Apakah Joni tidak merasa lemah dan depresi? Apakah mudah baginya untuk menjalani seluruh kehidupannya dalam keadaan lumpuh itu? Setiap pagi seorang temannya akan membantu Joni mandi, memakaikan pakaiannya, menyisir rambutnya, menyikat gigi, membersihkan ingusnya dan menempatkannya di atas kerusi roda. Terdapat hari-hari di mana mata saya masih terpejam dan saya berpikir, “Tuhan, saya tidak punya kekuatan untuk ini. Saya tidak dapat menghadapi ini. Saya tidak dapat – saya tidak bisa. Saya tidak punya senyuman untuk diberikan kepada teman yang akan membantu saya ini. Tapi Tuhan, Engkau punya kekuatan. Engkau punya kuasa. Dapatkah saya meminjam senyuman Engkau? Dan saat teman wanita saya masuk ke kamar saya dengan secangkir kopi dan menyapa saya “Selamat pagi.” Saya dapat memberinya senyuman yang telah saya perjuangkan tadi, yang telah saya menangkan dari surga.

Setiap pertempuran dengan kedagingan kita, dimenangkan di tingkat hati. Jika sikap kita benar otomatis kita punya kekuatan untuk berbuat benar. Bahkan bagi Joni yang sudah begitu ajaib dipakai Tuhan, ia tetap harus terus mempertahankan sikap hati yang benar di hadapan Tuhan, bagaimana dengan kita?

(Sumber: Larry King Interview CNN  6 Aug 2004, Joni and Friends Website)