new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Pendeta Eric Chang |

Kadang kala seorang Kristen merasa dipermalukan oleh perkataan-perkataan Yesus. Mari kita ambil contoh ketika pada murid merasa sangat resah dan tersinggung oleh perkataan Yesus saat Dia berkata, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia akan hidup oleh Aku.”

Makan daging? Minum darah? Sebaiknya memakai kata-kata yang lebih beradab. Maksud saya, pakailah ungkapan yang sudah diperhalus. Bahasa semacam ini, bahasa kaum kanibal seperti ini tidak cocok dengan masyarakat dan kebudayaan kita yang sangat tinggi.

Para murid pada saat itu memang sangat tersinggung. Sangatlah tidak pantas jika Kristus, Sang Guru Besar Hukum Taurat, Sang Guru Besar tentang kehidupan, berbicara tentang hal makan daging dan minum darah.

Namun Yesus tidak merasa terganggu dengan fakta bahwa bahasa-Nya akan menimbulkan rasa tersinggung semacam itu.

Dan kemudian, ketika murid-murid-Nya meninggalkan Dia, Dia tidak berkata, “Hei! Kembalilah! Biar Kujelaskan dulu apa maksudnya. Jangan mengartikan secara harfiah begitu. Biar Ku-jelaskan apa yang Ku-maksudkan. Kalian tidak perlu buru-buru meninggalkan-Ku sekarang ini.”

Saat mereka beranjak pergi, Dia tidak mengambil tindakan untuk menghentikan mereka, Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia biarkan saja mereka pergi.

Dan selanjutnya, kepada mereka yang masih berdiri di sana, yang sedang dalam keadaan bimbang, tertekan dan bingung, mereka belum beranjak pergi akan tetapi tampaknya mereka juga ingin pergi.

Yesus malah berkata kepada mereka, “Apakah kalian juga akan meninggalkan-Ku?” Dia tidak berkata, “Aku tidak mau kalian ikut pergi juga.” Dia berkata, “Apakah kalian juga akan meninggalkan-Ku?” Dengan kata lain, “Kalau kalian ingin pergi, jangan ragu-ragu. Jangan ragu. Silakan pergi.”

Wow! Pikir mereka, “Guru yang satu ini mengherankan sekali!” Dia tidak membuat penjelasan apa-apa; Dia tidak berusaha menahan mereka.

Dari cara-Nya mengerjakan sesuatu hal, terlihat betapa Dia sangat berbeda.

Jika kita disalah-pahami, kita akan berkata, “Hei, dengarkan dulu! Sabar dulu. Bukan itu maksudku. Jangan tersinggung dulu.”

Yesus sama sekali tidak bereaksi seperti itu. Jika mereka ingin pergi, silakan saja. Biarkan saja. Sungguh mengherankan! Sikap hati macam apakah ini? Dia bahkan tidak berusaha meluruskan persoalan. Dia tidak berusaha menahan mereka.

Dia tidak berusaha untuk menahan mereka. Jika mereka ingin pergi, silakan pergi. Memang harus begitu. Sungguh bertentangan dengan cara berpikir manusia.

“Runtuhkanlah Bait ini. Dalam tiga hari, Aku akan membangunnya.”

Mari kita lihat contoh lain, contoh yang menyinggung hati kebanyakan orang Yahudi dan mungkin juga kebanyakan murid-murid-Nya. “Runtuhkanlah Bait ini. Dalam tiga hari, Aku akan membangunnya.”

Oh! Anjuran untuk meruntuhkan Bait Allah yang kudus bagi orang Yahudi sama saja dengan penghujatan! Itu adalah ucapan yang tidak akan bisa ditoleransi oleh orang Yahudi manapun. Mereka akan sangat marah!

Namun, apakah Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi, “Stop, stop, stop. Jangan marah dulu. Yang Kumaksudkan adalah tubuh jasmani-Ku ini.” Dia tidak membuat uapya pelurusan itu. Tidak sama sekali.

Makna harfiah dari perkataan tersebut jelas akan dipahami sebagai tindakan menghancurkan Bait Allah. Dan orang Yahudi akan memahami hal itu sebagai Bait Allah di Yerusalem. Namun Dia sama sekali tidak berusaha meluruskan pemahaman yang seperti itu.

Makna rohaninya adalah bahwa Allah berdiam lebih banyak di dalam Aku ketimbang di dalam bangunan itu, jadi kalau kamu hancurkan bangunan yang ini atau yang itu, yang manapun Allah akan bisa membangunnya dalam tiga hari. Akan tetapi Dia sama sekali tidak meluruskan pemahaman mereka.

Dan Anda tahu bahwa di dalam pengadilan terakhir atas Yesus, hal apakah yang disampaikan oleh para saksi terhadap Dia? Persisnya seperti ini: “Orang ini berkata, ‘Hancurkanlah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya.’” Itulah tuduhan yang membuat-Nya dijatuhi hukuman mati. Tuduhan penghujatan. Itulah tuduhan yang diajukan oleh para saksi terhadap Dia.

Adakah Yesus mengucapkan sesuatu sebagai pembelaan-Nya? Tidak ada.

Anda mungkin berkata, “Kalau kamu disalah-pahami, luruskanlah persoalannya. Tegaskan pendirianmu.” Yesus tidak mengucapkan apapun. Tidak sama sekali. Tak ada pelurusan. Dia tidak mengucapkan satu katapun untuk pembelaan-Nya. Ketika mereka mengajukan tuntutan-tuntutan mereka, Yesus hanya diam saja. Dia tidak takut untuk disalah-pahami. Sekalipun di dalam hal ini kasusnya bisa menyangkut nyawa-Nya, Dia tetap tidak berkata apa-apa. Tak ada kata pembelaan, tak ada pelurusan yang diberikan. Sungguh luar biasa.

Dia biarkan mereka menghakimi perkataan-perkataan-Nya entah secara harfiah atau dengan cara lainnya. Jika kalian mengartikannya seperti itu, ya sudah. Kita tidak mengerti sikap yang semacam ini, bukankah begitu? Dan di sepanjang ajaran dari Yesus, kita dapati hal ini – Dia menyatakan firman-Nya dengan keagungan ilahi dan Dia sama sekali tidak berusaha untuk meluruskan apa yang Dia maksudkan.

Mengapa Dia tidak berusaha untuk menjelaskan apa yang Dia maksudkan?

Mengapa bisa begitu? Mengapa? Nah, karena Yesus bekerja dengan menggunakan konsep cara kerja Allah yang memang kebanyakan tidak bisa kita pahami. Dia tahu bahwa Roh Kudus Allah akan membuka makna dari perkataan-perkataan itu bagi mereka yang secara rohani terbuka terhadap Allah dan Dia [Roh Kudus] akan menutupi maknanya atas mereka yang secara tertutup terhadap Allah.

Inilah pegangan dasar yang Dia pakai di dalam mengajar murid-murid-Nya. Dia berkata kepada mereka, “Kepadamu, Allah menyatakan rahasia-rahasia Kerajaan.” Tidak jauh sebelum ayat tersebut, yakni di dalam Matius pasal 16, apakah yang dikatakan oleh Yesus kepada para murid-Nya? “Menurut orang-orang, siapakah Aku ini?”

Lalu Dia berkata, “Menurut kalian, siapakah Aku ini?” Dia tidak berkata, “Sekarang Kuberitahu kalian tentang siapa Aku ini.” Tidak, Dia tidak mengatakan hal-hal tersebut. Dan Petrus berkata, “Engkau adalah Kristus. Engkau adalah Anak Allah yang hidup.”

Kemudian apa kata Yesus? “Bravo Petrus! Kamu memang murid jempolan. Tidak sia-sia Aku habiskan waktu satu setengah tahun untuk mendidikmu. Kamu benar-benar telah cukup tahu.”

Tidak, Dia justru berkata, “Petrus, kamu mengetahui hal ini karena satu hal, karena Bapa-Ku telah menyatakannya kepadamu. Kamu mengikuti seorang manusia biasa, orang yang pekerjaannya adalah tukang kayu. Kamu melihat-Ku makan, sama seperti orang lain dan tidur juga seperti orang lain. Kamu telah melihat-Ku sebagai seorang manusia, akan tetapi kamu tahu bahwa Aku adalah Anak Allah.

Bagaimana kamu bisa tahu hal itu? Itu karena Bapa-Ku menyatakan hal itu kepadamu.”

Perkataan-perkataan Yesus entah akan menjadi batu sandungan atau justru menjadi batu karang di mana kehidupan Anda akan dibangun di atasnya

Dengan demikian, jika kita menghampiri firman Yesus, maka Firman itu bisa menyinggung Anda atau justru menjadi firman yang memberi kehidupan bagi Anda. Ia bisa menjadi batu sandungan atau justru menjadi batu karang tempat kehidupan Anda akan dibangun di atasnya. Hal yang sangat menarik.

Hal yang sama juga berlaku pada Paulus. Paulus berkata, “Hidup kami membawa keharuman kehidupan bagi sebagian orang namun juga membawa bau kematian bagi sebagian yang lain.” Sungguh sangat tegas.

Pemberitaan Firman Allah membawa kehidupan bagi sebagian orang dan juga kematian bagi sebagian yang lainnya. Seperti pedang yang memisahkan umat manusia.

Harap Anda perhatikan bahwa Yesus sama sekali tidak berusaha menjelaskan makna ayat-ayat ini. Tak ada penjelasan yang diberikan. Dan akibatnya, Firman ini menjadi seperti pedang, memisahkan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Sangat luar biasa memang firman dari Kristus. Dia tidak takut untuk disalah-pahami. Dia sampaikan perkataan-Nya dan membiarkan Allah yang mengerjakan urusan selanjutnya. Sungguh luar biasa.

(Dikutip dari khotbah “Ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya”)