Pastor Eric Chang | Lukas 15:11-32 |

Hari ini, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang pengajaran Yesus di Lukas 15:11-32, yang ketiga dari empat perumpamaan di dalam Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Dan perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship). Apa artinya menjadi anak? Apa masalah yang timbul dalam hubungan ini? Bagaimana cara kita menjadi anak? Saya akan memberi gambaran ringkasnya kepada Anda karena perumpamaan ini agak terlalu panjang untuk dibaca.


Isi Cerita tentang Anak yang Hilang

Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, “Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?” Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, “Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu,” suatu ucapan yang cenderung akan dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena – sebagaimana yang Anda ketahui – setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.

Namun celaka sekali! Hal-hal yang gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak akan bisa menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya. Pepatah mengatakan, “Gampang didapat, gampang pula habisnya”. Jadi dalam waktu yang sangat singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.

Pada waktu itu ia mulai menyadari, bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja. Tiba-tiba ia tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati adalah hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia harus bekerja. Namun ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.

Namun ini bukan pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun juga, makanan babi tidak terlalu buruk. Kadang kala, sisa-sisa makanan yang lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi menerima makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat terhadap makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, namun rasanya pasti cukup lezat, percayalah.

Ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang kala dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Ayat 17 menyebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.

Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.

Mendapati dirinya berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, “Pelayan ayahku yang berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati kelaparan!” Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah semestinya ia lakukan, “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku.”

Namun bagaimana ia bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya. Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia memikirkan dan menyusun kata-kata yang akan diucapkannya, “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa.” Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang berkata, “Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa yang sudah kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadapmu, tetapi juga suatu kesalahan kepada Allah. Sekarang aku memintamu untuk menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak sebagai anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon Anda untuk menerima aku.”


Ayah yang Berbelas Kasih

Lalu di ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata ‘belas kasihan’ ini nanti. Lalu si ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, “Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya.” Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu.” Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!


Si Sulung yang Kesal

Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, “Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!” Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.

Dan sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata,

“Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.


Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang

Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.

Pertama-tama, perlu Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang hilang. Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang. Manusia pertama, Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai seorang ‘anak Allah’ di Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya, keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam sudah hilang.

Siapa lagi anak yang hilang? Sebagian besar Perjanjian Lama berkisah tentang Israel, dan bangsa Israel disebut sebagai ‘anak Allah’ di dalam beberapa ayat, sebagai contoh, Hosea 11:1,2 dan 10. Dan Hosea 11:1 (dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu, yaitu, Allah memanggil Israel keluar dari Mesir) yang dikutip dalam Matius 2:15 bercerita tentang Israel sebagai anak yang hilang. Alkitab adalah buku yang berkisah tentang anak-anak yang hilang.

Kata ‘anak’ memiliki makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai ‘anak-anak Allah’, sebagai contoh di dalam Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda, kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun, bahkan para malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas ayat 6, di situ disebutkan bahwa  Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar.


Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang

Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? “Aku adalah anak”. Dan banyak sekali orang yang berkata, “Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak.” Benar, ‘sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak,” tetapi apa artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.

Jangan mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan demikian Anda pasti akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau. Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar Gereja sekarang. Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat, berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman, menentramkan, namun tetap saja salah.

Pernah ada orang yang berkata kepada saya, “Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan.”

Saya bertanya, “Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?”

Jawabnya, “Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka selamanya akan tetap sebagai anak.”

Menyedihkan sekali! Membangun anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah anak-anak Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan mendasarkan rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, “Aku adalah anak”?

Saya tidak seketikapun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Dan kita adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, makna dari ungkapan ‘anak Allah’ yang memiliki jangkauan yang luas, di Kisah 17:28 Paulus mengutip salah satu pujangga Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga. Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada. Ada cakupan makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat manusia, adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama seperti keberadaan kita yang berasal dari orang tua kita, di balik itu, Allahlah yang menjadi sumber keberadaan kita sesungguhnya. Allah adalah bapa di dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara pandang ini juga diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih dipersempit lagi. Sama seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak memiliki kedekatan yang lebih akrab dengan ayah mereka ketimbang anak yang lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa anak memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang anak yang lainnya.

Di samping itu, ada lagi pengertian yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak karena Allah mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita telah menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga menjadi anak karena kelahiran baru.

Tetapi cukup untuk dikatakan di titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak dapat berkata, “Aku aman karena aku adalah anak.” Saya sedih melihat begitu banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.

Kenyataannya, pernah saya menanyakan salah satu dari orang Kristen itu, “Katakan pada saya, berdasarkan doktrin yang Anda yakini – jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?”

Dan tahukah Anda apa jawabannya? Dia berkata, “Ya.” Berdasarkan teori ‘sekali selamat tetap selamat’, Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan. Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.

Saya berkata, “Jadi jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan ajaran ini?” Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa ‘sekali anak tetap anak.’ Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak namun tetap hilang. Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak pernah menjadi anak sama sekali.


Anak yang Hilang Diselamatkan karena Bertobat

Pikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.

Lalu bagaimana dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari Yesus, beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan para ahli kitab dan orang-orang Farisi sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa dan pemungut cukai. Ini adalah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lannya. Mereka itulah dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, “Orang-orang berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka akan bertobat. Tetapi kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan gigi.” Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang mengatakan bahwa setiap orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.


Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!

Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata,

“Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” (Mat.3:8-9).

Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: “Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah.” Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, saya yang dipilih, bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau tunjukkan bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Yesus, “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,” dengan kata lain, “Kami para anak.” Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Yesus berkata di ayat 44, “Iblislah yang menjadi bapamu.” Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Yesus berkata, “Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis.” Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.

Sangatlah penting bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang ini. Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang ini mencoba untuk mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang penting. Itu adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa kedudukan sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu datang pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Anda karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum Israel, “Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau” (Ul.7:6-7; Yeh.18:30). Itulah dasar dari penghakiman-Nya.

Ingatlah selalu bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat, melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Dan di dalam perumpamaan ini, anak-anak tersebut bahkan merujuk kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi: di satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.


Allah adalah Bapa kepada Semua

Sekarang, mari kita perhatikan aspek lain di dalam perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut sebagai Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata ‘anak’ dipakai dalam pengertian yang sangat luas, menunjukkan bahwa sekalipun orang yang tidak percaya tetap memiliki hubungan dengan Allah karena Allah yang menciptakan mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah. Dalam pengertian seperti itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu maka Allah juga merupakan Bapa bagi orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah. Berarti setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah adalah Bapa kepada setiap orang. Tapi bagi orang-orang Kristen, Ia adalah Bapa di dalam pengertian hubungan yang lebih dekat, dan juga Bapa bagi Yesus di dalam pengertian hubungan yang malah lebih dekat lagi.

Seperti yang dengan teliti disampaikan oleh Paulus, kita adalah anak-anak berdasarkan adopsi. Kita memiliki “Roh yang menjadikan kita anak.” Tentu saja, kita tahu bahwa Yohanes berbicara tentang ‘kelahiran kembali’, dan ungkapan itu berbicara tentang keberadaan sebagai anak secara figuratif. Tidak boleh dipahami secara harfiah, namun secara rohaniah. Artinya, kita menjadi anak-anak karena kita sudah dilahirkan kembali oleh kuasa Allah. Tetapi Paulus lebih suka menggunakan istilah ‘ciptaan baru’ seperti yang dia tulis di dalam 2 Korintus 5:17, kita menjadi ciptaan baru di dalam Kristus.

Dengan melihat bahwa Allah itu Bapa kepada kita semua, dalam pengertian yang lebih mendalam bagi kita orang-orang Kristen ketimbang mereka yang non-Kristen, lalu bagaimana sikap kita terhadap Allah? Pengajaran dari Yesus sangat menekankan hal ini: tentang Kebapaan Allah. Ini adalah poin yang sangat penting di dalam pengajaran Yesus. Dan Yesus menunjukkan kepada kita di dalam ajarannya bahwa Allah juga peduli pada orang-orang non-Kristen. Sebagai contoh, Yesus berkata di dalam Khotbah di atas Bukit bahwa Allah menurunkan hujan kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Ia tidak membatasi hujan-Nya hanya kepada orang Kristen saja. Ia memberikan sinar matahari kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Semua itu karena Ia adalah Bapa di dalam pengertian yang sangat luas, mencukupkan kebutuhan setiap umat-Nya, bahkan termasuk burung-burung di udara serta bunga-bunga di padang. Bagaimana kita memperlakukan Allah sebagai Bapa?

Kita sebagai orang Kristen memiliki keakraban yang lebih dekat kepada Allah karena kita mengenal-Nya bukan hanya sebagai Pencipta tapi juga sebagai Penebus. Kita terikat kepada-Nya sebagai anak dalam dua cara, sebagai Pencipta dan Penebus. Kita boleh menyebut-Nya Abba Bapa, bukan sekadar ‘Bapa’, tetapi Abba Bapa. Inilah unsur yang menyolok dari ajaran Yesus. Di dalam bahasa Mandarin, Abba itu sama dengan Baba. Di dalam logat Shanghai, penyebutannya sangat mirip dengan bahasa Aram, yaitu Ah-ba, suatu panggilan yang sangat akrab. Kadang-kadang kita memakai kata Dia-dia [Papa]. Ah-ba sangat serupa dengan kata Ibrani, Abba. Mungkin istilah milik orang Shanghai ini bersumber dari bahasa Ibrani! Saya tidak tahu, mungkin memang ada hubungan antara keduanya. Jadi kita mendapati sesuatu yang sangat indah di sini.

Orang-orang non-Kristen tidak dapat memanggil Allah dengan Abba Bapa. Ia tidak dapat memanggil dengan cara seperti itu, karena Anda baru bisa memakai istilah itu jika Roh Allah ada di dalam Anda. Kata Abba mengungkapkan suatu hubungan yang sangat akrab yang tak pernah dapat dinikmati oleh orang non-Kristen. Mereka tidak memiliki bentuk hubungan yang hidup dengan Allah. Hubungan yang mereka miliki bersifat formal dalam pengertian luas Allah sebagai Bapa mereka, sebagai Pencipta mereka. Akan tetapi mereka tidak berada di dalam hubungan yang akrab dengan Allah dalam bentuk seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya, di mana anak itu boleh memanggil ayahnya dengan sebutan “Bapa, Papa, Papi dan sebagainya.” Anda pasti tidak akan memanggil orang lain dengan sebutan “Papi”. Orang itu akan melotot ke arah Anda dan bertanya, “Siapa kamu? Kenapa kamu panggil saya papi? Apa hak kamu memanggil saya seperti itu?” Tapi jika Anda datang kepada ayah Anda dan memanggilnya, “Papa,” ia akan senang dengan panggilan itu. Tidak ada masalah buatnya. Karena hubungan yang akrab itu memang Anda miliki.

