Pastor Eric Chang | Matius 17:22-18:4 |
Kita akan belajar dari Matius pasal 18. Kita memulai membaca dari Matius 17:22 dan seterusnya, untuk bisa mendapatkan konteksnya.
Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: “Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” Jawabnya: “Memang membayar.” Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: “Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” Jawab Petrus: “Dari orang asing!” Maka kata Yesus kepadanya: “Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.” Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka (di tengah-tengah para murid) lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.
Yesus tidak pernah mengajari kita sesuatu hal yang dia sendiri tidak melakukannya
Anda mungkin berkata, “Apa hubungan antara kedua bagian tersebut – bagian bahwa Yesus akan dibunuh, membayar cukai di Bait Allah dan menjadi seperti anak kecil?” Ada satu tema sentral yang menghubungkan semua bagian itu.
Dalam hal apakah keduanya memiliki hubungan? Keterkaitan yang pertama adalah dalam hal: Yesus tidak pernah mengajari kita untuk mengerjakan sesuatu yang dia sendiri tidak pernah melakukannya. Itulah kehebatan Yesus sebagai Guru dan Lord. Dia tidak seperti para perwira yang memerintahkan prajuritnya, “Serbu!” lalu para prajurit menyerbu ke depan sementara senapan mesin pihak musuh memuntahkan pelurunya, dan sang komandan berdiam di tempat aman sementara anak buahnya menyabung nyawa. Tidak. Dia adalah Komandan yang memimpin penyerbuan di depan pasukan. Dia adalah orang pertama yang maju ke depan, dan dia juga yang pertama kali tertembak.
Itulah hal yang diuraikan di dalam ayat 22-23. Dia berkata kepada para muridnya, “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuhnya, akan tetapi dia akan bangkit pada hari yang ketiga.”
Berpalinglah dari keinginan menjadi yang terbesar
Namun apakah tujuan dari hal ini? Ketika Yesus sudah menjelang masa akhir dari pelayanannya, para murid malah bertanya tentang kebesaran dan kehebatan. Itulah perkataan pertama yang terihat di Matius 18:1, “… Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Hal semacam itulah yang sedang dipikirkan oleh para murid saat itu. Mereka bertanya kepada Yesus, “Siapakah yang akan menjadi yang terbesar di dalam Kerajaan Sorga nanti?” Yang dipikirkan adalah kemuliaan di saat Yesus nanti menjadi Raja di dalam Kerajaan Sorga. Lalu kita semua ini menjadi para menteri. Satu-satunya persoalan adalah, siapa yang akan menjadi Perdana Menteri di bawah Raja ini? Seperti itulah pikiran mereka saat itu.
Yesus berkata, “Astaga. Kalian semua salah. Kalian sedang menuju ke arah yang berlawanan dengan aku, kalian memikirkan kemuliaan duniawi, padahal aku sedang menuju ke arah yang berlawanan.”
Tak heran ketika dia menyampaikan tentang hal kematiannya, di Matius 17:23 dikatakan, “Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali.” Mereka berpikir, “Tentunya dia tidak serius dengan hal ini. Dia pasti tidak akan mati! Dia tentu tidak akan meninggalkan kita setelah kita mengikut dia selama sekitar dua atau tiga tahun ini, bukankah begitu? Kita telah meninggalkan karir kita, juga bisnis perikanan yang cerah di danau Galilea. Lalu sekarang dia akan mati meninggalkan kita? Wah! Sudah berapa banyak pengorbanan kita selama ini? Kita telah meninggalkan segalanya, dan niat dari pengorbanan ini adalah untuk meraih satu hal, yakni mejadi anggota kabinet di dalam Israel yang baru di mana Yesus menjadi Raja.” Mereka benar-benar sedih.
Yesus setiap saat selalu berusaha memberitahu mereka, “Kalian sedang menuju arah yang salah, sobat. Kalian sedang berpikir ke arah yang salah. Yang kalian pikirkan adalah kemuliaan duniawi. Aku ini sedang pergi menuju kematian dan penghinaan duniawi.” Mereka tidak bisa memahami satu hal: Yesus datang bukan untuk memuliakan dirinya melainkan untuk merendahkan dirinya karena satu-satunya jalan supaya keselamatan itu bisa digenapi adalah dengan cara merendahkan dirinya. Satu-satunya jalan bagi kita untuk bisa mencapai keselamatan adalah dengan merendahkan diri. Itu adalah jalan yang sempit.
Para murid ingin melangkah di jalan yang lebar, di jalan raya, tanpa menyadari bahwa jalan raya itu menuju kepada kebinasaan. Jalan yang kecil itulah yang menuju kepada hidup yang kekal. Dan hal itulah yang dia jelaskan sejak dari awal, akan tetapi mereka tidak bisa memahaminya. Penjelasan itu tidak tertanam di benak mereka. Mereka tidak mampu menangkapnya. Mereka berkata, “Tidak bisa. Tidak mungkin begini jalannya. Tidak mungkin!”
Pikiran gereja tentang sukses: gedung besar dan jemaat banyak
Saya tidak tahu apakah kita sebagai orang-orang Kristen bisa memahami penjelasan tersebut, atau mungkin kita masih belum mengerti juga. Lihat saja cara gereja berfungsi sekarang ini. Saya khawatir bahwa gereja belum mengerti akan hal ini. Mereka belum menangkap makna prinsip ini. Penjelasan tersebut memang bertentangan dengan pikiran manusia, bertentangan dengan cara berpikir manusia.
Kita berpikir dalam kerangka sukses. Kita memikirkan tentang seberapa banyak jemaat kita, seberapa besar gedung gereja kita dan berapa banyak orang yang bisa ditampung dalam auditorium kita? Kita mengira bahwa inilah yang disebut sukses. Sukses berarti seberapa besar gedung gereja kita.
Itu bukanlah sukses menurut Allah. Tak ada artinya! Hampa! Namun sangat jarang gereja tidak berpikir dalam kerangka menginginkan gedung baru; dana pembangunan gedung besar yang menelan uang jutaan dolar. Lalu Anda bisa berkata, “Lihat gereja saya! Arsitektur terbaru! Semua teknologi terkini ada di sana. Termasuk perangkat tata suara dan elektroniknya. Itulah sukses!”
Bagaimana Yesus mengukur kesuksesan?
Kita tidak bisa memahami Yesus, yang bahkan tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepalanya. Mengapa Yesus tidak menjadikan 5,000 di padang gurun itu sebagai jemaatnya yang besar dan mengumpulkan cukup uang untuk membangun katedral di Galilea. Apakah menurut Anda dia tidak mampu melakukannya? Yesus tidak mau melakukannya, bukan karena dia tidak mampu melakukannya. Ketika mereka mau menjadikan dia sebagai raja, dia malah meninggalkan mereka. Dia tidak menghendaki hal-hal semacam ini.
Namun apa yang kita kerjakan? Kita masih saja tidak mampu memahami prinsip merendahkan diri dalam rangka melangkah di jalan menuju hidup kekal ini. Kita tidak memahaminya. Kita mengira bahwa sukses itu adalah jika kita bisa berkata, “Tahukah kamu seberapa besar jemaat kami?”
Yesus memiliki 5.000 jemaat dan apa yang dia perbuat? Dia suruh mereka pulang! Sungguh cara yang aneh dalam membangun jemaat! Ada sekitar 5.000 orang yang ingin mengikut dia, ingin menempatkan dia di tempat kehormatan, menjadikan dia orang besar, namun dia acuhkan mereka.
Di Matius 14:22 dikatakan, “… Ia menyuruh orang banyak pulang.” Dia berkata, “Bubarlah! Kalian pulanglah!” Bagaimana Anda bisa membangun gereja dengan cara seperti ini? Mengapa dia tidak membangun jemaat? Membangun gedung? Apa yang dia perbuat? Dia menghabiskan waktunya bersama 12 orang yang bukan siapa-siapa. Ketika orang banyak mengikuti dia, reaksinya kepada orang banyak itu hanya satu: Dia selalu ingin menjauh dari orang banyak. Dia tidak tertarik pada jumlah. Dia tidak mengukur kesuksesannya lewat jumlah pengikut.
Dia mengukur kesuksesannya lewat ukuran seberapa paham para murid akan jalur kerendahan hati; jalur merendahkan diri. Cara berpikir ini memang sangat susah untuk dimengerti. Dapatkah kita menangkap maknanya? Kita tidak memahaminya. Gereja-gereja tidak menangkap cara berpikir dan pikiran Kristus. Mereka tidak memahami Yesus.
Melangkahlah di jalur yang dilalui oleh Yesus
Beberapa tahun yang lalu, sekelompok pengusaha yang kaya menawarkan untuk membangun gedung gereja bagi saya tanpa ada syarat apapun. “Silakan Anda cari arsitek Anda, rancanglah gedungnya dan kami yang akan membangunnya bagi Anda. Kami yang akan membiayai pembangunannya. Anda yang akan menjadi pendeta di gereja kami. Kami akan memberi Anda gaji yang tinggi. Anda tinggal membangun jemaat karena Anda adalah jenis pendeta yang kami inginkan.”
Mereka tidak mengerti ucapan saya ketika saya berkata, “Saya tidak menghendaki gedung gereja Anda. Silakan cari orang lain yang akan membangun jemaat bagi Anda. Saya tidak menginginkan gedung gereja dari Anda. Kami punya tempat ibadah yang kecil, kami sudah menyewa satu tempat kecil. Kami tidak memiliki bangunan apapun, dan kami tidak akan menjadi pemilik bangunan. Kami tidak punya apa-apa.” Mereka terkejut menatap saya! Mereka tidak bisa memahami saya. “Pendeta-pendeta yang lain mengumpulkan dana untuk pembangunan gereja. Kami memberikan gedung gereja sebagai hadiah kepada Anda, tetapi Anda tidak mau? Orang macam apa ini!” Sungguh menarik.
Dan akhirnya, karena saya menolak pembangunan gedung gereja baru, mereka bertanya, “Bagaimana dengan gedung gereja yang sudah ada? Maukah Anda menerima gedung yang ini?” Saya bertanya, “Apakah syaratnya?” “Tak ada syarat apa-apa. Kami hanya ingin memberi Anda hadiah.” Kali ini mereka bahkan tidak bertanya apakah saya mau menjadi pendeta bagi gereja mereka! Mereka hanya ingin memberikan gedung gereja itu kepada saya. Sebuah gedung besar yang bisa menampung sekitar 1.000 orang. Saya berkata, “Tidak, terima kasih. Saya tidak menginginkannya. Kami tidak menginginkannya karena kami tidak mau masuk perangkap ini.” Saya ingin melangkah di jalur yang dilalui oleh Yesus.
Gereja zaman mula-mula tidak pernah memiliki gedung. Jemaat masa awal tidak memiliki gedung ibadah sampai dengan abad kedua. Dan begitu gereja mulai memiliki gedung-gedung, pembusukan mulai menjalar di dalam gereja. Orang-orang kaya mulai memegang kendali di dalam gereja. Gereja menjadi semakin duniawi. Gereja mulai mati seiring dengan kesuksesannya menurut ukuran duniawi. Tetapi Yesus melangkah menuju kematian, dan itu adalah puncak kegagalan [menurut ukuran dunia]. Terlebih lagi, dia akan mati sebagai penjahat kelas rendahan di kayu salib kekaisaran Romawi!
Jadi, di sanalah letak hubungan internal antara kedua bagian tersebut – yakni pokok tentang hal merendahkan diri, menyangkal diri, menuju ke bawah dan bukannya ke atas. Dan tentu saja, orang-orang seperti kita tidak akan dipahami oleh dunia. Kumpulan pengusaha kaya ini semuanya adalah orang Kristen. Mereka adalah para penatua di berbagai gereja. Mereka mau memberi saya gedung gereja sebagai hadiah tetapi saya tidak menghendakinya! Sungguh tidak bisa dipahami! Bahkan orang-orang Kristen juga tidak bisa memahami mentalitas semacam ini. Saya tahu bahwa mereka tidak mengerti. Ini karena kita masih belum memahami semangat dari Kristus. Kita tidak tahu bahwa di saat kita mengira bahwa kita sudah sukses, saat itu kita justru sedang gagal. Pahamkah Anda akan hal ini? Bahwa di dalam dunia rohani, segala sesuatunya berjalan terbalik. Anda berhasil justru di saat Anda tampaknya gagal. Anda gagal justru di saat Anda mengira sedang sukses menurut standar duniawi.
Baru-baru ini saya membaca sebuah koran, bahwa di California ada seorang pendeta – yang tidak akan saya sebutkan namanya – yang menghabiskan uang 16 juta dolar untuk membangun gedung gereja – yang terbuat dari kristal. 16 juta dolar! Di dalam majalah Kristen itu, hal itu disebut sebagai “Sukses yang hebat!” 16 juta dolar untuk membangun katedral dari kristal! Itu adalah kegagalan sempurna! Itu adalah bencana besar jika kita memang mengerti ajaran Kristus, jika kita memang benar-benar mengerti!
Apa yang akan saya perbuat dengan 16 juta dolar! Saya tidak akan menghamburkannya untuk materi batu dan kaca. Tak akan pernah! Jika ada uang sebanyak 16 juta dolar yang diberikan oleh Allah, maka itu akan disalurkan untuk pelatihan bagi mereka yang akan melayani Allah. Biarlah uang itu dibagikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya. Biarlah uang itu dipakai untuk menolong orang-orang miskin. Dipakai untuk membiayai mereka yang membutuhkannya. Di saat orang-orang miskin masih begitu banyak di luar sana, lalu kita menghamburkan uang 16 juta dolar untuk barang-barang dari batu dan kaca, dan kita sebut itu sukses! Sungguh memalukan!
Dihina oleh dunia, dihukum mati – itulah sukses
Kita tidak mengerti, dan saya mohon agar Anda sekali lagi mau memahaminya, bahwa di dalam prinsip hidup rohani, mengalami sukses duniawi berarti mengalami kegagalan rohani. Sukses menurut teladan Yesus adalah – mengalami kegagalan duniawi, dihukum mati dan dihina di dunia. Menjadi seorang Krsiten itu berat. Saat Anda diremehkan karena Anda adalah orang Kristen, ini akan melukai Anda. Tapi saat kita dihina demi Tuhan, itulah kesuksesan rohani!
Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Kalau orang-orang menolakmu, kalau mereka menghina kamu, kalau orang-orang menganiaya kamu karena namaku, bersukacitalah! Haleluyah! Itulah sukses!” Kita tidak mengerti hal itu, bukankah demikian? Anda berkata, “Apa yang Anda omongkan itu? Kami tidak mengerti ini.” Namun itulah prinsipnya. Itulah prinsip yang tertulis di sini.
Seberapa sering kita harus belajar masalah yang satu ini? Saat orang-orang meremehkan Anda karena Kristus, Anda harus berkata, “Haleluyah!” Jika Anda mengerti prinsip terbalik dalam dunia rohani, Anda akan mengerti bahwa itu adalah sukses. Bagi dunia, itu adalah omong kosong. Namun bagi semua orang yang mengenal Allah, itulah rahasia memiliki kuasa. Di sanalah terdapat kuasa!
Jemaat zaman awal tak pernah memiliki gedung. Ada jemaat kecil di sana-sini, jemaat kecil di Korintus dan ada juga yang di Efesus. Semua itu jemaat kecil-kecil saja. Akan tetapi mereka mengguncang dunia! Dampak mereka terhadap dunia sangat luar biasa, begitu juga dengan kuasa Allah yang bekerja melalui mereka!
Di zaman sekarang ini, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah adanya jutaan orang Kristen di Amerika Utara. Jumlahnya tak terhitung banyaknya, namun sekarang ini Amerika Utara hidup dalam budaya pagan dan nilai materialistis yang tak tertandingi! Apakah ini dapat disebut sebagai sukses? Apakah merupakan suatu keberhasilan jika kita memiliki orang Kristen yang jutaan banyaknya, namun zaman ini adalah zaman yang paling materialistik dan di mana tingkat kejahatannya paling tinggi? Di saat hampir separuh penduduk dunia mengakui sebagai Kristen, yang kita temukan malah besarnya dominasi dosa dan tingkat moral yang begitu rendah.
Akan tetapi jemaat zaman awal tidak mendapat pengakuan. Sekarang ini, seorang Presiden di Amerika Serikat haruslah seorang yang Kristen, namun apakah hal itu memberi manfaat? Apakah gunanya? Zaman-zaman ketika orang Kristen dianiaya; tidak diakui; tidak diperbolehkan memiliki properti; harta kekayaan mereka disita; mereka dihukum mati; namun zaman-zaman itu jauh lebih baik dari zaman sekarang ini!
Kelompok kecil orang Kristen itu mampu mengguncang dunia karena kuasa Allah bekerja melalui mereka. Saudara-saudari, janganlah mengejar kedudukan di dunia ini. Jika itu hal yang Anda kejar, hal ini menunjukkan bahwa jalan pikiran Anda belum berubah. Anda masih mengejar kemuliaan duniawi. Jalan pikiran Anda masih sama persis dengan para murid saat itu yang ingin menjadi yang terbesar di dunia.
Yesus, Anak Allah, merendahkan dirinya untuk membayar pajak Bait Allah
Sekarang kita sampai pada Matius 17:24-27. Anda mungkin bertanya, “Apa hubungannya bagian ini dengan hal merendahkan diri?” Memang ada hubungannya. Perikop ini sepenuhnya berkaitan dengan hal merendahkan diri. Perikop ini berkisah tentang hal membayar pajak Bait Allah, ini bukanlah pajak dari pemerintah Roma, melainkan pajak sebesar dua dirham untuk Bait Allah. Para pemungut pajak ini datang ke tempat Yesus tinggal di Kapernaum, dan seperti yang Anda ketahui, Kapernaum ini terletak di tepi danau Galilea, di bagian utara dari danau Galilea. Ini adalah tempat di mana Yesus menetap.
Demikianlah, ketika Yesus tiba di Kapernaum, pemungut pajak datang dan bertanya kepada Petrus, “Apakah Gurumu juga akan membayar pajak Bait Allah?” Petrus menjawab, “Ya, dia akan membayar pajak.” Mungkin Petrus berbicara berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah. Mungkin pada tahun-tahun sebelumnya, Yesus membayar pajak Bait Allah karena pajak ini biasanya dibayar setahun sekali.
Selanjutnya, Yesus ingin mengajarkan sesuatu kepadanya. Yesus berkata, “Dari siapakah raja-raja di dunia ini menarik pajak? Apakah mereka menarik pajak dari anak-anak (terjemahan LAI memakai kata ‘rakyat’, pent.) mereka? Ataukah mereka menarik pajak dari orang lain (terjemahan LAI memakai kata ‘orang asing’, pent.), yang bukan anak-anak mereka?” Jawabannya tentu saja sudah jelas. Para raja tidak akan menarik pajak dari anak-anak mereka, karena menarik pajak dari anak-anak mereka tentunya akan berarti menarik pajak dari diri mereka sendiri. Jadi, menarik pajak dari anak-anak mereka tentunya akan berarti memberi anak-anak itu uang dengan satu tangan sambil mengambilnya kembali dengan tangan yang lain. Jelaslah, mereka akan memajak orang lain dan tidak akan memajak rumah tangga, keluarga, mereka sendiri. Demikianlah, lalu Yesus berkata, “Kalau begitu, maka bebaslah anak-anaknya.”
Lantas, siapakah yang menjadi pemilik Bait Allah itu? Siapakah Rajanya? Tentu saja Allah. Lalu bagaimana mungkin kita, anak-anaknya, harus membayar pajak? Kita tidak perlu membayar pajak kepada Bapa kita sendiri, bukankah begitu? Yesus berkata, “Tidak.” Anak-anak bebas pajak, bukankah begitu? Benar, anak-anak memang bebas.
Walaupun Anak Allah, Yesus merendahkan diri
“Namun demikian, marilah kita merendahkan diri dan membayar pajak.” Kita kembali pada masalah merendahkan diri. Sekalipun kita adalah anak-anak Allah, hal ini bukanlah alasan untuk bermegah. Ini bukanlah alasan untuk merasa superior. Sekalipun merupakan Anak Allah, Yesus ingin mengajarkan tentang hal merendahkan diri. Hanya karena kita ini adalah anak-anak Allah bukan berarti kita boleh merasa bangga; merasa penting. Ada banyak orang Kristen yang sangat angkuh karena merasa dirinya superior dibandingkan orang-orang yang tidak percaya. Mereka merasa sebagai kelas superior karena mereka adalah anak-anak Allah. “Kami melebihi para raja di bumi! Para raja di bumi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan anak-anak Allah.”
Akan tetapi Yesus, walau dalam status semacam itu, tidak membiarkan kesombongan muncul akibat status rohani ini. Dia bahkan tidak memperkenankan hal itu terjadi. Tidak bisa. Kita justru tidak boleh menyinggung hati orang lain. Kita tidak boleh menyinggung hati orang non-Kristen, marilah kita rendahkan diri kita. Walaupun kita tidak perlu membayar pajak, sekalipun kita berhak untuk tidak membayar pajak, marilah kita membayar pajak. Kita akan membayarnya sama seperti orang lain. Kita bayar saja pajak itu.
Inilah alasan mengapa – sebagaimana yang sudah sering saya sampaikan – misalnya, para pendeta dan hamba Tuhan di Inggris mendapat pengecualian di dalam beberapa hal. Sebagai contoh, ada pengecualian pajak atas rumah dan yang lain-lainnya. Ketika saya tinggal di Inggris, saya tidak mau mengklaim pengecualian pajak, suatu hal yang sangat mengejutkan bagi pemerintah dan kebanyakan orang Kristen yang tidak memahami saya, yang mengira bahwa jika kita bisa menghemat pengeluaran pajak, maka kita bisa alihkan uang itu ke gereja. Saya ragu apakah Allah menghendaki uang tersebut. Saya berkata kepada orang-orang di pemerintahan, “Baiklah, saya memang hamba Tuhan, namun saya tidak melihat alasan untuk saya mengklaim hak tersebut. Saya perlu membayar pajak sama seperti orang lain. Silakan beri saya formulir pajaknya dan saya akan membayarnya.” Sekalipun penghasilan saya sangat kecil, dan bukan juga karena saya bisa membayar pajak itu dengan mudah, akan tetapi saya berkeras untuk membayarnya. “Sekalipun kita ini adalah anak, marilah kita membayarnya.” Di dalam hal ini, mungkin tidak akan ada yang tersinggung jika saya memang tidak membayar pajak itu. Poinnya hanyalah bahwa kita tidak perlu mengklaim hak kita. Kita memang memiliki hak akan tetapi kita tidak perlu menjalankan hak tersebut.
Di dalam negara-negara Kristen, para pendeta memperoleh beberapa perlakuan istimewa, dan sangat banyak pendeta yang gemar mengklaim hak-hak tersebut. Sebagai contoh, di beberapa negara, jika Anda adalah pendeta dan Anda masuk angkatan bersenjata, maka pangkat yang paling rendah adalah sebagai kapten. Saya rasa ini bukan hal yang benar. Menurut saya, hal ini kurang masuk akal. Orang lain masuk dengan pangkat rendah, sebagai prajurit, lalu Anda masuk sebagai kapten. Saya tidak bisa memahaminya. Bagi saya, aturan semacam ini bisa berbahaya. Begitu Anda merasa sedang sukses, berarti Anda telah gagal. Saya harap Anda bisa menangkap prinsip ini dan juga bisa menerapkannya.
Sejauh mana Yesus merendahkan dirinya?
Yesus berkata kepada Petrus – dan Petrus ini selalu gelisah ingin menjadi yang nomor satu – jadi tidak heran jika Yesus secara khusus mengarahkan ucapan ini kepadanya. Petrus adalah murid senior di antara murid-murid yang lain, dan akan sangat mudah tergoda untuk merasa ia lebih tinggi dari yang lain. Maka Yesus berkata kepadanya, “Simon, bagaimana pendapatmu? Sekalipun kamu adalah anak, sekalipun aku adalah Anak, namun aku tetap membayar pajak. Jadi, kamu juga harus membayar pajak.” Perkataan ini, bagi saya, adalah hal yang luar biasa, suatu puncak kerendahan hati. Bahwa Yesus, sekalipun dia adalah Anak Allah, rela merendahkan dirinya sampai ke tingkat di mana dia bersedia berdiri sama tinggi dengan orang lain yang dikenai pajak dan ikut membayar pajak bersama mereka. Dia tidak berkata kepada si pemungut pajak, “Tahukah kamu siapa aku? Tahukah kamu bahwa Bait itu adalah Bait Bapaku? Lalu kamu mau meminta aku untuk membayar pajak Bait Allah yang dua dirham itu? Tahukah kamu siapa aku ini?” Tidak. Dia tidak pernah berbicara seperti itu, sekalipun dia adalah Anak Allah dalam pengertian yang khusus. Dia berkata kepada Petrus, “Kita akan membayar pajak itu, kamu dan aku akan membayarnya bersama-sama. Pergi dan bayarkan uangnya.”
Sejauh mana Yesus merendahkan dirinya? Perhatikan baik-baik, Yesus tidak mempunyai uang untuk membayar pajak, dia sama sekali tidak punya uang. Inilah sebabnya mengapa dia menyuruh Petrus untuk pergi menangkap ikan, dan uang itu tersedia di dalam mulut ikan tersebut. Petrus tidak punya uang dan Yesus juga tidak punya uang. Dia tidak punya uang yang jumlahnya hanya dua dirham itu untuk membayar pajak. Jika dia punya, tentunya tidak perlu sampai memancing ikan dan mengambil uang itu dari mulut ikan tersebut.
Pada saat itu bendahara sedang tidak ada di sana. Yudas adalah bendaharanya. Milik mereka adalah milik bersama, dan semua uang berada di tangan bendahara. Saat itu hanya ada Petrus dan Yesus saja, jadi mereka tidak ada uang untuk membayar pajak. Dia yang adalah Anak Allah segala allah tidak punya uang dua dirham untuk membayar pajak Bait Allah.
Bapa yang akan membayar pajak bagi AnakNya
Kejadian yang ajaib ini juga menunjukkan fakta bahwa Yesus adalah Anak, karena Bapa yang membayarkan pajak itu. Bapalah yang menyediakan uang di dalam mulut ikan tersebut. Anda tentu ingat bahwa di dalam kesempatan yang lainnya, mereka menyanyai dia, “Haruskah kita membayar pajak kepada Kaisar?” dan di saat itu dia juga tidak punya koin. Dia berkata, “Tunjukkan padaku sebuah koin.” Lalu mereka menunjukkan sebuah koin kepadanya, dan dia berkata, “Gambar siapakah yang terdapat di dalam koin ini?” Mereka menjawab, “Gambar kaisar.” Lalu dia berkata, “Bayarlah kepada kaisar apa yang wajib kau bayarkan kepadanya.” Dia tidak memegang uang sekeping pun. Di situlah keindahan Yesus!
Perhatikanlah kuasa dan kemuliaannya. Dia tidak berkata kepada Petrus, “Nah, tangkaplah beberapa ikan, jual ke pasar, sesudahnya, uangnya akan cukup untuk membayar bea pajak.” Dia juga bisa melakukannya dengan cara itu. Mereka bisa saja pergi menangkap ikan lalu menjualnya. Namun jika dia berbuat demikian, di mana fakta yang menggarisbawahi bahwa dia adalah Anak? Karena dia adalah Anak, maka Bapa-lah yang akan membayarkan bea itu. Bapa-lah yang akan menyediakan koin perak di dalam mulut ikan untuk membayar bea tersebut. Dia berkata kepada Petrus, “Pergi dan tangkaplah ikan. Dan pada ikan pertama yang kamu tangkap, kamu akan temukan koin perak di mulutnya.”
Bagi Anda yang sudah melangkah bersama dengan Allah, cara kerja Allah sangatlah luar biasa. Sekitar tiga tahun yang lalu, saya dan Pendeta W berjalan-jalan di tepian sebuah danau di dekat tempat tinggal kami. Kami sedang berjalan-jalan di tepian danau itu, sambil membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Kami mengitari danau dan berhenti di salah satu tepinya, air batas tepian danau persis berada di bawah kaki kami ketika kami berdiri sambil bercakap-cakap. Lalu terjadilah sesuatu hal yang ajaib. Ada seekor ikan yang berenang ke langsung menuju arah kaki kami, tepat ke hadapan saya dan Pendata W. Kalau hanya ada saya di situ, saya ragu apakah Anda akan mau mempercayai saya jika saya ceritakan tentang hal ini. Tapi syukurlah karena adanya Pendeta W yang bisa menjadi saksi akan peristiwa ini. Ikan itu berenang tepat ke arah kami dan berjuang untuk bisa keluar dari air. Mungkin Anda mulai memperkirakan seberapa lebar tepian itu dan menganggap bahwa hal ini adalah suatu kejadian yang kebetulan saja. Pertama-tama, saya tidak pernah mendengar kisah tentang seorang pemancing – tak peduli seberapa besar bualannya – yang pernah bercerita tentang ikan yang berenang keluar dari air. Dan kedua, jika Anda teliti seberapa lebar tepian itu, maka kemungkinan terjadinya peristiwa itu secara kebetulan bisa mendekati nol persen.
Bagi Allah yang mampu menggiring ikan ke kaki kami, apakah merupakan hal yang mengejutkan kalau ada ikan yang di mulutnya ada koin perak? Bagi Anda yang pernah memancing tentunya tahu, bahwa ikan juga menyambar umpan palsu, misalnya umpan palsu yang bentuknya bisa saja seperti koin logam itu. Banyak umpan palsu yang mengandung bahan perak, yang pada saat Anda gerakkan di dalam air, ia akan bergerak dan berkelap-kelip di dalam air. Saya juga pernah memancing ikan dengan umpan palsu yang mengandung bahan logam ini.
Namun hal yang luar biasa di sini bukanlah sekadar ikan itu punya koin perak di mulutnya. Hal yang luar biasa adalah ketika Yesus berkata,
“Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya.”
Ini sungguh luar biasa! Ini adalah hal yang mustahil untuk diketahui oleh manusia. Jadi di sini kita bisa melihat keindahan watak dan kuasa dari Yesus, yang di dalam kebesaran kemuliaannya, tetap merendahkan dirinya sampai ke tingkat dia tidak memiliki koin untuk membayar bea Bait Allah. Ini sungguh luar biasa! Di sepanjang bagian bacaan ini, Anda bisa lihat pesan tersebut. Poin penghubungnya adalah Yesus merendahkan dirinya dan dia mengajari Petrus untuk melakukan hal yang sama.
Siapakah yang terbesar di dalam Kerajaan?
Kita sampai kepada perikop di Matius 18:1-4. Setelah semua pengajaran ini, para murid ternyata masih belum mengerti. Mereka ternyata masih datang kepada Yesus dan bertanya, “Siapakah yang akan menjadi yang terbesar di dalam Kerajaan?” Saya bertanya-tanya apakah Yesus tergoda di dalam hatinya untuk berkata, “Kalian benar-benar payah! Kalian benar-benar bodoh secara rohani dan tampaknya aku perlu memecat sebagian besar dari kalian. Pulang dan lupakan saja urusan ini! Aku sudah berusaha mengajari kalian selama ini. Namun setelah semua upaya ini, baik dengan perkataan dan juga dengan contoh tindakan, kalian datang kepadaku dan bertanya, ‘Siapakah yang akan menjadi yang terbesar?'” Saya tidak tahu apakah dia benar-benar menjadi kecewa terhadap kumpulan murid-murid ini. Akan tetapi sungguh besar kebaikan dan kesabarannya.
Lalu Yesus memanggil seorang anak kecil. Dan kata asli yang dipakai untuk istilah anak kecil ini adalah paidion, sebuah kata Yunani untuk anak-anak balita. Anak ini sudah mampu berjalan akan tetapi dia masihlah anak kecil. Dia bawa anak kecil itu ke depan dan berkata, “Lihatlah anak kecil ini. Kuberitahu kamu sesuatu hal. Yang terbesar di dalam Kerajaan Allah adalah orang yang merendahkan dirinya sampai menjadi seperti anak kecil ini. Namun bahkan lebih dari itu, kalau kamu tidak merendahkan dirimu sampai seperti anak kecil ini, kamu tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah!” Di sinilah letak prinsip pembalikan yang sudah saya sebutkan sebelumnya, prinsip yang menjungkirbalikkan segala sesuatunya.
Seorang anak kecil di dunia ini! Siapa yang mau menjadi anak kecil? Kita ingin menjadi orang dewasa. Saat Anda masih anak kecil, ketika Anda berusia sekitar 3 tahun, Anda bermimpi untuk menjadi anak berusia 5 tahun dan Anda tidak perlu lagi dipermainkan oleh anak lain yang selalu saja mendorong Anda kesana kemari karena dia dua tahun lebih tua daripada Anda dan dia selalu saja menjatuhkan Anda. Ketika Anda ingin meraih biskuit dan karena dia lebih tinggi dari Anda maka dia yang bisa mengambilnya. Hidup ini begitu menyebalkan bagi anak kecil. Anda bahkan tidak bisa melihat apa-apa saja yang terdapat di atas meja. Dan Anda berharap akan tiba saatnya nanti Anda bisa, paling tidak, mengangkat hidung Anda melewati meja dan Anda bisa melihat apa-apa saja yang terdapat di atas meja. Dan akan selalu terdengar suara, “Anak kecil turun!” Oh, Anda tidak lebih baik dari anjing peliharaan. Anjing juga berusaha untuk naik ke atas meja, sama halnya dengan Anda yang juga berusaha untuk naik ke atas meja. Setiap saat Anda bermimpi untuk segera menjadi orang dewasa!
Anak perempuan saya selalu berharap untuk bisa segera menjadi dewasa, dan saya membatin, “Gadis malang! Apa yang dia ketahui apa yang sedang menantinya?” Dia selalu saja mengeluh tentang dirinya yang kecil, bahwa dia harus segera tidur padahal orang-orang yang lain masih boleh melakukan kegiatannya. “Mengapa aku harus tidur awal?” “Karena kamu anak kecil?” Begitulah, orang lain masih boleh melakukan kegiatannya sementara Anda sudah harus tidur. Sungguh dunia yang menyebalkan bagi anak kecil! Demikianlah, selama masa itu Anda berharap untuk segera menjadi orang dewasa. Dan ketika dia ingin membeli sesuatu di warung es krim, tentu saja orang dewasalah yang mendapat perhatian utama, dan anak kecil tidak mendapat perhatian apa-apa! Dan akhirnya, ketika semua orang dewasa telah dilayani, barulah gadis kecil ini ditanyai, “Kamu mau beli apa?” Orang-orang lain bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, akan tetapi anak kecil tidak bisa. Lantas, siapa yang mau jadi anak kecil? Tak ada yang mau. Setiap orang ingin menjadi orang yang diakui. Tak ada yang mau menjadi bukan siapa-siapa. Tetapi Yesus berkata, “Kecuali kalau kamu menjadi sama seperti anak kecil ini.”
Keselamatan berdasarkan siapa kita dan melibatkan transformasi
Demikianlah, sambil kita tutup, mari kita lihat apa arti semua ini. Apakah ajaran Yesus di dalam bagian bacaan ini? Mari kita rangkum.
Pertama-tama, perhatikan bahwa di bagian ini, di ayat 3, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak berpaling dan menjadi…” “Turn and become (berpaling dan menjadi).” Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah kata ‘menjadi’. Menjadi seorang Kristen berarti menjadi orang jenis tertentu. Maknanya adalah siapa kita; bukannya sekadar mengerjakan sesuatu; bukan sekadar mempercayai sesuatu. Maknanya adalah keberadaan, siapa kita sebenarnya.
Saya harap agar Anda bisa menangkap prinsip yang ditekankan di sini. Anda tidak akan masuk ke dalam kerajaan karena Anda telah melakukan ini atau itu. Anda tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah karena Anda mempercayai ini atau itu. Anda akan masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan menjadi sesuatu. Kata ‘menjadi’ di ayat itu berarti keberadaan, siapa kita.
Sekarang ini, penekanan dari gereja-gereja seringkali pada masalah mempercayai ini dan itu, seolah-olah Anda harus membangun suatu kemampuan untuk mempercayai hal ini dan itu. Anda harus menaikkan tingkat kepercayaan Anda. Saya tidak begitu berminat dengan kredo Anda. Gereja zaman sekarang terlalu menekankan pada kredo. Kredo memang ada tempatnya, akan tetapi bisa menjadi berbahaya jika diterapkan diluar konteksnya. Dan konteksnya adalah hal ‘keberadaan’ (being).
Akan tetapi menjadi sesuatu yang bukan diri Anda sekarang ini berarti melibatkan suatu transformasi karena kita ini bukanlah anak-anak. Apakah Anda anak-anak? Anda bukanlah anak-anak. Anda bukanlah anak kecil. Menjadi sesuatu yang bukan diri Anda itu berarti melibatkan suatu perubahan. Itulah yang Yesus katakan, “Jika kamu tidak berbalik dan menjadi …” Anda harus berbalik dari arah yang sedang Anda tempuh. Arah manakah yang sedang ditempuh para murid itu? Mereka sedang mencoba untuk menjadi yang terbesar di dunia ini. Mereka ingin menjadi orang penting. Mereka ingin menjadi direktur, menjadi General Manager, mereka ingin selalu berada di atas di manapun mereka berada. Namun Yesus berkata, “Kalau kamu tidak berbalik, kalau kemuliaan duniawi masih menjadi tujuanmu, kalau kedudukanmu di dunia ini masih menjadi tujuanmu, maka kamu tidak akan pernah masuk ke dalam kerajaan.”
Perhatikan perkataan tersebut karena jika Anda gagal mencermati perkataan tersebut, keselamatan kitalah yang menjadi taruhannya. Yang sedang kita bahas adalah perkara masuk ke dalam kerajaan, hal diselamatkan, perkara masuk ke dalam hidup yang kekal. Kita tidak sedang membahas teori. Kita tidak sedang membahas ide-ide religius. Yang kita bicarakan adalah perkara hidup atau mati, diselamatkan atau hilang binasa. Itulah hal yang sedang kita bahas. Jangan buru-buru bersyukur karena Anda berpegang pada kredo yang benar; pada doktrin yang benar; dan menjadi anggota gereja yang benar. Bukan apa yang Anda percayai yang penting pada akhirnya nanti, melainkan siapa Anda. Dan jika Anda tidak menjadi anak kecil, maka Anda tidak akan diselamatkan, tak peduli apapun hal yang pernah dikatakan oleh para penginjil kepada Anda.
Juga tak ada hubungannya dengan perbuatan baik. Memang sangat bagus melakukan perbuatan baik. Bertindak, berbuat – Anda tidak dapat mendapatkan keselamatan lewat perbuatan baik. Keselamatan bukanlah sesuatu yang bisa diraih dengan usaha Anda sendiri. Hal ini juga tidak akan berhasil. Hanya lewat cara menjadi jenis orang seperti yang Allah inginkan bagi Anda. Dan apa yang Allah inginkan dari kita? Allah ingin agar Anda menjadi seperti anak kecil.
Apakah maksudnya menjadi sama seperti anak kecil?
Yesus sedang berkata bahwa kecuali jika Anda secara rohani menjadi anak kecil lagi, maka Anda tidak akan masuk ke dalam kerajaan. Jika Anda pikir bahwa Anda akan menjadi orang penting, lupakan saja! Allah tidak punya tempat bagi kesombongan. Allah tidak berminat pada orang-orang yang memandang tinggi dirinya. Anda harus menjadi sama seperti anak kecil. Apakah maksudnya menjadi sama seperti anak kecil? Mari kita perhatikan beberapa poin ini.
Bertobat: akal budi yang ditransformasi
Pertama-tama, di sana disebutkan tentang hal ‘bertobat (turn = berbalik, berpaling, bertobat),’ “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat…” Kata ‘turn (berbalik/berpaling)’ di sini berkenaan dengan perkara pertobatan. Di dalam Alkitab, kata ‘berbalik (turn)’, atau ‘berpaling (turn ye)’ di dalam Perjanjian Lama selalu berarti bertobat. Kata ‘bertobat’ itu sendiri memang maknanya adalah berpaling, mengubah segenap cara berpikir Anda. Hal pertama yang harus Anda lakukan jika Anda ingin diselamatkan, jika Anda ingin memperoleh hidup yang kekal, jika Anda ingin masuk ke dalam Kerajaan Allah, adalah berpaling.
Berpaling dari arah tujuan Anda sekarang. Berpaling dari jalan raya kebinasaan. Anda harus berpaling karena jalan yang sempit itu adalah arah yang berlawanan! Jalan lebar dan jalan sempit tidak beriringan. Jalan yang sempit itu arahnya berlawanan dengan jalan yang besar! Ada jalan besar yang menuju kebinasaan. Jalan yang sempit mengarah kepada hidup. Anda harus berbalik. Berbalik berarti berubah sepenuhnya, mengalami transformasi, mengalami perubahan sepenuhnya di dalam cara berpikir Anda.
Menjadi seorang Kristen bukanlah perkara yang mudah, di mana Anda cukup berkata, “Baiklah, tadinya aku tidak percaya kepada Allah, sekarang aku percaya kepada Allah, jadi aku sudah menjadi Kristen.” Oh, tidak. Tidak segampang itu! Atau, mungkin Anda berkata, “Aku tadinya tidak percaya kepada Yesus. Baiklah, percaya kepada Allah mungkin tidak cukup. Aku akan percaya kepada Yesus juga.” Tidak! Hal itu juga tidak cukup. Lalu Anda berkata, “Lalu apa lagi yang Anda ingin agar saya lakukan?” Aku akan mempercayai semua yang Anda katakan. Semuanya 100%!” Namun Anda tetap masih belum diselamatkan.
Mengapa? Karena Anda harus berbalik. Bukannya berapa banyak hal yang perlu Anda tambahkan, mempercayai ini, itu dan yang lain-lainnya. Yang penting adalah siapa Anda. Camkanlah hal ini. Anda harus mengubah segenap sikap hati Anda. Itulah sebabnya mengapa banyak orang Kristen di zaman sekarang ini, mereka percaya pada ini dan itu akan tetapi mereka belum berubah. Mereka masih saja angkuh. Mereka masih sombong. Mereka masih kasar, masih egois. Mereka belum berbalik. Mereka percaya kepada doktrin yang benar akan tetapi mereka belum berbalik.
Apakah mereka akan diselamatkan? Yesus berkata, “Tidak.” Pada Hari Penghakiman akan ada kejadian yang mengerikan. Saya ngeri membayangkan hal itu. Karena pada Hari itu, akan ada banyak orang yang akan berkata kepada Tuhan, “Tapi Tuhan, aku percaya segala-galanya 100%! Aku percaya pada semua kredo!” Dan Yesus akan berkata kepada mereka, “Aku tidak kenal kamu semua. Menjauhlah dariku, kamu pembuat kejahatan!” (Mat.7.23)
Mengapa mereka disebut pembuat kejahatan? Karena mereka belum berbalik. Mereka masih manusia lama yang sama dengan sebelumnya hanya saja mereka sudah menambahkan agama pada diri mereka. Pokok yang pertama adalah, berbalik, bertobat, mengubah cara berpikir Anda.
Saya sangat cemas karena saya bisa melihat bahwa gereja tidak berpaling. Gereja masih berpikir dengan cara yang lama. Gereja masih berperilaku sama seperti dulu. Seluruh dunia tahu bahwa ‘orang-orang Kristen’ berperilaku sama seperti orang non-Kristen. Akan tetapi ‘orang-orang Kristen’ merasa dirinya superior karena mereka mempercayai hal ini dan itu. Allah tidak berurusan dengan hal-hal yang dangkal. Dia melihat ke dalam hati Anda. Dia tidak peduli tentang apa yang Anda akui, seberapa besar Alkitab Anda, seberapa bagus pakaian Anda. Dia melihat ke dalam hati Anda dan melihat apakah Anda sudah berbalik atau belum, apakah sikap hati Anda sudah berubah atau belum. Itulah pokok yang pertama.
Jadilah anak-anak dalam kejahatan
Itulah yang Paulus maksudkan di 1 Korintus 14:20. Jadilah anak-anak (babes = bayi-bayi) dalam kejahatan, karena anak-anak/bayi-bayi tidak paham jalan-jalan si jahat yang berliku-liku. Menjadi anak-anak berarti Anda berpaling dari kejahatan. Anda tidak mengerti kejahatan. Anda tidak ingin memahami kejahatan. Demikianlah, Paulus berkata kepada jemaat di Korintus, dalam hal kejahatan, jadilah anak-anak/bayi-bayi. Orang-orang mengira bahwa mereka pintar. Mereka tahu bagaimana melakukan segala macam kejahatan di muka bumi ini. Mereka membual tentang ketrampilan mereka dalam berbuat dosa. Sikap hati kita harus berubah. Kita tidak boleh bangga karena mengetahui bagaimana cara berbuat dosa. Kita harusnya malu akan hal itu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan. Kita tak punya keahlian di dalam hal kejahatan. Kita tidak membualkan pengetahuan kita tentang kejahatan.
Saya selalu teringat dengan seorang dokter yang pernah saya temui, yang selalu membanggakan dosa-dosanya di hadapan saya. Dia membual kepada saya bahwa dia tahu bagaimana cara melakukan segala macam dosa. Sungguh memuakkan! Saya tidak ingin tahu akan hal itu. Tidak menarik minat saya. Akan tetapi, dia begitu bangga, seolah-olah merupakan sesuatu hal yang cerdik dengan mengetahui tentang cara berbuat dosa. Paulus berkata di 1 Korintus 14:20, jadilah anak-anak dalam kejahatan, jadilah tidak berdosa. Anda tidak tahu akan hal-hal tersebut dan Anda juga tidak mau tahu.
Kelahiran Kembali: Kuasa Allah yang Mengubah dan Memberi hidup
Hal yang kedua di sini adalah, menjadi anak-anak berarti bahwa Allah perlu melakukan sesuatu di dalam hidup Anda. Karena secara alamiah kita ini memang bukan anak-anak lagi. Anda bukanlah anak kecil. Saya juga bukan anak kecil. Hal ini sejajar dengan Yohanes 3:3,5. Kamu harus dilahirkan kembali. Nikodemus tidak bisa memahaminya.
Apa artinya dilahrikan kembali? Haruskah saya masuk kembali ke dalam rahim ibu saya kemudian dilahirkan kembali? Tidak! Ini merupakan pekerjaan Allah. Allah harus mengubah Anda. Pertanyaan yang diajukan oleh Nikodemus dalam hal ini adalah, “Bagaimana saya bisa menjadi anak kecil sedangkan saya sudah dewasa? Saya tak bisa menjadi anak kecil.” Jadi, poin yang kedua ini adalah bahwa Allah perlu melakukan sesuatu untuk menjadikan kita berbeda dengan apa yang ada sekarang ini.
Pertama, kita, bertanggung jawab untuk berubah; kita harus berbalik arah. Namun ketika kita sudah berbalik, kita tetap saja tak bisa menjadi anak kecil. Kuasa Allah perlu ikut campur dalam hal ini dan mengubah kita. Kuasa yang mentransformasi inilah yang dimaksudkan dalam kelahiran kembali. Karena sekadar berbalik arah saja tidaklah cukup. Anda harus memiliki hidup, hidup yang berasal dari Allah. Jadi, perkara menjadi anak merupakan hasil karya Allah di dalam diri kita.
Bersedia untuk tidak memiliki status apapun, menjadi bukan siapa-siapa di dunia ini
Pokok yang ketiga tentang hal menjadi anak ini adalah kesediaan untuk tidak memiliki status apapun. Ini adalah hal yang sangat sukar bagi kita. Kita selalu ingin dihormati. Kita ingin agar orang-orang memandang kita dengan hormat. Kita ingin agar orang lain berkata, “Oh, kamu kenal dia? Tahukah kamu betapa terpelajarnya dia? Tahukah kamu dia kuliah di mana? Tahukah kamu gelar apa yang telah dia raih? Tahukah kamu latar belakang keluarganya? Tahukah kamu siapa ayahnya? Tahukah Anda siapa ibunya?”
Kita ingin agar orang-orang memandang hormat kepada kita. Sedangkan menjadi anak kecil berarti menjadi bukan siapa-siapa. Seorang anak kecil bukanlah orang penting di dunia ini. Mereka tidak punya kedudukan; tak punya status hukum yang pasti; tak punya hak pilih; tak berhak mengeluarkan pendapat- apa yang mereka ucapkan tidak dipandang berharga.
Di dalam Mishnah, kitab adat istiadat orang Yahudi, di dalam kitab Arakhin 1:1. Anak-anak dimasukkan ke dalam tingkatan lemah akal dan idiot. Di dalam kedudukan hukum resmi orang Yahudi, anak-anak disamakan dengan orang dewasa yang lemah akal dan bisu (orang yang tuli dan bisu). Mengapa? Karena menurut hukum Yahudi, mereka semua dipandang sama-sama tidak mampu berpikir. Mereka tidak memiliki pemahaman. Mereka tidak mampu memahami hal yang penting dalam setiap situasi. Oleh karena itu, mereka tidak dipandang sebagai badan hukum di dalam adat istiadat mereka. Karena memang berdasarkan definisi [badan hukum] itu jika Anda berurusan dengan Hukum Taurat, maka Anda harus dalam keadaan mampu berpikir. Anda harus tahu apa yang sedang berlangsung. Anda harus memiliki tingkat pengetahuan tertentu tentang Hukum Taurat. Tanpa pengetahuan pada tingkat tersebut, maka Anda dipandang tidak berfungsi di muka hukum. Seorang tuli yang lemah akal, karena dia tidak bisa berkomunikasi, dia tuli dan bodoh, dia tidak mengerti apa yang sedang berlangsung. Seorang yang dungu, karena dia kurang memiliki kemampuan berpikir, dipandang tidak bertanggungjawab atas apapun yang dia kerjakan dalam hukum modern, terlebih lagi di dalam adat istiadat Yahudi. Anak-anak, menurut adat istiadat orang Yahudi, dipandang berada pada tingkat tersebut.
Hal yang sama berlaku di dalam hukum modern. Jika seorang anak kecil, misalnya, menggores kaca jendela mobil Anda, maka dia tidak bisa ditangkap sebagai penjahat karena dia dianggap tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Jika dia melemparkan botolnya ke arah jendela Anda, maka satu-satunya orang yang bisa dihukum adalah orang tuanya, akan tetapi si anak tetap bebas. Tak ada tindakan hukum yang bisa diambil terhadap si anak. Sebenarnya, inilah alasan mengapa vandalism (tindakan perusakan fasilitas umum) sekarang ini begitu meluas. Rumah-rumah dimasuki, barang-barang dirusak, ada juga yang dicuri, oleh para remaja, para remaja adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun, mereka masih dipandang tidak bertanggungjawab, dianggap belum memiliki pengertian yang utuh. Saya rasa mereka tahu persis akan apa yang mereka perbuat, akan tetapi hukum memakai sudut pandang yang terlalu longgar. Jadi, menurut hukum, seorang anak adalah orang yang tanpa status. Dia tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya.
Di dalam Berakoth 7:2 dalam kitab Mishnah, disebutkan tentang ‘perempuan, budak, anak-anak’ dalam urutan seperti itu. Perempuan berada dalam kedudukan yang sangat rendah saat itu, dan kedudukan mereka dianggap sama dengan budak saat itu. Jadi, di sini bisa kita dapati ‘perempuan, budak, anak-anak’ dalam urutan seperti itu, dan anak-anak bahkan berada dalam kedudukan yang lebih rendah daripada budak. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidaklah dikasihi. Bukan berarti bahwa budak tidak dikasihi. Hanya berarti bahwa mereka tidak memiliki kedudukan. Itulah makna pentingnya. Banyak orang yang mengasihi budak mereka seperti orang-orang mengasihi anjing peliharaannya. Akan tetapi anjing tidak memiliki status. Ini adalah pokok penting yang perlu dipahami.
Menjadi seorang Kristen bukan berarti bahwa kita boleh mengganggu setiap orang karena kita beranggapan bahwa anak-anak itu nakal dan mereka memecahkan jendela-jendela, lantas kita menjadi orang Kristen lalu boleh memecahkan jendela rumah orang lain, karena kita sekarang adalah anak-anak! Sama sekali bukan begitu maksudnya. Yang dimaksudkan adalah, ketika Yesus mengatakan hal itu, bahwa kita ini tidak memiliki status apa-apa. Kita perlu camkan hal ini baik-baik.
Seperti anak yang bergantung total, seorang Kristen bergantung pada Allah
Ada banyak lagi poin lainnya. Sebagai contoh, seorang anak bergantung sepenuhnya kepada orang tuanya. Sama halnya dengan itu, seorang Kristen memiliki Kristus sebagai Majikannya. Seorang anak juga bergantung sepenuhnya pada orang tuanya dalam hal keuangan. Seorang anak bergantung sepenuhnya, dalam arti dia boleh mempercayakan kepada Allah akan segenap kebutuhan rohani dan jasmaninya. Dengan demikian, jika Anda adalah seorang anak Allah, dan Anda tidak punya uang, seperti Yesus dan Petrus, Anda bisa percayakan kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan Anda. Dan hal ini sudah saya lakukan berkali-kali, sudah sangat sering saya mengalami penyediaan dari Allah yang sangat ajaib, bukan hanya dalam peristiwa ikan yang berenang ke arah kami, akan tetapi dalam banyak kesempatan sebelum itu.
Sebagai anak Allah, Anda dipandang sangat berharga di mata-Nya
Menjadi seorang anak Allah berarti Anda tidak memiliki status di dunia ini, akan tetapi Anda dipandang sangat tinggi di mata orang tua Anda. Inilah hal yang luar biasa dari anak-anak. Di mata dunia, mereka tidak memiliki status apa-apa, akan tetapi di mata orang tuanya, anak ini dipandang sangat berharga. Malahan, si anak, bisa dikatakan, merupakan orang yang mengendalikan rumah tangga. Inilah hal yang luar biasa. Yesus berkata, “Kalau kamu ingin menjadi orang penting di dunia ini, maka kamu bukan siapa-siapa di mata Allah. Akan tetapi jika kamu bukan siapa-siapa di mata dunia, kamu menjadi anak Allah. Kamu sangat berharga di mata Allah. Dia sangat memperhatikanmu. Dia menjagaimu.” Jadi, ini adalah pilihan Anda. Apakah Anda ingin menjadi orang penting di dunia ini atau menjadi orang yang berharga bagi Allah? Itulah pilihannya. Namun secara rohani Anda tidak bisa menjadi keduanya.
Anda sekarang mungkin mulai bisa memahami mengapa saya memilih untuk tidak menjadi orang penting di dunia ini, tidak memiliki jemaat besar, tidak memiliki gedung yang megah, menjadi bukan siapa-siapa tetapi berharga di mata Allah. Itulah sebabnya mengapa saya katakan bahwa anak-anak tidak berarti di mata dunia, akan tetapi bagi orang tuanya, si anak sangatlah berharga, paling dikasihi. Orang tua bahkan bersedia mengorbankan nyawa mereka demi si anak karena si anak sangat berharga bagi mereka.
Seorang anak itu sederhana, tidak berpikiran rumit, berbicara langsung, jujur
Terakhir, watak anak kecil itu sederhana. Kesederhanaan watak adalah poin yang sangat penting juga di dalam Perjanjian Baru. Ada dua kata dalam bahasa Yunani yang biasanya di dalam Perjanjian Baru berbahasa Inggris diterjemahkan dengan kata ‘sincere (tulus)’ atau ‘pure (murni)’, dan kata yang diterjemahkan itu sebenarnya bermakna ‘tidak rumit (uncomplicated = tidak rumit, tidak berbelit-belit). Marilah, dalam rangka menjadi anak-anak, kita belajar untuk tidak sekadar hidup tanpa status, akan tetapi juga tidak berbelit-belit dalam kepribadian kita. Jika segenap jemaat tidak berbelit-belit, maka kita akan menikmati persahabatan yang sangat indah bersama-sama. Pernahkah Anda perhatikan bagaimana cara anak-anak bermain bersama? Mereka tidak berbelit-belit. Mereka tidak memakai cara yang berliku-liku. Mereka tidak perlu memasang topeng di wajah. Seorang anak begitu sederhana, begitu sederhananya, sampai-sampai terkadang dia bisa mempermalukan orang tuanya.
Saya teringat satu kali ketika saya mempermalukan ayah saya. Sewaktu kami berada di rumah seorang kawannya, di sana ada banyak pohon plum dari jenis yang sangat enak. Ayah saya mencicipi salah satu buah plum itu, lalu mulai memakan terus menerus. Dan saya sendiri juga makan cukup banyak buah plum itu. Dan kemudian, saat kami diundang makan malam, tuan rumah bertanya kepada ayah saya, “Sudahkah Anda cicipi buah plum di luar?” Ayah saya menjawab, “Ya, saya sudah mencicipi sekitar dua atau tiga buah plum tadi.” Saya berkata, “Apa? Dua atau tiga? Mungkin lebih dari 12 atau 13!” Oh! Ayah saya begitu malu dan marah. Setelah itu, dia memarahi saya dan berkata, “Kenapa kamu katakan kepada mereka bahwa Ayah makan begitu banyak buah plum?” Akan tetapi saya membatin, “Wah, memang itu yang ayah lakukan. Mengapa ayah berkata hanya makan dua atau tiga buah kalau sebenarnya ayah melahap begitu banyak buah plum itu?” Saat itu pikiran saya sangat sederhana. Saya tidak tahu apa-apa tentang diplomasi. Anda lihat, pikiran seorang anak begitu sederhananya sehingga bisa sampai ke tingkat yang memalukan. Saat itu saya berpikir bahwa saya sekadar menyatakan apa adanya. Demikianlah, pikiran kita ini begitu rumitnya. Kita merasa bahwa mengatakan sesuatu hal apa adanya kepada seseorang itu sangatlah tidak sopan. Kita harus mengenakan topeng. Kita harus menudungi kebenaran, kita harus membuat modifikasi. Saat itu saya tidak mengerti mengapa ayah saya begitu marah. Saat itu saya tidak bisa memahaminya. Hanya setelah Anda bertumbuh dewasa baru Anda mulai mengerti hal-hal tersebut. Anda mulai belajar untuk berpikir berbelit-belit.
Kali ini, Yesus berkata, “Sebagai anak-anak, belajarlah untuk berterus terang. Belajarlah untuk jujur. Belajarlah untuk berpikiran sederhana. Janganlah berbelit-belit.” Kita harus belajar lagi untuk menjadi seorang anak kecil. Jadi di sini, mari kita pahami satu prinsip yang paling penting, bahwa jika kita ingin masuk ke dalam Kerajaan Allah, maka kita harus bersedia merendahkan diri kita. Hanya dengan cara itu kita bisa masuk ke dalam kerajaan dan menjadi sangat berharga di mata Allah.