Beverly Low |
Besar dan tumbuh di dalam Gereja
Kesaksian saya mau tidak mau terhubung dengan kesaksian orang tua saya, karena melalui mereka saya memiliki kesempatan untuk besar dan tumbuh di dalam gereja. Ayah saya diperkenalkan dengan Gereja CDC Singapura pada masa dirinya masih pemuda. Dia menghadiri ibadah di gereja dan dibaptis, tetapi ketika beliau bertemu ibu saya yang pada masa itu belum percaya, beliau meninggalkan gereja. Namun, Allah membawa mereka kembali melalui pandemi SARS di tahun 2003. Saat pandemi SARS itu, semuanya terhenti dan orang tua saya tidak dapat bekerja. Keadaan yang tiba-tiba membuat mereka memiliki sangat banyak waktu luang, mereka mulai menanyakan apa arti hidup ini. Dengan kehausan akan firman Tuhan sambil mendengarkan khotbah-khotbah Pastor Eric yang ada di website, Allah mengatur di mana mereka dapat dengan kebetulan bertemu dengan seorang saudari dari gereja dan di mulai dari saat itu, mereka kembali datang ke gereja yang membuat saya besar dan tumbuh di gereja. Saya selalu menganggap sekolah Minggu seperti sekolah pada umumnya. Saya sangat serius dan fokus, mendengarkan guru-guru dan rajin mencatat. Sebagian besar mungkin karena natur kompetitif saya dan ingin berhasil dalam segala hal yang saya kerjakan, tetapi di lain pihak, saya juga merasa bahwa jika mengikuti Tuhan adalah hal yang benar untuk dilakukan, saya ingin melakukan hal yang benar. Saat saya bertumbuh besar, ibu saya selalu menjadi penuntun terbesar dalam hidup saya. Beliau akan memupuk saya dan menggunakan setiap kesempatan untuk mengajarkan saya sesuatu, membawa perhatian saya kembali pada Tuhan atau firman-Nya. Dengan pengaruhnya dalam hidup saya, saya secara perlahan dapat mengalami Tuhan secara pribadi melalui mimpi-mimpi dan doa-doa.
Satu mimpi yang masih saya ingat dengan jelas adalah ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, keluarga saya suka duduk-duduk di dekat kolam renang untuk mengamati bintang-bintang setelah makan malam. Besar kemungkinan karena hal ini, suatu hari saya bermimpi saya sedang mengamati bintang-bintang di samping kolam renang dan tiba-tiba ada dua bintang terang yang mengarah ke atas dan ke bawah di langit malam. Kemudian, suatu cahaya terang menghampiri ke lantai dekat saya dan tiba-tiba banyak orang berkumpul. Saya ingat ada seorang laki-laki di depan dan semua orang berkerumun di sekitarnya, tetapi kami semua tidak dapat berbicara. Terbangun dari mimpi itu, saya berpikir kalau itulah yang akan menjadi cara kedatangan Yesus yang kedua dan menjadi lebih yakin tentang kebenaran akan Tuhan dan Alkitab. Sebagai hasilnya, saya terus membaca firman Tuhan, berdoa dan bersaat teduh dengan lebih konsisten.
Memutuskan untuk dibaptis
Ketika saya berusia 15 tahun, Pastor Catherine (dari Gereja CDC Singapura) menanyakan jika saya tertarik untuk mengikuti Pelatihan Komitmen Total (CT), sebuah pelatihan yang fokus pada arti dari baptisan. Saya merasa pemilihan waktu pertanyaan itu ditanyakan kepada saya sangatlah tepat karena sebenarnya saat itu saya juga sedang berpikir untuk mengikuti pelatihan, dan saat itu juga saya memutuskan untuk mengikuti CT.
Setelah menyelesaikan CT, saya merenungkan tentang apa yang telah Allah kerjakan dalam hidup saya untuk membawa saya kepada-Nya. Saya melihat Allah telah merencanakan banyak hal di sepanjang jalan saya untuk mengenal-Nya. Sebagai contoh, bagaimana orang tua saya dapat datang ke gereja, bagaimana saya dapat bersekolah di sekolah dasar Katolik dan sekolah menengah Kristen dan bagaimana saudara-saudari di gereja sekaligus orang tua saya dapat mengajarkan saya dan selalu mengingatkan saya akan Tuhan. Hal itu membuat saya baru menyadari betapa tante-tante dan om-om di gereja sangat mengasihi saya, dan saya menyadari bahwa hal itu adalah kasih Allah yang ditunjukkan kepada saya melalui mereka. Saat itu, saya menyadari Allah seperti layaknya seorang kekasih, yang mengejar saya tanpa lelah dan saya ingin meresponnya dengan dibaptis.
Namun, saya sungguh terkejut karena orang tua saya terlihat tidak terlalu setuju. Mereka merasa pengetahuan yang saya miliki tentang Tuhan hanyalah pengetahuan yang bersifat intelektual dan seharusnya saya terlebih dahulu mengalami Tuhan dengan lebih lagi. Namun, saya sangat keras kepala dan bersikeras lalu lanjut memberitahu para pastor dan diwawancara untuk baptisan. Namun, saya ingat di hari saya akan diwawancara, saya memiliki sesuatu hal setelahnya sehingga wawancaranya dilakukan secara terburu-buru saat makan. Akhirnya baptisan tidak menjadi hasil akhirnya.
Inilah kali pertama saya menyadari jika saya suka berlari mendahului Allah dan memiliki semangat yang tidak sabar, ingin agar semua hal cepat selesai. Sudah tentu, Allah tidak berhenti disitu dan tidak menyerah terhadap saya dan saya mengalami Tuhan lebih lagi saat saya duduk di bangku SMA. Saat SMA, saya bergabung dengan kegiatan klub/ekstrakurikuler yang bernama Primers, yang mengajarkan anak laki-laki di boy’s brigade dan saya termasuk dalam anggota dari komite Pendidikan Kristen. Sebagai anggota dari komite, saya harus menyiapkan bahan pemahaman Alkitab dan memimpin pujian hampir setiap 2 minggu sekali. Saya masih ingat di penghujung tahun kedua saya di SMA, saya sangat stres dan lelah dengan pekerjaan sekolah dan banyak kegiatan yang berbeda-beda dari berbagai macam aktivitas. Saya juga berkata kepada diri saya sendiri, “Bagaimana saya dapat mengenalkan Allah kepada orang lain, memimpin pemahaman Alkitab di sekolah ketika saya saja belum menyerahkan hidup saya kepada Allah? Bagaimana orang lain dapat diyakinkan dengan apa yang saya bagikan?” Itulah saat saya memutuskan untuk memikirkan kembali komitmen saya kepada Allah.
Pada saat itu, klub Primers mengadakan sebuah retret dan selama retret itu seseorang berdoa untuk saya. Orang ini mendoakan bagian pertama dari 1 Yohanes 4:18 (“Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Sebaliknya, kasih yang sempurna membuang ke luar ketakutan”) yang menegur saya dengan keras dan saya menjadi sangat emosional. Saya merasakan saya benar-benar hancur di hadapan Tuhan. Selama ini saya merasa saya harus mengendalikan segala sesuatu termasuk diri saya sekaligus memenuhi ekspektasi-ekspektasi, tetapi sebenarnya Allah tidak memerlukan saya untuk melakukan hal itu, Dia siap untuk menerima saya, yang hancur dengan banyak kegagalan dan kelemahan. Inilah pelajaran berikutnya yang saya pelajari, untuk bersandar kepada Allah dan bukan pada kekuatan saya sendiri.
Bersamaan dengan dengan hal ini, saya benar-benar merenungkan tentang baptisan. Saya ingat satu khotbah di gereja — saya tidak dapat mengingat isi khotbahnya, tetapi pesan yang saya dapat saat itu adalah kita seharusnya tidak menjadi terlalu sibuk, karena kita tidak akan punya waktu untuk Tuhan. Kita perlu belajar untuk merelakan kegiatan-kegiatan kita yang lain supaya dapat memiliki waktu untuk berdiam diri di hadapan Allah. Hal ini sangat berbicara kepada saya karena di saat itu saya memiliki 4-5 kegiatan lain di samping sekolah. Setelah khotbah hari Minggu tersebut, saya menghampiri beberapa orang dan mengundurkan diri dari beberapa kegiatan saya, menyadari bahwa kegiatan-kegiatan tersebut menyita waktu saya terlalu banyak dan kegiatan-kegiatan itu sejujurnya tidak dilakukan untuk Tuhan. Mengundurkan diri dari beberapa kegiatan tersebut dan menyediakan lebih banyak waktu, saya tahu bahwa saya telah siap untuk menyerahkan hidup saya dan saya dibaptis di awal tahun ketiga saya di SMA di tahun 2018.
Baptisan hanyalah permulaan semata
Seumpama semua dongeng yang berakhir dengan “akhir yang bahagia”, saya berpikir baptisan saya akan seperti itu. Saya mengalami suatu damai yang sangat dalam dan kehadiran Tuhan sepanjang baptisan saya dan saya berpikir inilah hidup baru saya dan akan demikian terus adanya.
Namun sudah tentu, setelah baptisan datanglah pencobaan. Sebelum saya menceritakan tentang pencobaan ini, izinkan saya untuk menekankan apa yang telah saya pelajari:
Baptisan hanyalah tahap pertama menuju sebuah perjalanan hidup panjang untuk bertumbuh dan menjadi dewasa. Kita mungkin khawatir bahwa kita tidak menjadi cukup baik untuk dibaptis, tidak siap untuk menjadi seorang Kristen. Saya berpikir kita tidak akan pernah siap dan kita tidak akan bisa menjadi baik dengan usaha kita sendiri. Memutuskan untuk dibaptis berasal dari kesadaran betapa Allah mengasihi kita dan ingin memanggil kita. Di pihak kita, kita hanya ingin merespon panggilan-Nya dan mengasihi-Nya kembali, sangat persis dengan sebuah hubungan. Kita ingin merespon dan menyenangkan-Nya dengan bertumbuh menjadi seperti Kristus, dan hal ini hanya dapat kita lakukan melalui anugerah Allah.
Untuk memberikan beberapa konteks tentang pencobaan yang saya hadapi, pada tahun saya dibaptis merupakan tahun yang sangat kacau. Itu adalah periode waktu yang sangat stres untuk saya, pada tahun itu saya akan menghadapi ujian terpenting di SMA, memiliki beberapa konflik dengan teman-teman saya dan insiden terbesar tahun itu adalah salah satu dari teman saya bunuh diri. Saat itu merupakan titik terendah saya baik secara mental maupun emosional. Melihat ke belakang sekarang, saya dapat melihat kalau Iblis tidak mencobai kita dengan terang-terangan menyuruh kita melakukan sesuatu yang jahat, tetapi sebaliknya, Iblis mengatur berbagai macam situasi yang membuat kita selangkah demi selangkah melangkah menuju arah yang salah. Keputusan salah yang saya lakukan saat itu adalah terlalu bersandar secara emosional kepada teman sekelas saya yang pria selama semua kejadian-kejadian buruk ini. Lalu, seiring waktu, kami memiliki perasaan terhadap satu sama lain.
Namun, masalahnya adalah dia bukanlah seorang Kristen. Bukannya saya menjaga jarak darinya, selama beberapa bulan saya malah menjadi sangat keras kepala dan yakin bahwa saya dapat menjadikan dia orang percaya, dan saya seharusnya tidak menyerah, meyakini bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Saya akan salah mengartikan tanda-tanda dan ayat-ayat sesuai dengan cara pemikiran saya dan karena itu percaya bahwa apa yang saya ingini itu adalah kehendak Allah. Jauh di dalam hati saya, saya tahu kalau Roh Kudus telah mengingatkan saya karena saya tidak memiliki damai. Syukurlah, setelah menghadiri retret gereja, saya disadarkan oleh firman Tuhan bahwa saya harus menjaga jarak darinya. Meskipun kami berdua tidak pernah secara resmi berkencan, saya merasa sangat sedih, karena saya menaruh harapan yang sangat besar akan hal ini, berpikir bahwa itulah kehendak Allah. Namun saya bersyukur kepada Allah karena melalui malam-malam yang penuh air mata setelahnya, saya kembali berlari kepada Allah, memperbaiki hubungan saya dengan-Nya. Saya juga mengalami manisnya berada dekat dengan Tuhan dan dihibur oleh Tuhan. Yang lebih penting lagi, saya melihat bagaimana hati saya dapat dipenuhi dengan dusta (Yer 17:9-10) dan saya menyadarinya saat saya terjebak dalam pemikiran-pemikiran saya sendiri, semuanya sangatlah kabur, tetapi jika keinginanku adalah untuk hidup berdampingan dengan kehendak Allah, semuanya akan menjadi bertambah jelas. Dusta dalam hati saya sangat menegur saya seperti layaknya saya menipu diri saya sendiri untuk percaya akan sesuatu, maka dari itu saya bersyukur kepada Tuhan telah menjaga saya dan mencegah saya dari tersesat terlalu jauh. Saya sungguh bersyukur atas pengalaman itu, karena melaluinya saya mengenal Allah secara pribadi, tidak hanya secara teori.
Pelajaran-pelajaran yang saya pelajari saat ini
Sudah tentu, setelah insiden ini, saya sangat ragu dengan apa pun yang hati saya katakan itu sebagai “kehendak Allah”. Namun, ada masa-masa saya terburu-buru mengambil keputusan tanpa memikirkan sambil berdoa. Sungguh hal bersandar kepada Tuhan dan menunggu akan Tuhan merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan. Saat saya akan pindah ke Cambridge di September 2023, saya menyadari sekali lagi saya dapat bersikap sangat keras kepala, menolak untuk bersandar pada Tuhan dan menunggu akan jawaban Tuhan, meskipun hanya Dia-lah yang saya miliki ketika itu (karena berada jauh dari keluarga, gereja dst).
Satu insiden kecil yang terjadi saat itu adalah ketika saya kesulitan untuk membuka gembok sepeda saya yang sudah berkarat karena sering kena hujan. Saat saya berusaha untuk membukanya dengan paksa, di kepala saya, saya berpikir saya seharusnya berserah saja kepada Tuhan. Namun, pemikiran lain yang saya miliki adalah untuk mencobanya sekali lagi dengan kekuatan saya, dengan cara saya. Melalui insiden kecil ini, pola pikir yang saya miliki menjadi sangat jelas. Saya sering berpikir untuk mencoba sekali lagi dengan kekuatan saya sendiri saat seharusnya saya telah menyerahkan masalah itu kepada Allah. Insiden lainnya adalah ketika gereja lokal yang saya hadiri di Cambridge mengadakan sebuah retret dan tema dari retret itu berfokus pada sebuah doktrin yang saya tidak setuju. Meskipun saya sangat ragu untuk pergi, tetapi setelah berkonsultasi dengan seorang saudari di Singapura, saya memutuskan untuk tetap ikut dan menggunakan kesempatan ini untuk mengenal jemaat di gereja dengan lebih baik. Hal yang membuat saya terkejut adalah ketika saya membuka buklet retret, saya melihat nama saya sebagai salah satu fasilitator di dalam grup diskusi kecil. Saya seketika menjadi sangat kuatir dan cemas karena saya tidak dapat membayangkan bagaimana untuk memimpin sebuah diskusi akan sebuah topik/doktrin yang sangat tidak saya setujui. Akhirnya, saya hanya dapat menyerahkannya kepada Tuhan dan meminta kebijaksanaan dari-Nya, agar Tuhan berbicara melalui saya.
Ada banyak kejadian di mana saya dipenuhi dengan kecemasan dan ketidakberdayaan, tetapi saya berjuang untuk berpegang pada ayat di Filipi 4:6-7
6 Janganlah khawatir tentang apa pun juga. Namun, dalam segala sesuatu nyatakan keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan serta ucapan syukur.
7 Damai sejahtera Allah yang melampaui segala pengertian akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Yesus Kristus.
Ayat ini sangat absolut (‘apapun’, ‘segala hal’), menunjukkan kepada saya bagaimana Allah peduli akan setiap hal kecil dan setiap kekuatiran yang saya hadapi.
Sebelum pergi ke Cambridge, saya diberikan sebuah buku yang berjudul “Cara mempraktekkan kehadiran Tuhan” (The Practice of the Presence of God). Buku ini menggambarkan bagaimana seorang saudara dari tahun 1600an mempraktekkan cara untuk berada dalam hubungan/percakapan yang terus-menerus dengan Allah, dan sukacita yang dirinya rasakan dari hal tersebut. Saya berusaha keras untuk mempelajari hal ini, terutama di tengah banyak hal yang terjadi dalam hidup ini. Hal itu bukan hanya tentang berdiam diri untuk waktu yang singkat pada awal hari, tetapi berdiam diri dengan Tuhan selalu berada di dalam pemikiran kita sepanjang hari. Saya masih dalam proses pembelajaran dan mempraktekkan hal ini, terutama ketika terkadang saya merasa sangat stres selama studi S3 saya, karena tidak ada struktur yang jelas ataupun seseorang untuk mengajarkan saya tentang apa yang harus saya lakukan.
Namun, masa ini menjadi sebuah kesempatan baik untuk belajar bersandar pada Tuhan — dimana ada begitu banyak hal yang tidak saya ketahui dan pada saat saya merasa tidak berdaya, Allah adalah satu-satunya tempat perlindungan dan kekuatan saya. Saya juga mengingatkan diri saya bahwa karena Allah telah membuka jalan bagi saya untuk berada di sini, prioritas saya seharusnya adalah untuk melakukan kehendak-Nya dan untuk menyenangkan-Nya. Saya sadar pada saat saya lupa akan prioritas ini, ketakutan dan kecemasan saya muncul kembali. Dengan catatan ini, Galatia 1:10 menjadi sebuah pengingat yang sangat baik:
Apakah sekarang aku sedang mencari persetujuan manusia atau persetujuan Allah? Atau, apakah aku masih mencoba menyenangkan manusia? Sekiranya aku masih mencoba menyenangkan manusia, aku bukanlah hamba Kristus.
“Saya bersyukur atas peringatan dari Tuhan untuk mengingatkan saya agar tetap fokus dan tidak membiarkan kecemasan untuk menguasai saya. Untuk menyimpulkan, dua hal yang saya pelajari dan masih saya pelajari: Tidak mendahului Allah dan tidak pernah bersandar pada kekuatan saya sendiri.