Dosa terbesar yang dapat dituduhkan atas seseorang dalam budaya Tiongkok mungkin adalah bu xiao, yaitu tidak hormat kepada orang tuanya. Di kalangan orang Tionghoa, kata bu xiao mungkin adalah makian terburuk yang dapat Anda lontarkan terhadap seseorang. Tidak begitu penting apakah ia seorang perampok bank selama ia masih xiao, yaitu masih menghormati dan mencintai orang tuanya. Besar kemungkinan orang itu akan mendapat pengampunan jika ia merampok bank karena ayahnya sakit keras dan ia tidak mampu membayar ongkos pengobatannya. Saya pikir seorang hakim di Tiongkok akan tergerak untuk berbelas kasihan atas perampok bank ini. Mereka cenderung akan berbelas kasihan kepada orang yang berbuat sesuatu karena alasan xiao. Jika Anda menyatakan bahwa seseorang itu bu xiao, ia akan disingkirkan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan kuburanpun tidak akan disediakan baginya! Ia dipandang tidak layak untuk tetap hidup! Riwayatnya sudah tamat! Kalau kita sudah mengerti dan terbiasa dengan rasa hutang budi kepada orang tua, mengapa kita masih belum juga mengerti bahwa hutang budi kita kepada Allah jauh melampaui hutang budi kita kepada orang tua? Allah adalah Bapa di dalam pengertian yang jauh lebih mendasar ketimbang orang tua kita.

Pikirkanlah tentang buah-buahan yang Anda makan. Sangat luar biasa nikmatnya! Perhatikan sebuah jeruk. Buah ini dikemas dengan sangat sempurna. Kemasan kulitnya dilapisi lilin pelindung, mempertahankan kesegarannya sampai waktu yang cukup lama. Jika Anda sudah mengupasnya, di bagian dalam Anda akan menemukan daging buah yang dibagi dan dikemas sesuai dengan ukuran mulut. Anda tidak usah menjejalkan seluruh daging buah ke dalam mulut Anda sekaligus. Setiap bagiannya dirancang sempurna. Dan lagi, tidak ada juru masak di dunia ini yang dapat meniru aromanya. Jika seorang ahli kimia mencoba untuk meniru rasa buah jeruk, hasilnya akan jauh berbeda dengan hasil kreasi Bapa saya di dapur kreatif-Nya. Anda dapat segera merasakan adanya bahan kimia yang asing. Sekalipun ia memiliki rasa yang sangat mirip dengan jeruk, Anda tetap tahu bahwa itu bukan rasa yang alami. Rasa yang alami sangatlah sempurna. Tidak terlalu manis, sampai-sampai mulut Anda terasa lengket. Kadang-kadang, ketika Anda sedang makan manisan, Anda kesulitan dalam menggerakkan mulut Anda; gigi Anda terasa lengket. Terlalu banyak campuran gulanya. Terlalu lengket. Tapi tidak demikian dengan jeruk. Rasa, aroma dan rancangannya sempurna dan seimbang.

Ada bermacam-macam buah. Sebagai contoh, buah apel tidak dirancang seperti buah jeruk. Ketika Anda menggigitnya, daging buah itu sangat memanfaatkan gigi anda, ia mengosok dan membersihkan gigi Anda, sekaligus juga memijat gusi Anda. Segalanya sudah dirancang. Dan rasa yang diberikan juga bermacam-macam. Jika Allah hanya membuat satu macam buah, dan kita semua hanya bisa melihat buah jeruk, Anda akan bertanya, “Makanan apa lagi yang tersedia selain ini?” Di dalam dunia ini, Allah menyediakan berbagai macam buah-buahan. Setiap jenis memiliki aroma, kemanisan dan kenikmatan yang berbeda.

Pernahkah Anda menikmati buah persik? Wah! Rasanya betul-betul fantastis! Sering kali, ketika saya makan buah persik, saya bertanya-tanya, “Bagaimana buah ini bisa terbentuk?” Kata yang cocok untuk menggambarkan buah ini adalah ‘fantastik’! Dan lagi pula, anggaplah semua buah memiliki rasa yang berbeda tetapi dengan bentuk dan tekstur yang sama, hal ini pasti akan membosankan juga. Akan tetapi setiap buah memiliki tekstur yang berbeda – ada yang renyah, ada pula yang lembut. Benar-benar luar biasa!

Ketika Anda menikmati buah-buahan itu, pernahkah Anda memikirkan asal muasalnya? Atau Anda tidak peduli akan hal itu, dan cuma menjejalkannya ke dalam mulut. Ketika saya menikmati buah-buahan, saya memikirkan betapa indahnya Abba Bapa menciptakan buah itu. Anda tidak akan dapat memahami apa itu sukacita kehidupan jika Anda tidak mengenal Allah. Sangat indah menjadi seorang Kristen karena kehidupannya sangat bermakna. Saya rasa menjadi orang non-Kristen berarti hanya menjalani sebagian sisi saja dari kehidupan ini. Anda tidak akan dapat menikmati hidup ini. Anda tidak akan dapat menikmati keindahan, rancangan, tujuan dan struktur dari setiap hal.

Perhatikanlah sekuntum bunga. Manfaat apa yang dimiliki oleh sekuntum bunga? Kami orang Tionghoa sangat mementingkan manfaat suatu benda. Kami selalu menilai apa guna suatu benda. Jika tidak ada gunanya, lupakan saja! Jika Anda memberi saya seikat bunga, mungkin saya akan memandangi bunga itu dengan rasa kesal. Apa yang bisa saya lakukan dengan seikat bunga? Tidak bisa dimakan, tak bisa dikenakan, lalu apa yang bisa dilakukan dengan bunga? Pemborosan saja! Tapi coba amatilah bunga itu dan pikirkan warna, jenis, bentuk dan wanginya. Apakah Anda hanya memikirkan manfaat praktisnya? Itu semua adalah hal-hal yang memberi sukacita, keindahan dan memperluas pandangan kita karena mereka memperlihatkan kecantikan yang belum kita pahami dengan utuh. Segala sesuatu memiliki tujuan dan rancangan. Apa manfaat praktis dari bunga bagi setiap orang? Apa yang bisa dilakukannya? Tetapi Allah di dalam tujuan-Nya telah menetapkan rencana bagi setiap dari hal-hal ini.

Atau lihatlah pada berbagai macam jenis pohon. Sejak kedatangan saya di Kanada, saya baru mulai menghargai keberadaan pohon-pohon. Sungguh luar biasa! Selama ini saya menjalani hidup saya tanpa pernah peduli pada pepohonan. Pernahkah Anda mengamati pohon-pohon? Bagi saya dulu, setiap pohon sama saja. Hanya sebuah dundukan berwarna hijau. Sampai akhirnya saya mulai mengamati setiap pohon dengan lebih dekat, dan saya membatin, “Wah! Ada begitu banyak jenis pohon! Setiap daunnya memiliki bentuk dan rancangan yang berbeda. Beberapa jenis daun berubah warna di musim gugur. Setiap pohon memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang kayunya keras, ada pula yang lunak. Jika yang tersedia hanya kayu lunak, Anda akan kesulitan membangun rumah. Jika hanya ada kayu keras, muncul pula kesulitan yang lain. Kayu-kayu itu bahkan memiliki corak dan warna yang berbeda-beda. Sungguh luar biasa!”

Pepatah Tionghoa mengatakan, Yin shui si yuansaat Anda meminum air, renungkanlah asal muasal air itu. Saya pikir menjadi orang Kristen itu sangat indah. Benar-benar merupakan kehidupan yang menggairahkan khususnya jika Anda jalankan apa yang diajarkan kepada kami, orang-orang Tionghoa – yaitu merenungkan asal-usul segala sesuatu. Dengan begitulah saya mendapatkan hati yang penuh syukur dan sembah, yaitu xiao dalam pengertian bakti kepada Allah. Dan saya selalu berterima kasih kepada Allah, “JalanMu benar-benar sangat indah! Engkau adalah Bapa yang luar biasa bagiku. Sungguh besar kemurahan, kasih karunia dan kebaikanMu kepadaku. Engkau sungguh ajaib!” Semakin Anda memahami ciptaan Allah, semakin ajaib Allah bagi Anda.

Ada seorang teman saya yang menekuni bidang fisika, dan ia mengatakan bahwa semakin dalam ia mempelajari bidang itu, semakin kagum hatinya melihat keajaiaban ciptaan Allah. Hatinya dipenuhi oleh semangat pengabdian. Ada lagi seorang teman saya yang menekuini bidang kedokteran. Dan suatu hari, ia terlihat sangat gembira.

Lalu saya bertanya, “Apa yang membuatmu gembira hari ini?” 

“Sungguh ajaib! Rancangan Allah sungguh ajaib!”

Saya tanyakan, “Apa yang kamu bicarakan?”

Jawabnya, “Tulang sendi lutut.”

Tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa tulang sendi lutut adalah hal yang ajaib. Lutut yang saya miliki, bagi saya, tampaknya bukan yang tercantik di antara yang lainnya. Hanya terlihat sebagai potongan tulang yang menonjol ke depan.

Namun teman ini berkata, “Rancangan tulang sendi lutut sungguh sangat ajaib! Benar-benar fantastik!” Kemudian ia menjelaskan segala sesuatu tentang tulang sendi lutut kepada saya.

Sebelumnya, saya tidak pernah melihat ada orang yang melonjak kegirangan karena urusan lutut. Akan tetapi, semakin Anda dapat memahami ciptaan Allah, semakin Anda memahami tentang rancangan dan manfaatnya, akan semakin mempesona hal itu bagi Anda! Masalah utama kita adalah ketidaktahuan. Itulah persoalan kita. Kalau saja kita lebih memahami keajaiban rancangan otak kita, struktur organ-organ tubuh dan tujuannya, bagaimana semuanya dirancang, maka kita pasti akan memuji Allah. Kita akan berkata, “Ya Allah, Engkau sungguh ajaib!” Kita akan memiliki xiao. Kita merasa banyak berhutang budi kepada orang tua kita. Mereka sungguh sangat baik kepada kita. Mereka sangat menyayangi kita, dan penghargaan serta penghormatan yang tinggi layak mereka dapatkan dari kita. Namun jauh lebih besar lagi hutang budi kita kepada Allah, yaitu Bapa dari segala bapa, Orang tua dari segala orang tua! Sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab, Bapa dari semua (Ef.4:6).


Allah adalah Bapa yang Sangat Berbelas Kasihan

Sekarang kita sampai kepada poin berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa dengan belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di. Dalam bahasa Mandarin, Shang Di berarti, “Kaisar di atas.” Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar. Dan kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas segala kaisar.

Saya pernah berkunjung ke Tien Tan (Kelenteng dari Surga) pada waktu masih sekolah, ketika saya di Beijing, dan saya sangat terkesan dengan Tien Tan. Sebuah bangunan yang sangat indah. Di satu bagian gedung itu, di dalamnya, tidak tertulis kata-kata lain kecuali Shang Di – Tuhan, Kaisar Surga. Kami orang Tionghoa cenderung membayangkan kata Di, kaisar, sebagai satu Pribadi yang menakutkan, penuh dengan kuasa, dan biasanya, kami tidak mengaitkan ide belas kasihan dengan seorang kaisar.

Tetapi di dalam Alkitab, kita harus belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Allah sangatlah berbelas kasihan. Biasanya, sekali setahun, Kaisar Tiongkok mengunjungi Tien Tan dan mempersembahkan kurban kepada Allah. Sungguh hal yang luar biasa, bahkan sebelum datangnya zaman Alkitab, konsep tentang satu Allah sudah ada. Di dalam beberapa tulisan klasik, Shang Di juga disebut sebagai Tien, sama dengan yang tertulis di dalam Alkitab berbahasa Tionghoa. Di Matius, kita melihat kata ‘surga atau langit (heaven)’ yang merupakan sebutan bagi Allah di kalangan orang Yahudi. Di dalam bahasa Mandarin, julukan penghormatan yang diberikan juga sama. Tien dipakai untuk menyebut Allah. Kata Tien ini tidak sekadar berarti langit. Dan jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, di dalam tulisan-tulisan klasik China, kata tien selalu mengacu kepada Allah. Sebagai contoh, pepatah Mou shi zai ren, cheng shi zai tien berarti merencanakan itu di pihak manusia, melaksananya ada di pihak Allah. Pelaksanaan tidak dengan mengandalkan manusia melainkan Allah. Jadi kita memiliki konsep tentang Allah yang sangat jelas di Tiongkok. Dan kaisar mempersembahkan kurban kepada Allah karena ia memahami bahwa manusia pada dasarnya berhutang segala-galanya kepada Allah, jadi manusia berhutang ketaatan kepada Allah. Sayangnya, konsep tentang Allah bukan memandang-Nya sebagai Bapa tetapi lebih sebagai Kaisar, jadi gambaran yang mereka bayangkan adalah Allah sebagai satu Pribadi yang sangat menakutkan.

Di dalam perumpamaan ini, kita menemukan kata ‘belas kasihan’ (Luk.15:20) ini, dan saya ingin membawa pengamatan Anda pada keindahan ajaran Biblika tentang belas kasihan. Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai belas kasihan adalah, splagnizomai. Dan splagnizomai berasal dari kata Yunani splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh, seperti jantung, hati atau paru-paru. Itu semua disebut splagnon, jeroan, bagian dalam dari tubuh seseorang. Dan metafora dari kata itu bermakna perasaan terdalam dari Anda. Jadi kata ini bermakna belas kasihan, dalam pengertian Allah menyayangi kita dari lubuk hati-Nya yang terdalam. Suatu ungkapan perasaan yang sangat dalam. Kata ini hanya dipakai jika Anda bermaksud untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam, bukan sekadar rasa sayang saja. Dan kata ini dipakai di dalam perumpaman kali ini dalam menggambarkan belas kasihan sang ayah, rasa sayang dan simpati yang sangat mendalam, perasaan yang dipendamnya terhadap anak yang hilang namun sudah bertobat dan kembali.


Yesus Memiliki Belas Kasihan dan Mengajarkannya

Menariknya, kata ‘belas kasihan’ dipakai dalam Perjanjian Baru hanya dalam referensi kepada Yesus. Di dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:

Yang pertama dipakai dalam Matius 9:36. Yesus kala itu sedang memandangi kerumunan orang-orang yang mengikuti dia:

tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.

Saat Yesus menatap kita sekarang ini, Anda boleh yakin bahwa Yesus menatap ke arah kita dengan keprihatinan yang mendalam, belas kasihan yang mendalam, atas keadaan kita yang seperti domba tanpa gembala.

Yang kedua terdapat di Matius 14:14. Kata ini dipakai dalam kejadian pemberian makan kepada 5.000 orang di padang belantara:

Ketika Yesus mendarat, ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka dan ia menyembuhkan mereka yang sakit.

Ketika Yesus melihat mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan di tengah tempat yang sepi, hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada mereka. Alasan mengapa ia memberi makan orang banyak itu bukanlah karena ia ingin membuat mukjizat. Ini adalah pandangan keliru yang sering terjadi. Alkitab memberi tahu kita bahwa Yesus memberi makan 5.000 orang karena didorong oleh belas kasihan kepada mereka. Ia merasa sedih melihat mereka kelaparan.

Referensi yang ketiga ada di Matius 15:32, dan ini adalah peristiwa pemberian makan kepada 4.000 orang:

Lalu Yesus memanggil murid-muridnya dan berkata: “Hati-ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan.”

Sekali lagi, Yesus memberi makan 4.000 orang karena hatinya tergerak oleh belas kasihan pada mereka yang kelaparan.

Yang keempat ada di Markus 1:41. Yesus berbelas kasihan kepada seorang penderita kusta, jenis orang yang selalu diabaikan oleh masyarakat. Penderita kusta terlihat menjijikkan karena seluruh tubuh dan wajah mereka dipenuhi oleh luka. Mereka tersisih dari masyarakat dan tak ada yang mau mendekatinya karena orang takut tertular kusta itu. Dan Yesus memandang ke arah penderita kusta itu dan berbelas kasihan kepadanya:

Maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu ia mengulurkan tangannya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

Yang kelima ada di Matius 20:34 ketika Yesus berbelas kasihan, perasaan mendalam dari batinnya terhadap atas dua orang buta. Ia menatap dengan penuh belas kasih kepada kedua orang buta itu, yang terpaksa mengemis karena di dalam masyarakat mereka itu, orang buta tidak dapat memperoleh pekerjaan. Mereka harus seumur hidup menjadi pengemis. Dan Yesus berbelas kasihan kepada mereka:

Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti dia.

Yang keenam terdapat di Lukas 7:13. Yesus berbelas kasihan kepada seorang janda di Nain yang sedang meratapi kematian anak tunggalnya, dan janda itu menangis sambil mengikuti orang-orang yang menggotong jenazah anaknya ke kuburan:

Dan ketika Yesus melihat janda itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!”

Ia merasa sangat kasihan kepada janda itu. Dia menghentikan arak-arakan itu dan membangkitkan anak si janda itu. Sekali lagi, Yesus membuat mukjizat bukan untuk membuktikan bahwa ia mampu membangkitkan orang mati. Yesus tak pernah berusaha untuk pamer kuasa. Ia tidak pernah berusaha untuk membuktikan sesuatu. Ia melakukan semua hal itu atas dorongan belas kasihan. Ia membangkitkan anak si janda karena dorongan belas kasihan. Alasannya melakukan mukjizat itu adalah rasa belas kasihan kepada si janda yang sedang bersedih. Camkanlah hal ini.

Sangat mengagumkan bahwa kata ‘belas kasihan’ di dalam Perjanjian Baru ini hanya dipakai dengan merujuk kepada Yesus. Kata ini bahkan tidak muncul di dalam surat-surat rasul Paulus. Selain itu, kata ‘belas kasihan’ ini juga dipakai langsung di dalam ajaran Yesus, dalam tiga referensi, tetapi di satu referensi, kata ini muncul dua kali, jadi total keseluruhannya bisa dikatakan ada empat referensi.

Yang pertama muncul dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik, di Lukas 10:33:

Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.

Referensi yang kedua ada di dalam perumpamaan ini, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang di Lukas 15:20, di mana sang ayah tergerak oleh belas kasihan melihat keadaan anaknya yang menyedihkan, kurus, kelelahan, berpakaian lusuh dan telanjang kaki. Itu adalah anaknya, dan sang ayah ini berbelas kasihan kepada anaknya:

Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Yang ketiga dan sekaligus keempat ada di Matius 18:33, tentang seorang hamba yang mendapat belas kasihan dari tuannya ketika ia tidak sanggup melunasi hutangnya, dan hutang itu dihapuskan. Sayang sekali, hamba itu tidak berbelas kasihan kepada hamba yang lain:

“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”

Dan seluruh gambaran yang indah tentang kebapaan Allah, ungkapan belas kasihan-Nya yang terdalam, dirumuskan dengan sangat indah di dalam kata-kata yang terdapat dalam Lukas 6:36,

“Hendaklah kamu murah hati (merciful, berbelas kasihan), sama seperti Bapamu adalah murah hati (merciful, berbelas kasihan).”

Yesus mengajarkan bahwa Allah, Bapa kita penuh dengan belas kasihan. Dari sini, kita dapat melihat betapa indahnya gambaran tentang keberadaan manusia sebagai anak dan Kebapaan Allah.


Kunci Pemahaman perumpamaan ini: Si Anak Bertobat

Di kedua perumpamaan yang sebelumnya (tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan koin itu bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apapun. Si gembala dan perempuan itulah yang melakukan segalanya. Namun jika Anda hanya mengambil salah satu saja dari ketiga perumpamaan itu, misalnya tentang domba yang hilang saja, maka Anda akan sampai kepada doktrin yang keliru yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia tidak berperan apa-apa di dalam keselamatan. Atau bahwa peranan manusia adalah pasif sepenuhnya. Seseorang tinggal duduk menunggu keselamatan dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba? Domba itu hanya duduk diam dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang gembala) datang dan menyelamatkannya. Nah, jika Anda membangun doktrin keselamatan dengan dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah satu bentuk ajaran Calvinisme – ajaran tentang kepasifan manusia dalam berhadapan dengan aktifitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.

Di dalam perumpamaan tentang anak yang hilang ini, pada kenyataannya, sang ayah justru tidak berperan aktif; ia berdiam di rumah menantikan anaknya kembali. Si anaklah yang melakukan segalanya. Anak itu bertobat. Anak itu yang memutuskan apa yang akan ia katakan kepada ayahnya. Anak itu yang pergi kembali kepada ayahnya. Namun, jika Anda membangun doktrin hannya berdasarkan perumpamaan ini saja, Anda juga akan masuk dalam kesimpulan yang salah, bahwa manusia yang melakukan segalanya sedangkan Allah tidak berbuat apa-apa. Anda harus memakai ketiga perumpamaan ini secara serentak untuk dapat melihat gambaran yang selengkapnya.

Kesalahan dari orang-orang Calvinis tepatnya pada masalah penekanan ini: mereka hanya berfokus pada kedua perumpamaan yang pertama dan mengabaikan yang ketiga, yaitu Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Itu sebabnya, para pendukung Calvin mengajarkan bahwa Allah melakukan segala-galanya dan manusia tidak perlu berbuat apapun. Anda cuma perlu duduk menanti sampai Allah datang menyelamatkan Anda. Malahan, iman Andapun dinyatakan sebagai karunia. Pada dasarnya Anda tidak memiliki iman sama sekali. Semuanya merupakan pemberian, jadi bahkan di dalam hal iman, Anda juga tinggal menerima saja, Anda pasif. Ini adalah pendapat yang terlalu ekstrim, dan jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Dan saya harus menyatakan hal ini dan menyatakannya dengan tegas.

Yesus sama sekali tidak mengajarkan hal ini. Si anak teringat pada kasih ayahnya dan ia bertobat. Perhatikan bahwa di dalam keseluruhan perumpamaan ini, si anaklah yang mengambil peranan aktif sampai dengan kepulangannya ke rumah. Hal ini sangat penting untuk kita ingat-ingat. Jika kita sudah paham akan hal ini, kita juga akan dapat melihat bahwa pertobatan adalah saat kita terbangun melihat kenyataan dunia rohani. Sebagaimana yang sudah Anda lihat di dalam ayat 17, di situ dikatakan bahwa ia menyadari keadaannya. Ia terbangun.

Di Efesus 5:14 kita baca,

Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.

Ini pernyataan yang penting. Jika Anda belum mengenal Allah, maka keadaan Anda sama seperti anak bungsu yang boros ini yang masih lelap dalam tidurnya. Anda masih belum terbangun. Anda masih belum memahami realitas kerohanian. Anda masih tinggal di dalam mimpi. Sekaranglah saatnya bangun dan melihat realitas Allah. Ada beberapa orang yang susah dibangunkan sehingga dibutuhkan benturan keras untuk membangunkan mereka. Si bungsu ini masih terlelap. Ia masih asyik menikmati dunia khayalnya sampai akhirnya dia terbenam dalam kekacauan.


Dosa dari Pengingkaran terhadap Allah

Perumpamaan ini sangat mengena dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara panjang lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, akan tetapi si bungsu itu mengalami hal yang sangat mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya menjalani hidup sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya. Secara filsafat, agnostikisme lebih layak diterima ketimbang ateisme; karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal. Saya terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu. Saya menjalani kehidupan di dunia tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah seperti yang dialami oleh si anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini?” Sangat serupa dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan ini yang berkata, “Aku seharusnya bisa tetap tinggal dengan bapa menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama babi!” Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di halaman penjara, di bawah todongan senapan mesin seorang penjaga Komunis, dan saya tersadar. Dibutuhkan pengalaman yang seburuk itu untuk membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, “Apa yang sudah saya lakukan ini?” Dan kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, “Bagaimana dengan Allah yang selama ini tidak saya pedulikan?” Lalu untuk pertama kalinya, saya berkata pada diri sendiri, “Aku tahu apa yang harus kukatakan kepada Allah.” Dan saya mulai menyusun doa di dalam hati saya dan memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum ketika mendapati bahwa Allah sangat berbelas kasih. Allah yang sudah saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat berbelas kasihan kepada saya!

Anda mungkin tidak berpikir bahwa Anda sudah melakukan banyak dosa. Lihatlah anak yang hilang ini yang telah meninggalkan rumahnya. Apakah ia sudah menghina bapanya? Apakah ia sudah melecehkan bapanya? Apakah ia sudah mengutuki bapanya? Tidak. Apakah ia mencuri sesuatu dari bapanya? Tidak. Ia meminta bagiannya dan ia mendapatkan itu. Mungkin caranya sedikit memalukan, tidak elok, akan tetapi itu tidak salah di sisi hukum, tidak berdosa. Ia tidak melanggar hukum apapun. Lalu bagaimana cara kita memahami situasi ini? Apakah ia sudah berbuat kasar kepada ayahnya? Tidak. Jadi, ia tidak mencuri, tidak membunuh – tidak melakukan hal yang jahat. Lalu apa dosanya? Kesalahan apa yang dibuat oleh anak ini? Hanya satu: ia menyangkal ayahnya.

Apa kesalahan yang Anda lakukan sebagai seorang non-Kristen? Apakah Anda melakukan pembunuhan? Pencurian? Atau merampok bank? Tidak. Kesalahannya adalah bahwa Anda telah berpaling dari Allah. Pada dasarnya Anda telah bu xiao. Anda telah menolak untuk memuliakan Allah, Bapa segala yang ada, sumber dari hidup kita. Itulah kejahatan Anda. Itulah hal yang saya lakukan dulu. Saya bahkan melakukan lebih dari itu. Saya sudah menghina dan mengolok-olok orang-orang Kristen, walaupun saya tidak menghina Allah. Saya tidak mencuri, merampok, tidak ada tindak kriminal yang pernah saya lakukan, akan tetapi saya justru melakukan hal yang terburuk – membelakangi Allah. Saya berkata, “Aku tidak punya waktu untukMu. Aku akan menjalani hidup dengan caraku sendiri. Selamat tinggal.”

Ketika saya ingin berbalik kepada-Nya, saya menyadari bahwa saya tidak berhak untuk berbicara kepada-Nya. Namun sungguh besar belas kasihan-Nya! Ia berlari menyambut saya! Dan tempat yang dipilih sungguh luar biasa, saya bertemu dengan Allah di dalam penjara penguasa Komunis. Betul-betul tempat yang luar biasa! Saya bersyukur kepada Allah atas kehadiran kaum Komunis dalam hal ini. Jika pihak Komunis tidak pernah datang, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang Kristen. Segala sesuatu terjadi dengan tujuan yang sudah pasti, bahkan peristiwa kemenangan kaum Komunis sekalipun. Jika Tiongkok tidak dimenangkan oleh kaum Komunis, saya ragu apakah saya dapat menjadi Kristen. Dengan pengalaman segawat itulah saya dibangunkan pada kenyataan. Saya tersadar dari mimpi dan bertemu dengan Allah. Suatu perjumpaan dengan Allah yang sangat mengesankan yang terjadi di halaman penjara, yang belum pernah dapat saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu dengan Allah ketika sedang duduk di halaman penjara itu. Saya bercakap-cakap dengan-Nya. Dan saya mengalami Dia dalam suatu cara yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang belum pernah mengalami Allah. Pengalaman ini tidak dapat diterangkan. Allah hadir melingkupi saya, dan seluruh tubuh saya dipenuhi oleh rasa sukacita, sukacita yang tidak dapat saya pahami. Pengalaman pertemuan ini tidak dapat saya pahami secara nalar dan tidak juga dapat saya jelaskan menurut bahasa nalar.


Jaminan Hanya ada di dalam Allah

Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, “Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?” Anggaplah ia memutuskan, “Saya akan pulang dan berkata, “Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana.”” Menurut Anda, jika dia berbuat seperti itu, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?

Saya lihat ada begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa dan berkata, “Lihat, ini surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi. Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya memang tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi saya punya surat baptis. Saya adalah seorang anak!”

Dan orang-orang yang malang itu mengira bahwa Allah akan berkata, “Oh, mari sini anakKu! Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh kembali ke rumah.”

Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut! Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai anak, tamatlah riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.

Kita berbicara tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk menjadi anak. Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si sulung, anak namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita pegang dan pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, “Aku akan berkata kepada bapa, ‘Saya tidak layak menjadi anakmu. Berilah saya tempat di antara para hambamu,'” saat itulah ia berada dalam keadaan yang layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda percaya. Setiap orang yang berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. “Berbahagialah orang yang miskin.” Mereka tidak memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak apapun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati dan bertobat.

Saya beritahu Anda bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap kepada Allah di Hari Penghakiman itu dan berkata, “Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta! Jadi kalau ada orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat untuk meniupkan terompet menyambut saya!” Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.

Pada Hari itu, saat saya datang kepada Allah, saya akan berkata, “Tuhan, saya tidak punya apa-apa yang dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim apapun. Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya di dalam kasih karuniaMu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya di antara para hambaMu.” Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau ajaran yang menempatkan Anda di dalam semacam ‘jaminan’ seperti itu, lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu. Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak. Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.

Saya berdoa agar Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh perumpamaan ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari perumpamaan ini, maka poin inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.

Rasul Tuhan yang besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu “hamba atau budak Yesus Kristus.” Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi dari pada seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat tegas, “Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun di atas segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang hamba atau budak Yesus Kristus.”

Seorang hamba atau budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan berkata, “Lihat, perhatikan prestasi saya”? Apapun yang sudah Anda kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.

Inilah arti dari ‘keselamatan oleh anugerah’. Anugerah berarti “Tidak ada satu hal pun yang layak untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya.” Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya adalah anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan saya sebagai anak sebagai satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan anugerah tidak pernah dilandasi oleh hak.

Pada Hari itu, saya akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai seorang berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan saya akan menghadap Allah Bapa dan berkata, “Inilah saya, dengan penuh sukacita menerima dan terus menerima anugerahMu.” Dan saya memiliki keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya. Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apapun itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu – Bapa yang penuh dengan belas kasihan.

Akan tetapi Dia tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang dapat mereka klaim. Orang-orang ini masih belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan tetapi Gereja di zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, “Saya pasti selamat karena saya adalah anak Allah.” Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda dapat memahami hal itu.

Kiranya Allah menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita: Barangsiapa datang kepadaku, ia tidak akan Kubuang (Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan didasarkan saya ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.

 

Berikan Komentar Anda: