Pastor Eric Chang | Matius 23:29-39 |

Kita akan melanjutkan eksposisi kita tentang ajaran Yesus di Matius 23:29-39. Ucapan ini ditujukan kepada para pemimpin agama pada zaman itu, yakni para ahli Taurat dan orang-orang Farisi:

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu.

 

Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu! Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka? Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!”

“Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Lihatlah rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi. Dan Aku berkata kepadamu: Mulai sekarang kamu tidak akan melihat Aku lagi, hingga kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!”


Ungkapan ‘Anak-anak iblis’ ditujukan kepada para pemimpin

Di pesan yang lalu, kita melihat bahwa ayat 33 berbicara tentang keturunan ular beludak. Para pemimpin agama pada waktu itu, bukannya menjadi orang benar sebagaimana seharusnya, justru menjadi keturunan ular beludak.

Sebagai kontras dari pokok ini, di ayat 37, disebut tentang anak-anak ayam yang dikumpulkan di bawah sayap induknya, yang dalam hal ini adalah Yesus. Jadi kita melihat ada perbedaan antara anak-anak ayam dengan keturunan ular beludak. Anak-anak Allah, dalam kasus ini diwakili oleh anak-anak ayam, dan anak-anak iblis dilambangkan dengan keturunan ular beludak. Dan kita bisa melihat perbedaan antara anak-anak Allah, di satu sisi, yakni anak-anak ayam yang di dalam setiap situasi akan berkumpul di bawah sayap Yesus.

Namun berbeda dengan ular beludak, “Berkali-kali Aku rindu untuk mengumpulkanmu akan tetapi kamu tidak mau!” Tentu saja ular beludak tidak akan mau berkumpul di bawah sayap induk ayam. Hanya anak-anak ayam yang mau berkumpul di bawah sayap induk ayam. Dengan demikian kita bisa melihat perbedaan yang mendasar dalam hal anak-anak iblis. Perlu diperhatikan bahwa ucapan ini ditujukan kepada para pemimpin agama, jadi bukan orang-orang tidak percaya yang dikatakan sebagai anak-anak iblis di sini.


Keberadaan sebagai anak bukan sekadar masalah status

Sangatlah penting untuk dipahami bahwa, di dalam Perjanjian Baru, kedudukan sebagai anak itu bukanlah perkara status. Keberadaan sebagai anak di dalam Alkitab itu adalah hal yang dicerminkan lewat perilaku, dalam hal siapa kita ini dan tentang bagaimana cara kita berperilaku.

Izinkan saya untuk menggunakan ayah saya sebagai contoh. Ayah saya adalah seorang atasan yang sangat keras di dalam departemen atau jajaran yang beliau pimpin. Mengapa? Karena beliau mengharapkan agar setiap orang di dalam departemennya akan melakukan yang terbaik. Ayah saya bekerja untuk pemerintah. Dan hal yang mendorongnya untuk giat bekerja adalah karena rasa cinta terhadap tanah air. Beliau memandang bahwa setiap orang Tiongkok harus melakukan yang terbaik bagi negerinya. Beliau telah memberikan yang terbaik bagi negerinya, dan beliau pun mengharapkan hal yang sama dari setiap bawahannya. Jadi beliau akan datang satu setengah jam sebelum orang lain datang, dan akan pulang satu setengah jam setelah semua yang  lain pulang. Beliau bekerja dengan intensitas dan pengabdian yang sedemikian rupa bagi negerinya. Oleh karena itu, beliau tidak akan mentolerir korupsi di dalam departemennya. Setiap orang yang terlibat korupsi di dalam setiap bagian di dalam departemennya akan langsung dipecat. Komitmennya untuk mengabdi dengan setia kepada negeri merupakan suatu hal yang sangat langka. Anda tentu ingat benar bahwa di bawah pemerintahan kaum Nasionalis, hal semacam ini memang sangatlah jarang, begitu langka sehingga dia menjadi cukup terkenal karena korupsi merajalela di Tiongkok pada saat itu. Namun beliau, di dalam departemennya, tidak mentoleransi segala bentuk korupsi. Akibatnya, beliau menjadi orang yang sangat ditakuti.

Salah satu stafnya pernah berkata kepada saya, “Tentunya sangat sukar bagimu untuk menjalani hidup dengan ayah seperti itu.” Kesannya tentang ayah saya sangat berbeda dengan kesan yang saya miliki tentang ayah saya. Karena kesannya tentang ayah saya adalah seorang atasan yang adil tapi sangat keras, orang yang penuh tekad, pekerja keras yang tampaknya tidak pernah punya waktu untuk tersenyum atau bermain. Waktu yang ada hanyalah untuk bekerja dan bekerja. Demikianlah, staf ini heran bagaimana saya bisa menjalani hidup dengan ayah yang demikian namun tetap bisa “waras”.

Kesan saya tentang ayah saya sangatlah berbeda dengan kesan orang tersebut. Saya tahu bahwa ayah saya adalah orang yang keras; saya juga tahu bahwa ayah saya adalah orang yang adil. Akan tetapi di rumah, tentu saja, beliau berbeda dengan di tempat kerjanya. Saya sering bermain catur dengannya dan saya juga sering bermain tinju dengannya karena beliaulah yang mengajari saya bermain tinju, sehingga saya bahkan memiliki banyak kesempatan untuk meninjunya. Walaupun sebenarnya saya yang lebih banyak terkena tinjunya.

Saya mengenal beliau sebagai seorang sahabat; saya mengenal beliau di dalam suasana yang jauh lebih santai. Saya dapat berbicara dengannya. Saya bisa berdebat, dan juga bertengkar dengannya. Dan sebenarnya, cara berpikir saya agak berbeda dengannya, dan karakter saya juga berbeda dengannya. Cara saya mengerjakan sesuatu sangatlah berbeda dengan caranya. Kami memiliki kepribadian yang cukup berbeda. Sekalipun ada perbedaan di antara kami, yang kadang-kadang membuat kami bertengkar hebat – namun saya tetap memiliki akses kepadanya berdasarkan status saya. Karena saya adalah anak, maka saya memiliki akses kepadanya setiap saat. Saya bisa masuk ke kantornya tidak peduli sesibuk apapun dia, saya tetap bisa menemuinya. Tidak ada orang yang bisa menghalangi saya untuk masuk ke kantornya karena status saya sebagai anaknya. Status ini adalah hal penting yang memberikan saya akses tersebut.


Anda bukan anak, jika cara berpikir dan perilaku Anda tidak sejajar dengan karakter Allah

Namun tepatnya inilah poin yang tidak boleh kita simpulkan jika kita mempelajari Kitab Suci. Pandangan bahwa kita bebas berbuat apa saja, bahkan berbuat dosa sekalipun jika kita mau, karena status kita sebagai anak telah menyebabkan banyaknya eksegesis yang keliru. Anda tidak boleh membawa pandangan yang salah ini ke dalam Kitab Suci karena jika Anda melakukannya, maka Anda akan keluar jalur. Menurut Kitab Suci keberadaan sebagai anak itu bukanlah perkara status. Hal ini berkaitan erat dengan perilaku, dengan transformasi di dalam batin, dan mengenai siapa diri Anda. Dengan kata lain, menurut Kitab Suci, jika cara berpikir dan perilaku Anda tidak sejajar dengan cara berpikir dan karakter Allah, maka Anda bukanlah anak.

Itulah pemilahan penting yang perlu kita pahami karena jika kita gagal memahami pemilahan yang penting ini, maka kita akan menarik berbagai kesimpulan yang salah. Sebagai contoh, beberapa orang pernah berkata kepada saya, Saya adalah seorang Kristen, oleh karena itu saya memiliki status sebagai anak Allah. Dan karena saya adalah anak, maka saya akan tetap menjadi anak. Dan saya boleh berbuat dosa jika mau, namun akan tetap menjadi anak Allah. Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak akan mempengaruhi keselamatan saya.” Jikalau cara berpikir anda adalah demikian berarti Anda tidak mengerti makna keberadaan sebagai anak di dalam Perjanjian Baru dan di dalam Firman Allah. Keberadaan sebagai anak, menurut Alkitab, berarti keserupaan dalam karakter, yang berarti pula keserupaan dalam cara berpikir dan perilaku. Pokok ini cocok dengan ungkapan, “Seperti bapa begitulah anak.” Hal ini sangatlah tepat.


Bukti-bukti dari Firman Allah: “Seperti bapa,
begitulah anak”

Setelah menyatakan hal ini, tentunya saya perlu untuk menyajikan bukti kepada Anda berdasarkan Firman Allah untuk pernyataan ini, dan ada banyak bukti yang tidak bisa saya cakup semuanya untuk sekarang ini. Tetapi izinkan saya menyajikan beberapa contoh. Mari kita mulai dari Matius pasal 5.

Pertama-tama, mari kita baca dari Matius 5:44:

 

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Perhatikan dengan cermat, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak…,” perilaku Anda berkaitan dengan Bapa Anda. Dari situ Anda bisa dilihat sebagai seorang anak Allah, dan terbukti apakah benar Anda seorang anak Allah. Jika tidak, mungkin Anda hanya akan menjadi anak sebatas sebutan saja, karena Anda sendiri yang mengaku diri Anda sebagai anak.

Setiap orang bisa saja berkata, “Aku adalah anak Allah dan dia juga adalah anak Allah.” Apa yang bisa menghalangi saya untuk mengklaim diri saya sebagai anak Allah? Setiap orang bisa saja berkata, “Aku adalah anak Allah.” Di manakah buktinya? Bukti persisnya terletak pada keserupaan tindak-tanduk; keserupaan cara kita berpikir dan keserupaan cara kita berperilaku. Jika Anda memandang diri Anda sebagai seorang Kristen, jika Anda memandang diri Anda sebagai seorang anak Allah, memang tidak ada hal yang dapat menghentikan Anda untuk beranggapan demikian. Akan tetapi terpulang kepada Allah sajalah untuk memastikan pada Hari itu nanti apakah Dia akan menerima Anda sebagai anak atau tidak. Akankah Dia menerima Anda? Saya bisa saja mengaku sebagai anak dari seseorang. Tidak ada hal yang bisa menghalangi saya untuk berkata seperti itu. Namun ketika saya bertemu dengan orang tersebut, dia bisa saja berkata, “Kamu ini siapa? Aku tidak kenal siapa kamu. Kamu mengaku sebagai anakku tetapi aku tidak mengenalmu sama sekali.”

Mereka yang akan diakui oleh Allah sebagai anak-anakNya adalah orang-orang yang memiliki keserupaan dengan gambarNya. Itulah sebabnya mengapa Paulus berjuang untuk membangun setiap orang Kristen menuju kepada gambaran Kristus, “Supaya kamu bisa bertumbuh mencapai kepenuhan pertumbuhan Kristus” (Ef 4.13). Ini adalah pokok yang sangat penting.

Tampaknya gereja zaman sekarang cenderung memandang hal tersebut sebagai suatu pilihan saja. Memang sangat baik untuk mencapai kepenuhan pertumbuhan Kristus, akan tetapi hal itu tidak berkaitan dengan keselamatanku. Bukankah demikian? Kepenuhan pertumbuhan itu tidak berhubungan dengan keselamatan Anda jika Anda tidak memahami ajaran yang alkitabiah mengenai keberadaan sebagai anak. Seorang anak harus memiliki keserupaan dengan Bapanya. Anda tidak bisa mengklaim sebagai seorang pewaris, seorang anak Allah, jika Anda tidak memiliki keserupaan dengan Dia. Ini adalah pokok yang sangat penting untuk dipahami, saya mohon agar Anda mengerti, “… Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak.”

Lalu Yesus melanjutkan dengan pokok yang sama di Matius 5:48:

“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Anda harus memiliki gambarNya; sama seperti Bapa yang adalah sempurna, maka Anda juga harus membawa kesempurnaan itu di dalam hidup Anda – memiliki kasih yang total, memiliki kasih yang utuh. Ini adalah hal mendasar yang harus Anda camkan di dalam hidup Anda. Anda lihat, semua hal ini sangat berkaitan dengan masalah keberadaan sebagai anak. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami.

Mari kita lihat ayat lain yaitu di dalam Yohanes pasal 8 yang berbicara mengenai hal ini supaya Anda bisa memahami dengan jelas ajaran yang alkitabiah, supaya tidak ada orang yang membayangkan diri mereka sebagai seorang anak Allah padahal sebenarnya bukan. 

Orang-orang Farisi tentu saja membayangkan diri mereka sebagai anak-anak Allah dan Yesus menyangkal anggapan mereka ini. Apakah alasan Yesus dalam menolak anggapan tersebut? Perhatikan baik-baik ayat berikut. Mari kita mulai dari Yohanes  8:37:

“Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu.”

Perhatikan ucapan, kamu berusaha untuk membunuh Aku. Kalimat ini berhubungan dengan perikop yang sedang kita pelajari di dalam Matius pasal 23, yang juga berkenaan dengan tindakan membunuh orang-orang benar yaitu para nabi.

“Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu.”

Perhatikan perbedaan antara: “Bapaku” dan ‘bapamu’. Apakah perbedaannya? Hal itulah yang ingin mereka ketahui.

Lalu di ayat 39 mereka menjawab dia:

“Bapa kami ialah Abraham.” Kata Yesus kepada mereka , “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham.”

Perhatikan prinsip yang mendasar di sini: keserupaan cara berpikir dan keserupaan dalam tindakan.

Sekarang mari kita perhatikan cara Yesus melanjutkan:

“Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham.”

Jadi bagaimana ini? Mereka baru saja mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak Abraham tetapi Yesus berkata bahwa mereka tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh bapa mereka. Namun perhatikan baik-baik tentang apa yang Yesus maksudkan sebagai ‘bapa’.

Jawab mereka: “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah.”

“Allah adalah Bapa kami dan kami adalah anak-anak Allah.” Hal ini yang ingin mereka pertahankan.

Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. (Sekarang perhatikan siapa bapa mereka sesungguhnya) Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.

Perhatikan baik-baik, seperti inilah hakekat dan prinsip dari keberadaan sebagai anak. Mereka ingin membunuh; mereka ingin membunuh para nabi; mereka ingin membunuh Yesus. Dengan demikian perilaku mereka sendiri sudah membuktikan bahwa mereka memiliki ciri yang sama dengan iblis yang adalah pembunuh dan pendusta sejak awalnya. Anda lihat, keberadaan sebagai anak itu didasari oleh keserupaan tindakan. Iblis adalah pembunuh, iblis adalah pendusta. Jika Anda adalah pendusta, dan jika Anda adalah seorang pembunuh, maka Anda adalah anak iblis.

Tepatnya, pokok inilah yang sedang saya maksudkan. Ini bukanlah masalah status. Ini adalah persoalan ungkapan jati diri Anda. Sikap hati Anda akan menunjukkan Anda ini anak siapa. Pokok ini secara konstan disampaikan di dalam Kitab Suci bahwa keberadaan sebagai anak bukanlah masalah status. Saya sering mendengar begitu banyak penginjil yang membuat kesalahan dalam pokok ini, seolah-olah keberadaan sebagai anak itu adalah semacam status yang bisa Anda pertahankan tanpa peduli seperti apa tindakan Anda. Masalahnya di dalam Kitab Suci, bukan demikian adanya. Bukan sama sekali!

Mari kita lanjutkan. Di Roma 8:14

Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.

Jadi, apa arti anak Allah? Ini bukanlah tentang masalah status. Anak Allah adalah mereka yang mengikuti pimpinan Roh Allah. Mereka itulah anak-anak Allah.

Mari kita periksa satu ayat terakhir di 1 Yohanes supaya kita bisa menarik kesimpulan karena pokok ini dibahas di sepanjang isi Kitab Suci. Di 1 Yohanes 3:8-9:

8 siapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab sejak semula Iblis terus-menerus berbuat dosa. Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis.
9 Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak terus-menerus berbuat dosa; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat terus-menerus berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.

Anda lihat, tidak peduli apakah Anda mengklaim diri Anda sebagai orang Kristen, barangsiapa tetap berbuat dosa, yakni barangsiapa memelihara kebiasaan berbuat dosa, berasal dari Iblis.

Hal ini tidak berarti bahwa orang Kristen tidak akan pernah berbuat dosa; seorang Kristen juga bisa berbuat dosa. Bentuk kalimat di dalam bahasa Yunaninya di ayat ini menyatakan tentang orang yang memelihara tabiat dosa, yakni bentuk kalimat sekarang yang berkelanjutan (present continuous tense): barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis.

Kembali, keserupaan dalam tindakan, keserupaan dalam perbuatan, keserupaan dalam cara berpikir adalah inti dari keberadaan sebagai anak. Alasan datangnya Anak Allah adalah untuk menghancurkan pekerjaan iblis.

Sekarang, ujilah diri Anda dengan teliti dengan pertanyaan berikut: bagaimana cara Anda menjalani kehidupan sehari-hari Anda? Apakah Anda hidup di dalam kebenaran atau hidup di dalam dusta, di dalam kepalsuan, dan di dalam ketidakjujuran? Apakah Anda tidak hidup di dalam dosa dalam bentuk apa pun? Jika kita masih berbuat dosa, ayat ini berkata kepada kita, barangsiapa hidup di dalam dosa berasal dari iblis; Anda adalah anak-anak iblis. Keserupaan dalam perilaku menunjukkan siapa Anda. Ini bukanlah masalah status.

Sekarang kembali perhatikan uraian di Yohanes 8:41. Orang-orang Farisi berkata, “Allah adalah Bapa kami,” dan setiap orang Kristen juga akan berkata, “Allah adalah Bapaku.” Namun saya akan berkata kepada Anda, “Jangan menipu diri Anda!” Saya juga akan berkata kepada diri saya, “Jangan menipu diri sendiri!” karena hal yang akan menentukan apakah Anda dan saya ini seorang anak Allah atau bukan tidak terletak pada fakta bahwa saya mengklaim telah membuat semacam komitmen kepada Allah, juga bukan pada fakta bahwa saya telah dibaptis, sekalipun hal-hal tersebut memang sangat penting. Namun yang jauh lebih penting adalah hal itu harus terlihat dari cara saya berperilaku, cara saya berpikir dan menjalankan segala sesuatu.


Kekudusan tidak terpisahkan dari keberadaan sebagai anak

Itulah sebabnya mengapa saya selalu saja berkata, ajaran yang alkitabiah adalah bahwa kekudusan itu tidak terpisahkan dari keberadaan sebagai anak. Ia bukanlah tahapan kedua di mana [dikatakan bahwa] tahapan yang pertama adalah kita diselamatkan lalu setelah itu baru dikuduskan, ini adalah khayalan belaka. Kekudusan adalah hal yang disebutkan oleh Paulus sebagai panggilan bagi kita – panggilan bagi pengudusan, panggilan untuk kekudusan (1 Tes 4:7). Hidup kita sebagai orang Kristen harus sejajar dengan Allah. Izinkan saya ulangi sekali lagi, tidak ada orang Kristen yang tanpa dosa. Tidak seorangpun dari kita ini yang sempurna dalam arti bahwa kita tidak pernah berpikir secara salah, bahwa kita tidak pernah berbuat salah, akan tetapi kita melakukannya bukan sebagai suatu kebiasaan dan juga bukan karena kita menghasratkannya. Kita tergelincir, akan tetapi arah hidup kita tidak menuju ke sana. Kita tidak menikmati hal-hal yang semacam itu. Inilah yang dimaksudkan dengan hakekat keberadaan sebagai anak.

Jangan ada orang yang berkata, “Aku adalah anak, dan karena aku adalah anak, sekalipun aku berbuat dosa, hal itu bukannlah masalah.”

Jika kita bisa menegakkan pokok yang satu ini, berarti kita siap untuk kembali pada bagian bacaan kita di Matius pasal 23. Pokok ini sendiri adalah hal terpenting yang harus dipahami. Ingatlah bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, orang-orang Yahudi itu, semuanya mengaku sebagai anak-anak Allah. Ada begitu banyak orang di dunia saat ini yang mengaku sebagai anak-anak Allah. Ada begitu banyak agama dan sekte, lalu bagaimana kita bisa membedakan yang satu dengan yang lainnya? Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu bisa mengenalinya.” Lihat saja cara hidup mereka. Jadi, jangan ada lagi orang yang – di dalam terang Kitab Suci – berani berkata, “Aku adalah seorang anak, dan karena aku adalah anak, maka aku bisa melakukan apa saja.”

Di Tiongkok, itulah yang kami lakukan. Sebagian dari kami yang dulu adalah anak-anak para pejabat negara suka bertindak sesuka hati. Kami bebas melakukan apa yang kami inginkan dan tidak ada orang yang bisa menghalangi kami. Itu adalah hal yang sangat menakutkan sebenarnya jika direnungkan kembali. Sampai separah itulah keadaannya. Itulah sebabnya mengapa pemerintahan tersebut harus tersingkirkan; pemerintah saat itu terlalu korup. Ayah saya sangat membenci keadaan saat itu, dan sebagaimana yang bisa Anda bayangkan berdasarkan apa yang sudah saya sampaikan mengenai dia, dia benar-benar membenci keadaan itu. Namun memang seperti itulah keadaannya. Pada usia belia, saya sudah memiliki senjata api. Saya boleh saja menggunakannya jika saya rasa perlu. Saya tidak akan ditangkap karena senjata api ini. Jika saya mau, saya bebas untuk memasuki restoran manapun, menikmati hidangan apapun, lalu bangkit dan pergi begitu saja tanpa ada orang yang berani untuk menagih saya. Seperti inilah situasi saat itu. Mengapa? Karena status saya sebagai anak pejabat negara adalah jaminan bahwa tidak seorangpun yang akan berani menyentuh saya.

Namun saya ingin sampaikan hal berikut ini: sebagai seorang Kristen, Anda tidak bisa melakukan hal-hal tersebut. Saya muak mendengar ajaran yang masuk ke dalam lingkungan jemaat dan mengatakan bahwa karena Anda memiliki status sebagai anak, maka sekalipun Anda berbuat dosa, Anda akan baik-baik saja. Anda boleh berperilaku buruk dan tidak akan jadi masalah. Malahan, di suatu konferensi baru-baru ini, saya bertanya kepada mereka, “Jika Anda meyakini ajaran ‘sekali anak tetap anak, sekali selamat tetap selamat,’ maka izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan ini: jika seseorang melakukan pembunuhan dan dia tidak bertobat, apakah dia akan tetap diselamatkan?” Jawabannya adalah ya. Dan saya berkata, “Wah, ini sangat sukar dipercaya! Saya tidak tahu Alkitab mana yang Anda baca, saya sendiri tidak menemukan hal itu di dalam Alkitab saya.”

Barangsiapa melakukan pembunuhan berasal dari iblis, lalu Anda mengatakan bahwa dia adalah anak Allah? Ajaran macam apa yang Anda ajarkan itu? Saya tidak berminat untuk memeluk ajaran ini sedikitpun. Ajaran semacam inilah yang pernah saya jalankan di
Tiongkok. Saya bisa saja melakukan pembunuhan lalu tetap menjadi anak, dan tetap dihormati. Anda tidak bisa melakukan hal ini berdasarkan Kitab Suci. Jangan ada orang yang berkata kepada seorang Kristen lainnya bahwa dia bebas berbuat dosa, bahkan membunuh sekalipun, lalu tetap menjadi anak. Ajaran macam apa ini yang mengatakan bahwa status itu tidak akan pernah berubah?


Para malaikat, sekalipun adalah anak-anak, juga terkena hukuman

Alkitab menyebutkan tentang ‘anak yang hilang’. Para malaikat adalah anak-anak Allah juga dan merekapun terkena hukuman. Mereka menjadi malaikat yang jatuh sekalipun mereka itu adalah anak-anak. Israel adalah anak dan mereka juga terkena hukuman dan dibuang ke pengasingan. Saya merasa terusik akan hal ini. Itulah sebabnya mengapa saya menekankan fakta dari dalam Kitab Suci ini, jika kita adalah anak-anak, maka kita harus menunjukkannya melalui buah-buah kita, jika tidak berarti kita sedang menipu diri kita sendiri. Dan itulah hal yang sedang disampaikan di Matius pasal 23 ini. Orang-orang Farisi itu sedang menipu diri mereka sendiri dengan mengira bahwa mereka adalah anak-anak Allah. Saya lantas berpikir, apakah saya juga menipu diri sendiri? Apakah Anda sedang menipu diri Anda sendiri dengan mengira bahwa Anda adalah anak-anak Allah?

Dari perilaku kita maka kita akan tahu; kita punya jawabannya dan tidak perlu menebak-nebak. Lihat saja cara hidup Anda; lihat saja cara berpikir Anda; lihat saja cara Anda berperilaku di rumah, di kantor, di sekolah atau dengan teman sekamar Anda. Perhatikan semua itu dan simpulkan sendiri apakah Anda seorang anak Allah? Jika bukan, saatnya untuk bertobat. Saatnya untuk berbalik kembali kepada Tuhan karena orang Kristen jenis inilah yang seringkali telah menyebabkan buruknya pandangan terhadap orang-orang Kristen secara keseluruhan. Orang Kristen demikianlah yang telah mempermalukan jemaat Allah di segenap penjuru dunia, dan menyebabkan jemaat tidak lagi menjadi pujian bagi Allah. Sebagian besar merupakan bagian yang mempermalukan dan kita harus menghentikannya. Oleh karena itu Anda juga bisa melihat mengapa di dalam tim pelatihan kami menuntut standar yang tinggi. Kami tidak ingin berkompromi mengenai standar. Kami tidak ingin berkompromi mengenai kualitas. Tidak bisa. Karena Allah telah memanggil kita untuk mencapai kesempurnaan tertinggi. Kita harus berjuang mencapai kesempurnaan sekalipun kita ini tidaklah sempurna. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Orang lain boleh saja mengkritik hal itu sebagai ‘perfeksionisme’, ‘fanatisme’ atau dengan istilah apapun. Tujuan kami adalah untuk memuliakan Allah, untuk belajar berpikir sebagaimana Dia berpikir, belajar mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi, belajar memberi sebagaimana Dia memberi, belajar segala sesuatu agar menjadi serupa dengan gambaranNya tidak peduli apapun yang diucapkan oleh orang lain akan hal tersebut.


Mengapa orang-orang melakukan hal-hal yang menurut mereka tidak ingin mereka perbuat?

Selanjutnya, mari kita mengajukan pertanyaan berikut. Amatilah perikop di Matius 23:29-39. Mengapa orang-orang melakukan hal-hal yang menurut mereka tidak akan dan tidak ingin mereka perbuat?

Mari kita amati lagi perikop ini. Di ayat 29-30 disebutkan,

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.”

“Kami tidak akan pernah melakukan hal-hal seperti yang pernah diperbuat oleh nenek moyang kami. Mereka membunuh para nabi, kami harus mengakui hal tersebut, yakni bahwa mereka telah melakukannya. Namun kami tidak akan mau melakukannya.” Tapi ternyata mereka melakukan hal yang sama dengan perbuatan nenek moyang mereka. Mengapa hal yang tidak ingin mereka perbuat itu justru mereka lakukan? Perikop ini menguraikan lebih lanjut, yaitu tentang pembunuhan. Dan orang-orang yang dibunuh itu adalah para hamba Allah, para nabi. Merekalah korban pembunuhan itu. Daftar korban selalu berisi para nabi. Uraian ini disimpulkan di dalam ayat 37, “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi…”


Mampukah kita melakukan hal yang benar tanpa kuasa Allah?

Bagaimana mereka melakukan hal-hal yang tidak ingin mereka perbuat? Apakah mereka tidak tulus? Apakah mereka sekadar salah arah dan buta? Atau merupakan kombinasi dari keduanya? Seperti apakah situasinya? Namun jika kita merenungkannya, hal ini tidaklah aneh, bukankah demikian? Berapa kali Anda pernah berkata, ‘Aku tidak akan melakukannya,’ dan kemudian ternyata Anda melakukannya? Itulah sebabnya mengapa saya berkata, kehidupan Kristen itu tidak akan bisa dijalani dengan kekuatan kita sendiri. Kehidupan Kristen itu sepenuhnya bergantung pada kasih karunia! Bodohlah orang yang berpikir, “Aku bisa menjadi kudus dengan kekuatanku sendiri.”

Jika Anda tidak membutuhkan kekudusan, maka Anda tidak membutuhkan kasih karunia, benar bukan? Untuk apa Anda memerlukan kasih karunia dari Allah? Kasih karunia itu sangatlah penting bagi kekudusan. Tepatnya, justru karena saya berusaha hidup seperti yang Allah inginkan maka saya membutuhkan kasih karuniaNya yang akan memampukan saya itu.

Jika saya menerima jenis ajaran yang mengatakan bahwa berdasarkan status saya sebagai anak, lalu saya boleh menjalani segala jenis kehidupan Kristen sesuka hati saya, seperti saya boleh berbohong, boleh melakukan segala sesuatu yang jahat dan tetap saja masuk ke surga, maka untuk apa saya membutuhkan kasih karunia atau anugerah itu? Kasih karunia menjadi tidak berguna. Kasih karunia menjadi tidak diperlukan dalam situasi seperti itu.

Saya tidak beranggapan bahwa orang-orang Farisi saat itu bersikap tidak tulus ketika mereka berkata, “Kami tidak akan membunuh nabi-nabi itu,” walau kemudian ternyata mereka justru melakukan hal tersebut. Pada saat membunuh nabi-nabi itu, tentunya mereka berpikir bahwa orang yang sedang mereka bunuh itu bukanlah seorang nabi Allah. Tampaknya mereka tidak mampu memilah jenis orang.

Hal ini membawa saya kepada poin yang kedua. Mengapa orang-orang itu sampai tidak mampu memilah mana yang benar dan yang salah? Mengapa demikian? Jadi, poin yang pertama adalah berkenaan dengan hal tidak mampu melakukan apa yang benar.

Poin lainnya adalah tidak mampu memilah mana yang benar. Mengapa orang bisa sampai pada keadaan di mana kita benar-benar tidak mampu membedakan mana yang benar dan yang salah? Dan ketika kita melakukan hal yang salah, namun kita mengira sedang melakukan hal yang benar. Ini adalah hal paling menyedihkan yang bisa terjadi pada manusia.

Itulah hal yang telah dilakukan oleh orang-orang Farisi. Mungkinkah pada suatu hari nanti Anda benar-benar membunuh para nabi, para hamba Allah dan Anda berkata, “Yah, mereka itu kan nabi-nabi palsu!” Atau Anda berkata, “Oh, saya ini sedang melaksanakan bakti saya kepada Tuhan.” Itulah hal yang disampaikan oleh Yesus. “Suatu hari nanti mereka akan membunuhmu dan berkata bahwa mereka berbakti kepada Allah dengan cara menghukum mati kamu.” (Yoh 16:2). Mereka tidak bisa lagi memilah antara yang benar dengan yang salah.


Bahaya pembenaran diri sendiri


1. Pembenaran diri sendiri itu membutakan

Di sini, saya ingin menyempitkan bidang pembahasan pada satu poin praktis: yaitu menemukan akar dari persoalan ini. Saya menemukan akar tersebut di dalam kejiwaan yang aneh dari orang berdosa, jika saya boleh menyatakannya demikian.

Kejiwaan seorang berdosa adalah kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Dan ini adalah salah satu hal yang paling mengerikan yang bisa kita perbuat. Hari ini, saya ingin menyimpulkan pokok ini secara khusus. Saya dapati bahwa belum pernah ada orang yang saya kenal, yang tidak memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri mereka sendiri jika Anda tunjukkan adanya kesalahan pada diri mereka. “Mengapa kamu lakukan itu?” “Yah, aku harus melakukannya seperti itu karena …” demikianlah, dia terpaksa melakukannya; dia didesak oleh keadaan.

“Mengapa kau hanguskan makan malam hari ini?” Oh, dia punya banyak alasan. Dia tidak akan berkata, “Maaf, aku menghanguskan makanannya.” Tetapi, “Yah, pancinya kurang bagus – terlalu tipis; ada orang yang menelepon terlalu lama.” Ada 1001 alasan yang untuk menjelaskan mengapa dia tidak bersalah.

“Mengapa kamu mencuri?” “Yah, keadaan ekonomi akhir-akhir ini begitu sulit dan karena sulitnya keadaan sekarang ini, kita harus mengerti bahwa mencuri itu bisa dibenarkan. Memang benar, tidak selamanya mencuri itu baik, akan tetapi dalam keadaan yang sangat sulit ini….” Tentu saja, keadaan yang Anda hadapi akan selalu bersifat khusus/sulit dan oleh karena itu Anda boleh mencuri. Ini merupakan pembenaran diri.

Saat Adam berbuat dosa, apakah dia langsung berkata, “Tuhan, maafkan aku yang telah berbuat dosa. Engkau telah melarangku untuk memakannya, tetapi aku justru memakannya.” Mengapa Adam tidak lantas berkata, “Tuhan, maafkan aku. Aku orang bodoh! Aku telah memakan buah yang Kau larang bagiku untuk memakannya.” Tidak, dia tidak berkata seperti itu. “Istriku ini. Engkau memberiku istri dan lihatlah apa yang dia perbuat padaku! Jika Engkau tidak memberiku istri, maka tentu aku tidak akan memakan buah ini. Tidak, aku tentu tidak akan memakannya! Tapi karena Engkau telah memberiku istri, lihatlah apa yang telah terjadi padaku! Dia yang membawa buah itu kepadaku dan aku memakannya. Aku tidak mau mengecewakannya.”

Dan ketika tiba giliran Hawa. “Hawa, apa yang telah kau perbuat?” “Bukan aku! Bukan, bukan! Ular itu! Itu dia – ular itu!” Mengapa Hawa tidak berkata, “Tuhan, maafkan aku.” Mengapa urusannya tidak disederhanakan saja? Yang muncul hanyalah alasan. “Ular itu yang salah. Dia katakan padaku bahwa memakan buah itu tidak masalah. Dan dia sangat bijak; ular itu sangat bijak. Oleh karena itu aku ikuti nasehatnya.”

Itu dia! Saya harap saya bisa bertemu dengan orang-orang yang, ketika Anda tunjukkan kesalahan mereka, mereka akan berkata, “Ya, aku salah.” Itu saja. Selesai sudah persoalannya. Seandainya saja kita bisa melakukan hal ini.

Jika Anda bertanya kepada anak kecil, “Mengapa kamu lakukan itu?” “Karena ini dan itu,” dan alasan itu bisa berlanjut terus. Akankah mereka berkata, “Aku telah salah”? Tidak. Selalu saja ada alasan.

Hal ini mengingatkan saya pada satu kisah mengenai seorang anak kecil. Ada seorang anak kecil, Johnny, yang gemar menarik ekor kucing. Anak-anak kecil gemar melakukan ini – menarik ekor kucing dan melihat kucing itu meronta dan menjerit. Sungguh menarik melihat reaksi dari kucing itu. Lalu pada suatu hari, si ibu mendengar suara jeritan kucing dari kamar sebelah, dan Johnny ada di kamar itu. Lalu si ibu berkata kepada Johnny, “Johnny, berhentilah menarik-narik ekor kucing.”

“Mami, aku tidak menarik ekor kucing, kucing itu yang menarik ekornya sendiri. Lihat sendiri, aku hanya berdiri di atas ekornya.”

Hal ini sangatlah sering terjadi. Anda yang punya anak kecil, akan tahu bahwa mereka selalu punya alasan untuk membenarkan kesalahan mereka. Mereka melakukannya setiap saat dan orang dewasa juga melakukan hal yang sama. Saat Anda tunjukkan hal yang salah, mereka akan berkata, “Astaga, engkau sungguh tidak adil kepadaku. Engkau bersikap terlalu keras. Ada 101 alasan yang tidak engkau pertimbangkan, yang kalau engkau pertimbangkan, tentunya akan membuatmu mengerti bahwa tindakanku ini tidak seburuk yang kelihatannya.” Itulah pembenaran diri.


Jika kita terus saja membenarkan diri sendiri, maka kita tidak akan tahu mana yang benar dan yang salah

Jika kita terus saja melakukan hal semacam ini, ujung-ujungnya akan sangat mengerikan. Tidak lama lagi kita tidak akan mampu membedakan yang benar dari yang salah karena kita sudah sangat terbiasa untuk membenarkan diri sendiri, untuk selalu mengadakan pembenaran atas suatu kesalahan, maka dalam waktu singkat, kita tidak akan mampu melihat mana yang benar dan mana yang salah. Kita bisa saja meyakinkan diri kita sendiri. Dan saya melihat ada banyak orang yang benar-benar meyakinkan diri mereka sendiri bahwa kesalahan mereka itu benar.

Lihatlah contoh yang masih hangat. Anda semua tentu telah mendengar tentang ‘the Yorkshire Ripper (Penjerat dari Yorkshire)’. Orang ini membunuh 13 perempuan dan apakah Anda tahu pernyataan yang dia buat di depan sidang pengadilan? Dia mengklaim bahwa dia mendengar suara Allah yang menyuruhnya membunuh perempuan-perempuan itu. “Jadi Anda bisa lihat bahwa ini semua bukan kesalahan saya. Ini adalah kesalahan Allah.” Hawa melemparkan tanggung jawab kepada setan, dan orang ini mau melemparkan tanggung jawab kepada Allah! Saya tidak tahu siapa ‘Allah’ dari orang ini. Namun dia berkata, “Saya mendengar suara Allah bahwa saya harus membunuh para pelacur itu.” Ada kekeliruan di sini, beberapa dari perempuan yang dia bunuh itu bukanlah pelacur. Selain itu ada setidak-tidaknya 6 perempuan lain yang berusaha dia bunuh. Orang ini, sejauh yang kita ketahui, tidak sepenuhnya gila namun, saya kira, bisa saja dia berbohong, dan dalam hal ini berarti dia adalah anak iblis, atau mungkin dia telah begitu jauh menipu dirinya sendiri. Dan memang ada orang yang telah begitu jauh menipu diri mereka sendiri sehingga mereka tidak bisa membedakan yang hitam dan yang putih. Mereka tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang sesat.


2. Pembenaran diri menutup pintu pertobata
n

Di dalam kitab Yesaya, ada 6 macam ‘celaka’ yang tertuang di dalam pasal 5, mirip dengan yang ada di dalam pasal [23] di dalam Matius ini. Saya bacakan Yesaya 5:20 bagi Anda.

“Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.”

Anda lihat, mereka telah membolak-balikkan semuanya: terang disebut gelap, gelap disebut terang; manis disebut pahit, dan pahit menjadi manis. Segala sesuatunya menjadi terbalik di benak mereka. Bagaimana Anda bisa sampai pada keadaan seperti itu? Saya ingin memperingatkan Anda hari ini, mengenai bahaya dari pembenaran diri. Pembenaran diri adalah hal yang menutup pintu pertobatan. Inilah hal yang dikatakan oleh Yesus sejak awal: Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.

Anda telah menutup pintu itu. Jika Anda mempelajari seni yang satu ini, seni licik membenarkan diri ini, Anda tidak akan mampu bertobat. Dan jika Anda tidak mampu bertobat, maka Anda tidak bisa diselamatkan, tidak bisa menerima belas kasihan Allah. Umat manusia memang sangat tegar sehingga mereka selalu ingin membenarkan tindakan mereka dengan berbagai alasan yang mereka pikir sangat meyakinkan.


3. Pembenaran diri mengarah pada menipu diri sendiri


Mengapa Anda menjadi orang Kristen?

Saya ingin kita menyelidiki hati kita. Apakah kita menjadi seorang Kristen karena kita menipu diri sendiri lewat proses pembenaran diri kita? Saya memerlukan Allah, saya perlu semacam makhluk surgawi dan oleh karena itu saya akan menciptakan sendiri makhluk surgawi yang bisa saya percayai. Jika Anda adalah orang Kristen yang demikian, celaka sekali! Sungguh celaka! Hal ini disebut sebagai agama dan kita tidak butuh agama.

Manusia sudah sangat terkenal karena mampu menciptakan Allah. Kita tidak usah menciptakan lebih banyak ‘Allah’ lagi. Ini adalah proses yang sangat berbahaya. Saya telah sampaikan sebelumnya, dan akan saya ulangi sekali lagi: kita akan mempercayai Allah hanya jika Dia benar-benar nyata; hanya jika Dia benar-benar ada. Jika Dia tidak ada, maka janganlah percaya kepadaNya. Jika Dia tidak benar, janganlah percaya kepadaNya. Kita tidak butuh pembenaran diri. “Aku menjadi seorang Kristen karena ini dan itu.” Akankah alasan-alasan Anda menjadi Kristen itu bisa bertahan menghadapi ujian?

Sekali waktu, daftarkanlah alasan-alasan Anda menjadi orang Kristen. Teliti semua dasar itu baik-baik karena bisa saja kita melakukan hal yang benar karena dasar yang salah dan berakhir di ujung yang salah. Banyak orang Kristen yang jatuh karena mereka menjadi Kristen dengan dasar yang salah. Cepat atau lambat, dasar mereka untuk menjadi orang Kristen itu akan diuji, dan dasar tersebut tidak akan mampu bertahan.


Mengapa Anda ingin melayani Tuhan?

Hal yang sama juga berlaku dalam hal pelayanan, ada banyak orang yang melayani Tuhan dengan dasar yang keliru. Niatnya benar akan tetapi alasannya salah. Apakah alasan Anda ingin melayani Tuhan? Ujilah dasar tersebut dengan teliti agar alasan yang muncul memang benar, karena suatu hari nanti, tekanan akan muncul dan jika dasar-dasar Anda tidak mampu bertahan maka mereka akan runtuh.

Anda tahu, kita selalu saja membenarkan diri sendiri. Ini adalah kecenderungan yang manusiawi dan sudah menjadi kodrat manusia untuk bertindak demikian. Dan kita telah memahami bahwa apa yang disebut dengan kemunafikan itu tidak lain adalah kodrat manusia ini. Sudah menjadi kodrat manusia untuk berperilaku seperti itu. Oleh karenanya, kita harus sangatlah cermat. Kita harus menguji segala sesuatunya di dalam terang kebenaran, di dalam terang kejujuran.


Ada orang non-Kristen berpikir mereka punya alasan yang bagus untuk tidak menjadi orang Kristen

Ada orang-orang, misalnya, yang bukan Kristen berpikir bahwa mereka punya alasan bagus untuk tidak menjadi Kristen.

Ambil contoh seorang astronom Perancis. Astronom Perancis ini berkata, “Saya telah meneropong segenap penjuru alam semesta dengan teleskop saya, dan saya tidak menemukan Allah.” Ada tindakan pembenaran atas pilihannya untuk tidak menjadi Kristen, malahan, untuk tidak mempercayai Allah sama sekali, karena dia berkata bahwa dia telah mengarahkan teleskopnya untuk meneliti alam semesta ini dengan cermat dan dia tidak melihat Allah.  “Begitulah! Penelitian ini sudah memadai bagi saya!”

Sama seperti astronot Rusia yang berkata, “Saya sudah meluncur ke sana dan melihat keluar jendela, dan saya tidak melihat Allah. Ya, sekarang ketidakpercayaan saya kepada Allah bisa dibenarkan.” Dan terhadap pernyataannya ini, seorang penulis dari Inggris, J.W. Hawley memberi tanggapan kepada astronom Perancis itu dan berkata, “Penalaran Anda sama tidak masuk akalnya dengan pernyataan berikut, ‘Aku telah membongkar biola saya. Saya telah meneliti semua bagiannya dengan cermat dengan mikroskop saya namun saya tidak menemukan musik di sana.'”

Di mana letak perbedaan dari kedua penalaran tersebut? Apakah Allah itu bagian dari alam semesta yang, entah bagaimana, bisa kita temukan lewat penelitian terhadap sepotong batu dari bulan? Sama halnya dengan mengatakan ada sepotong musik di dalam biola Anda. Anda tinggal meneliti kayunya, mengamatinya di bawah mikroskop dan Anda bisa melihat ada musik di sana. Penalaran yang tidak masuk akal bukan? Namun seringkali, kita begitu yakin dengan penalaran kita. Dan inilah hal yang sangat saya takutkan, begitu canggihnya penalaran kita sehingga kita menjadi yakin karenanya. Jadi kita harus selalu menguji diri kita dengan teliti.

Ada juga seorang pengacara kriminal yang terkenal, bernama Terence Darrel, yang juga meyakinkan dirinya bahwa tampaknya tidak ada Allah dengan penalaran berikut ini, “Orang-orang berkata kepada saya bahwa Allah itu ada,” demikian katanya di dalam sebuah debat, “namun saya tidak pernah melihatNya, juga tidak pernah menyentuhNya. Saya tidak punya pengalaman pribadi bersamaNya.” Untuk penalaran yang semacam ini, seorang rekannya yang bernama Roy L. Smith, menanggapi, “Ada juga laporan yang meyakinkan bahwa Tuan Darrel memiliki akal budi, akan tetapi saya tidak pernah melihat atau menyentuhnya. Malahan, saya sama sekali tidak punya bukti akan keberadaan akal budi Tuan Darrel tersebut.” Anda lihat, inilah persoalannya. Dia sendiri yang mencari masalah, yang menyebabkan penalarannya dibalikkan ke arahnya.


Singkirkan segala pembenaran diri untuk bisa menjadi seorang Kristen sejati

Di sini kita bisa melihat bahwa kita sekadar berusaha meyakinkan diri kita sendiri dengan berbagai macam penalaran yang salah. Dan saya kuatir bahwa kadang kala, sebagai orang Kristen dasar mengapa kita menjadi Kristen seringkali tidak kokoh. Hal ini perlu saya sampaikan sekali lagi. Mungkin kita hanya sekadar ingin mencari sedikit kenyamanan bagi diri kita.

Menjadi seorang Kristen, sebagaimana yang disebutkan di Matius pasal 23 ini, berarti masuk ke jalur yang sangat besar pengorbanannya karena anak-anak iblis akan selalu menganiaya anak-anak Allah. Ini adalah prinsip di dalam kehidupan rohani. Dan jika Anda tidak suka dianiaya, jika Anda tidak suka berada di bawah tekanan, seharusnya Anda tidak menjadi seorang Kristen. Anda akan menghadapi saat-saat yang sukar karena orang-orang tidak memahami Anda, mereka tidak suka cara Anda melakukan sesuatu hal, dan Anda akan selalu berada di dalam tekanan.

Oleh sebab itu, pahamilah dengan cermat, singkirkanlah segala bentuk pembenaran diri supaya Anda bisa menjadi seorang Kristen. Selama Anda masih berusaha membenarkan diri Anda, maka Anda tidak akan pernah tahu apa arti menjadi seorang Kristen yang sejati. Kita harus belajar untuk lari ke bawah sayap Yesus karena dia berkata, “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”


Seorang Kristen yang sejati belajar untuk bertobat, bukan membenarkan diri

Perhatikan bahwa kesimpulannya adalah bahwa Yesus selalu membandingkan orang-orang Kristen dengan hewan-hewan yang tidak punya pembelaan diri. Hewan-hewan itu tidak punya taring. Yesus berkata di Matius 10:16 bahwa  murid-muridnya adalah domba ke tengah-tengah serigala. Di Matius 23:33, 37 – perhatikan – anak-anak iblis dibandingkan dengan ular beludak yang beracun dan giginya tajam, yang sangat mampu untuk mengurusi dan membela dirinya sendiri. Akan tetapi anak-anak ayam adalah makhluk yang tidak punya pertahanan diri; mereka tidak mampu mencelakai orang lain. Yesus dengan sengaja menyampaikan pokok ini untuk mengungkapkan fakta bahwa orang Kristen sejati tidak melindungi dirinya sendiri. Dia tidak membenarkan dirinya sendiri.

Jika Anda benar dan saya salah, saya tidak perlu membela diri saya jika saya berniat mengejar kebenaran. Jika Anda salah dan saya benar, saya juga tidak perlu membela diri saya karena gembala adalah pelindung dari domba-domba. Induk ayam adalah pelindung anak-anak ayam. Allah melindungi umatNya. Itulah hal yang ingin disampaikan oleh Yesus, “Berilah pipi yang sebelahnya.” “Pembalasan adalah hak-Ku,” demikian ucap Yesus, “Aku yang akan membalas.” Oleh karena itu, kita tidak perlu membenarkan diri kita. Kita tidak perlu membela diri kita.

Yang kita perlukan adalah belajar untuk bertobat. Maka kita akan tahu apa artinya memperoleh hidup yang kekal, apa artinya menjadi anak-anak Allah.

 

Berikan Komentar Anda: