Pastor Eric Chang | Lukas 15:11-32 |

Kita akan melanjutkan pembahasan kita atas pengajaran Yesus di Lukas 15:11-32, yang ketiga dari empat perumpamaan di Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship). Apa artinya menjadi anak? Apa masalah yang timbul dalam hubungan ini? Bagaimana caranya kita menjadi anak? 

11 Kemudian Yesus berkata, “Ada seseorang yang mempunyai dua anak laki-laki.
12 Anak yang bungsu berkata kepada ayahnya, ‘Ayah, berikan kepadaku bagian harta yang menjadi milikku.’ Maka, ayahnya pun membagi kekayaannya kepada kedua anaknya.
13 Tidak lama kemudian, anak bungsu itu mengumpulkan semua miliknya, lalu pergi ke negeri yang jauh dan di sana ia menghambur-hamburkan miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.
14 Ketika ia sudah menghabiskan semuanya, terjadilah bencana kelaparan yang hebat di negeri itu, dan ia pun mulai berkekurangan.
15 Jadi, pergilah ia dan bekerja pada seorang penduduk negeri itu, yang menyuruhnya ke ladang untuk memberi makan babi-babinya.
16 Ia ingin sekali mengisi perutnya dengan buah karob yang dimakan babi-babi itu, tetapi tidak ada seorang pun yang memberi kepadanya.
17 Ketika anak bungsu itu sadar, ia berkata, ‘Betapa banyaknya pekerja-pekerja ayahku yang memiliki makanan yang berlimpah-limpah, tetapi aku di sini hampir mati kelaparan.
18 Aku akan bangun dan kembali kepada ayahku. Aku akan berkata kepadanya: Ayah, aku sudah berdosa terhadap surga dan di hadapanmu.
19 Aku tidak lagi pantas disebut anakmu, jadikanlah aku sebagai salah seorang pekerjamu.’
20 Maka, berdirilah ia dan pergi kepada ayahnya. Akan tetapi, ketika anak itu masih sangat jauh, ayahnya melihat dia dan dengan penuh belas kasihan, ayahnya itu berlari lalu memeluk dan menciumnya.
21 Kemudian, anak itu berkata kepada ayahnya, ‘Ayah, aku sudah berdosa terhadap surga dan di hadapanmu. Aku tidak lagi pantas disebut anakmu.’
22 Namun, ayahnya itu berkata kepada pelayan-pelayannya, ‘Cepat! Bawalah jubah yang terbaik lalu pakaikanlah kepadanya. Pakaikan juga cincin di jari tangannya dan sandal di kakinya.
23 Bawalah kemari anak sapi yang gemuk dan sembelihlah. Mari kita makan dan bergembira,
24 karena anakku ini telah mati, tetapi sekarang hidup kembali! Ia telah hilang, tetapi sekarang telah ditemukan!’ Maka mereka pun mulai bergembira.”
25 “Waktu itu, si anak sulung sedang berada di ladang, dan ketika ia sudah berada di dekat rumahnya, ia mendengar suara musik dan tari-tarian.
26 Jadi, ia memanggil salah satu dari hamba-hamba itu dan bertanya tentang apa yang sedang terjadi.
27 Jawab pelayan itu kepadanya, ‘Adikmu sudah datang, dan ayahmu menyembelih anak sapi yang gemuk, karena ia kembali dengan selamat.’
28 Namun, anak sulung itu marah dan tidak mau masuk sehingga ayahnya keluar dan membujuknya.
29 Akan tetapi, ia berkata kepada ayahnya, ‘Bertahun-tahun aku telah bekerja melayanimu dan tidak pernah mengabaikan perintahmu, tetapi engkau bahkan tidak pernah memberiku seekor kambing muda supaya aku bisa berpesta dengan teman-temanku.
30 Namun, ketika anakmu itu pulang setelah menghabiskan hartamu dengan pelacur-pelacur, ayah menyembelih anak sapi yang gemuk untuknya.’
31 Maka, ayahnya menjawab kepadanya, ‘Anakku, kamu selalu bersamaku, dan semua kepunyaanku adalah milikmu.
32 Namun, hari ini kita harus berpesta dan bersukacita sebab adikmu ini telah mati, tetapi sekarang ia hidup kembali; ia telah hilang, tetapi sekarang telah ditemukan.’”


Isi Cerita tentang Anak yang Hilang

Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu, ia berkata, “Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi kepada saya bagian yang ditetapkan buat saya?” Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada aturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, “Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu!”, ucapan yang akan dilontarkan kebanyakan ayah. Hal ini juga memberi kita sebuah pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi kepada anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena — sebagaimana yang Anda ketahui — anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka inginkan; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayah. Jadi, pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.

Namun, celaka sekali! Hal-hal yang diperoleh secara gampang selalunya mudah berlalu. Sang ayah mungkin harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, tetapi si anak tidak bisa menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri. Perkara semacam ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu, ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya. Pepatah mengatakan, “Gampang didapat, gampang pula habisnya”. Jadi, dalam waktu yang sangat singkat, oleh karena tidak tahu bagaimana mengelola keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.

Pada waktu itu, ia mulai menyadari bahwa untuk dapat bertahan hidup, ia harus bekerja. Tiba-tiba ia tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati merupakan hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala sesuatu. Mendadak saja sekarang ia harus bekerja. Namun, ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya, sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.

Namun, ini bukan pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun juga, makanan babi tidak terlalu buruk. Kadang kala, sisa-sisa makanan lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi, seringkali babi menerima makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini tergiur dengan makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, tetapi rasanya pasti cukup lezat! 

Ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini, ia mulai memikirkan rumahnya. Kadang kala dibutuhkan pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Ayat 17 menyebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.

Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi kepada dia segala-galanya. Namun, jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli kepadanya. Ayat 16 berkata, tidak seorang pun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun, anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli kepadanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorang pun yang menyayangi kita lebih daripada Allah.

Mendapati dirinya berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, “Pelayan ayahku yang berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati kelaparan!” Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah semestinya ia lakukan, “Aku akan bangkit dan pergi kepada ayahku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagiku.”

Namun, bagaimana ia bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya. Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan dia. Lalu, ia memikirkan dan menyusun kata-kata yang akan diucapkannya,

“Ayah, aku sudah berdosa terhadap surga dan di hadapanmu.”

Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain, ia sedang berkata, “Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, ayah. Apa yang sudah kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadap engkau, tetapi juga kesalahan kepada Allah. Sekarang aku memintamu untuk menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak menjadi anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Jika engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon Anda untuk menerima aku.”


Ayah yang Berbelas Kasih

Lalu di ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata,

… ketika anak itu masih sangat jauh, ayahnya melihat dia dan dengan penuh belas kasihan, ayahnya itu berlari … 

Kita akan membahas kata “belas kasihan” ini nanti. Lalu, sang ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, “Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini pelajaran buat dia.” Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Sang ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap ayah. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu.” Namun, sang ayah membalutkan pakaian terbaik pada anaknya. Ia memakaikan cincin di jari anak ini, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!


Si Sulung yang Kesal

Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, “Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan ayah dengan meminta bagian warisannya sebelum ayah meninggal! Apa ada anak yang lebih hina daripada dia? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya! Bapa malah bersukacita karena kepulangannya!” Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti ayahnya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa bahwa si bungsu ini sudah sadar dan sudah menerima pelajarannya dari pengalaman itu, jadi tidak usahlah kesulitan yang dihadapinya itu ditambah-tambahkan. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang sanggup ia tanggung? Sang ayah menganggap semua itu sudah cukup. Akan tetapi, tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa si bungsu sebaiknya ditempatkan sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.

Sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata,

“… adikmu ini telah mati, tetapi sekarang ia hidup kembali; ia telah hilang, tetapi sekarang telah ditemukan.”

Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.


Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang

Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu terhilang lebih jauh daripada yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu ditemukan kembali, dan yang satunya lagi, tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.

Pertama-tama, perlu Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang hilang. Isinya selalu tentang anak yang hilang. Manusia pertama, Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai seorang “anak Allah” di Lukas 3:38. Asal muasalnya, keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam hilang.

Siapa lagi anak yang hilang? Sebagian besar Perjanjian Lama berkisah tentang Israel, dan bangsa Israel disebut sebagai “anak Allah” sebagai contoh di Hosea 11:1, 2 dan 10. Hosea 11:1 (“Dari Mesir, Aku memanggil anak-Ku itu”) yang dikutip di Matius 2:15 bercerita tentang Israel sebagai anak yang hilang. Alkitab adalah kisah yang berkisah tentang anak-anak yang hilang.

Kata “anak” memiliki makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai “anak-anak Allah”, sebagai contoh di Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda, kedekatan yang berbeda dengan Allah. Namun, bahkan para malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di surat Yudas ayat 6, di situ disebutkan bahwa

Dan, malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, melainkan meninggalkan tempat kediaman mereka, telah Ia ikat dengan rantai abadi dalam kegelapan yang paling gelap untuk penghakiman pada hari besar nanti.


Menjadi Anak bukan Jaminan Tidak akan Hilang

Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? “Aku adalah anak!” Banyak sekali orang yang berkata, “Sekali menjadi anak, akan selamanya menjadi anak.” Benar, “sekali menjadi anak, memang akan selamanya menjadi anak”, tetapi apa artinya itu? Sejauh berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.

Janganlah mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan demikian, Anda pasti akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau. Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar gereja sekarang. Namun, saya menyatakan ini sebagai ajaran sesat berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman dan menentramkan, tetapi tetap saja salah.

Pernah ada orang yang berkata kepada saya, “Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan.”

Saya bertanya, “Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?”

Jawabnya, “Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, selamanya akan tetap sebagai anak.”

Menyedihkan sekali! Membangun jaminan keselamatan seperti itu sangatlah membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah anak-anak Allah, tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan mendasarkan rasa aman Anda hanya pada kata-kata, “Aku adalah anak”?

Saya tidak sesaat pun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Kita adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Ungkapan “anak Allah” memiliki makna yang luas. Cukup untuk dikatakan pada titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak dapat berkata, “Aku aman karena aku adalah anak.” Saya sedih melihat begitu banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.

Pernah saya menanyakan salah satu dari orang Kristen semacam itu, “Katakan pada saya, berdasarkan doktrin yang Anda yakini — jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?”

Tahukah Anda apa jawabannya? Dia berkata, “Ya.” Berdasarkan teori “sekali selamat tetap selamat”, Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan. Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.

Saya berkata, “Jadi, jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan ajaran ini?” Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa “sekali anak, tetap anak.” Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak, tetapi tetap hilang. Hal ini justru jauh lebih tragis ketimbang tidak pernah menjadi anak sama sekali.


Anak yang Hilang Diselamatkan karena Bertobat

Pikirkan hal ini dengan sangat berhati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Status sebagai anak tidak ada artinya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Pesan utama dari perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.

Lalu, bagaimana dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari Yesus, beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan para ahli kitab dan orang-orang Farisi, sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa dan pemungut cukai. Inilah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lainnya. Mereka itulah dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, “Orang-orang berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka bertobat. Akan tetapi, kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan gigi.” Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang mengatakan bahwa ada orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.


Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!

Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata,

“8 Karena itu, hasilkanlah buah-buah yang sebanding dengan pertobatan, 9 dan jangan berpikir untuk berkata kepada dirimu sendiri, ‘Kami mempunyai Abraham, bapak leluhur kami,’ karena aku mengatakan kepadamu bahwa dari batu-batu ini Allah sanggup membangkitkan anak-anak untuk Abraham!” (Mat 3:8-9).

Namun, orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada status sebagai anak: “Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah.” Benar, itu semua karena anugerah, tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, saya yang dipilih, bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini merupakan awal dari kesombongan. Saya mau tunjukkan bahwa dengan sikap seperti itu, berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Itu sebabnya mengapa di Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Yesus,

“Kami tidak dilahirkan dari hasil perzinaan. Kami memiliki satu Bapa, yaitu Allah.”

Dengan kata lain, “Kami adalah anak-anak Allah” Benar sekali, mereka memang para anak, tetapi Yesus berkata di ayat 44,

“Kamu berasal dari bapamu, yaitu setan…”

Apakah anak-anak Abraham berasal dari Iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Yesus berkata, “Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak setan.” Ini bukan pernyataan yang bermaksud menghina. Ini merupakan diagnosa atas keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.

Sangatlah penting bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu pada zaman sekarang ini. Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di gereja sekarang ini mencoba untuk mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang penting. Itu adalah langkah pertama. Namun, jangan membayangkan bahwa kedudukan sebagai anak merupakan dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu datang pula tanggung jawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Anda karena Anda adalah seorang anak. Itulah yang Ia katakan kaum Israel, “Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau” (Ul 7:6-7; Yeh 18:30). Itulah dasar dari penghakiman-Nya.

Ingatlah selalu bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat, melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Di dalam perumpamaan ini, kedua anak tersebut merujuk secara spesifik kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi zaman itu: di satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.


Allah adalah Bapa kepada Semua

Sekarang, mari kita perhatikan aspek lain dari perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut sebagai Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata “anak” dipakai dalam pengertian yang sangat luas. Orang yang tidak percaya tetap memiliki hubungan dengan Allah karena Allah yang menciptakan mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah. Dalam pengertian seperti itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus di Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu, maka Allah juga merupakan Bapa bagi orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah. Berarti setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah adalah Bapa kepada setiap orang. Akan tetapi, bagi orang-orang Kristen, Ia adalah Bapa di dalam pengertian yang lebih dekat, dan juga Bapa bagi Yesus di dalam pengertian  yang jauh lebih dekat lagi.

Seperti yang dengan teliti disampaikan oleh Paulus, kita adalah anak-anak berdasarkan adopsi. Kita memiliki “Roh yang menjadikan kita anak.” Tentu saja, kita tahu bahwa Yohanes berbicara tentang “kelahiran kembali”, dan ungkapan itu berbicara tentang keberadaan sebagai anak secara figuratif. Tidak boleh dipahami secara harfiah, melainkan secara rohaniah. Artinya, kita menjadi anak-anak karena kita sudah dilahirkan kembali oleh kuasa Allah. Paulus lebih suka menggunakan istilah “ciptaan baru” (2Kor 5:17), kita menjadi ciptaan baru di dalam Kristus.

Dengan melihat bahwa Allah itu Bapa bagi kita semua, dalam pengertian yang lebih mendalam bagi kita orang-orang Kristen ketimbang mereka yang non-Kristen, lalu bagaimana sikap kita terhadap Allah? Pengajaran dari Yesus sangat menekankan hal ini: tentang Kebapaan Allah. Inilah poin yang sangat penting di dalam pengajaran Yesus. Yesus menunjukkan kepada kita di dalam ajarannya bahwa Allah juga peduli pada orang-orang non-Kristen. Sebagai contoh, Yesus berkata di dalam Khotbah di atas Bukit bahwa Allah menurunkan hujan kepada orang percaya dan yang tidak percaya. Ia tidak membatasi hujan-Nya hanya kepada orang Kristen saja. Ia memberikan sinar matahari kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Semua itu karena Ia adalah Bapa di dalam pengertian yang sangat luas, mencukupkan kebutuhan setiap makhluk ciptaan-Nya, bahkan termasuk burung-burung di udara serta bunga-bunga di padang. Bagaimana kita memperlakukan Allah sebagai Bapa?

Kita sebagai orang Kristen memiliki keakraban yang lebih dekat kepada Allah karena kita mengenal-Nya bukan hanya sebagai Pencipta, tetapi juga sebagai Penebus. Kita terikat kepada-Nya sebagai anak dalam dua cara, sebagai Pencipta dan Penebus. Kita boleh memanggil-Nya Abba Bapa, bukan sekadar “Bapa”, tetapi Abba Bapa. Inilah unsur yang menyolok dari ajaran Yesus. 

Orang-orang non-Kristen tidak dapat memanggil Allah dengan Abba Bapa. Ia tidak dapat memanggil dengan cara seperti itu, karena Anda baru bisa memakai istilah itu jika Roh Allah ada di dalam Anda. Kata Abba mengungkapkan hubungan yang sangat akrab yang tak pernah dapat dinikmati oleh orang non-Kristen. Mereka tidak memiliki hubungan yang hidup dengan Allah. Hubungan yang mereka miliki bersifat formal dalam pengertian luas, Allah adalah Bapa sebagai Pencipta mereka. Akan tetapi, mereka tidak berada di dalam hubungan yang akrab dengan Allah dalam bentuk seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya, di mana anak itu boleh memanggil ayahnya dengan sebutan “Abba, Papa, Papi dan sebagainya.” Anda pasti tidak akan memanggil orang lain dengan sebutan “Papi”. Orang itu akan melotot ke arah Anda dan bertanya, “Siapa kamu? Kenapa kamu panggil saya papi? Apa hak kamu memanggil saya seperti itu?” Namun, jika Anda datang kepada ayah Anda dan memanggilnya, “Papa,” ia akan senang dengan panggilan itu. Tidak ada masalah. Karena hubungan yang akrab itu memang Anda miliki.

Dosa terbesar yang dapat dituduhkan atas seseorang dalam budaya Tionghua mungkin adalah bu xiao, yaitu tidak hormat kepada orangtuanya. Di kalangan orang Tionghoa, kata bu xiao mungkin adalah makian terburuk yang dapat Anda lontarkan terhadap seseorang. Tidak begitu penting apakah ia seorang perampok bank selama ia masih xiao, yaitu masih menghormati dan mencintai orangtuanya. Besar kemungkinan orang itu akan mendapat pengampunan jika ia merampok bank karena ayahnya sakit keras dan ia tidak mampu membayar ongkos pengobatannya. Saya pikir seorang hakim di Tiongkok akan tergerak untuk berbelas kasihan atas perampok bank ini. Mereka cenderung akan berbelas kasihan kepada orang yang berbuat sesuatu karena alasan xiao. Jika Anda menyatakan bahwa seseorang itu bu xiao, ia akan disingkirkan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan kuburan pun tidak akan disediakan bagi dia! Ia dipandang tidak layak untuk tetap hidup! Riwayatnya sudah tamat! Kalau kita sudah mengerti dan terbiasa dengan rasa hutang budi kepada orangtua, mengapa kita masih belum juga mengerti bahwa hutang budi kita kepada Allah jauh melampaui hutang budi kita kepada orang tua? Allah adalah Bapa di dalam pengertian yang jauh lebih mendasar ketimbang orangtua kita.

Kita merasa banyak berhutang budi kepada orangtua kita. Mereka sungguh sangat baik kepada kita. Mereka sangat menyayangi kita, dan penghargaan serta penghormatan yang tinggi layak mereka dapatkan dari kita. Namun, jauh lebih besar lagi hutang budi kita kepada Allah, yaitu Bapa dari segala bapa, Orangtua dari segala orangtua! Sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab, Bapa dari semua (Ef 4:6).


Allah adalah Bapa yang Sangat Berbelas Kasihan

Sekarang kita sampai kepada poin berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa dengan belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di. Dalam bahasa Mandarin, Shang Di berarti, “Kaisar di atas.” Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar. Kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas segala kaisar.

Saya pernah berkunjung ke Tien Tan (Kelenteng dari Surga) pada waktu masih sekolah, ketika saya di Beijing, dan saya sangat terkesan dengan Tien Tan. Sebuah bangunan yang sangat indah. Di satu bagian gedung itu, di dalamnya, tidak tertulis kata-kata lain kecuali Shang Di — Tuhan, Kaisar Surga. Kami orang Tionghoa cenderung membayangkan kata Di, kaisar, sebagai Pribadi yang menakutkan, penuh dengan kuasa, dan biasanya, kami tidak mengaitkan ide belas kasihan dengan seorang kaisar. Akan tetapi, di dalam Alkitab, kita harus belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Allah sangatlah berbelas kasihan. 

Di dalam perumpamaan ini, kita menemukan kata “belas kasihan” (Luk.15:20) ini, dan saya ingin mengarahkan perhatian Anda pada keindahan ajaran alkitabiah tentang “belas kasihan”. Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai belas kasihan adalah, splagnizomai. Dan splagnizomai berasal dari kata Yunani splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh, seperti jantung, hati atau paru-paru. Itu semua disebut splagnon, jeroan, bagian dalam dari tubuh seseorang. Arti metafora dari kata itu bermakna perasaan terdalam dari Anda. Jadi, kata ini bermakna belas kasihan, dalam pengertian Allah menyayangi kita dari lubuk hati-Nya yang terdalam, suatu ungkapan perasaan yang sangat dalam. Kata ini hanya dipakai jika Anda bermaksud untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam, bukan sekadar rasa sayang saja. Kata ini dipakai di dalam perumpaman kali ini dalam menggambarkan belas kasihan sang ayah, rasa sayang dan simpati yang sangat mendalam, perasaan yang dipendamnya terhadap anak yang hilang ini.


Yesus Memiliki Belas Kasihan dan Mengajarkannya

Menariknya, kata “belas kasihan” dipakai dalam Perjanjian Baru dalam referensi kepada Yesus. Di dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:

Yang pertama dipakai dalam Matius 9:36. Yesus kala itu sedang memandangi kerumunan orang-orang yang mengikuti dia:

Ketika Yesus melihat orang banyak itu, Ia merasa kasihan kepada mereka karena mereka lelah dan terlantar seperti domba-domba tanpa gembala.

Saat Yesus menatap kita sekarang ini, Anda boleh yakin bahwa Yesus menatap ke arah kita dengan keprihatinan yang mendalam, belas kasihan yang mendalam, karena keadaan kita yang seperti domba tanpa gembala.

Yang kedua terdapat di Matius 14:14. Kata ini dipakai dalam kejadian pemberian makan kepada 5.000 orang di padang belantara:

Ketika Yesus keluar, Ia melihat kerumunan besar orang, dan berbelas kasihan kepada mereka, dan menyembuhkan sakit mereka.

Ketika Yesus melihat mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan di tengah tempat yang sepi, hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada mereka. Alasan mengapa ia memberi makan orang banyak itu bukanlah karena ia ingin membuat mukjizat. Ini merupakan pandangan keliru yang sering terjadi. Alkitab memberitahu kita bahwa Yesus memberi makan 5.000 orang karena didorong oleh belas kasihan kepada mereka. Ia merasa sedih melihat mereka kelaparan.

Referensi yang ketiga ada di Matius 15:32, dan ini adalah peristiwa pemberian makan kepada 4.000 orang:

Lalu, Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata, “Aku berbelas kasihan terhadap orang-orang itu karena mereka sudah bersama-Ku selama tiga hari dan tidak mempunyai makanan. Dan, Aku tidak mau menyuruh mereka pulang kelaparan supaya mereka tidak pingsan dalam perjalanan.”

Sekali lagi, Yesus memberi makan 4.000 orang karena hatinya tergerak oleh belas kasihan pada mereka yang kelaparan.

Yang keempat ada di Markus 1:41. Yesus berbelas kasihan kepada seorang penderita kusta, jenis orang yang selalu diabaikan oleh masyarakat. Penderita kusta terlihat menjijikkan karena seluruh tubuh dan wajah mereka dipenuhi oleh luka. Mereka tersisih dari masyarakat dan tak ada yang mau mendekatinya karena orang takut tertular kusta itu. Yesus memandang ke arah penderita kusta itu dan berbelas kasihan kepadanya:

Tergerak oleh rasa belas kasihan, Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menyentuh orang itu sambil berkata, “Aku mau. Jadilah tahir!”

Yang kelima ada di Matius 20:34 ketika Yesus berbelas kasihan, perasaan mendalam dari batinnya terhadap atas dua orang buta. Ia menatap dengan penuh belas kasih kepada kedua orang buta itu, yang terpaksa mengemis karena di dalam masyarakat mereka itu, orang buta tidak dapat memperoleh pekerjaan. Mereka harus seumur hidup menjadi pengemis. Yesus berbelas kasihan kepada mereka:

Yesus tergerak oleh belas kasihan kepada mereka, dan menjamah mata mereka, dan saat itu juga mereka menerima penglihatannya kembali, dan mengikut Yesus.

Yang keenam terdapat di Lukas 7:13. Yesus berbelas kasihan kepada seorang janda di Nain yang sedang meratapi kematian anak tunggalnya, dan janda itu menangis sambil mengikuti orang-orang yang menggotong jenazah anaknya ke kuburan:

Ketika Tuan melihat perempuan itu, Tuan berbelaskasihan kepadanya dan berkata, “Jangan menangis.”

Ia merasa sangat kasihan kepada janda itu. Dia menghentikan arak-arakan itu dan membangkitkan anak si janda itu. Sekali lagi, Yesus membuat mukjizat bukan untuk membuktikan bahwa ia mampu membangkitkan orang mati. Yesus tak pernah berusaha untuk pamer kuasa. Ia tidak pernah berusaha untuk membuktikan sesuatu. Ia melakukan semua hal itu atas dorongan belas kasihan. Ia membangkitkan anak si janda karena dorongan belas kasihan. Alasannya melakukan mukjizat itu adalah rasa belas kasihan kepada si janda yang sedang bersedih. Camkanlah hal ini.

Sangat mengagumkan bahwa kata “belas kasihan” di dalam Perjanjian Baru ini paling banyak dipakai dengan merujuk kepada Yesus. Kata ini bahkan tidak muncul di dalam surat-surat rasul Paulus. Selain itu, kata “belas kasihan” ini juga dipakai langsung di dalam ajaran Yesus, dalam tiga referensi, tetapi dalam satu referensi, kata ini muncul dua kali, jadi total keseluruhannya bisa dikatakan ada empat referensi.

Yang pertama muncul dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, di Lukas 10:33:

Akan tetapi, ada seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan lewat di situ. Dan, ketika ia melihat orang itu, ia merasa kasihan kepadanya.

Referensi yang kedua ada di dalam perumpamaan ini, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang di Lukas 15:20, di mana sang ayah tergerak oleh belas kasihan melihat keadaan anaknya yang menyedihkan, kurus, kelelahan, berpakaian lusuh dan telanjang kaki. Itu adalah anaknya, dan sang ayah ini berbelas kasihan kepada anaknya:

Maka, berdirilah ia dan pergi kepada ayahnya. Akan tetapi, ketika anak itu masih sangat jauh, ayahnya melihat dia dan dengan penuh belas kasihan, ayahnya itu berlari lalu memeluk dan menciumnya.

Yang ketiga dan sekaligus keempat ada di Matius 18:33, tentang seorang hamba yang mendapat belas kasihan dari tuannya ketika ia tidak sanggup melunasi hutangnya, dan hutang itu dihapuskan. Sayang sekali, hamba itu tidak berbelas kasihan kepada hamba yang lain:

“Bukankah kamu seharusnya memiliki belas kasihan kepada sesamamu hamba, seperti aku juga telah menunjukkan belas kasihan kepadamu?”

Seluruh gambaran yang indah tentang kebapaan Allah, ungkapan belas kasihan-Nya yang terdalam, dirumuskan dengan sangat indah di dalam kata-kata yang terdapat di Lukas 6:36,

“Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.”

Yesus mengajarkan bahwa Allah, Bapa kita penuh dengan belas kasihan. Dari sini, kita dapat melihat betapa indahnya gambaran tentang keberadaan manusia sebagai anak dan Kebapaan Allah.


Kunci Pemahaman perumpamaan ini: Si Anak Bertobat

Di kedua perumpamaan yang sebelumnya (tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan koin itu bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apa pun. Sang gembala dan perempuan itulah yang melakukan segalanya. Namun, jika Anda hanya mengambil salah satu saja dari ketiga perumpamaan itu, misalnya tentang domba yang hilang saja, Anda akan sampai kepada doktrin yang keliru yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia tidak berperan apa-apa di dalam keselamatan. Peranan manusia adalah pasif sepenuhnya, orang tinggal duduk menunggu keselamatan dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba? Domba itu hanya duduk diam dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang gembala) datang dan menyelamatkannya. Nah, jika Anda membangun doktrin keselamatan dengan dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah satu bentuk ajaran Calvinisme — ajaran tentang kepasifan manusia dalam berhadapan dengan aktivitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.

Di dalam perumpamaan tentang anak yang hilang ini, pada kenyataannya, sang ayah justru tidak berperan aktif; ia diam di rumah menantikan anaknya kembali. Si anaklah yang melakukan segalanya. Anak itu bertobat. Anak itu yang memutuskan apa yang akan ia katakan kepada ayahnya. Anak itu yang pergi kembali kepada ayahnya. Namun, jika Anda membangun doktrin hanya berdasarkan perumpamaan ini saja, Anda juga akan masuk dalam kesimpulan yang salah, bahwa manusia yang melakukan segalanya sedangkan Allah tidak berbuat apa-apa. Anda harus memakai ketiga perumpamaan ini secara serentak untuk dapat melihat gambaran yang selengkapnya.

Kesalahan dari orang-orang Calvinis tepatnya pada masalah penekanan: mereka hanya berfokus pada kedua perumpamaan yang pertama dan mengabaikan yang ketiga, yaitu Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Itu sebabnya, para pendukung Calvin mengajarkan bahwa Allah melakukan segala-galanya dan manusia tidak perlu berbuat apa pun. Anda cuma perlu duduk menanti sampai Allah datang menyelamatkan Anda. Malahan, iman Anda pun dinyatakan sebagai karunia. Pada dasarnya Anda tidak memiliki iman sama sekali. Semuanya merupakan pemberian, bahkan di dalam hal iman, Anda juga tinggal menerima saja, Anda pasif. Ini adalah pendapat yang terlalu ekstrim, dan jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Saya harus menyatakan hal ini dan menyatakannya dengan tegas.

Yesus sama sekali tidak mengajarkan hal ini. Si anak teringat pada kasih ayahnya dan ia bertobat. Perhatikan bahwa di dalam keseluruhan perumpamaan ini, si anaklah yang mengambil peranan aktif sampai dengan kepulangannya ke rumah. Hal ini sangat penting untuk kita ingat. Jika kita sudah paham akan hal ini, kita juga akan dapat melihat bahwa pertobatan terjadi saat kita terbangun melihat kenyataan dunia rohani. Sebagaimana yang sudah Anda lihat di dalam ayat 17, di situ dikatakan bahwa ia menyadari keadaannya. Ia terbangun.

Di Efesus 5:14 kita baca,

“Bangun, hai kamu si tukang tidur! Bangkitlah dari antara orang mati, dan Kristus akan bersinar atasmu.”

Ini pernyataan yang penting. Jika Anda belum mengenal Allah, keadaan Anda sama seperti anak bungsu yang boros ini yang masih lelap dalam tidurnya. Anda masih belum terbangun. Anda masih belum memahami realitas kerohanian. Anda masih tinggal di dalam mimpi. Sekaranglah saatnya bangun dan melihat realitas Allah. Ada beberapa orang yang susah dibangunkan sehingga dibutuhkan benturan keras untuk membangunkan mereka. Si bungsu ini masih terlelap. Ia asyik menikmati dunia khayalnya sampai akhirnya dia terbenam dalam kekacauan.


Dosa dari Pengingkaran terhadap Allah

Perumpamaan ini sangat mengena dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara panjang lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, tetapi si bungsu itu mengalami hal yang sangat mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya menjalani hidup sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya. Secara filsafat, agnostikisme lebih layak diterima ketimbang ateisme; karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal. Saya terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu. Saya menjalani kehidupan di dunia tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah seperti yang dialami oleh si anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini?” Sangat serupa dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan ini yang berkata, “Aku seharusnya bisa tetap tinggal dengan ayah menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama babi!” Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di halaman penjara, di bawah todongan senapan mesin seorang penjaga Komunis, dan saya tersadar. Dibutuhkan pengalaman yang seburuk itu untuk membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, “Apa yang sudah saya lakukan ini?” Kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, “Bagaimana dengan Allah yang selama ini tidak saya pedulikan?” Lalu, untuk pertama kalinya, saya berkata pada diri sendiri, “Aku tahu apa yang harus kukatakan kepada Allah.” Saya mulai menyusun doa di dalam hati saya dan memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum ketika mendapati bahwa Allah sangat berbelas kasih. Allah yang sudah saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat berbelas kasihan kepada saya!

Anda mungkin tidak berpikir bahwa Anda sudah melakukan banyak dosa. Lihatlah anak yang hilang ini yang telah meninggalkan rumahnya. Apakah ia sudah menghina bapanya? Apakah ia sudah melecehkan bapanya? Apakah ia sudah mengutuki bapanya? Tidak. Apakah ia mencuri sesuatu dari bapanya? Tidak. Ia meminta bagiannya dan ia mendapatkan itu. Mungkin caranya sedikit memalukan, tidak elok, tetapi tidak salah di sisi hukum, tidak berdosa. Ia tidak melanggar hukum apa pun. Lalu, bagaimana cara kita memahami situasi ini? Apakah ia sudah berbuat kasar kepada ayahnya? Tidak. Jadi, ia tidak mencuri, tidak membunuh — tidak melakukan hal yang jahat. Lalu apa dosanya? Kesalahan apa yang dibuat oleh anak ini? Hanya satu: ia menyangkal ayahnya.

Apa kesalahan yang Anda lakukan sebagai seorang non-Kristen? Apakah Anda melakukan pembunuhan? Pencurian? Atau merampok bank? Tidak. Kesalahannya adalah Anda telah berpaling dari Allah. Pada dasarnya Anda telah bu xiao. Anda telah menolak untuk memuliakan Allah, Bapa dari segala yang ada, sumber hidup kita. Itulah kejahatan Anda. Itulah hal yang saya lakukan dulu. Saya bahkan melakukan lebih dari itu. Saya sudah menghina dan mengolok-olok orang-orang Kristen, walaupun saya tidak menghina Allah. Saya tidak mencuri, merampok, tidak ada tindak kriminal yang pernah saya lakukan, tetapi saya justru melakukan hal yang terburuk — membelakangi Allah. Saya berkata, “Aku tidak punya waktu untuk-Mu. Aku akan menjalani hidup dengan caraku sendiri. Selamat tinggal.”

Ketika saya ingin berbalik kepada-Nya, saya menyadari bahwa saya tidak berhak untuk berbicara kepada-Nya. Namun, sungguh besar belas kasihan-Nya! Ia berlari menyambut saya! Tempat yang dipilih sungguh luar biasa, saya bertemu dengan Allah di dalam penjara penguasa Komunis. Betul-betul tempat yang luar biasa! Saya bersyukur kepada Allah atas kehadiran kaum Komunis dalam hal ini. Jika pihak Komunis tidak pernah datang, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang Kristen. Segala sesuatu terjadi dengan tujuan yang sudah pasti, bahkan peristiwa kemenangan kaum Komunis sekalipun. Jika Tiongkok tidak dimenangkan oleh kaum Komunis, saya ragu apakah saya dapat menjadi Kristen. Dengan pengalaman segawat itulah saya dibangunkan pada kenyataan. Saya tersadar dari mimpi dan bertemu dengan Allah. Suatu perjumpaan dengan Allah yang sangat mengesankan yang terjadi di halaman penjara, yang belum pernah dapat saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu dengan Allah ketika sedang duduk di halaman penjara itu. Saya bercakap-cakap dengan-Nya. Saya mengalami Dia dalam cara yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang belum pernah mengalami Allah. Pengalaman ini tidak dapat diterangkan. Allah hadir melingkupi saya, dan seluruh tubuh saya dipenuhi oleh rasa sukacita, sukacita yang tidak dapat saya pahami. Pengalaman pertemuan ini tidak dapat saya pahami secara nalar dan tidak juga dapat saya jelaskan menurut bahasa nalar.


Jaminan Hanya ada di dalam Allah

Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, “Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia dapat menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?” Anggaplah ia memutuskan, “Saya akan pulang dan berkata, “Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana.”” Menurut Anda, jika dia berbuat seperti itu, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?

Saya lihat ada begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada Bapa dan berkata, “Lihat, ini surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi. Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengeklaim keselamatan saya! Saya memang tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Akan tetapi, saya punya surat baptis. Saya adalah seorang anak!”

Orang-orang yang malang itu mengira Allah akan berkata, “Oh, mari sini anak-Ku! Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh kembali ke rumah.”

Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut! Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim sebagai anak, tamatlah riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.

Kita berbicara tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk menjadi anak. Inilah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si sulung, anak tetapi belum menjadi anak. Inilah poin yang harus kita pegang dan pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, “Aku akan berkata kepada ayah, ‘Aku tidak layak menjadi anakmu. Berilah aku tempat di antara para hambamu,'” saat itulah ia berada dalam keadaan yang layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda menjadi percaya. Setiap orang yang berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. “Berbahagialah orang yang miskin.” Mereka tidak memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak apa pun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati dan bertobat.

Saya beritahu Anda bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap Allah pada Hari Penghakiman itu dan berkata, “Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta! Jadi, kalau ada orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat untuk meniupkan terompet menyambut saya!” Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.

Pada Hari itu, saat saya datang kepada Allah, saya akan berkata, “Tuhan, saya tidak punya apa-apa yang dapat saya persembahkan pada-Mu. Saya tidak mempunyai klaim apa pun. Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hamba-Mu. Saya sudah mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya di dalam kasih karunia-Mu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya di antara para hamba-Mu.” Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang angkuh dan meninggikan diri. Jika Anda pernah menerima doktrin atau ajaran yang menempatkan Anda di dalam “jaminan” semacam itu, lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu. Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak. Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.

Saya berdoa agar Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh perumpamaan ini. Jika Anda mencari sebuah pelajaran dari perumpamaan ini, poin inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.

Rasul yang besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu “hamba atau budak Yesus Kristus.” Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi daripada seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat tegas, “Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun, di atas segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang hamba atau budak Yesus Kristus.”

Seorang hamba atau budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan berkata, “Lihat, perhatikan prestasi saya”? Apa pun yang sudah Anda kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apa pun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.

Inilah arti dari “keselamatan oleh anugerah”. Anugerah berarti “Tidak ada satu hal pun yang layak untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya.” Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Sekalipun saya adalah anak, saya tidak dapat mengeklaim keberadaan saya sebagai anak sebagai hak karena hal itu merupakan anugerah, dan anugerah tidak pernah dilandasi oleh hak.

Pada Hari itu, saya akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, tetapi sebagai seorang berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Saya akan menghadap Allah Bapa dan berkata, “Inilah saya, dengan penuh sukacita menerima dan terus menerima anugerah-Mu.” Saya memiliki keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya. Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apa pun itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu — Bapa yang penuh dengan belas kasihan.

Akan tetapi, Dia tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang dapat mereka klaim. Orang-orang seperti ini masih belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan tetapi, gereja pada zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, “Saya pasti selamat karena saya adalah anak Allah.” Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda dapat memahami hal itu.

Kiranya Allah menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita:

… yang datang kepada-Ku takkan pernah Aku usir. (Yoh 6:37).

Inilah jaminan keselamatan saya, bukan karena saya ini penting, atau karena saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah, melalui Yesus Kristus.

 

Berikan Komentar Anda: