Pastor Boo | Kematian Kristus (19) |
Pada minggu yang lalu, saya menutup pembahasan dengan menguraikan pokok tentang Yesus sebagai pengantara kita. Hari ini kita akan membahas pokok tersebut dengan lebih seksama. Kita akan melihat Perjanjian Lama dan menelusuri pokok tentang syafaat ini. Mari kita lihat Amsal 25:28
Orang yang tidak bisa mengendalikan diri, seperti kota yang roboh temboknya.
Saya akan membahas pokok tentang pengantara ini dengan membahas tembok. Di dalam kitab Amsal ini, uraian disampaikan dalam konteks kehidupan pribadi. Jika kita tidak bisa mengendalikan diri kita, kehidupan kita akan seperti kota tanpa tembok pelindungnya. Pada zaman dulu, tembok kota adalah bagian yang penting dari suatu kota. Jika tembok kota mengalami kerusakan, atau ada bagian yang roboh, akan muncul titik lemah atau lobang yang merusak pertahanan kota. Pihak musuh akan menyerbu melalui lobang ini. Itu sebabnya jika sebuah tembok pertahanan sudah berhasil dilobangi, perang akan segera berakhir.
Kitab Amsal memberitahu kita bahwa tanpa pengendalian diri di dalam hidup kita, maka kita akan mudah diserang dan dicobai. Dengan kata lain, kehidupan kita akan menjadi berantakan. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada beberapa contoh dari kitab Amsal. Ayat 27 berbunyi, “Tidak baik makan banyak-banyak madu.” Bagian ini berkaitan dengan urusan makanan. Anda perlu mengendalikan pola makan anda. Saya rasa, terutama untuk masyarakat di wilayah Amerika Utara, kita sangat rawan terhadap masalah pola makan ini, karena makanan memang berlimpah di sini. Saya pernah menyaksikan berita tentang orang Amerka yang mengaku miskin, ternyata banyak dari mereka yang mengalami kegemukan. Bagi kita yang berasal dari Asia, kita tidak terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Makanan memang berlimpah di Amerika Utara.
Bagian lanjutan dari ayat 27 berkata, “begitu juga, tidak mulia orang yang mencari kemuliaannya sendiri.” Di sini kita melihat hasrat utnuk dipuji, dihormati oleh orang lain. Kita ingin agar orang lain punya pendapat yang baik tentang kita. Kita, secara rohani, cenderung kehilangan kerendahan hati saat dipuji oleh orang lain. Ini merupakan salah satu masalah yang terkait dengan urusan kurangnya pengendalian diri. Ayat ini terutama berbicara tentang cara hidup kita. Ayat ini tidak secara khusus mengutamakan masalah kecanduan, misalnya kecanduan narkotika atau alkohol. Mari kita lihat Amsal 16:32
Orang yang lamban untuk marah lebih baik daripada orang kuat, dan orang yang menguasai diri daripada orang yang merebut kota.
Menguasai diri berarti lamban untuk marah. Anda dapat mengendalikan amarah anda. Ketidakmampuan dalam mengendalikan kemarahan adalah kelemahan dari sebagian besar orang. Jadi, ini bukan sekadar persoalan tentang kecanduan. Jika memang hal itu yang dipersoalkan, kita bisa segera mengabaikan pokok ini dengan anggapan bahwa kita tidak terkena masalah kecanduan, dan oleh karenanya, kita tidak termasuk orang yang sedang dibahas. Namun, jika kita berbicara tentang nafsu, selera dan hasrat kita untuk dihormat, dan juga tentang kemarahan kita, kita akan segera menyadari bahwa kita memiliki persoalan yang sama.
Dalam kenyataannya, memang mustahil mengendalikan diri kita. Akan tetapi, Amsal mengatakan bahwa jika anda bisa melakukannya, kehidupan rohani anda akan terlindungi dengan baik. Jadi, pertanyaannya adalah: Bagaimana kita bisa mencapai pengendalian diri itu? Sudah tentu, pencapaiannya adalah dengan kuasa Allah, karena kita berbicara tentang isi Alkitab, bukannya tentang aturan moral atau cara meningkatkan kemampuan pribadi.
