Pastor Eric Chang | Matius 5:13 |

Hari ini kita akan melanjutkan untuk mempelajari firman Tuhan dalam Injil Matius 5. Kita telah menyelesaikan pelajaran dasar tentang Ucapan Bahagia dan sekarang kita akan mempelajari Matius 5:13. Kita akan melihat bahwa pasal ini masih berkaitan dengan Ucapan Bahagia. Karena, di dalam Ucapan Bahagia Yesus berkata orang-orang ini berbahagia karena mereka miskin di hadapan Allah,  mereka berbahagia  karena mereka berdukacita, mereka berbahagia karena mereka lemah lembut. Orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai “garam dunia”.


Peringatan: murid tidak boleh menjadi tawar

Perhatikan dalam Ucapan Bahagia, ada perubahan kata pada ucapan yang terakhir dari “Berbahagialah orang yang…” menjadi “Berbahagialah kamu…“. Delapan ayat pertama tidak ditujukan kepada pribadi tertentu, dan ini berarti bahwa siapapun yang seperti ini akan berbahagia. Sedangkan ayat 11 lebih spesifik, ditujukan pada murid-murid Yesus: “Berbahagialah kamu, jika karena aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Dan kata “kamu” dalam ayat inilah yang disebut di ayat 13 : “Kamu adalah garam dunia“. Karena itulah ayat 13 berkaitan  langsung dengan ayat -ayat sebelumnya dalam ucapan bahagia.

Mari kita membaca Matius 5:13

“Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia asinkan? Tidak ada gunanya selain dibuang dan diinjak orang”

Kalimat awal menunjukkan bahwa kita – KAMU – adalah garam dunia. Dan kalimat selanjutnya merupakan satu peringatan – satu peringatan yang serius – bahwa jika garam menjadi tawar, menjadi tidak berasa, tidak ada gunanya lagi kecuali dibuang!

Kita tidak perlu membahas apakah garam benar-benar bisa menjadi tawar atau tidak. Diskusi seperti itu adalah sia-sia dan hanya akan menghilangkan arti rohaninya. Para ilmuwan mengatakan bahwa garam yang berasal dari jurang-jurang garam yang berdekatan dengan Laut Mati sangat tidak murni. Ketika berada di dalam keadaan-keadaan tertentu seperti embunan, sehingga garam itu dilumerkan dari senyawa, maka apa yang tersisa sebenarnya adalah campuran kapur dan elemen lain yang sesungguhnya bukan garam itu sendiri. Tampaknya seperti garam, tetapi sudah kehilangan rasa asinnya. Semuanya itu mungkin saja benar tetapi tidak terlalu penting karena itu bukan apa yang dimaksudkan. Poinnya sederhana, bukan apakah garam itu bisa menjadi tawar atau tidak, tetapi orang Kristen dapat kehilangan kualitas-kualitas yang esensial sebagai orang Kristen. Ini jelas apa yang Yesus maksudkan, dan tidak ada yang dapat menyangkal hal ini. Saya tahu tidak seorang penafsir pun yang ingin menyangkal maksud yang Yesus katakan di sini, bahwa garam bukanlah selalu garam; garam dapat kehilangan rasanya dan menjadi tawar.


Allah memberikan kualitas-kualitas rohani, tetapi kita dapat kehilangan kualitas- kualitas itu

Kita telah melihat ketika kita mempelajari Ucapan Bahagia bahwa kualitas-kualitas yang disebut di situ, yaitu: miskin dihadapan Allah, berdukacita atas dosa, lemah lembut dalam hubungan dengan Allah dan manusia, haus dan lapar akan kebenaran bukanlah sifat asli manusia. Mungkin kita menginginkan kualitas-kualitas tersebut namun mereka bukan sifat dasar manusia. Kualitas-kualitas tersebut harus diberikan pada kita oleh Allah. Dengan kuasa-Nya, Allah mengubah dan membentuk kita menjadi seperti itu. Kita pula harus rela diubahkan. Kita harus berdoa agar Allah membentuk kita dan mewujudkan kualitas-kualitas itu dalam kehidupan kita. Namun melainkan kita bertekun sampai kesudahan, melainkan kita terus-menerus mengarahkan pandangan kita, kualitas-kualitas ini akan mudah hilang dari dalam diri kita.

Kita semua tahu, sangat mudah bagi kita untuk menjadi sombong, berbangga diri, percaya  terhadap kemampuan diri kita sendiri, mencukupkan diri sendiri daripada menjadi miskin dihadapan Allah. Inilah sifat alami manusia, percaya dan bangga terhadap diri sendiri. Bagaimanapun juga banyak orang pergi ke psikolog untuk mengatasi perasaan rendah diri dan memperoleh kepercayaan serta kebanggaan terhadap diri sendiri. Sulit bagi manusia untuk tetap miskin dihadapan Allah, manusia mudah menjadi sombong, bangga terhadap dirinya sendiri. Sulit bagi manusia berdukacita atas dosa, mereka lebih mudah jatuh dalam dosa, bahkan mereka suka berbuat dosa dan menikmati dosa. Karena itu sangat mudah bagi seorang murid untuk kehilangan kualitas-kualitas itu jika ia tidak berjaga-berjaga. Kita bisa berdoa, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat“, namun itu tidak meletakkan tanggung-jawab sepenuhnya pada Allah. Kita harus berdoa dan berjaga-jaga, seperti yang Yesus ajarkan, agar kita tidak jatuh dalam pencobaan. Karena itu kita mendapati kualitas-kualitas rohani yang digambarkan disini dengan garam bisa hilang. Jika garam tidak dapat menjadi tawar, tidak ada gunanya Yesus memperingatkan kita supaya jangan kita kehilangan kualitas sebagai seorang murid. Kita akan sangat menyesal jika kita menolak peringatan ini.


Garam yang tawar – secara lahiriah menjalankan ibadah tapi telah memungkiri kekuatannya!

Ayat paralel ada di Lukas 14, di mana perkataan yang disampaikan Yesus hampir sama dengan perkataannya di Injil Matius, tetapi penting bagi kita untuk membandingkan ayat paralelnya. Lukas ingin menyatakan betapa pentingnya perkataan Yesus ini. Lukas 14:34-35 berbunyi seperti ini,  

“Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja.”

Kemudian ia menyimpulkan dengan perkataan yang penting ini, yang sering mengikuti suatu ucapan yang penting: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar.” “Perhatikanlah,” Yesus berkata, “apa yang kukatakan padamu; janganlah kamu kehilangan rasa asin itu, karena garam yang menjadi tawar tidak dapat diasinkan kembali. Dengan apakah ia diasinkan? Sekali tawar tetap tawar, tidak dapat diasinkan lagi”.

Ini mengingatkan kita akan Ibrani 6:4 yang menyatakan bahwa mereka yang pernah mengecap karunia surgawi dan kemudiannya murtad, mereka tidak mungkin dibaharui sekali lagi. Mereka tidak dapat dikembalikan. Bagaimana anda dapat mengasinkan garam yang sudah tawar? Tidak ada lagi yang dapat dilakukan dengan garam yang ditawar. Apa yang dapat anda lakukan? Tidak ada sama sekali! Tidak ada gunanya lagi, tidak berguna  untuk tanah, dan tidak dapat dipergunakan sebagai pupuk. Tidak ada artinya jika ditimbun atas kotoran. Anda tidak dapat melakukan apapun. Apa yang dapat anda lakukan? Anda akan membuangnya ke jalan dan orang akan menginjaknya, mungkin hanya dapat mencegah agar anda tidak tergelincir di jalan. Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain dibuang dan diinjak orang.

Peringatan ini sangat penting dan kita harus memahami beberapa hal yang berkaitan dengan ayat ini. Yang paling penting, kita harus menanyakan pertanyaan ini: di tingkat rohani bagaimana garam itu menjadi tawar? Bagaimana orang Kristen tidak berfungsi lagi sebagai orang Kristen? Paulus memahami ajaran Yesus ini dengan jelas dan dia menjelaskannya. Paulus memperingatkan kita di 2 Timotius 3:5 bahwa di akhir zaman akan ada orang yang “secara lahiriah menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.” Ini adalah gambaran bagi garam. Meskipun garam sudah kehilangan rasa asinnya, ia masih tampak seperti garam, warnanya tetap putih, masih berbentuk butiran dan bubuk. Masih berbentuk seperti garam, tetapi saat anda merasakannya, tidak ada rasanya lagi garam. Garam itu sudah menjadi tawar, tidak asin lagi. Bentuknya memang seperti garam, tetapi sudah memungkiri kekuatannya, berarti, tidak efektif lagi.  Bentuknya tetap seperti garam tetapi sudah kehilangan kualitas dari garam itu sendiri.

Itulah peringatan Paulus tentang apa yang akan terjadi di akhir jaman, Paulus menyatakan, akan muncul suatu tipe kekristenan yang tampak di luar saja. Dari luar ia tampak seperti kekristenan. Ia menjalankan kegiatan-kegiatan kekristenan. Ia menggunakan bahasa-bahasa kekristenan. Ia juga berbicara tentang liturgi kekristenan. Tetapi semuanya itu tidak berpengaruh dalam dirinya. Kekristenan seperti ini tidak ada kuasanya. Semuanya hanya diluar saja. Tidak ada yang tersisa. Garam itu telah merosot hingga tidak ada yang tersisa kecuali namanya, tetapi substansinya sudah hilang. Terdapat satu ungkapan Cina yang mengatakan seperti ini: masih mempunyai nama garam, namun tidak ada substansi garam, yaitu, tidak ada lagi rasa garamnya.


Garam sebagai simbol kuasa Allah untuk memurnikan

Bagaimana kita dapat memahami tentang garam? Apa itu garam? Saya pikir kita semua tahu bahwa garam adalah untuk memurnikan. Ia digunakan untuk mengawetkan. Ia digunakan untuk memberi rasa pada sesuatu yang tawar. Semua arti-arti ini terdapat dalam Perjanjian Lama. Mari kita melihat satu contoh garam digunakan untuk memurnikan, yang merupakan fungsi dari orang Kristen di dalam dunia ini. II Raja-raja 2:19-22 memberitahu kita tentang fungsi garam. Pasal tersebut menceritakan tentang apa yang dilakukan seorang nabi besar yaitu Elisa. Saya akan membacakan bagian ini kepada anda:

“Berkatalah penduduk kota itu kepada Elisa: “Cobalah lihat! Letaknya kota ini baik, seperti tuanku lihat, tetapi airnya tidak baik dan di negeri ini sering ada keguguran bayi.” Jawabnya: “Ambillah sebuah pinggan baru bagiku dan taruhlah garam ke dalamnya.” Maka mereka membawa pinggan itu kepadanya. Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: “Beginilah firman Tuhan: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi.” Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa.”

Dalam pasal ini garam berfungsi untuk memurnikan. Ia memurnikan air yang tidak baik itu. Tentu saja, dalam kasus ini janganlah kita beranggapan bahwa garam yang melakukan pemurnian itu. Tidak! Kita kehilangan maksud yang sebenarnya jika kita berpikir bahwa Elisa melakukan hal itu karena ia tahu banyak tentang kimia, lebih banyak dari orang disekitarnya. Jadi mereka hanya perlu menuangkan garam ke dalam sumur. Jika anda mencobanya, anda akan mendapati garam yang anda tuangkan tidak akan memurnikan air dalam sumur. Kita akan kehilangan maksud rohaninya. Maksud dari tindakan ini terletak pada simbolisme garam. Bukan garam itu yang memurnikan, tetapi kuasa Allah. Perhatikan bahwa garam itu berfungsi hanya karena perkataan Elisa: “Beginilah firman Tuhan” dan air itu menjadi sehat “sesuai dengan Firman yang disampaikan Elisa!” Otoritas kuasa Allah bekerja melalui Elisa. Garam di sini melambangkan kemurnian atau kekudusan dan kuasa kekudusan yang memurnikan.

Simbolisme rohani seperti ini sering digunakan, misalnya di Yakobus 5:14. Yakobus 5:14 mengatakan bahwa: “Anda mendoakan orang yang sakit serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” Nah, untuk apa mengoleskan minyak atas orang sakit? Minyak tidak dapat menyembuhkan kalau dioleskan diluar saja, diatas dahi orang yang sakit. Maksud saya minyak tidak mengandungi khasiat gaib yang dapat menyembuhkan. Kesembuhan bukan didasarkan pada tindakan mengoleskan minyak. Minyak di sini hanya melambangkan kuasa Roh Kudus. Bukan berarti ada khasiat tertentu, tidak ada seorangpun yang dapat disembuhkan hanya dengan diolesi minyak pada dahinya. Sebagai contoh, jika anda sakit, tentu anda tidak akan membeli minyak dan mengoleskan minyak itu di dahi serta berkata “Lihat, aku telah menerapkan firman Tuhan dalam Yakobus 5, mengoleskan minyak didahi dan aku akan baik-baik saja”. Jika dengan mengoleskan sedikit minyak tidak berhasil menyembuhkan, anda mungkin berpikir dengan menuangkan seluruh botol minyak keatas kepala, anda akan sembuh. Tentu saja jika itu yang anda lakukan, anda salah besar karena anda telah kehilangan makna rohaninya.

Minyak hanyalah simbol yang mengingatkan orang yang sakit, saat minyak itu dioleskan, bahwa Allahlah yang sanggup menyembuhkan. Sebagai contoh dari waktu ke waktu, ketika berada di Liverpool, rekan sekerja saya dan saya akan mendoakan seseorang yang sakit. Saat mengoleskan minyak, saya akan menjelaskan pada orang tersebut apa maknanya. Saya akan mengatakan padanya “Minyak ini tidak berkhasiat untuk menyembuhkan. Jangan bayangkan ini adalah minyak ajaib yang dapat anda beli. Itu tidak akan memanfaatkan anda samasekali. Minyak ini untuk mengingatkan anda bahwa bukan saya yang menyembuhkan. Bukan pula minyak ini yang menyembuhkan, tetapi Allah yang menyembuhkan” Tanamkan ini dalam pikiran anda, bahwa minyak hanyalah simbol bagi Roh Kudus. Demikian pula minyak zaitun dalam Perjanjian Lama selalu menjadi simbol bagi pribadi dan kuasa Roh Kudus.

Jadi sama halnya dengan kisah Elisa dalam II Raja-raja tersebut, garam tidak mempunyai khasiat ajaib. Kita tidak tahu  pasti seberapa banyak garam yang dituangkan ke sumur. Pada kenyataannya hanya semangkuk kecil, hanya sedikit garam yang dituang ke dalam sumur. Namun ia melambangkan kuasa Allah yang memurnikan. Itu hanya berarti jika kita mengerti makna rohani yang terkandung didalamnya. Dengan cara yang sama, untuk memahami Matius 5:13, kita harus menyadari bahwa orang Kristen adalah garam dunia, bukan karena sesuatu dalam diri kita, bukan karena karisma khusus atau daya tarik yang kita miliki, tetapi karena kuasa Allah yang bekerja dalam kita. Allah bekerja melalui orang-orang Kristen dan membuat mereka menjadi garam. Bukan kita sendiri adalah garam, tetapi Allah, kuasa-Nya, kualitas Allah yang terdapat didalam kita yang menjadikan kita sebagai garam. Tanpa Allah di dalam kita, kita tidak berarti apa-apa, kita sama sekali tidak berarti. Itulah kenyataannya. Kita jangan membayangkan bahwa ada hal yang istimewa dalam diri orang Kristen. Kristus yang ada dalam diri kita yang membuat kita menjadi siapa kita sesungguhnya. Dalam hal ini, anda bisa melihat bahwa kita bergantung sepenuhnya pada kuasa Allah. Semuanya adalah karena anugerah-Nya.


Garam menyucikan dari kecemaran dan kejahatan

Garam berkuasa menyucikan dari kecemaran dan kejahatan. Terdapat satu lagi contoh di Hakim-hakim 9:45, kisah tentang perjuangan Abimelekh merebut Sikhem. Setelah merebut kota tersebut, ia menaburi kota itu dengan garam. Saya banyak mendengar penafsiran yang salah tentang pasal ini karena mereka tidak membaca dengan berhati-hati. Mari kita lihat Hakim-hakim 9:45

“Sehari-harian Abimelekh berperang melawan kota itu – melawan kota Sikhem yang termasyur -, ia merebut kota itu dan membunuh orang-orang yang didalamnya; kemudian dirobohkannya kota itu dan ditaburinya dengan garam”.

Abimelekh menaburkan garam. Saya pernah mendengar orang berkata “Jika anda menaburi ladang dengan garam, tanahnya menjadi tandus ” dan hal-hal seperti ini. Pernyataan seperti ini tidak berarti samasekali. Tidak dikatakan bahwa Abimelekh menaburkan garam ke ‘ladang’; tetapi ke atas kota Sikhem. Kota itu ditaburi garam. Kita tidak menanam sesuatu di kota. Menaburkan garam tidak akan membuat kota menjadi tandus. Maksud saya, seseorang bisa saja membangunkan sebuah rumah di atas tanah  yang telah ditaburi garam itu. Ini sama sekali tidak ada berhubungannya dengan pertanian. Apa yang dilambangkan oleh Abimelekh adalah bahwa kota itu harus dimurnikan dari segala kejahatan. Cara hidup yang lama harus ditinggalkan, sehingga menjadi kota Sikhem yang baru.

Pada kenyataannya, kita tahu dari sejarah bahwa kota Sikhem, tidak dihancurkan sehingga kota itu tidak dapat dibangun kembali. Menurut sejarah kota Sikhem bahkan tetap berdiri sampai abad pertama, sampai pada akhirnya dihancurkan oleh tentara Romawi. Kota Sikhem tetap menjadi kota penting sepanjang masa. Sikhem mengalami sejarah yang panjang. Seringkali kota ini dikepung dan diserang. Serangan Abimelekh untuk menghancurkan kota Sikhem hanyalah salah satu diantaranya. Dan tentu saja menaburkan garam keatasnya bukan berarti penghancuran kota tersebut untuk selamanya. Sama sekali tidak! Sikhem segera dibangun dan diduduki kembali. Jadi jelaslah bahwa tujuan garam itu ditaburkan hanyalah sebagai simbol. Tentu dibutuhkan biaya yang sangat besar jika garam harus ditaburkan keseluruh kota. Menaburkan garam ke kota Sikhem hanyalah suatu simbol tindakan rohani, sebagai tanda bahwa kota Sikhem harus dimurnikan, dan kota itu harus meninggalkan cara hidupnya yang lama. Itulah yang  seharusnya terjadi pada kita sebagai orang Kristen.

Kita dimurnikan dengan meninggalkan cara hidup yang lama, yaitu saat garam itu masuk dalam hidup kita dan sampai pada akhirnya kita pun menjadi garam. Ini mengingatkan kita akan adanya tahap dimana kita menerima terang dan kemudian menjadi terang. Seperti Paulus katakan pada jemaat di Efesus 5:14, “Itulah sebabnya dikatakan: Bangunlah hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu!” Setelah kita menerima terang Kristus, kita menjadi terang. Demikian pula saat kita menerima kuasa Allah yang memurnikan kita, yang digambarkan dengan garam, sebagai simbol dari kuasa Allah dalam Roh Kudus, kita diubahkan dan kita juga menjadi garam.


Apa yang dilambangkan oleh Garam?

Untuk memahami hal ini, kita harus bertanya: apa yang dilambangkan oleh garam? “Kamu adalah garam”. Adakah sesuatu yang lebih khusus? Mari kita membuka Kolose 4:5-6 di mana Paulus menggunakan gambaran garam:

“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.”

Paulus mengatakan “Sebagai orang Kristen hendaklah kata-katamu jangan hambar”. Dalam bahasa asli, “hendaklah kata-katamu dibumbui garam.” Apa artinya? Apakah ini berarti setiap saat kita harus menuangkan garam ke dalam mulut sehingga perkataan kita dibumbui garam? Dari sini kita dapat melihat makna rohani dari garam, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa tidak ada hubungannya dengan garam secara harfiah. Jadi garam menandakan apa? Ketika saya membumbui kata-kata saya dengan garam, dengan apa sebenarnya saya membumbui jika yang dimaksudkan bukanlah garam yang sesungguhnya? Di sini kita harus berusaha untuk memahami apa yang diwakili oleh garam, karena kecuali saya memahaminya, saya tidak tahu bagaimana menggenapi ajaran Alkitab, agar perkataan kita tidak hambar.

Ada sebuah petunjuk, tapi jika anda membacanya dalam Alkitab bahasa Indonesia maka anda tidak akan menemukannya karena petunjuknya tidak tampak samasekali. Dalam bahasa Indonesia, petunjuknya tidak tampak samasekali. Karena itu seringkali saya menekankan, khususnya bagi yang mengikuti trening, betapa pentingnya untuk memahami bahasa asli karena sebagai seorang ekspositor, anda tidak bisa hanya bergantung pada makna kata dalam bahasa Indonesia. Petunjuknya terdapat dalam Mat 5:13. Apa yang anda baca disitu? Dikatakan bahwa “Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar…….?” Nah, terjemahan ini sebenarnya kurang tepat. “Garam itu menjadi tawar”, dalam bahasa Yunani, makna sebenarnya ialah “Garam itu menjadi bodoh”. Nah, jelaslah penterjemah tidak dapat menerjemahkan sebagai “jika garam itu menjadi bodoh” karena, bagaimana mungkin garam menjadi bodoh? Karena itu, ia menganggap bahwa “menjadi bodoh” berarti “menjadi tawar”. Dengan cara demikian, kita kehilangan satu petunjuk yang penting untuk arti garam. Jika garam menjadi bodoh, itu memberi kita satu petunjuk untuk arti garam. Para ilmuwan tahu bahwa kata “bodoh” di sini dalam bahasa Yunani bukan berarti “tawar”, atau “kurang asin”. Artinya adalah “benar-benar bodoh”, tidak ada makna lain yang dapat menggantikannya. Ia tidak mempunyai arti yang lain. Para penterjemah  Alkitab telah melakukan satu tafsiran. Setidak-tidaknya mereka harus memberitahu kita apa kata yang sebenarnya dalam bahasa asli, khususnya bagi mereka yang tidak tahu bahasa Yunani.

Ini merupakan satu petunjuk bagi kita. Apakah petunjuk itu? Sangatlah jelas. Jelaslah bahwa garam menunjukkan ‘spiritual wisdom’/hikmat rohani. Tentu saja jika kita kehilangan hikmat rohani, kita menjadi bodoh. Di sini maknanya sangat jelas. Lawan dari kebodohan adalah hikmat. Jika diterjemahkan dengan “tawar” tentu itu akan menghilangkan petunjuk itu. Ini sangat penting bagi kita untuk mengerti.

Petunjuk ini muncul dalam beberapa cara. Misalnya, ada satu kata Ibrani yang mempunyai makna ganda yaitu “kurang rasa” dan juga “bodoh” pada waktu yang sama. Kata ini digunakan dalam Ayub 6:6 “Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam atau apakah putih telur ada rasanya?” Kecuali dibubuhi garam, kalau tidak, ia rasa tawar. Kata bahasa Ibrani itu juga bermakna “bodoh”, “tidak berasa”, “tidak bermoral”. Sangat penting bagi kita untuk memahami hal ini, karena hikmat dalam arti rohani bukan bermakna pandai samasekali. Itu bukan maknanya. Hikmat secara rohani mempunyai makna yang berbeda dari kepandaian.


Apa artinya hikmat rohani?

Saya akan menjelaskan apa makna dari hikmat. Kita dapat membaca di Yakobus 3, yang memberitahu kita seperti apa hikmat itu dan itu sama sekali tidak ada hubungan dengan kepandaian, tidak ada hubungan dengan kecerdasan, tidak ada hubungan dengan pengetahuan. Yakobus 3:17,

“Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik”.

Ini menunjukkan pada kita kualitas hikmat yang dari atas – hikmat rohani – bukan hikmat yang berasal dari dunia, yang ditolak oleh Paulus pada ayat 15. Hikmat dari dunia yang bukan berasal dari atas, yaitu hawa nafsu, bersifat jasmani, bersifat duniawi. Hikmat yang dari atas mengandungi semua kualitas-kualitas hidup seperti Kristus itu.

Apa hubungannya hikmat yang dari atas dengan pasal yang kita bahas hari ini? Ah, hubungannya sangat erat. Tahukah anda berapa banyak kualitas yang disebut dalam ayat 17?: “Pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik“. Ada berapa kualitas? Semuanya ada delapan! Selain itu ada satu kualitas lagi seperti yang terdapat pada ayat 13: “Siapakah diantara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.” Jadi terdapat satu lagi kualitas yang disebut, yaitu, kelemahlembutan. Apakah kelemahlembutan mengingatkan anda akan sesuatu? Ucapan Bahagia yaitu “Berbahagialah orang yang lemah lembut“. Delapan tambah satu menjadi sembilan. Sembilan! Ada berapa Ucapan Bahagia? Ada sembilan Ucapan Bahagia! Apakah jumlah yang sama ini hanya suatu kebetulan? Sangat menarik! Kita telah melihat bahwa ada rangkap-sembilan Buah Roh – rangkap-sembilan Buah Roh seperti yang ditulis Paulus dalam Galatia 5:22-23, dan sekarang kita mendapati itu juga terdapat dalam Yakobus. Demikian pula dalam Doa Bapa Kami, ada sembilan aspek. Sungguh luar biasa bukan!

Sebagaimana telah saya sebutkan, Ucapan Bahagia itu muncul dimana-mana, baik dalam surat Yakobus maupun dalam surat Paulus. Kita menemukannya berulangkali kesembilan Buah Roh itu. Dan disini, Yakobus menggambarkan hikmat dengan sembilan ciri, yang pada kenyataannya, sangat mirip dengan Ucapan Bahagia. Dan juga kita menemukan hubungannya dengan garam, yang mewakili hikmat rohani. Ini sangat menakjubkan – sungguh menakjubkan – firman Tuhan mempunyai struktur dan kekayaan bagi siapa yang mempunyai pengertian dan memperhatikannya. Setiap bagian firman Tuhan memperjelas yang lain dan memberikan wawasan yang baru tentang kualitas seorang murid. Kita dapat menjadikan semua ini pokok-pokok doa. Ini sungguh menakjubkan.


Garam melarut – binasa/mati untuk memenuhi fungsinya

Masih ada satu hal yang berkaitan dengan hikmat rohani. Bagaimana garam itu bekerja? Bagaimana garam berfungsi? Bagaimana garam melakukan pekerjaannya? Bagaimana garam dapat mencegah kejahatan, kerusakan moral, dan kemerosotan rohani? Bagaimana garam dapat melakukan semuanya ini? Nah, yang harus anda lakukan adalah mengambil garam dan melihat bagaimana garam itu bekerja. Saya tidak bicara tentang penelitian di laboratorium. Anda hanya perlu mengambil garam dan masukkanlah kedalam semangkuk sup, dan perhatikan. Apa yang terjadi? Garam itu akan hilang. Garam itu larut di dalamnya. Ini merupakan satu petunjuk bagi kita untuk memahami satu aspek penting dari sifat dasar garam, yaitu sifat dasar seorang murid dan apakah panggilan kita di dunia ini, yaitu menjadi garam dunia. Garam berfungsi hanya dengan satu cara: melarutkan diri, menghilangkan diri dan mati, dan sama seperti benih yang disebut dalam Yohannes 12:25, yang jatuh kedalam tanah dan mati agar menghasilkan banyak buah. Bagaimana dengan garam? Garam jatuh kedalam makanan, kedalam apa saja dan garam itu mati – larut – dengan demikian garam itu berguna.

Bayangkan jika anda membubuhkan garam kedalam makanan dan garam itu memutuskan bahwa ia tidak akan larut. “Tidak, kita akan tetap bersatu dan tidak akan larut” karena garam tersebut tidak mau kehilangan dirinya – tidak mau larut dan hilang dalam makanan – maka garam itu tidak dapat berfungsi. Satu-satunya cara ialah, garam harus larut dan kehilangan dirinya. Bagaimana dengan terang? Bagaimana terang berfungsi? Yang pasti terang berfungsi dengan memberi dirinya, dengan memancarkan sinarnya. Seperti yang telah saya sampaikan saat pertama kali, saat kita belajar tentang Khotbah di atas Bukit, saya telah menjelaskan bahwa pada dasarnya terang dan garam berfungsi dengan cara yang sama. Anda tahu lilin, lilin harus merelakan dirinya hangus terbakar untuk memberikan terang bagi seluruh ruangan. Lilin tidak selalu sama panjangnya. Untuk menerangi sekitarnya lilin harus merelakan diri untuk dibakar. Benar-benar terbakar sampai mati dan hilang semuanya.

Perhatikan bahwa itulah gambaran yang dipilih oleh Yesus untuk melukiskan kehidupan seorang murid. Ia berkata kamu adalah terang dan Yesus juga mengatakan bahwa lampu tidak diletakkan di bawah gantang. Minyak dibakar untuk menerangi sekitarnya. Garam larut dan binasa untuk menggenapi fungsinya. Benih jatuh kedalam tanah dan mati, hanya dengan cara ini benih itu dapat berbuah. Jika tidak, seperti yang Yesus katakan, ia akan tetap satu biji saja. Garam akan tetap dalam bentuk gumpalan garam. Garam itu tidak berguna. Tetapi jika garam itu ditaburkan, melarut dan memberikan dirinya, garam itu memenuhi fungsinya. Penting bagi kita untuk memahami hal ini.


Hikmat Rohani adalah memberi diri sendiri seperti Yesus

Bagaimana hikmat dari Allah berfungsi? Siapapun yang mengenal cara Allah bekerja akan mengetahui hal ini dengan cepat. Paulus mengatakan kepada kita tentang sifat dari hikmat Allah, di I Korintus 1:23-24:

“Tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan untuk orang-orang Yahudi suatu baru sandungan dan untuk orang-orang yang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah”.

Kami memberitakan” apa? “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan” – Kristus yang mati di atas kayu salib, Anak Allah yang memberikan dirinya bagi kita. Anak Allah yang binasa, mati, memberi dirinya disalib, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan” dan, “untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan“. Sepertinya memang kabar tentang suatu kebodohan: tentang seseorang yang mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan dunia. Kenyataannya, orang Yunani begitu terganggu dengan hal ini sehingga mereka menyerang orang Kristen dengan melukiskan karikatur keledai yang disalibkan, yaitu seseorang berkepala keledai disalibkan diatas kayu salib sebagai gambaran Kristus yang disalibkan. Injil merupakan suatu kebodohan bagi orang Yunani. Jelas, ini sebuah kebodohan! Pada ayat 24 dikatakan “Untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah“. Itu adalah hikmat Allah. Apakah menurut anda itu suatu kebodohan, sehingga anda melukiskannya sama seperti orang bodoh, atau keledai? Sesungguhnya, itulah hikmat Allah yang mengorbankan anak-Nya sendiri, mati diatas salib ketika kita masih “mati oleh pelanggaran” (Kol 2:13) dan dosa, “ketika kita masih seteru,” Paulus katakan di Roma 5:10, “Kristus telah mati bagi kita“. Itulah hikmat dari Allah. Kristus adalah hikmat Allah. Namun seperti apa Kristus itu? Ia memberikan dirinya dalam ketaatan kepada Allah untuk disalibkan. “Kristus disalibkan” – itulah pesan kita. Itulah hikmat Allah.

