Billy Graham |
Catatan editor: Pendeta Billy Graham sudah tidak lagi melayani permintaan wawancara langsung, akan tetapi dia masih bersedia untuk menerima pertanyaan tertulis. Graham berulang tahun yang ke-91 pada 7 November 2009, dan berikut adalah wawancara tertulis dengan Bob Smietana, seorang penulis buku.
Bob Smietana (BS): Ada banyak orang yang, karena penyakit dan rasa kesepian, merasa diabaikan oleh Allah. Mereka telah kehilangan semangat hidup karena tidak mampu lagi mengurus diri mereka atau melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya. Hal ini pasti akan terasa sangat berat bagi mereka yang telah mencurahkan sepanjang hidupnya untuk melayani orang lain. Bagaimana pendapat Anda tentang orang-orang yang semacam itu jika dikaitkan dengan pengalaman Anda menghadapi kesulitan hidup di hari tua Anda?
Billy Graham: Nah, kita semua tahu tentang pepatah tua yang mengatakan bahwa usia tua itu bukan untuk para penakut. Dan semakin tua umur saya, semakin saya sadari bahwa pepatah itu ada benarnya. Saya akui bahwa saya tidak suka dengan beban akibat usia tua ini, berkurangnya tenaga, menurunnya kemampuan tubuh, kepedihan akibat kehilangan banyak teman dan orang-orang yang Anda kasihi yang telah meninggal. Namun kita bisa memilih untuk mengizinkan hal-hal tersebut mengecewakan kita, atau belajar untuk menerima kenyataan serta mendapatkan pelajaran dari Allah bagi kita lewat semua hal itu.
Sebagai contoh, sekarang ini saya sudah tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang pernah saya kerjakan sebelumnya, dan sejujurnya, ada kalanya saya berharap untuk bisa mengerjakan semua itu lagi. Ada sebagian orang tua yang marah atas keadaan ini, ada yang merasa tidak berguna lagi, atau seperti yang Anda sebutkan tadi, mereka merasa telah diabaikan oleh Allah.
Namun hal ini tidak benar. Kasih Allah kepada kita tidak bergantung pada keadaan atau perasaan kita. Di kala saya sudah tidak bisa lagi mengerjakan hal-hal yang menjadi pekerjaan saya sebelumnya (dan Allah juga tidak mengharapkan saya untuk terus bisa mengerjakannya), saya masih bisa mengerjakan beberapa hal dan itulah hal yang Allah ingin untuk saya kerjakan.
Sekarang saya punya lebih banyak waktu untuk berdoa; waktu untuk mendorong semangat anak dan cucu saya serta orang lain juga; lebih banyak waktu untuk merenungkan kebaikan Allah kepada saya selama bertahun-tahun ini. Saya selalu berdoa supaya Allah berkenan menolong saya untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain. Namun beban hidup ini tentunya akan mengingatkan kita akan hal yang lain bahwa: Dunia ini bukanlah tujuan akhir hidup kita. Beban-beban yang kita tanggung sekarang ini hanya bersifat sementara saja.
Istri saya, Ruth, telah meninggal hampir dua tahun yang lalu, dan setiap hari saya sangat merindukan dia. Namun suatu hari nanti kami akan berkumpul bersama di surga – di hadirat Allah untuk selama-lamanya, terbebas dari beban hidup masa kini. Jika harapan kita sepenuhnya ada pada Kristus, maka kita tahu bahwa kita semua hanyalah pengembara di dunia ini, yang sedang berjalan ke rumah kekal kita di surga. Usia tua seharusnya membuat kita bisa menatap masa depan di surga dengan penuh sukacita.
Sebagian Jemaat, dan hal ini menguatirkan hati saya, tidak menyadari betapa penuh tekanannya pekerjaan seorang pendeta itu. Kita perlu untuk berdoa bagi para pendeta, dan para pemimpin jemaat perlu secara khusus mewaspadai persoalan-persoalan yang menimpa pendeta mereka dan melakukan segala yang bisa mereka perbuat untuk menolong dan menguatkan para pendeta ini.
Hal pertama yang sering saya sampaikan kepada para pendeta atau misionaris baru adalah agar mereka tetap dekat dengan Kristus. Allah memanggil mereka ke dalam pelayanan ini, dan hanya Dia yang bisa memberikan hikmat serta kekuatan yang mereka butuhkan, lewat Roh Kudus-Nya.
Sangatlah mudah untuk menjadi sangat sibuk dalam pelayanan sampai kita gagal meluangkan waktu untuk bersama dengan Allah di dalam doa dan pendalaman Alkitab – hal yang jauh lebih penting dari segala hal yang lainnya. Semua pendeta harus memiliki susunan prioritas yang jelas. Hal ini berlaku untuk kita semua, tapi terutamanya buat semua pendeta yang sibuk, karena terdapat begitu banyak tuntutan ke atas diri mereka.
Saya sering berkata bahwa jika saya bisa mengulangi hidup saya lagi, maka saya akan meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar, dan saya akan meluangkan lebih banyak waktu bersama keluarga saya. Kadang kala, kita perlu berkata, “Tidak,” atas permintaan dan tuntutan yang disampaikan ke kita; ada hal lain yang mungkin lebih penting di mata Allah.
Saya pernah dengar ada pendeta yang berkata bahwa dia harus mengadakan rapat setiap malamnya, dan cara dia bercerita jadi mirip dengan orang yang sedang membual tentang kesibukannya. Saya tidak habis pikir, apakah dia pernah benar-benar belajar untuk mengelola waktunya. Saya juga menguatirkan keluarganya. Saya juga bertanya-tanya apakah dia pernah belajar untuk mendelegasikan tugas, dan belajar untuk melibatkan orang lain di kalangan Jemaatnya untuk ikut dalam pelayanan. Pendeta bukan orang yang harus mengerjakan segala-galanya – ini bukanlah pola yang alkitabiah. Kita juga harus belajar untuk mengurusi diri kita, tidak peduli siapapun kita ini. Yesus dan murid-murid-Nya membutuhkan saat beristirahat – demikian pula kita: “Lalu Ia berkata kepada mereka: ‘Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!’ Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun mereka tidak sempat.” (Markus 6:31)
BS: Bagaimana Anda menjalani hidup tanpa ditemani Ruth?
Billy Graham: Ruth adalah sahabat terdekat dan juga penasihat saya selama 64 tahun masa pernikahan kami, dan saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana menjalani hidup tanpanya. Saya bersukacita bahwa dia sekarang sudah aman di hadirat Tuhan yang dia kasihi dan layani dengan setia – akan tetapi saya sangat merindukan dia. Saya selalu memikirkan dia setiap hari – hampir setiap jam – dan saya menantikan saat di mana kami akan disatukan lagi di surga.
Pada saat yang bersamaan, penghiburan dan kasih karunia Allah terasa begitu nyata bagi saya. Lebih dari yang pernah saya alami sebelumnya, seperti yang digambarkan oleh rasul Paulus ketika dia menyebut Allah sebagai, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2 Korintus 1:3-4).
Saya juga sangat beryukur pada keluarga dan teman-teman yang membuat saya jarang merasa sendirian. Akan tetapi kepedihan itu memang nyata, dan tentunya akan mengingatkan kita pada kebutuhan kita pada Allah. Kepedihan itu juga mestinya mengingatkan kita akan harapan kita pada surga oleh kematian dan kebangkitan Kristus bagi kita. Kesedihan itu nyata – namun Kristus juga nyata.