Di Amsal 25:28, masih ada satu persoalan lagi yang lazim ditemui dalam diri orang-orang. Mari kita kembali ke ayat itu.
Orang yang tidak bisa mengendalikan diri, seperti kota yang roboh temboknya.
Namun, jika anda cermati versi Septuaginta dari Perjanjian Lama (LXX), yang merupakan Alkitab pegangan Gereja Awal, ayat itu berbunyi “Seperti kota yang temboknya sudah roboh dan tidak diperkuat, demikianlah keadaan orang yang bertindak tanpa bekal nasehat.” Orang ini melakukan semua tindakan tanpa mencari nasehat. Ini menunjukkan bahwa dia orang yang kehendak pribadinya sangat kuat. Oleh karenanya dia melakukan segala tindakan tanpa mempertimbangkan Allah. Dia tidak mencari petunjuk dari Allah; dia juga tidak mencari nasehat dari umat Allah.
Demikianlah, pokok tentang pengendalian diri ini mengandung empat aspek. Jika kita tidak bisa mengendalikan diri, tidak akan ada perlindungan rohani. Iblis akan mendapat akses bebas atas kehidupan anda dan mendapat kendali atas diri anda. Ini adalah hal yang sangat penting. Kita sering berpikir, “Kalau saya bisa membuat keputusan sendiri dan melakukan hal-hal yang saya inginkan, itu adalah tanda dari kemerdekaan dan kebebasan.” Akan tetapi, Alkitab memandang hal itu dengan cara yang berbeda. Dengan gigih menjaga hak anda, anda mungkin mengira bahwa anda memiliki kendali atas hidup anda. Namun, justru di sanalah letak penyesatannya. Dalam sejarahnya, umat manusia selalu berusaha mengendalikan takdirnya sendiri. Lalu, upaya ini memberi hasil apa? Tidak lebih dari kekacauan dan kebinasaan, dan hal ini tetap nyata sampai dengan zaman sekarang.
Kita akan lanjutkan penelaahan kita tentang masalah tembok yang sudah roboh ini. Khotbah hari ini adalah tentang hal “membangun tembok.” Yang kita bahas adalah tembok rohani yang melindungi kehidupan rohani kita supaya kita bisa berada di sisi yang benar bersama Allah. Mari kita lihat isi Mazmur 106:23
Maka Ia mengatakan hendak memusnahkan mereka, kalau Musa, orang pilihan-Nya, tidak mengetengahi di hadapan-Nya, untuk menyurutkan amarah-Nya, sehingga Ia tidak memusnahkan mereka.
Ayat ini membahas peristiwa yang terkait dengan kasus anak lembu emas, yang terjadi tak lama sesudah orang Israel dibebaskan dari Mesir. Baru saja bebas dari Mesir, mereka sudah membuat anak lembu emas untuk disembah. Akibatnya, terbuka celah dalam kerohanian mereka. Di mata Allah, peristiwa ini sudah membuka celah tersebut. Lalu, Musa berdiri di tengah celah itu, menutup celah dan menjadi penengah, untuk menyurutkan amarah Allah atas umat-Nya. Jika celah terbuka, bukan hanya musuh yang bisa menerobos masuk, penghakiman dari Allah juga akan datang. Jadi, sekarang anda bisa memahami hal apa yang sedang diusahakan oleh Musa dalam menghadapi masalah yang tak terhindarkan. Dia berdiri di celah untuk memohon kepada Allah dan bersyafaat bagi umat-Nya. Dia memohon kepada Yahweh untuk menyurutkan murka-Nya kepada umat Israel. Mari kita lihat Ulangan 9:25-26
25 Maka aku sujud di hadapan YAHWEH empat puluh hari empat puluh malam lamanya aku sujud, karena YAHWEH telah berfirman akan memusnahkan kamu,
26 dan aku berdoa kepada YAHWEH, kataku: Ya, Tuhan YAHWEH, janganlah musnahkan umat milik-Mu sendiri, yang Kautebus dengan kebesaran-Mu, dan yang Kaubawa keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat.
Musa berdoa kepada Allah, memohon kepada Yahweh untuk tidak memusnahkan umat-Nya. Mari kita baca ayat 20
Juga kepada Harun YAHWEH begitu murka, hingga Ia mau membinasakannya; maka pada waktu itu aku berdoa untuk Harun juga.
Umat Israel memaksa Harun untuk membuat berhala, dan Allah berniat untuk membinasakan dia juga karena menyerah pada desakan mereka. Dengan demikian, Musa harus berdoa untuk Harun juga. Anda lihat hal yang diperbuat oleh nabi Musa? Ketika umat melakukan kesalahan, maka Allah berhak untuk memusnahkan mereka. Akan tetapi, anda melihat Musa menengahi, berdiri di celah dan memohon pengampunan kepada Allah. Hal ini mungkin terlihat agak aneh untuk sebagian dari kita, sepertinya Allah tidak mampu menahan amarah, dan Musa terlihat seperti orang yang lebih luas pandangannya. Anda harus memahami isi Perjanjian Lama dengan baik, jika tidak, maka anda bisa sampai pada kesimpulan yang salah.
Jika kita kembali pada Mazmur 106:23, di sana disebutkan bahwa Musa adalah orang pilihan-Nya. Dengan kata lain, jika Allah sudah menetapkan pilihan pada Musa, salah satu tugas pelayanannya sebagai hamba pilihan Allah ialah melakukan hal itu: bersyafaat bagi umat-Nya. Jika bentuk pelayanan ini termasuk yang dikehendaki oleh Allah, tentu Allah sudah punya rencana untuk itu. Rencana itu disampaikan kepada kita melalui Yesus. Banyak pakar yang menyatakan bahwa Yesus adalah Musa yang baru. Jika Musa bersedia untuk melakukan hal ini demi umat, sudah tentu Yesus jauh lebih bersedia untuk melakukannya. Pelayanan Yesus sekarang ini sudah diserahkan kepada Jemaat Allah, kepada kita.
Jadi, mengapa Allah ingin ada orang yang berdiri di celah tembok agar amarah-Nya surut? Ini karena Allah ingin agar kita menyadari betapa seriusnya masalah dosa dan mengerti apa arti menderita bersama Dia. Di sana ada amarah, memang benar, tetapi di sana juga ada penderitaan yang menyertai amarah itu. Dengan kata lain, jika memang Allah harus memusnahkan mereka, hal itu akan sangat menyakiti hati-Nya. Dia sangat menyayangi umat-Nya.
Jika tidak ada kasih, tak ada penderitaan. Dengan kata lain, bagi kebanyakan dari kita, jika ada yang berbuat salah, pikiran yang langsung muncul adalah niat menghukum. Perasaan seperti apa yang akan kita dapatkan? Kepuasan karena keadilan sudah dijalankan. Kita puas menghukum orang yang melakukan kejahatan karena kita mengira sedang berbuat jasa kepada Allah. Itulah hal yang terjadi dalam perang, atau ketika orang berkelahi di jalanan. Setiap orang merasa punya pembenaran sendiri. Namun harap dipahami, jika anda mempelajari Perjanjian Lama, anda tidak akan bisa berbicara tentang amarah Allah tanpa membahas kasih Allah. Mengapa? Karena Allah memandang Israel sebagai bagian dari diri-Nya. Mari kita lihat Ulangan 1:31
Dan di padang gurun, di mana engkau melihat bahwa TUHAN, Allahmu, mendukung engkau, seperti seseorang mendukung anaknya, sepanjang jalan yang kamu tempuh, sampai kamu tiba di tempat ini.
Di sini anda bisa melihat bagaimana Yahweh memperlakukan umat Israel. Dia menggendong mereka seperti seorang ayah yang menggendong anaknya. Gambaran kasih sayang yang besar terlihat jelas di sana. Ketika Israel menderita, Dia ikut merasakan penderitaan itu. Anda dapat melihat, misalnya, di dalam Yesaya 63:9
Dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.
Di dalam kasih dan belas kasihan-Nya, Dia sendiri yang menebus Israel. Akan tetapi tindakan-Nya ini dilandasi oleh belas kasihan; dalam kesesakan mereka, Yahweh ikut merasakannya. Yahweh merasakan penderitaan mereka dan membebaskan mereka. Demikianlah, ketika mereka membuat berhala, hal ini sangat menyakiti hati Yahweh. Itu sebabnya, ketika Musa turun dari gunung, dia ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Allah. Tentu saja, Musa juga merasa marah. Akan tetapi amarahnya justru mendorong dia untuk memohon kepada Allah. Dia berdiri di celah. Sekarang mari kita lihat Yehezkiel 22:29-30
29 Penduduk negeri melakukan pemerasan dan perampasan, menindas orang sengsara dan miskin dan mereka melakukan pemerasan terhadap orang asing bertentangan dengan hukum.
30 Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.
Anda bisa melihat bagaimana perasaan Yahweh. Ketika Dia mengamati bangsa Israel, hal apa yang Dia lihat? Semua wujud dari keserakahan. Mereka mencintai uang. Jika anda tidak mencintai uang, maka anda tidak akan memeras orang lain. Tidak ada yang menegakkan Hukum Yahweh. Penduduk mengandalkan pemerasan dan perampasan. Mereka bahkan menindas orang miskin. Orang asing, yang tidak tahu kebiasaan dan cara hidup di negeri itu, mereka tipu dan peras. Seperti itulah bentuk masyarakat yang mereka bangun. Bagi anda yang sudah sering berkunjung ke negara-negara berkembang, anda akan tahu masalah ini.
Dalam perjalanan pelayanan, anda akan segera mengerti keadaan masyarakat. Ini hal yang sangat mudah diamati. Anda cukup naik taksi setempat. Anda akan mendapatkan gambaran yang bagus tentang kehidupan sosial di tempat itu dari pengalaman naik taksi. Para supir taksi tahu bahwa jarak tujuan sebenarnya dekat, tetapi mereka akan membawa anda berputar-putar cukup lama! Mungkin sekitar setengah jam, padahal seharusnya bisa ditempuh dalam lima menit saja. Begitulah cara mereka memeras. Mereka tahu bahwa anda orang baru di tempat itu. Demikianlah, ketika saya pergi ke India, dalam beberapa kejadian, saya mengalami hal ini. Hal yang sama juga terjadi di Filipina. Akan tetapi, kondisi masyarakat semacam inilah yang lazim kita temui di zaman sekarang. Bahkan di negara-negara maju, anda akan temui perilaku yang mirip, walaupun dengan cara yang lebih halus. Tidak menyolok seperti di negara-negara berkembang. Ini berarti bahwa di dunia sekarang ini, nyaris tak ada lagi kehidupan rohani. Semuanya sudah hilang. Temboknya sudah roboh.
Dalam kaitannya dengan Israel, Yahweh berkata, “Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku.” Dia mencari orang yang mau mendirikan tembok untuk memperbaiki kerusakan. Akan tetapi, Dia tidak menemukannya. Masalah yang menghambat adalah ini: Semua orang ingin mengejar keuntungan, menikmati laba yang besar. Tidak peduli siapapun korbannya. Jika mereka bisa memeras dari orang miskin atau yang kekurangan, tidak masalah bagi mereka. “Selama kita yang untung, tidak usah peduli apa-apa.” Ini adalah dosa yang mengerikan. Lalu, Yahweh berkata kepada bangsa Israel. Mari kita lihat Yesaya 58:9-12
9 Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan YAHWEH akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,
10 apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.
11 YAHWEH akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.
12 Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan “yang memperbaiki tembok yang tembus”, “yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni”.
Allah berkata di ayat 9, “Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah.” Dengan kata lain, anda memperbaiki hubungan anda dengan orang lain, berdamai dengan orang lain. Kemudian ayat 10 menyatakan, “Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas.” Terakhir, ayat 12, “Engkau akan disebutkan ‘yang memperbaiki tembok yang tembus.’” Dalam hal ini, yang disampaikan oleh Yahweh adalah, “Kalau kamu perbaiki hidupmu, dan melakukan apa yang benar, berarti kamu sedang memperbaiki kerusakan di tembok pertahananmu.” Demikianlah, secara ringkas, lobang di tembok itu melambangkan kebiasaan mementingkan diri sendiri, keegoisan, yang merupakan wujud dari cara hidup penuh dosa; itu sebabnya tercipta jarak antara kita dengan Allah.
Di sisi lain, jika anda melakukan apa yang benar, belajar untuk peduli pada orang lain, dan memperbaiki hubungan anda dengan orang lain, tembok pertahanan rohani akan dibangun kembali. Sekarang kita mengerti, dari Perjanjian Lama, bahwa kehidupan rohani kita bergantung pada keadaan masyarakat juga. Tak ada hal yang disebut pribadi sehingga kita merasa benar untuk menjadi individualistis, yang kita pedulikan hanya kehidupan rohani atau keselamatan ‘pribadi’ saja. Perjanjian Lama menyatakan bahwa kehidupan rohani kita bergantung pada kehidupan masyarakat.
Kita sudah melihat bahwa Yesus menjalani hidup dan matinya untuk membangun masyarakat baru yang disebut “Jemaat”. Jika jemaat sebuah gereja hanya melihat ke sisi dalam saja, hanya mengutamakan kepentingan mereka saja, gereja itu tidak memiliki tembok pertahanan. Ia akan menjadi sasaran mudah bagi si Jahat dan juga menjadi sasaran murka Allah. Berdasarkan ajaan Perjanjian Lama, kita sekarang tahu bahwa Allah masih mencari orang yang mau berdiri di celah tembok pertahanan. Celah ini terbuka lebar sekarang.
Di zaman sekarang kita cenderung berpikir, “Nah, itu ajaran dalam Perjanjian Lama, tetapi di dalam Perjanjian Bau, sudah ada orang yang melakukan semua itu, jadi kita tidak perlu melakukannya.” Tentu saja kita tahu siapa orang yang berdiri di celah itu. Dia berdiri di celah tembok. Dia bersyafaat bagi kita. Akan tetapi, kita juga harus paham bahwa urusan berdiri di celah tembok ini mencakup masalah perbaikan. Dia berdiri di sana untuk memperbaiki tembok. Bagaimana dia melakukannya? Dengan cara mengubah hidup kita, menolong kita untuk mengerti apa arti pertobatan, perubahan dan hidup dalam suasana saling peduli di tengah jemaat Allah.
Jika kita tidak melakukannya, syaaat Yesus menjadi sia-sia saja. Itu sebabnya Musa juga bersyafaat bagi umat Israel. Akan tetapi, jika mereka tidak bertobat, mereka akan tetap binasa. Permohonan Musa kepada Allah tidak akan ada artinya jika umat Israel tidak bertobat serta melakukan apa yang benar. Itu berarti mereka perlu kembali kepada Yahweh, mengasihi Dia dengan segenap hati mereka, dan melayani Dia. Dengan kata lain, anda tidak berdiri di celah hanya untuk berdiri saja. Ada lobang besar di tembok itu. Jangan berkata bahwa anda akan berdiri di sana sepanjang masa! Pokok yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa sang pengantara sedang memohon kepada Yahweh, “Ya Yahweh, berilah umat ini kesempatan yang kedua supaya mereka bisa memperbaiki celah yang terbuka, membangun ulang tembok tersebut.” Itulah tugas pelayanan yang diemban oleh sang pengantara.
Jadi, jangan berpikir bahwa sesudah Yesus berdiri di celah, maka semua urusan sudah selesai. Kita semua selamat sekarang, karena Yesus sudah menyatu dengan tembok itu. Kita harus memahami apa yang sedang disampaikan oleh Perjanjian Lama. Tembok itu tidak melambangkan Musa, Yesaya atau Yehezkiel. Tembok itu melambangkan seluruh umat, dan dalam masa Perjanjian Lama adalah seluruh umat Israel; lobang di tembok melambangkan kehidupan rohani umat yang sudah runtuh dan perlu dibangun ulang. Itulah arti penting dari syafaat. Kita perlu menyadari bahwa di zaman sekarang ini Allah juga mencari orang yang mau berdiri di celah tembok. Jadi, yang berdiri di sana bukan hanya Yesus, melainkan semua murid atau hamba yang diharapkan oleh Yahweh untuk menggenapi pelayanan itu.
Jika anda baca tulisan-tulisan Paulus, anda akan lihat bahwa dia selalu berdoa bagi jemaat. Jika hanya Yesus yang perlu bersyafaat, Paulus tidak perlu berdoa bagi siapapun. Bahkan tak ada di antara kita yang perlu berdoa karena Yesus, sebagai pengganti kita, sudah melakukan semua itu. Paulus berkata dalam Efesus 6:18,19, “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh … juga untuk aku.” Bagi Paulus, doa semacam ini sangatlah penting, dan dia melakukannya setiap hari. Oleh karena sekarang ini adalah masa karantina, maka kita perlu untuk datang kepada Yahweh dan memohon kepada-Nya untuk mengajari kita berdoa, supaya kita bisa ikut berdiri bersama Yesus di dalam syafaat ini. Di sisi lain, jika anda ingin agar ada yang berdoa bagi anda, anda perlu membagikan hal apa saja yang perlu didoakan.
Jika anda telaah kata “intercession (pengantara, syafaat)”, misalnya, dalam Yesaya 53:12, di sana dikatakan bahwa hamba yang menderita ini memikul dosa-dosa kita dan berdoa bagi umat. Jika anda periksa kata Ibrani yang diterjemahkan menjadi “berdoa untuk umat (bersyafaat)”, kata aslinya bisa bermakna memohon atau mendesak. Sebagai contoh, jika anda baca kisah Rut dan Naomi di dalam Perjanjian Lama, di sana disebutkan bahwa Rut berkata kepada Naomi, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau.” Ini adalah ungkapan yang mengharukan. Dan ini juga merupakan salah satu makna dari kata pengantara atau syafaat; anda perlu memiliki keberanian seperti itu untuk “mendesak” Yahweh dalam syafaat anda.
Pokok berikutnya adalah pokok yang sudah sangat jelas, dan saya tidak perlu menekankannya, yakni bahwa si pengantara tidak melakukan dosa yang sama dengan mereka yang sedang didoakan. Orang yang bersyafaat harus orang benar. Jika anda melakukan dosa yang sama, bagaimana mungkin anda akan bersyafaat? Itu adalah kemunafikan, dan anda justru mengundang hukuman Allah atas diri anda. Orang benar memiliki keberanian untuk mendesak Allah agar menahan penghakiman-Nya guna memberi kesempatan kedua dan berbelas kasihan bagi mereka.
Demikianlah, kata ‘pengantara atau syafaat’ ini memiliki dua makna utama, yakni ‘memohon’ dan ‘mendesak’, tetapi masih ada satu makna yang terkait dengan kata ‘pengantara’ itu, yakni ‘berhubungan’ atau ’bergaul’. Alasan mengapa Allah memberi Musa tugas sebagai pengantara ini adalah karena dia selalu bergaul dengan Allah. Dia mengerti dan mengikuti hati dan pikiran Allah sehingga ketika dia bersyafaat bagi bangsanya, dia mempraktekkan belas kasihan dan kemurahan Yahweh dan memanjatkan doa yang secara khusus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rohani bangsanya saat itu. Secara ringkas, seorang pengantara tahu apa yang harus didoakan dan bagaimana mendoakannya.
Masih ada satu aspek lagi dari pokok tentang pengantara, yakni kata ‘menanggung’ sebagaimana yang terdapat di Yesaya 53:12, “Ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.” Kata menanggung dan berdoa untuk orang lain adalah dua sisi dari koin yang sama. Akan tetapi, jika anda periksa kata ‘menanggung’ dalam bahasa Ibrani, di dalam beberapa referensi, kata ini juga bisa berarti ‘pengampunan’. Dengan kata lain, ketika kita bersyafaat untuk orang lain, harus ada kesediaan untuk memaafkan. Jika anda sedang dalam keadaan marah pada seseorang, akan sangat sulit bagi anda untuk bersyafaat bagi orang tersebut. Desakan untuk mengumbar kemarahan sangatlah kuat. Saat kita datang kepada Yahweh untuk berdoa bagi kepentingan orang lain, padahal kita masih menyimpan kemarahan pada orang itu, maka kita perlu untuk memaafkan terlebih dahulu. Jika anda tidak memaafkan, dan anda datang menghadap kepada Allah yang maha pemurah dan maha pengampun, anda akan menghadapi masalah. Anda tidak akan bisa menyelaraskan diri dengan Dia. Demikianlah, walaupun Musa sangat marah pada bangsa Israel, ia datang dan berlutut di hadapan Allah yang maha pengasih dan pemurah. Surat Yakobus berkata, “Belas kasihan mengatasi penghakiman.”
Sebagian orang mungkin berkata, “Jika demikian, lebih baik saya tidak bersyaaat.” Mengapa? “Karena orang-orang yang melakukan hal-hal tersebut memang layak menerima penghakiman Allah.” Lalu, dia mungkin melihat ke arah orang yang lain dan berkata, “Wow, yang ini bahkan jauh lebih jahat! Dia memang layak mendapat hukuman!” Bukankah ini hal yang lazim kita dengar? Kita tidak mau bersyafaat untuk orang tersebut karena pola pikir yang tertanam kuat di benak kita, kita ingin agar orang tersebut menghadapi penghakiman atau tindakan disiplin dari Allah! Itu sebabnya kita tidak mau bersyafaat untuk orang tersebut. Jika anda lihat sikap para nabi, mereka tidak berpola pikir seperti itu. Sekalipun bangsa Israel layak menerima hukuman, mereka bersedia berdiri di celah tembok dengan harapan agar umat bisa berpaling dan membangun ulang kehidupan mereka di dalam kebenaran dan kekudusan Allah. Saya harap kita dapat belajar dari sikap hati para nabi dalam Alkitab.
Yang terakhir, saya akan menutup pembahasan dengan Roma 8:33,34
Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?
Disebutkan di sini bahwa Yesus bersyafaat bagi kita di sebelah kanan Allah, Bapa. Mari kita lihat ayat 26-27,
26 Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.
27 Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.
Sebagian orang salah paham dengan ayat-ayat ini dan mengartikannya sebagai pernyataan yang bersifat doktrinal. Paulus tidak tertarik dengan pernyataan semacam itu. Bagaimana Paulus tahu bahwa Roh berdoa untuk kita tanpa mengucapkan kata-kata, dalam keluhan-keluhan yang tak terucapkan? Karena dia mengalaminya! Saat itu dia tidak tahu bagaimana mendoakan masalah yang sedang dihadapinya. Bagaimana berdoa untuk orang-orang semacam itu? Dia mengalami betapa Roh Yahweh menggerakkan hatinya, mengungkapkan kesedihan tersebut. Kesedihan yang dia rasakan begitu dalam sehingga sukar untuk diucapkan. Kapan kita bisa sampai ke level di mana kita memilih untuk bersyafaat dan bukannya berpikir, “Dia layak mendapatkan itu”? Demikianlah, jika anda berpikir seperti itu, anda masih belum mengerti maksud Alkitab. Paulus berkata, “Seperti itulah syafaat yang akhirnya kupanjatkan karena Roh Allah mengajarku untuk berdoa sekalipun sukar mengucapkan kata-kata; dorongan yang kuat dari Roh, untuk ikut merasakan hal yang dirasakan oleh Allah terhadap umat-Nya.” Sekarang anda bisa mengerti bagaimana Yesus bersyafaat untuk kita.
Saya rasa mungkin kita masih belum bisa menghayati pokok ini. Mungkin sekarang ini Yesus sedang meratapi anda dan saya, mungkin dia sendiri sedang bersyafaat dalam doa yang tak terungkap lewat kata-kata. Dia dapat melihat kerusakan di tembok, tetapi kita tidak dapat melihatnya karena kita tidak merasakan apa pun. Segala sesuatu terlihat baik-baik saja. Ini adalah masalah besar. Jika kita ingin mendekat kepada Allah, dan juga Yesus, kita harus mulai memahami perasaan mendalam dari kasih Allah, bukan hanya pada diri anda, melainkan terhadap keluarga anda, jemaat di gereja anda, rekan kerja anda, orang-orang yang bekerja dengan anda dan mereka yang punya hubungan dengan anda. Semua mendapat perhatian dari Allah. Begitu kita memahami hal ini, kita akan masuk ke dalam pelayanan yang sangat penting untuk Allah. Akan tetapi, ini adalah proses belajar yang berkelanjutan, dan kita akan berhasil menjalaninya kalau kita tekun di dalam kasih-Nya. Kita semua pada akhirnya akan ditanam dalam pola pikir yang sama dengan pada nabi.