Charles G Finney |
Beberapa pertanyaan tentang perbedaan di antara orang Kristen yang sejati dan palsu
1. “Jika kedua kelompok itu sangat mirip dalam banyak hal, lalu bagaimana cara agar kita bisa mengenali karakter kita sendiri, atau mengetahui di dalam kelompok mana kita berada?”
Kita sama-sama tahu bahwa hati ini sangat penuh dengan tipu daya, dan memang sangat licik (Yer. 17:9), jadi bagaimana kita bisa tahu bahwa kita memang mengasihi Allah dan juga kekudusan, atau kita ini sekadar mencari imbalan dari Allah, mengejar tempat di surga demi kepentingan pribadi?
Jika kita benar-benar memiliki kebajikan, hal itu akan tampak dari tindakan kita sehari-hari.
Jika di dalam cara kita berurusan dengan orang lain itu kita dilandasi oleh watak yang egois, maka keegoisan itu juga akan melandasi cara kita berurusan dengan Allah. “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1 Yoh 4:20).
Menjadi seorang Kristen bukan sekadar urusan mengasihi Allah, melainkan juga hal mengasihi sesama manusia. Dan jika tindakan sehari-hari kita dilandasi oleh keegoisan, maka kita ini bukan orang yang sudah bertobat – sebab, jika kita tetap tergolong sebagai orang Kristen, maka itu berarti kita bisa menjadi seorang Kristen tanpa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Jika Anda tidak egois, maka tanggungjawab spiritual Anda tidak akan menjadi suatu beban bagi Anda. Sebagian orang mengerjakan perintah Allah dengan sikap hati yang sama seperti seorang pasien yang meminum obat dari dokter – yakni karena dia berharap untuk bisa mendapatkan hasil yang baik buat dirinya pribadi, dan dia tahu bahwa dia harus meminumnya atau menghadapi kematian. Pelaksanaan itu selalu dia jalankan atas rasa terpaksa.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda akan sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi harapan Anda untuk bisa masuk ke surga.
Saat Anda merasa sangat yakin bahwa Anda akan masuk surga, maka Anda akan sangat menikmati kehidupan Kristen Anda. Sukacita Anda bergantung pada harapan Anda, bukan karena kasih Anda pada hal-hal yang sedang Anda harapkan itu. Saya tidak menyatakan bahwa orang-orang kudus itu tidak bersukacita akan pengharapan mereka, akan tetapi harapan itu sendiri bukan hal yang terpenting bagi mereka. Mereka tidak banyak memikirkan tentang harapan pribadi mereka karena pikiran mereka tersita akan hal-hal yang jauh lebih bernilai.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda lebih banyak dipengaruhi oleh penantian akan harapan pribadi Anda. Orang-orang kudus yang sejati bersukacita di dalam damai sejahtera yang datang dari Allah dan surga sudah terbentuk di dalam jiwa mereka. Ia tidak menunggu sampai mati nanti baru akan menikmati sukacita hidup kekal. Sukacitanya begerak sejajar dengan kekudusannya, bukan dengan harapan pribadinya.
Orang yang terperdaya atau tersesat hanya mengejar hasil dari ketaatan, sedangkan orang kudus memiliki jiwa yang taat.
Ini adalah perbedaan yang penting, dan saya kuatir hanya sedikit orang yang bisa memiliki jiwa yang taat itu. Orang kudus yang sejati memang benar-benar memiliki kecenderungan untuk taat, dan ketaatannya itu bersumber dari dalam hatinya – oleh karenanya, ketaatan itu menjadi hal yang mudah baginya. Petobat palsu bertekad untuk menjadi kudus karena tahu bahwa hanya itu jalan untuk mengejar kebahagiaan. Orang kudus yang sejati memilih kekudusan karena kasihnya pada kekudusan, dan dia memang kudus.
Petobat yang sejati dan yang palsu juga memiliki perbedaan dalam iman mereka.
Orang kudus sejati memiliki keyakinan akan kepribadian dan karakter Allah, dan keyakinan ini membawa mereka pada ketaatan yang sepenuh hati kepada Allah. Keyakinan yang sejati kepada janji-janji khusus Tuhan bergantung pada keyakinan akan kepribadian Allah. Hanya ada dua dasar bagi segala jenis pemerintahan, baik yang ilahi maupun yang manusiawi, yang ditaati karena ditakuti atau karena dipercaya. Segala jenis ketaatan bersumber dari salah satu dari kedua prinsip itu.
Di satu sisi, orang menjadi taat karena berharap mendapat imbalan atau takut akan hukuman. Sedangkan di sisi lain, ketaatan itu datang dari keyakinan akan karakter dari pemerintahan, yang dijalankan dengan kasih. Seorang anak mentaati orang tuanya karena dia mengasihi dan mempercayai mereka. Yang lain mungkin menunjukkan ketaatan di permukaan saja karena dilandasi oleh rasa takut dan harapan akan imbalan. Petobat yang sejati memiliki iman, atau keyakinan kepada Allah, yang mendorong dia untuk taat kepada Allah atas dasar kasih. Inilah yang disebut ketaatan iman.
Orang yang tersesat hanya memiliki iman yang separuh-separuh, begitu pula dengan ketaatannya. Iblis juga memiliki iman yang separuh-separuh. Dia percaya dan gemetar ketakutan. Seseorang mungkin meyakini bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan orang berdosa, dan berdasarkan pengetahuan itu maka dia mentaati Kristus untuk diselamatkan. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya tunduk pada kedaulatan Kristus, atau memberi Kristus kendali atas kehidupannya.
Ketaatannya dilandasi oleh syarat bahwa dia akan diselamatkan. Dia tidak pernah dengan sepenuh hati – tanpa menyimpan sesuatu hal lain di hatinya – meyakini segenap kepribadian Allah sehingga membuat dia bisa berkata, “Kehendak-Mu jadilah.” Keyakinan agamanya berbentuk keyakinan akan seperangkat aturan atau hukum. Jenis yang lainnya lagi, memiliki Injil iman; kepercayaannya berlandasakan iman. Yang satu egois, yang satunya lagi dilandasi kebajikan. Di sinilah letak perbedaan sejati dari kedua kelompok tersebut. Kehidupan keagamaan yang satu hanya tampak di permukaan dan bersifat munafik. Yang satunya lagi bersumber dari dalam hati – kudus dan berkenan kepada Allah.
Jika Anda egois, maka Anda hanya bersukacita atas pertobatan seseorang di mana Anda memiliki peranan di dalamnya.
Anda hanya sedikit merasa puas jika pertobatan itu terjadi melalui peranan orang lain. Orang yang egois bersukacita saat dia yang beraktifitas dan berhasil mempertobatkan orang berdosa, karena dia berpikir bahwa dengan itu dia akan menerima imbalan. Akan tetapi dia akan menjadi iri saat melihat orang lain membimbing seorang berdosa kepada Kristus. Orang kudus yang sejati bersukacita melihat orang lain bisa menunjukkan bahwa dia berguna, dan bersukacita melihat seorang berdosa dipertobatkan melalui peranan orang lain, seolah-olah dia juga ikut ambil bagian dari peristiwa itu
2. “Bukankah saya juga perlu memperhatikan kebahagiaan pribadi saya?”
Tidak salah jika Anda peduli dengan kebahagiaan pribadi Anda sesuai dengan nilai relatifnya. Takarlah kebahagiaan pribadi Anda itu terhadap kemuliaan Allah dan juga kebaikan bagi alam semesta, kemudian baru Anda putuskan – berilah nilai yang sesuai bagi kebahagiaan pribadi Anda itu. Itulah hal yang telah dilakukan oleh Allah. Dan makna inilah yang Dia maksudkan ketika Dia memberi Anda perintah untuk mengasihi sesama manusia seperti diri Anda sendiri.
Menarik sekali, semakin Anda abaikan kebahagiaan pribadi Anda, maka Anda akan menjadi semakin bahagia. Kebahagiaan yang sejati terutama diisi oleh pemenuhan hasrat-hasrat yang tidak egois. Jika Anda bermaksud mengerjakan sesuatu karena memang mengasihi hal yang Anda kerjakan itu, maka kebahagiaan Anda akan bergerak sejajar dengan pancapaian Anda dalam tindakan tersebut. Namun jika Anda berbuat baik hanya untuk mempertahankan kebahagiaan Anda, maka Anda akan gagal. Anda akan seperti anak kecil yang sedang mengejar bayangannya sendiri; dia tidak akan pernah berhasil mendapatkannya, karena bayangan itu akan selalu memiliki jarak dengannya.
3. “Bukankah Kristus memandang bahwa sukacita itu terletak di depan-Nya?”
Memang benar bahwa Yesus mengabaikan rasa malu dan memikul salib, dan memandang kebahagiaan yang terbentang di hadapan-Nya. Akan tetapi kebahagiaan macam apakah yang terbentang di hadapan-Nya itu? Bukan keselamatan pribadi-Nya, bukan sukacita-Nya sendiri, melainkan kebaikan luar biasa yang akan Dia kerjakan bagi keselamatan dunia. Kebahagiaan orang lainlah yang menjadi tujuan-Nya. Dengan demikian, kebahagiaan itu memang terbentang di hadapan-Nya…dan memang kebahagiaan itulah yang Dia dapatkan.
4. “Bukanlah Musa juga mencari imbalan?”
Benar, Musa mencari imbalan. Namun apakah imbalan itu demi keuntungan pribadinya? Jauh dari itu. Hadiah itu adalah keselamatan bag umat Israel. Pernah Allah berniat membinasakan umat Israel membangun satu bangsa besar dari keturunan Musa. Jika Musa egois, tentunya dia akan berkata, “Benar, Tuhan, Biarlah terjadi seperti yang Kau kehendaki atas hamba-Mu ini.” Namun apa yang dia katakan? Mengapa hatinya begitu terpaku pada keselamatan umatnya, dan juga kemuliaan Allah, sehingga dia bahkan tidak berpikir untuk menerima niatan Tuhan tersebut. Sebaliknya, dia justru berkata, “Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” (Kel. 32:32). Tanggapans semacam ini tidak keluar dari orang yang egois.
5. “Bukankah Alkitab berkata bahwa kita ini mengasihi Allah karena Allah lebih dulu mengasihi kita?”
Memang ada disebutkan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1 Yoh 4:19). Kalimat itu memiliki dua macam makna:
1) Kasih-Nya kepada kita memungkinkan kita untuk mengasihi Dia; atau 2) Kita ini mengasihi Dia karena kebaikan dan pemihakan yang telah Dia tunjukkan kepada kita. Makna yang kedua itu jelas tidak benar karena Yesus Kristus dengan jelas menyatakan satu prinsip di dalam Khotbah di Bukit: “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.” (Luk 6:32).
Jika kita mengasihi Allah, bukan karena kepribadian-Nya melainkan karena pemihakan-Nya kepada kita, berarti kita ini tidak ada bedanya dengan orang yang belum bertobat.
6. “Bukankah Alkitab menawarkan kebahagiaan sebagai upah dari kebenaran?”
Alkitab menyebutkan kebahagiaan sebagai hasil dari kebenaran, akan tetapi tidak ada disebutkan bahwa kebahagiaan Anda itu adalah alasan untuk berbuat baik.
7. “Mengapa Alkitab terus berbicara tentang harapan dan ketakutan pada manusia jika kepedulian akan kebahagiaan pribadi Anda bukanlah suatu motif yang tepat bagi tindakan-tindakan Anda?”
Manusia pada dasarnya cenderung untuk merusak, dan memang tidaklah salah bertindak menghindarinya. Kita memang boleh peduli akan kebahagiaan kita, namun selalu dengan penilaian yang wajar.
Dan juga, manusia itu mabuk dengan dosa-dosa sehingga Allah tidak bisa masuk ke dalam perhatian mereka, agar mereka bisa mempertimbangkan tentang kepribadian-Nya yang sejati dan alasan-alasan untuk mengasihi Dia, kecuali jika Dia bergerak mengincar harapan dan ketakutan-ketakutan mereka. Namun begitu mereka disadarkan, maka Dia akan menawarkan Injil kepada mereka. Saat seorang penginjil berkhotbah tentang kengerian yang berasal dari Tuhan, sehingga pendengarnya terkejut dan tersadar, selanjutnya dia akan menyampaikan tentang kepribadian Allah kepada mereka, untuk menarik hati mereka agar mengasihi Dia karena kesempurnaan karakter-Nya itu.
8. “Bukankah Injil menawarkan pengampunan sebagai dasar bagi motivasi ketaatan?”
Jika yang Anda maksudkan adalah bahwa seorang berdosa disuruh untuk bertobat dengan janji bahwa dia akan diampuni, maka perlu saya katakan bahwa Alkitab tidak pernah menyampaikan hal yang semacam itu. Alkitab tidak pernah mendorong seorang berdosa untuk berkata, “Aku akan betobat jika Engkau mau mengampuni.” Dan memang tidak ada tawaran pengampunan sebagai pendorong untuk pertobatan.
Beberapa catatan penutup
1. Sebagian orang lebih giat mempertobatkan orang berdosa daripada mengupayakan pengudusan jemaat dan pemuliaan nama Allah melalui perbuatan baik umat-Nya.
Banyak orang yang ingin melihat orang lain diselamatkan, bukan karena kehidupan dan perbuatan orang itu menyakiti serta mempermalukan Allah, melainkan karena mereka prihatin akan orang tersebut dan tidak ingin melihat dia masuk neraka. Orang kudus sejati merasa sedih melihat dosa, karena dosa mempermalukan nama Allah. Dan mereka paling prihatin saat melihat orang Kristen berbuat dosa karena itu bahkan lebih mempermalukan Allah.
Sebagian orang tampaknya tak begitu peduli akan keadaan Jemaat, selama mereka bisa mempertobatkan lebih banyak orang lain, bagi mereka ‘keberhasilan’ penginjilan sama dengan ‘keberhasilan’ Jemaat, namun mereka tidak begitu peduli apakah Allah dipermalukan atau dipermuliakan lewat kehidupan Jemaat itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak didorong oleh kasih yang murni kepada Allah dan kekudusan, melainkan pada perasaan manusiawi mereka terhadap si orang berdosa itu.
2. Berdasarkan semua hal yang telah saya sampaikan itu, sangatlah mudah untuk memahami mengapa banyak orang yang mengaku Kristen namun memiliki pandangan yang begitu berbeda tentang apa sebenarnya Injil itu
Sebagian orang memandang Injil hanya sebagai suatu hiburan saja bagi umat manusia, di mana Allah ternyata bukanlah Pribadi yang seketat apa yang disampaikan dalam Hukum Taurat. Mereka mengira bahwa mereka bisa menjadi seduniawi apapun, dan Injil akan tetap menutupi kekurangan mereka serta menyelamatkan mereka.
Yang lain lagi, memandang Injil sebagai karunia ilahi dari Allah, dengan tujuan utama memusnahkan dosa dan menumbuhkan kekudusan. Oleh karenanya, kekudusan yang kurang dari yang dituntut dari dalam hukum Taurat adalah hal yang sangat mereka tolak, nilai Injil justru terletak dari kuasa untuk menjadikan mereka kudus.
“Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Atau, apakah kamu tidak menyadari bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu – melainkan kamu tidak tahan uji.” (2 Kor 13.5 NASB)”
(Artikel ini diedit dan disusun ulang oleh Melody Green & Martin Bennet dan diterjemahkan oleh Cahaya Pengharapan Ministries)