Kita telah membaca dalam Kolose 4:5-6 dimana dikatakan bahwa, “Hiduplah dengan penuh hikmat …… Hendaklah kata-katamu dibumbui dengan garam …..” Kita tahu apa artinya sekarang – perkataan kita harus dibumbui hikmat rohani! Biarlah seluruh perkataan anda dibumbui dengan hikmat rohani! Kita telah memahami lebih jauh. Yang dimaksud hikmat rohani adalah sikap rela memberi diri. Dalam setiap percakapan kita yang terpenting bukan apa yang saya dapatkan, tetapi apa yang saya berikan. Sebagai orang Kristen yang terpenting bukanlah apa yang kita dapatkan dari gereja, tetapi apa yang dapat kita berikan pada gereja. Pertanyaannya bukanlah “Apa gunanya aku bersekutu dengan orang-orang ini?” Bahkan saya sendiri, tidak mendapat apapun secara rohani di dalam persekutuan. Apa yang saya dapatkan? Jika saya tetap berpegang pada pemikiran ini, saya tidak akan bersekutu dengan siapapun, karena saya tidak mendapat apa-apa. Kebanyakan orang datang untuk bertanya dan minta nasihat kepada saya, jadi saya harus ‘memberi’ sepanjang waktu persekutuan itu. Pertanyaannya bukan apa yang saya dapatkan, tetapi apa yang dapat saya berikan. Karena jika kita hanya memikirkan apa yang kita dapatkan, kita tidak akan pergi kemanapun. Poinnya sangat sederhana: hikmat rohani adalah memberi diri, memberi dengan sukacita! Inilah hikmat Allah. Inilah kualitas dari hikmat Allah! Kita tahu sekarang kekayaan dari firman Tuhan. Apakah anda memahami firman Tuhan? firman Tuhan sangat sederhana! “Kamu adalah garam dunia”, dan anda mungkin bertanya “Apa lagi yang dapat dibicarakan?” firman Tuhan mempunyai makna yang sangat dalam bagi mereka yang mempunyai mata untuk melihat. Karena itu Yesus berkata “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar dengan teliti agar ia mengerti!”


Kita berhenti menjadi garam ketika kita bosan/lelah untuk memberi diri

Sekarang kita mulai memahami mengapa garam dapat menjadi tawar. Apakah anda dapat memahaminya sekarang? Anda tahu, memberikan seluruh diri setiap saat ini sangat bertentangan dengan sifat dasar manusia. Mengapa saya harus selalu memberi, memberi dan memberi? Saya lelah untuk memberi dan saya berkata, “Ini sudah cukup!” Saya akui dihadapan anda lebih dari sekali, juga dari waktu ke waktu pada tim pelatihan, bahwa saya berkata pada diri saya sendiri “Sepertinya aku telah cukup memberi. Aku telah cukup memberikan diriku; aku telah cukup memberikan waktuku; aku telah cukup memberikan uangku. Cukup. Sekali lagi cukup. Aku telah melakukan  bagianku. Aku telah memberikan yang terbaik, aku telah memberikan seluruh hidupku yang terbaik untuk melayani Tuhan!” Saat saya mengizinkan sikap itu menguasai diri saya, saat itulah garam berhenti menjadi garam, karena saya tidak rela lagi untuk melarutkan diri. Saya merasa, saya sudah cukup melarutkan diri. Sekarang saya akan hidup sesuai dengan keinginan saya, dan mengucapkan selamat tinggal pada semua orang. Saya akan melakukan apa yang saya suka. Seluruh waktu adalah milik saya. Sudah cukup bagi saya untuk melakukan semuanya ini. Saya dapat melakukan hal yang lebih baik dengan uang yang saya miliki daripada hanya memberi pada gereja setiap saat. Saya yakin banyak di antara saudara yang berpikir demikian, karena saya tahu banyak di antara saudara yang telah banyak memberi untuk pekerjaan Allah setiap tahun. Mungkin ada di antara anda yang merasakan apa yang saya rasakan sekali-sekali, “Rasanya cukup apa yang telah aku lakukan, sudah cukup apa yang telah aku berikan”.

Ketika kita mulai berpikir dengan cara yang demikian, kita akan menjadi tawar. Kita tidak berfungsi lagi sebagai garam. Kita tidak lagi mau larut. Karena itu Yesus berkata pada murid-muridnya: “Setiap orang yang mau mengikuti aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti aku.” (Lukas 9:23). Jika kamu tidak terus-menerus memikul salibmu setiap hari dan mengikut aku, kamu tidak dapat menjadi muridku”. Karena kamu akan berhenti memberi diri dan kemudian menjadi tawar. Garam itu menjadi tawar. Karena itu Yesus berkata : “Jika kamu ingin menjadi muridku, kamu memperhitungkan dengan teliti dulu harga yang harus dibayar.” Ia berkata, “Untuk menjadi Kristen, harga yang harus dibayar sangatlah tinggi. Sangat mahal untuk menjadi seorang murid. Lebih baik kamu menghitung dulu harganya.” Lebih baik kamu menghitung dulu harganya, dan memutuskan untuk tidak menjadi murid samasekali, daripada memutuskan menjadi murid dan akhirnya berhenti di tengah jalan dan berkata “Sudah cukup, aku tidak dapat melanjutkan”. Itu adalah satu tragedi, suatu penghinaan terbesar yang dapat anda lakukan terhadap nama Tuhan – bahwa kita memulai namun tidak dapat menyelesaikannya. Garam itu menjadi tawar. Itulah salah satu tragedi terbesar yang seringkali terjadi akhir-akhir ini.


Arti garam dalam Perjanjian Lama – persembahan dari hati yang murni

Dapatkah anda memahami garam melambangkan hikmat Allah yang mempunyai sifat memberi diri. Karena itu bukan hal yang mengherankan jika garam dipersembahkan bersama semua kurban persembahan. Kenyataannya, pada masa Perjanjian Lama tidak ada kurban yang bisa dipersembahkan kepada Allah tanpa diberi garam. Apa anda mengerti hal tersebut? Tanpa garam, kurban tersebut tidak akan diterima. Anda dapat membacanya di Imamat 2:13, dan juga pada banyak bagian lain dalam Perjanjian Lama. Setiap kurban harus disertai garam. Dengan kata lain anda tentu dapat memahami maknanya. Kurban  harus disertai kekudusan. Tidak ada gunanya mempersembahkan  satu persembahan secara eksternal kepada Allah yang tidak disertai makna rohani dari garam, yaitu anda memberi dirimu sementara anda mempersembahkan persembahan. Kalau tidak, seorang kaya dapat memberikan persembahan yang tidak berarti apa-apa baginya. Ia bisa mempersembahkan 100 ekor domba tanpa merasa apa-apa. Sedangkan bagi orang miskin, ia hampir tidak dapat mempersembahkan seekor burung dara atau merpatipun, karena harganya terlalu mahal bagi mereka. Jadi sesungguhnya bukan masalah jumlah yang diberikan. Jika jumlah yang lebih utama, akan lebih menguntungkan bagi orang kaya dibanding orang miskin yang tidak punya apa-apa. Bukan jumlah yang terpenting! Bukan apa yang kamu berikan, tetapi bagaimana anda dapat memberikan diri anda sendiri melalui persembahan itu. Kalau tidak, anda belum memberikan apapun. Segala sesuatu yang dipersembahkan harus kudus, demikian pula jika kita mau mempersembahkan diri kita, kita harus kudus, suatu pemberian yang  murni, suatu pemberian seperti yang dikatakan Yakobus (Yak 3:17) “Hikmat dari atas pertama-tama adalah murni“.

Jika kita bicara tentang kemurnian, tentu anda ingat apa yang telah saya katakan sebelumnya tentang hubungan antara Ucapan Bahagia dan Doa Bapa Kami. Saya telah mengatakan bahwa ada satu butir dalam Doa Bapa Kami yang mempunyai posisi yang berbeda. Ia meletakkan hati yang suci di tempat yang pertama. Apakah anda memperhatikan hal pertama yang Yakobus katakan tentang hikmat? “Hikmat dari atas pertama-tama adalah murni …..”  Kemurnian di hati! Kesetiaan dan ketetapan hati! Sebagai hamba Allah, Yakobus sangat memahami pesan Tuhan. Hamba-hamba Allah, dan para rasul sangat memahami ajaran Yesus. Dan Yakobus, saudara Yesus, juga tidak melewatkan poin tersebut. Yang paling penting adalah kemurnian. Jika kita kehilangan kemurnian hati, saat kita mulai berkompromi dengan daging, dengan kepentingan kita sendiri, dengan dunia, kita mulai menjadi tawar. Semuanya hilang. Karena itu diperlukan perhatian yang tidak terbagi-bagi. Komitmen yang murni ini tidak bisa berubah. Saat itu berubah, anda akan kehilangan segalanya dan tidak berguna lagi. Anda akan dibuang dan diinjak orang.


Kita menjadi tawar, kita mau larut

Kita telah sampai pada poin terakhir, dan kita perlu memahami hal ini dengan sebuah pertanyaan yang sangat penting : “Bagaimana garam menjadi tawar? Apa yang menyebabkan ini terjadi? Maksud saya hanya mengetahui bahwa garam dapat menjadi tawar sudah cukup penting, namun akan lebih membantu lagi jika kita tahu apa hal-hal yang harus kita waspadai agar kita tidak menjadi tawar. Apa yang menyebabkan kita berhenti menjadi murid-murid Kristus? Menurut saya ada satu poin yang telah kita ketahui: garam yang tidak lagi rela melarutkan diri. Tetapi banyak orang Kristen, ketika mereka menjadi Kristen tidak pernah diberitahu terlebih dulu bahwa kehidupan Kristen adalah seperti itu.  Berbeda dengan ajaran Yesus, saat ini banyak pendeta dan penginjil yang mempunyai kepentingan pribadi dalam menyembunyikan fakta ini dari anda. Seringkali saya katakan, seorang penginjil dengan mudah berkata: “Datanglah pada Yesus dan kamu akan memperoleh damai, sukacita dan semuanya ini.” Yesus tidak berkhotbah seperti itu. Saya bersyukur karena Yesus tidak berkhotbah seperti itu. Yesus tidak memperdaya kita untuk menjadi muridnya dan kemudian saat kita termakan umpan untuk menjadi muridnya, setelah kita menanda tangan, setelah kita mengangkat tangan, setelah kita terperangkap, setelah ditangkap disitu, lalu ia berkata, “Sekarang kamu tidak dapat melepaskan diri” Yesus sama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Tidak seperti itu! Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu dengan jujur, jika kamu tidak memikul salibmu, siap mati terhadap diri sendiri dan mau melarutkan diri, kamu tidak dapat menjadi muridku”.

Saya akan tetap berusaha untuk berkhotbah seperti itu. Mungkin itu tidak menarik banyak orang. Orang banyak tidak suka mendengar tentang memberi-diri dan kematian dan hal-hal seperti itu, tetapi Yesus tidak berusaha untuk menarik orang banyak. Ia tidak pernah berusaha menarik banyak orang. Justru karena banyak orang berduyun-duyun mengikut dia, Yesus berpaling dan berkata kepada mereka “Setiap orang yang mau mengikut aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut aku. Aku mengatakan ini langsung dari awal.” (Mat 16:24; Mark 8:34: Luk 9:23; 14:27)

Banyak penginjil yang tidak jujur dengan berkata “datanglah dan kamu akan memperoleh damai dan sukacita.” Mereka tidak mengatakan kail yang tersembunyi. Kita menelan umpan itu tanpa menyadari ada kail didalamnya. Kita menelannya dan kita tertangkap. Tetapi sayangnya kita bukan ikan. Kita dapat melepaskan diri dari kail itu. Dan kemudian kita mendapati, sebagaimana lazimnya, mayoritas dari orang-orang yang telah meresponi ‘altar-call’ berpaling dari Tuhan begitu saja. Inilah mayoritas yang telah hilang. Mengerikan! Merekalah orang-orang yang meresponi saat mengikuti camp dan kebaktian kebangkitan rohani. Ini merupakan sesuatu yang mengerikan: kegagalan untuk memberitakan kebenaran. Tidak! Tidak! Yesus tidak menyembunyikan apa-apa. Kita telah melihat mengapa dia berbuat demikian. Karena ia tahu kalau kita tidak memahami hal ini dengan benar dan menghitung harganya terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk mengikut dia, kita akan tersesat.


Penyebab-penyebab kita menjadi tawar

1) Gagal menghitung harga sehingga kita berbalik dari komitmen kita

Poin ini dapat kita temukan dalam Injil Lukas pasal 14. Mari kita buka kembali, pasal yang telah kita baca sebelumnya, Lukas 14:34-35, dan dalam pasal tersebut kita dapat melihat mengapa garam menjadi tawar. Di bagian terakhir dikatakan, “garam memang baik.” Ini berarti garam itu berguna, bernilai, dan berharga. Selain itu dalam Apokrip juga terdapat pernyataan yang mengatakan bahwa garam memang baik. Mengapa dikatakan demikian? Apa artinya? Itu berarti garam penting bagi kehidupan manusia.

Dalam Apokrip, yang ditulis kira-kira 200 tahun sebelum kedatangan Yesus, dalam kitab Yesus bin Sirakh, tertulis:

“Kebutuhan pokok untuk hidup manusia ialah: air, api, besi dan garam, terigu dan susu serta madu, air anggur, minyak dan pakaian. Semuanya itu teruntukkan bagi orang takwa sebagai barang yang baik, tepat sebagaimana menjadi buruk bagi orang berdosa.” (Sir 39 : 26)

Butir ini sangat menarik. Apa yang baik bagi orang benar menjadi buruk bagi orang yang berdosa. Sebagai contoh, air sangat berguna bagi orang benar tetapi menjadi banjir bagi orang berdosa. Api berguna untuk memasak tetapi api yang sama dapat menghanguskan rumah orang berdosa bahkan memakar orang-orang jahat dalam peperangan. Besi tentu bermanfaat bagi kita karena tanpa besi kita tidak dapat memasak, tetapi selain itu besi juga dapat digunakan sebagai pedang untuk memotong orang jahat, maupun sebagai alat bagi orang jahat untuk saling membunuh, dan seterusnya. Demikianlah jadinya jika barang yang baik dari Allah disalahgunakan.

Jadi apa yang dikatakan dalam Lukas 14:34 “garam memang baik” berarti bahwa garam berguna dan penting bagi kehidupan manusia. Seperti yang dikatakan dalam Sirakh 39:26 “garam adalah kebutuhan pokok untuk hidup manusia”. Di antara orang Tionghoa, kita juga berbicara tentang kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia, yaitu bahan bakar, beras, minyak dan garam. Ada empat hal yang terpenting dalam kehidupan orang Tionghoa  dan salah satunya adalah garam seperti yang tertulis dalam Apokrip. Mari kita melihat konteks Lukas 14 apa yang menyebabkan garam menjadi tawar.

Apa yang dikatakan oleh Lukas 14:25-27?

“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Sambil berpaling ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi muridku.”

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, semua ini berhubungan dengan garam. Dalam ayat 28-30:

“sebab siapakah diantara kamu yang kalau mau mendirikan rumah tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya kalau ia sudah meletakkan dasarnya, dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang melihatnya, mengejek sambil berkata : orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.”

Dengan kata lain: ia adalah orang bodoh. Mereka mengejeknya. Dia bodoh. Ia membangun tetapi tidak dapat menyelesaikannya. Garam telah menjadi bodoh. Pada mulanya ia adalah garam, tapi pada akhirnya ia bukanlah garam. Ia pernah menjadi garam, tetapi sekarang ia bukan lagi garam. Bukan berarti sekali garam akan tetap menjadi garam. Garam itu telah menjadi tawar dan tidak dapat diasinkan lagi. Garam itu telah menjadi bodoh dan semua orang mengejeknya dan berkata, “Orang ini mulai tetapi tidak dapat mengakhiri.”

Selain digambarkan seperti orang yang membangun rumah, kehidupan rohani juga dapat digambarkan seperti orang yang sedang berperang.  Kita dapat membacanya dalam ayat 31-33

“atau raja manakah yang kalau mau pergi berperang tidak duduk dahulu dan mempertimbangkan apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang diantara kamu yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya tidak dapat menjadi muridku.”

Itulah yang Yesus ajarkan kepada kita, tidak seperti penginjil-penginjil zaman ini.

Karena itu garam memang baik. Perhatikan ayat 34. Ada hal yang menarik dalam ayat ini. Sekali lagi ada terjemahan yang kurang tepat di sini, seharusnya ayat ini diawali dengan “karena itu”. Ayat 34 seharusnya berbunyi “karena itu garam memang baik.” Penterjemah telah meniadakan kata “karena itu” yang ada dalam naskah asli, dan ini tidak dapat dibenarkan. “Karena itu garam memang baik…..” Dengan meniadakan kata “karena itu”, kita kehilangan hubungannya. Jika anda hanya membaca dalam bahasa Indonesia, anda tidak tahu bahwa ayat 34 berhubungan langsung dengan ayat sebelumnya. Mereka bukan ucapan yang terpisah. Ia dihubungkan secara langsung dengan semua ayat-ayat yang telah kita baca tadi oleh kata “karena itu”. “Karena itu garam memang baik.” Sangat baik menjadi garam. Sangat baik jika mempunyai garam. Namun jika garam itu menjadi tawar, ini sama dengan orang yang memulai sesuatu yang baik tetapi mengakhirinya dengan hal yang buruk. Ia mulai membangun, dan itu baik! Namun dia tidak dapat menyelesaikannya, karena itu, ia bodoh. Ia memulai suatu perjuangan demi kebenaran. Ia pergi berperang tapi kemudian ia berpikir bahwa ia tidak mungkin menang.  Karena itu ia memutuskan untuk menyerah. Ia bodoh karena menyerah berarti sekarang anda menjadi tawanan. Anda menjadi hamba kepada tuan yang baru. Anda telah kehilangan kemerdekaan anda – kemerdekaan untuk berjuang demi kebenaran.

Jadi kita dapat melihat hubungannya dengan segera dan memahami poin yang pertama. Garam itu menjadi tawar justru karena garam itu telah berpaling dari komitmennya yang semula. Ia mulai membangun dan kemudian memutuskan untuk berhenti dan tidak menyelesaikannya karena biaya yang terlalu tinggi, dan berkata, “Aku akan berhenti disini.” Ia berpaling dari komitmennya yang semula. Sebagaimana Petrus mengingatkan kita dalam 2Petrus 2:22, orang ini seperti anjing yang kembali lagi ke muntahnya dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya. Petrus mengingatkan kita jika kita mengawali sesuatu dengan baik dan mengakhirinya dengan buruk, maka akhirnya keadaan kita lebih buruk dari pada yang semula [ayat 20]. Ini berarti lebih baik jika anda tidak memulai samasekali dari pada memulai dan berakhir dengan buruk. Anda memulai dan menyelesaikan sampai akhir atau jangan anda memulai sama sekali. Karena itu anda harus menghitung harganya terlebih dahulu. Itulah yang seringkali saya katakan pada orang yang ingin menerima baptisan, “Janganlah anda dibaptis sampai anda tahu dan benar-benar memahami apa yang anda lakukan. Jika tidak, saya tidak akan mengijinkan anda untuk dibaptis, demi kebaikan anda. Bukan demi kebaikan saya; demi kebaikan anda lebih baik jangan memberikan diri dibaptis sehingga anda benar-benar memahami makna komitmen dan anda rela bertahan sampai pada kesudahannya.”

Jadi, pertama kita melihat bahwa kita harus bertahan sampai pada kesudahannya, satu komitmen yang total tanpa mempertahankan apa-apa. “Total” berarti seluruh hidup kita,  tidak hanya 2 tahun yang berikut atau 2 bulan yang berikut. Jika anda hanya berniat untuk menyerahkan hidup anda untuk menjadi Kristen untuk dua bulan yang berikutnya, lupakan saja! Jika untuk dua tahun berikutnya, lupakan saja juga! Serahkan seluruh hidup atau tidak sama sekali. Jangan menoleh kebelakang! “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh kebelakang, tidak layak untuk kerajaan Allah.” (Lukas 9:62). Seperti pepatah Tionghoa yang mengatakan, kita harus memecahkan pot itu; kita harus menenggelamkan perahu kita. Dan dalam bahasa Inggris juga ada pepatah yang mengatakan, “bakarlah jembatan dibelakangmu.”


2) Jatuh dalam dosa

Apa lagi? Apa lagi yang menyebabkan garam menjadi tawar? Poin yang kedua terdapat dalam Markus 9. Dalam Markus 9, kita dapat melihat dari konteksnya apa yang menyebabkan garam menjadi tawar. Yesus tidak meninggalkan kita dalam kegelapan. Bagian terakhir dari Markus 9 berkaitan dengan poin ini. Perhatikan Markus 9:50

“Garam memang baik tetapi jika garam menjadi hambar dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam didalam dirimu, dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”

Nah, jika Yesus seringkali mengulangi suatu pengajaran yang tertentu, itu berarti pengajaran itu sangat-sangat penting. Di sini kita tahu bahwa peringatannya tentang garam menjadi tawar itu sangat penting karena itu ditekankan berulang kali. Bagaimana kita dapat memahami hal ini? Apa konteksnya?

Mari kita membaca Markus 9:42 untuk mendapatkan seluruh konteksnya.

“Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut. Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka; Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam.”

Kemudian Yesus langsung berbicara tentang garam: “Karena setiap orang” – perhatikan kata penghubung “karena” yang menghubungkan ayat tentang garam dengan ayat-ayat sebelumnya, –

“Karena setiap orang akan digarami dengan api, garam memang baik tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya?”

Bagaimana anda akan memulihkan garam itu?

Apa yang menyebabkan garam itu menjadi hambar? Alasan yang kedua sangat jelas bagi kita. Yaitu jatuh dalam dosa, mengizinkan diri sendiri untuk jatuh dalam pencobaan. Karena itulah Yesus mengajar kita berdoa: “Janganlah membawa kami kedalam pencobaan tetapi jauhkanlah kami dari pada yang jahat.”  [Mat 6:13] Janganlah membawa kami kedalam pencobaan — pencobaan untuk berdosa! Karena jika pencobaan membuat anda lemah dan jatuh dalam dosa, anda akan menjadi hambar. Saya ingatkan lagi, garam yang menjadi hambar akan dibuang dan diinjak orang seperti yang dikatakan oleh Yesus. Tiga kali Yesus mengingatkan pada kita tentang api neraka. Jika tanganmu menyesatkan, penggallah tangan itu. Lebih baik masuk surga dengan satu tangan, daripada masuk ke dalam neraka dengan dua tangan.

Saya pernah mengkhotbahkan pasal ini dan telah menunjukkan pada anda, tentu saja masalah dosa tidak dapat dituntaskan hanya dengan memotong tangan. Dosa timbul dari dalam hati. Tapi disini adalah gambaran yang dramatis untuk menunjukkan betapa pentingnya  mengambil tindakan drastis, jika diperlukan, untuk memotong segala sesuatu yang memungkinkan kita jatuh kedalam dosa. Potonglah dan buanglah apapun itu. Jika persahabatan anda dengan seseorang membuat anda jatuh dalam dosa, putuskan saja! Jika keinginan dan ketamakan akan kekayaan materi memimpin anda kedalam dosa, buanglah kebiasaan itu. Jika untuk mendapatkan uang, anda selalu berjudi, atau apapun itu, jika hal itu membuat anda berdosa, tinggalkan kebiasaan itu. Dan katakan “aku tidak akan memandang hal itu lagi.” Jika anggur memimpin anda untuk berbuat dosa, membuat anda mabuk dan terhina karena dosa, buanglah kebiasaan itu. Buanglah! Lebih baik membuang kebiasaan itu dari pada anda masuk neraka.

Persoalan ini berkaitan dengan kelangsungan hidup. Itulah sebabnya kita tidak boleh bermain-main. Sebagai contoh, jika anda mempunyai seorang sahabat, baik laki-laki atau perempuan, jika persahabatan itu membuat kehidupan rohani anda semakin merosot, putuskan saja! Anda tidak boleh kehilangan hidup kekal. Anda boleh kehilangan seorang sahabat; anda tidak boleh kehilangan hidup kekal. Harganya terlalu mahal. Jadi disini, dari konteks kita diberitahu dengan jelas apa artinya garam menjadi tawar. Kita tidak berani jatuh dalam dosa. Kita tidak mampu menikmati kemewahan itu. Karena jika kita membiarkan diri jatuh dalam dosa, kita harus membayar dengan harga yang mahal.


3) Gagal bertahan sampai kesudahan, lalu roboh dalam penganiayaan

Kita sampai pada pertanyaan terakhir. Apakah penyebab ketiga yang harus kita waspadai? Apakah bahaya yang ketiga? Mari kita kembali ke Matius 5 dan melihat konteksnya. Apa konteks yang terdapat dalam Matius 5? Konteksnya dapat ditemukan dari ayat 11. Dalam ayat tersebut kata “kamu” menjadi petunjuk bagi kita. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela… Kamu adalah garam dunia.” Kata ‘kamu’ yang muncul dua kali memberikan satu petunjuk. Apakah itu? Dalam kasus ini, kita tidak jatuh dalam dosa tetapi kita ditekan dengan adanya berbagai macam bentuk penganiayaan. Itu bukanlah sesuatu yang kita cari, tetapi sesuatu yang datang kepada kita. Jadi di sini kita mendapati perlunya untuk kita bertekun dalam tekanan, bertekun dalam penganiayaan. “Hanya orang yang bertahan sampai pada kesudahannya” – perhatikan ungkapan ini yang muncul dua kali – “akan diselamatkan”. Ini ungkapan yang sangat istimewa, yang muncul dua kali, pertama di Matius 24:13 dan sebelumnya di Matius 10:22, yang menekankan perlunya untuk bertahan sampai pada kesudahannya, khususnya karena tekanan yang dikenakan keatas kita sebagai orang Kristen. Sangat penting bagi kita berpaut pada Tuhan dalam kesulitan apapun. Kita dipersatukan dengan Tuhan melalui sebuah perjanjian, bukan hanya dalam keadaan baik, tetapi juga saat kita dalam keadaan buruk, seperti penganiayaan, saat kita dimuliakan maupun saat kita direndahkan, saat berada dalam kelimpahan maupun dalam kekurangan, dalam kemiskinan. Apapun yang kita hadapi, kita tetap berpaut pada Tuhan.

Seharusnya itulah sikap kita! Namun ada banyak orang Kristen yang bersedia menjadi orang Kristen saat semuanya menyenangkan, cuaca cerah dan baik, seperti halnya dengan Kanada. Dan saat mereka kembali ke Hongkong, mereka mengalami banyak tekanan. Mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan. Anggota keluarga berbalik melawan mereka. Kesehatan mereka turun. Dibawah tekanan seperti ini, pencobaan seperti ini, dan penganiayaan seperti ini, mereka jatuh. Seperti benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, dalam Perumpamaan Seorang Penabur, saat matahari terbit diatasnya, apa yang terjadi? Ia layu. Benih itu layu. Benih itu tidak dapat bertahan. Ia tidak dapat bertumbuh. Benih itu mati. Garam menjadi tawar.


Ringkasan dan kesimpulan

Jadi sekarang, marilah kita meringkaskan tiga hal penting yang telah kita bahaskan.

Pertama, kita telah melihat bahwa kita bisa menjadi tawar karena komitmen yang tidak total. Berarti, ketika anda melakukan komitmen anda, anda tidak melakukannya secara total. Anda tidak menyerahkan diri dengan sepenuh hati dan tidak menyerahkan seluruh hidup anda, dalam suatu komitmen tanpa syarat kepada Allah. Karena itu fondasi kehidupan Kristen kita sangat lemah dari semula.

Hal yang kedua adalah mengizinkan dosa untuk mencobai kita. Orang Kristen akan sentiasa dicobai untuk berbuat dosa. Siapa di antara kita yang tidak pernah dicobai? Saat saya pertamakali menjadi orang Kristen, saya dicobai dengan berat dengan pelbagai cara –  baik dalam hubungan persahabatan dengan teman wanita atau dalam keadaan yang lain. Saya dicobai dengan berat, dan mudah jatuh dalam pencobaan. Kesempatan untuk jatuh kedalam dosa muda-mudi sangatlah besar pada masa kini. Sangat berbahaya! Seringkali kita mempunyai kamar sendiri, bahkan ketika kita masih belajar, dan setiap kesempatan diberikan untuk jatuh kedalam dosa. Di sinilah ketahanan rohani kita dipertaruhkan. Jika kita memahami poin kedua ini, kita akan meninggalkan segala hal yang menyebabkan kita berdosa.

Saya pernah memutuskan hubungan dengan seorang pacar, karena hubungan itu mengancam kesejahteraan kekal saya dan juga dia. Tindakan tersebut memang menyakitkan, karena saya harus mengatakan padanya, “Semua hubungan di antara kita telah selesai.” Itu membuat saya patah hati, itu juga membuat dia patah hati. Pengalaman yang benar-benar menyakitkan bagi saya, menyebabkan saya tidak mau berhubungan dengan gadis yang lain  untuk selama beberapa tahun. Saya tidak mau berbicara dengan seorang gadis pun. Saya melarikan diri setiap kali saya melihat seorang wanita. Saya menjaga jarak terhadap mereka sehingga sangat menggelikan. Saya tidak akan mendekati mereka sama sekali. Semua orang di sekolah Alkitab mengenal saya dan menganggap saya gila karena saya tidak mau berbicara dengan gadis manapun. Di dalam kelas kami duduk di satu meja yang sama, setiap meja ada 6 orang laki-laki dan perempuan, dan saya tidak pernah berbicara dengan perempuan. Saya tidak pernah memulai percakapan. Jika mereka mengatakan sesuatu pada saya, saya akan memberi jawaban sesingkat mungkin dan segera mengakhiri percakapan. Pengalaman pahit yang saya alami membuat rasa takut itu terus berkembang dalam diri saya. Namun hal itu harus dilakukan, meskipun rasa sakit itu sama seperti jika saya memotong tangan kanan saya, kaki atau mencungkil mata saya. Tapi itulah yang harus dilakukan karena hubungan itu mengancam kehidupan rohani saya. Jika saya tidak meninggalkan semua itu, saya tidak akan berada disini saat ini. Karena garam itu akan menjadi tawar. Saya tidak menyalahkan pacar saya. Saya hanya berdoa agar dia tetap bertumbuh dalam imannya dan saya mendengar bahwa dia masih tetap setia kepada Tuhan. Dan saya bersyukur kami memutuskan hubungan itu, karena jika tidak, tentu kami berdua mungkin akan undur dari hadapan Allah.

Yang ketiga adalah tetap bertekun dalam kesulitan, bertekun dalam tekanan, setia sampai pada kesudahannya didalam segala keadaan, baik maupun buruk. Terkadang keadaan yang baik sama bahayanya dengan keadaan yang buruk. Untuk beberapa orang, mereka tetap setia di saat-saat yang sulit; mereka sangat setia dalam kesusahan. Tetapi saat mereka mengalami saat-saat yang menyenangkan, mereka berubah dan menjadi sesat. Garam itu telah berubah. Tapi ada orang yang setia disaat yang menyenangkan, tetapi ketika mereka mengalami masa sulit, mereka murtad di bawah tekanan. Sangat aneh! Apapun kelemahan anda, anda harus mengetahuinya dan berusaha untuk tetap setia sampai pada kesudahannya.

 

Berikan Komentar Anda: