Pastor Eric Chang | Matius 23:1-22 |
Kita akan melanjutkan eksposisi kita di Matius pasal 23. Ajaran di Matius pasal 23 ini terkenal sebagai bagian yang berisi ajaran yang menentang orang-orang Farisi. Di dalamnya terdapat beberapa pernyataan yang bersifat parabolik, namun secara khusus, bagian ini berisi kecaman terhadap orang-orang Farisi.
Mari kita mulai membaca dari Matius 23:1-7:
Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya:
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.
Arti dasar kata munafik: menyatakan sesuatu hal namun tidak menjalankannya
Apakah Anda seorang munafik?
Bagian ini berisi kecaman yang sangat keras kepada orang-orang Farisi dan para ahli kitab. Saat kita menelaah ayat-ayat yang semacam ini, sangatlah penting untuk menelaah ayat-ayat ini dengan sikap hati yang benar karena jika kita mempelajarinya dengan sikap hati yang salah, bukan saja kita tidak akan diberkati, akan tetapi berkat itu bisa berubah menjadi kutuk. Artinya, hal yang seharusnya menjadi berkat bisa berubah menjadi kutuk jika ayat-ayat itu tidak dipelajari dengan sikap hati yang benar atau dimanfaatkan secara benar. Itulah sebabnya mengapa Paulus berkata bahwa dirinya dan juga pelayanan pemberitaan Injil adalah keharuman kehidupan bagi sebagian orang namun juga bau kematian bagi sebagian yang lain. Injil yang sama bisa menjadi alat kematian bagi mereka yang datang dengan sikap hati yang salah.
Lalu bagaimana kita harus mendekatinya? Sikap hati seperti apakah yang harus kita miliki? Kita bisa saja memakai ayat-ayat semacam ini sebagai alat untuk menghantam lawan kita dengan cara membandingkan mereka dengan orang-orang munafik dan orang-orang Farisi, dengan demikian berarti kita telah datang dengan sikap hati yang salah. Jika kita memandang ayat ini sebagai menggambarkan orang-orang yang kita kenal, sambil mengecualikan diri kita sendiri, maka kita telah datang dengan sikap hati yang sepenuhnya salah, karena justru itulah sikap hati orang-orang Farisi.
Sikap hati orang-orang Farisi dikabarkan di Lukas 18:10-14, di perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai. Di perumpamaan ini orang Farisi itu berkata, “Aku bersyukur kepadaMu ya Allah karena aku tidak seperti orang itu.” Dan saya rasa, banyak dari kita, saat kita membaca Matius pasal 23 ini, berkata, “Aku bersyukur kepadaMu ya Allah karena aku tidak seperti orang Farisi itu. Aku tidak melakukan hal-hal yang semacam itu. Mereka itu munafik, tetapi aku tidak. Aku selalu menjalankan hal yang aku ucapkan. Dan aku selalu konsisten di dalam perilaku yang kujalani sehari-hari.” Di saat kita berpikir seperti itu, sebenarnya kita sudah menjadi jenis orang yang sedang digambarkan di dalam pasal ini.
Kalau kita sudah mencamkan hal ini, maka kita akan meyadari betapa berharganya pasal ini. Mengapa sangat berharga? Karena pasal ini adalah uraian tentang penyakit rohani, atau gambaran gejala-gejala penyakit rohani. Jika kita pelajari pasal ini dengan benar, maka kita akan tahu apa itu gejala-gejala penyakit rohani yang bisa menjadi fatal bagi kita. Dan jika kita ingin tetap sehat secara rohani, malahan kita tidak sekadar ingin sehat secara rohani tetapi juga bertumbuh, maka kita harus mewaspadai gejala-gejala ini.
Bisa Anda katakan bahwa pasal ini, ringkasnya, adalah buku pegangan singkat mengenai penyakit rohani dari seorang Kristen, atau setiap orang beragama, setiap orang yang mengira bahwa dirinya itu rohani. Hanya jika kita dekati pasal ini dengan cara seperti itu, baru pasal ini bisa benar-benar menjadi berkat bagi kita.
Akan tetapi jika kita menganggap pasal ini adalah alat untuk menghantam lawan dengan cara menghina dia, maka kita telah kehilangan semangat Kristus di dalam pasal ini. Saya menyampaikan hal ini supaya kita bisa masuk ke dalam pasal ini di mana pasal ini menjadi berkat bagi kita dan kita tidak sampai bersikap seperti orang Farisi, “Orang-orang lain semua seperti itu, terutama orang-orang Farisi, namun syukur kepada Allah, aku tidak seperti itu.” Jika kita pelajari gejala-gejala dari penyakit rohani ini dengan hati-hati, maka kita akan melihat betapa kita ini, seringkali, justru menunjukkan gejala-gejala tersebut.
Kita tidak boleh membayangkan bahwa kata ‘munafik’ itu menunjukkan bahwa orang-orang Farisi itu tidaklah tulus. Ini bukanlah definisi yang alkitabiah mengenai kemunafikan. Namun kita akan bahas hal itu pada kesempatan lain untuk lebih memahami lagi apa arti kata munafik itu. Definisi dasar dari munafik itu diuraikan di pasal ini: artinya menyatakan atau mengakui sesuatu hal namun tidak melakukannya. Hal ini bukan berarti bahwa Anda secara sengaja tidak melakukannya. Maksudnya adalah, tidak kira apapun penyebabnya, yang jelas Anda tidak melakukannya. Itulah kemunafikan.
Saya adalah orang yang munafik jika saya menyatakan sesuatu atau menyuruh orang melakukan sesuatu namun saya sendiri tidak melakukannya, mungkin saya tulus di dalam komitmen saya terhadap apa yang saya khotbahkan, namun jika saya tidak melakukan apa yang saya khotbahkan, maka saya adalah orang munafik.
Jadi kita tidak boleh berpandangan bahwa orang-orang Farisi itu adalah para aktor; bahwa mereka sedang bersandiwara. Ini jelas tidak benar secara historis. Terlebih lagi, sebagaimana yang akan Anda ketahui, rasul Paulus sendiri adalah seorang Farisi. Dan hal ini dia tunjukkan itu secara konstan di saat ia diadili di hadapan pengadilan orang-orang Yahudi. Paulus tidak berkata, “Aku dulu adalah orang Farisi,” dia berkata, “Aku adalah orang Farisi.” Dia tidak berhenti menjadi orang Farisi saat dia menjadi Kristen. Dan tak seorangpun yang akan menuduh bahwa rasul Paulus adalah orang munafik ketika dia belum menjadi Kristen, atau menuduhnya tidak memiliki ketulusan atau yang sejenisnya. Pandangan yang menyamakan kemunafikan dengan ketidaktulusan adalah kesalahpahaman yang memang telah menyebar sangat luas.
Ketidaktulusan tidak termasuk dalam pengertian munafik. Kemunafikan itu sama seperti hal yang terjadi pada kebanyakan orang Kristen, yang mengaku memegang doktrin tertentu akan tetapi tidak menjalankannya. Itulah kemunafikan. Adakah di antara Anda yang mau mengangkat tangannya untuk menyatakan bahwa Anda selalu mejalankan apa yang Anda akui? Nah, dengan pengertian yang seperti ini, kita menyadari bahwa pasal ini sedang berbicara kepada kita. Dan Yesus memperingatkan para muridnya untuk menwaspadai ragi orang Farisi. Apakah ragi orang-orang Farisi itu? Kemunafikan. Apakah gejala dari penyakit orang Farisi? Hal ini dapat dilihat di pasal ini. Dan gejala penyakit ini sangat menular di hati orang-orang beragama. Jadi mari kita pahami perikop ini dengan lebih terperinci.
Mempelajari Alkitab bukanlah obat panawar untuk mengatasi kemunafikan
Yesus berkata kepada orang banyak dan kepada para muridnya. Perhatikan bahwa Yesus sama sekali tidak membuat pengecualian, misalnya dengan berkata kepada murid-muridnya, “Kalian semua baik. Apa yang aku sampaikan ini hanya ditujukan kepada orang banyak itu.” Dia juga mengarahkan ucapannya itu kepada para murid. Lalu di ayat 2 ini ada istilah ‘ahli-ahli Taurat’. Para ahli Taurat ini adalah para pakar teologi, para pakar Alkitab. Hal memberitahu kita bahwa mengetahui isi Alkitab sama sekali tidak melindungi kita dari kemunafikan. Ini memberitahu kita bahwa mempelajari isi Alkitab bukanlah penangkal dari kemunafikan.
Mempelajari isi Alkitab bisa jadi malah membuat Anda menjadi orang yang lebih munafik dari yang sebelumnya. Justru karena Anda tahu lebih banyak, seharusnya Anda mempraktekkan lebih banyak pula, namun ternyata Anda mempraktekkan dalam takaran yang sama sedikitnya dengan yang sebelumnya. Oleh karena itu, seiring dengan bertambahnya pengetahuan Anda akan isi Firman Allah, sementara tingkat penerapan Anda masih sama saja, tentu saja jarak antara pengetahuan dan penerapannya menjadi semakin jauh. Hal itu akan membuat Anda menjadi semakin munafik.
Demikianlah, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu menduduki kursi Musa, artinya, mereka menjadi pengajar hukum Taurat. Musa adalah pembawa hukum Taurat, jadi, mereka yang menduduki kursi Musa adalah para pengajar hukum Taurat. Namun hal itu seringkali tidak sekadar berarti bahwa mereka hanyalah para pengajar hukum Taurat, karena orang-orang Farisi dan para ahli Taurat itu sering juga sekaligus menjadi para pelaksana pengadilan di Israel. Sebenarnya, mereka tidak jarang juga sekaligus menjadi penguasa setempat, jadi mereka adalah para pelaksana hukum Taurat dalam arti bahwa mereka juga menjalankan pengadilan untuk umat Yahudi. Mereka adalah para pengajar dan juga pemimpin di lingkungan masyarakat Israel. Yesus tidak menuduh mereka sebagai pengajar sesat. Dia berkata, “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu.” Ajaran mereka bisa saja benar, dan penegakan hukum yang mereka jalankan atas perkara perdata maupun pidana juga harus ditaati. “Tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka.” jangan tiru teladan mereka karena mereka hanya bagus dalam hal mengajar: ajaran mereka bagus; pengetahuan mereka tidak perlu diragukan; yang mejadi masalah adalah praktek mereka, praktek mereka sangat bermasalah.
Mengajar tanpa belas kasihan dan kasih
Perhatikan juga sikap mereka yanga tidak mengasihi di ayat 4. Mereka menaruh beban berat – mereka menetapkan standar yang tinggi untuk orang lain melebihi untuk mereka sendiri. Mereka menaruh beban berat dalam hal hukum Taurat, dalam hal persyaratan hukum Taurat terhadap orang lain – beban yang sangat berat untuk dipikul sementara mereka sendiri tidak mau mengangkat satu jaripun untuk menolong orang-orang yang mereka bebani itu. Mereka tampaknya senang mempersulit hidup orang lain sambil tidak berbuat apa-apa untuk meringankan beban orang-orang itu. Jadi apa yang mereka ajarkan itu baik akan tetapi mereka mengajarkannya dengan tingkat belas kasihan yang rendah, yakni tidak dengan sikap mengasihi.
Menjalankan ajaran agama hanya untuk dilihat oleh orang lain
Lalu di ayat 5: Persoalan mereka juga adalah bahwa mereka berpikir secara duniawi. Mereka mengerjakan semua hal itu, perbuatan-perbuatan baik yang mereka jalankan, itu untuk dilihat oleh orang lain. Kehidupan agama mereka hanya sebatas permukaan saja, untuk dilihat oleh orang lain, supaya orang lain bisa mengagumi betapa alimnya mereka. Jika agama merupakan hal yang sangat dihargai, maka akan ada banyak orang yang mempraktekkan agama untuk niat-niat yang keliru. Misalnya, supaya orang lain kagum maka Anda membuat doa Anda menjadi sangat panjang, dan orang-orang akan berpikir, “Wah! Sungguh alim orang ini! Dia bisa berdoa sampai sepuluh menit!” Dan tidak merasa bahwa Anda mungkin saja hanya akan membuat lelah telinga orang yang mendengar doa panjang Anda itu. Kita mengira bahwa karena kita telah berdoa begitu panjang maka tentunya kita ini sangat religius, dan orang yang hanya berdoa sekitar satu menit, kita nilai, “Hanya itu saja doanya? Tidak mungkin dia orang religius, setidaknya dia itu kurang rohani. Dia berdoa begitu singkat.” Demikianlah, untuk mempesona orang lain, mereka melakukan semua itu agar bisa dilihat oleh orang-orang.
Eksternalisasi kehidupan agama
Lalu apalagi yang mereka perbuat? Mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang. Apa itu tali sembahyang? Tali sembahyang adalah benda yang masih dipergunakan oleh orang-orang Yahudi sampai sekarang. Tali sembahyangnya ini mengikat sebuah kotak kecil yang memuat sehelai kertas kecil tergulung di dalamnya. Dan di atas kertas itu dituliskan, terutama, tiga macam perikop berikut, Keluaran 13:3-16, Ulangan 6:4-9 dan Ulangan 11:13-21. Bagian-bagian bacaan tersebut dipandang sebagai ayat-ayat kunci berkenaan dengan hukum Taurat. Dan ayat-ayat tersebut dianggap sebagai ungkapan dari inti pesan dari Perjanjian Lama, Firman Allah di dalam Perjanjian Lama, yang dituliskan di dalam sehelai kertas gulung dan dimasukkan ke dalam kotak kecil tersebut. Sebenarnya, ada dua kotak yang dipakai. Satu yang diikat di kepala di bagian dahi, dan tali pengikatnya bisa berupa kulit binatang ataupun kain atau bahan lainnya.
Jika Anda mengamati foto tentang orang-orang Israel, Anda bisa lihat adanya kotak-kotak kecil yang mereka ikat di bagian dahi mereka, dan Anda mungkin bertanya-tanya, “Apa yang dikerjakan orang ini dengan kotak di dahinya?” Demikianlah, jika dia akan pergi beribadah, maka dia akan mengikatkan kotak itu di dahinya dengan tali yang melingkari kepalanya, dan dia akan menjalankan doa atau ibadahnya dengan kotak terikat di sana. Dan dia juga memakai kotak lainnya dengan isi ayat-ayat yang sama, yang diikatkan di bagian atas lengannya dengan ketinggian yang sama dengan jantungnya – sangatlah penting untuk diikatkan pada ketinggian yang tepat. Demikianlah, dia akan mengikatkan satu kotak di dahinya dan satu kotak lagi di lengannya. Itulah yang disebut sebagai tali sembahyang, yang masih digunakan sampai dengan sekarang.
Lalu mengapa mereka melakukan hal itu? Menurut mereka, ini adalah pelaksanaan dari Ulangan 6:8. Apakah yang tertulis di dalam Ulangan 6:8? Setelah menyampaikan hukum Taurat kepada umat Israel, Musa melanjutkan dengan berkata, “Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu.” Ada ungkapan ‘menjadi lambang di dahimu’, jadi mereka mengikatkannya pada dahi mereka, dan juga ‘tanda pada tanganmu’ – kata tangan di dalam bahsa Ibrani sebenarnya juga mencakup lengan, jadi bukan sekadar tangan tetapi juga meliputi lengan. Demikianlah, mereka mengikatkan kotak lagi di bagian lengan mereka di dekat jantung. Saya tidak tahu mengapa mereka tidak ikatkan saja di dada mereka yanga tentunya akan berada lebih dekat ke jantung daripada diikatkan di lengan. Namun, mereka menyatakan bahwa Kitab Suci berkata ‘di tangan atau di lengan’, jadi mereka mengikatkannya di lengan.
Apa yang dikatakan oleh Firman Allah di Ulangan 6:8 itu tentunya suatu perlambangan agar kita terus menerus merenungkan akan Hukum Taurat. Dan mengikatkannya di tangan berarti bahwa kita harus menjalankannya. Sungguh luar biasa kecenderungan kita untuk mengharfiahkan serta menurunkan Firman Tuhan sampai ke tingkat yang dangkal. Demikianlah, bukannya mempraktekkan ajaran tersebut, kita justru mengikatkan kotak di tangan sambil tetap mengerjakan segala sesuatu sesuka hati kita.
Mereka membuat tali sembahyang mereka yang lebar, demikianlah, mereka membuat kotak yang besar untuk bisa dilihat oleh orang lain. Mungkin jika Anda ikatkan kotak yang lebih besar lagi, maka Anda akan dipandang lebih religius. Sama halnya dengan orang yang membawa Alkitab berukuran kecil, tampaknya tidak sebaik orang yang membawa Alkitab berukuran besar, karena Alkitab berukuran besar akan menunjukkan bahwa Anda punya lebih banyak perhatian pada Firman Allah dibandingkan mereka yang membawa Alkitab berukuran kecil, yang memerlukan kaca pembesar untuk membacanya. Jelas saja dia tidak akan bisa membacanya karena sangat sulit. Demikianlah, orang-orang Farisi juga membuat tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang.
Lalu, hal yang kedua yang disebutkan di sini adalah jumbai baju. Jumbai ini juga merupakan penerapan, menurut mereka, dari Bilangan 15:38. Dalam hal ini, kata jumbai itu memang disebutkan secara langsung. Kita akan baca dari ayat 37-40:
TUHAN berfirman kepada Musa: “Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka, bahwa mereka harus membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka, turun-temurun, dan dalam jumbai-jumbai punca itu haruslah dibubuh benang ungu kebiru-biruan.
Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya dan tidak lagi menuruti hatimu atau matamu sendiri, seperti biasa kamu perbuat dalam ketidaksetiaanmu terhadap TUHAN. Maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu.
Jadi di sini jumbai itu memang dimaksudkan sebagai benda untuk mengingat akan perintah Allah dan juga agar mereka melakukannya. Sebagaimana yang Anda ketahui, mereka mengenakan jubah, dan jumbai itu dijadikan sebagai hiasan di pinggiran jubah mereka dengan warna ungu kebiru-biruan. Warna ini, mungkin dimaksudkan untuk mengingatkan mereka akan perkara-perkara surgawi, warna biru melambangkan langit, dan jumbai itu dimaksudkan untuk mengingatkan mereka untuk melangkah sejalan dengan hukum Taurat. Sambil mereka melangkahkan kaki, maka jumbai-jumbai itu akan bisa mereka lihat dan mengingatkan mereka untuk mentaati perintah-perintah Allah, jadi mengingatkan mereka untuk menjadi kudus bagi Tuhan. Akan tetapi di sana tidak disebutkan seberapa panjang jumbai itu harus dibuat, dan orang-orang Farisi, tentu saja, menganggap bahwa semakin panjang jumbai itu maka seseorang mungkin akan menjadi semakin kudus. Jadinya, mereka membuat jumbai mereka lebih panjang.
Di sini Anda bisa lihat kembali masalah penurunan tingkat kehidupan rohani menjadi tampilan eksternal, suatu ketaatan yang lahiriah dan dangkal. Kadang-kadang sesuatu hal atau benda yang dipakai untuk mengingatkan agar Anda melangkah bersama Tuhan itu sangat bermanfaat. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan jumbai baju itu, malahan Yesus tidak mengecam pemakaian jumbai atau bahkan kotak yang diikat dengan tali itu. Dan mungkin saja, sama halnya dengan kebanyakan orang Yahudi pada zaman itu, Yesus sendiri juga selalu mengenakan barang-barang semacam itu. Yang Yesus maksudkan adalah bahwa semangat dari mereka yang mengenakan barang-barang itu yang salah. Orang harus mengenakan barang-barang semacam ini dengan sikap hati yang benar, dengan semangat yang benar.
Kita sering memanfaatkan barang-barang semacam itu untuk mengingatkan diri kita sendiri. Sebagai contoh, kita memasang hiasan dinding yang berupa kutipan ayat-ayat, dan ini memang sangat bermanfaat. Anda boleh saja menuliskan ayat-ayat dalam Kitab Suci dan memasangnya di dinding untuk mengingatkan Anda akan isinya. Jadi, setiap kali Anda melihat kutipan itu, ia akan mengingatkan Anda akan panggilan Anda. Kadang kala saya juga melakukannya. Saya menuliskan kutipan ayat-ayat dan menaruhnya di dekat meja saya, dengan fungsi seperti jumbai baju itu, yakni untuk mengingatkan saya akan tujuan yang telah saya tetapkan, agar saya mengejar tujuan tersebut. Jadi, pemakaian barang-barang semacam ini jelas tidak membahayakan, masalahnya adalah sikap hati mereka yang memakainya.
Jika kita memanfaatkannya untuk menunjukkan kepada orang lain, “Lihat, betapa banyaknya plakat yang kupasang di dinding kamarku!” Lalu ketika seseorang masuk ke dalam kamar Anda, dan dia melihat bahwa dinding kamar Anda dipenuhi oleh kutipan ayat-ayat dari Kitab Suci, lalu dia menyimpulkan bahwa Anda adalah orang yang sangat rohani. Ini jelas sikap hati yang salah, yakni kalau Anda menuliskan semua itu untuk bisa dilihat oleh orang lain, bukan untuk mengingatkan diri Anda sendiri. Jadi, itulah jenis-jenis bahaya yang bisa kita lihat – menjadikan kehidupan rohani kita sebagai hal yang eksternal.
Yesus ingin membangun masyarakat umat Allah yang tidak meninggikan manusia
Mari kita melanjutkan ke ayat-ayat berikutnya, yakni ayat 8-12. Di sini, Yesus menyuruh murid-murid untuk waspada terhadap sikap-sikap semacam ini. Yang Yesus perhatikan bukan sekadar untuk membicarakan tentang orang-orang Farisi, tetapi dia ingin agar murid-muridnya itu mengerti akan jebakan-jebakan semacam itu. Di ayat 7 Yesus berkata bahwa orang-orang Farisi senang dihormati di pasar-pasar, yakni di tempat-tempat umum. Pasar adalah tempat di mana masyarakat berkumpul dan semua orang bisa bertemu. Anda bisa menemui kawan Anda di pasar, sambil menikmati secangkir teh di pasar. Atau, Anda bisa juga melakukan pidato politik di pasar. Atau, seperti yang dilakukan oleh Paulus, pergi ke pasar dan memberitakan Injil. Pasar adalah tempat di mana orang-orang saling berinteraksi.
Dan orang-orang ini senang dipanggil ‘rabi’. Panggilan ‘rabi’ pada dasarnya dipakai untuk menyebut guru, akan tetapi istilah ‘rabi’ itu sendiri sebenarnya berarti “yang agung”. Ini adalah sebutan kehormatan. Kata ‘rabi’ ini sendiri sebenarnya tidak memiliki makna pengajar. Kata ini sekadar dipakai untuk menyapa para pengajar. Jadi ini adalah gelar kehormatan. Kata ‘ra’ berarti tinggi, mulia, agung. Dan ‘ra’, ‘bi’ berarti yang agung, yang mulia, yang besar, yang saya muliakan. Nah, gelar ini merupakan salah satu pujian yang dilarang penggunaannya oleh Yesus di dalam ayat 8.
Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan (oleh Allah) dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (oleh Allah).
Di sini tentu saja, kita harus mewaspadai adanya beberapa jebakan juga. Kalau diartikan bahwa kita tidak boleh memakai panggilan ‘guru’ kepada siapapun, hal ini akan menjadi sangat aneh, karena bisa saja nanti anak saya di sekolahnya tidak mau lagi memanggil gurunya dengan sebutan ‘guru’. Dan jika sang guru bertanya, dia lalu berkata karena Alkitab menyatakan bahwa hanya ada satu guru, dan kita semua adalah saudara. Lalu kita tidak mau menyebut para pengajar dengan sebutan ‘guru’. Tentu saja, jika orang tesebut adalah guru Anda, maka Anda boleh memanggilnya ‘guru’.
Lalu ada larangan, “Jangan menyebut siapapun bapa di muka bumi ini.” Lalu Anda artikan bahwa nanti malam Anda pulang ke rumah dan Anda berkata kepada ayah Anda, “Maaf, mulai sekarang aku tidak bisa menyebutmu ‘bapa” lagi.” Dan jika ayah Anda bertanya mengapa, Anda akan jelaskan bahwa Alkitab telah menegaskan hal itu dengan jelas bahwa kita tidak boleh menyebut siapapun bapa di muka bumi ini, karena hanya Allah di surga yang menjadi Bapa kita. Saya rasa ayah Anda akan merasa bahwa mungkin Anda sudah gila, atau mungkin juga Kitab Suci ini yang sangat keterlaluan.
Lalu bagaimana Anda akan memanggil ayah Anda jika tidak dengan sebutan ‘bapa’ atau ‘ayah’? Apakah Anda akan memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan Anu’? Dan jika Anda memakai panggilan ‘Tuan’, maka Anda akan terkena masalah lagi, karena di isni dikatakan ‘Jangan menyebut tuan (atau penguasa)’. Kata tuan hanya merupakan bentuk lain dari kata majikan atau penguasa. Lalu, selanjutnya, Anda tidak mau lagi memakai sebutan ‘tuan’. Kemudian, mungkin nantinya Anda akan memakai nama orang tersebut saja sebagai panggilannya dan hal ini tentunya akan membawa Anda pada masalah lagi dengan bos Anda, atau dengan orang lain juga. Cara pemahaman seperti ini tentunya merupakan suatu kesalahpahaman.
Malahan, jika Anda teliti lebih jauh di dalam Kitab Suci, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Baru, kata ‘bapa’ ini secara konstan dipakai tidak hanya untuk menyebut Allah saja melainkan juga ditujukan kepada manusia. Jadi Kitab Suci sepenuhnya mengizinkan pemakian “bapa” kepada orang yang adalah bapa Anda.
Yang dimaksudkan di sini adalah jangan memakai istilah-istilah tersebut hanya sebagai gelar untuk berbasa-basi. Gelar-gelar tersebut harus dipakai di dalam semangat yang tepat, bukan dalam rangka memuliakan manusia. Kita boleh saja memanggil ayah kita ‘bapa’, akan tetapi janganlah meninggikan orang lain dengan sebutan bapa padahal dia bukan bapa kita. Kita tidak boleh memakai gelar-gelar tersebut untuk memuliakan manusia.
Malahan para rabi zaman dulu dipanggil dengan gelar-gelar tersebut. Ada satu rabi yang dipanggil dengan semua gelar itu sekaligus dan malahan masing-masing gelar dalam bentuk ganda. Sebagai contoh, rabi tersebut dipanggil dengan sebutan “Rabbi, Rabbi, Bapa, Bapa dan Tuan, Tuan.” Wah! Anda lihat, semua gelar itu bukan hanya dipakai untuk menyebutkan dia, bahkan setiap gelar diulangi dua kali. Orang Tionghoa juga memakai penekanan yang semacam itu. Kita berkata, “公公” (“Gong Gong”) kepada kakek kita atau “婆婆 (“Po Po”) kepada nenek kita. Kita tidak sekadar menyebut “公” (“Gong”) atau “婆” (“Po”). Kita gandakan gelar tersebut dan orang-orang Yahudi juga melakukan hal yang sama. Hal ini memberikan semacam penekanan tambahan atas hal yang sedang kita ucapkan.
Jadi, semangat yang mendasarinya sangatlah penting. Yesus ingin membangun sebuah masyarakat umat Allah di mana kita tidak meninggikan manusia, kita tidak meninggikan pendeta, kita tidak meninggikan pengkhotbah. Kita tidak menempatkan mereka di tempat yang tinggi. Tentu saja, Kitab Suci memang menyuruh kita untuk menghormati mereka yang memegang kewenangan di gereja dan juga di dunia ini. Namun bukan dalam rangka menempatkan mereka mengatasi Allah. Allah selalu merupakan yang tertinggi. Allah selalu merupakan Pribadi yang ditinggikan di atas yang lainnya. Dan tidak boleh ada bagian kemuliaan Allah yang boleh diberikan kepada manusia.
Tujuh ‘celaka’ – tujuh peringatan tentang penyakit rohani
Di sini, kita masuk ke dalam penelaahan tentang ketujuh kutukan yang ditujukan pada orang-orang Farisi yang mengungkapkan penyakit rohani ini secara lebih jelas lagi. Ayat-ayat tersebut disusul oleh ketujuh pernyataan ‘celaka’ dan celaka yang pertama didapati di ayat 13. Karena masalah waktu, kita hanya akan membahas sebagian saja hari ini. Kita akan melanjutkan selebihnya lagi di lain waktu.
Celaka yang pertama ada di ayat 13:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.
Pertama-tama, mari kita dengan teliti memusatkan perhatian untuk memahami prinsip yang terkandung di dalam setiap seruan celaka ini, karena prinsip-prinsip ini merupakan gejala khusus dari penyakit rohani yang akan menghancurkan kita jika kita tidak berhati-hati.
Yang pertama adalah untuk memerhatikan kata ‘celaka’. Apakah arti kata ‘woe (celaka)’ ini? Di dalam bahasa Inggris sehari-hari, kata ‘woe (celaka)’ ini tidak lazim digunakan. Apakah maknanya menurut Kitab Suci? Ungkapan celaka di dalam Kitab Suci adalah suatu ungkapan kesedihan atau kegelisahan, dan juga bermakna peringatan. Jadi, kata ini adalah suatu ungkapan kesedihan pada awalnya, akan tetapi kesedihan ini sedemikian kerasnya sehingga menimbulkan kegelisahan dan kegetiran, ia juga lalu menjadi suatu peringatan karena hal yang menyakitkan bagi kita merupakan tanda adanya bahaya. Bahaya yang akan melumpuhkan dan menghancurkan kita. Bahaya ini akan menghancurkan seseorang yang terlibat dalam penyakit rohani ini.
Gejala pertama: kesombongan yang lahir dari keyakinan akan jaminan keselamatan
Mengira diri Anda tidak jahat, akan tetapi orang lain menjadi terhadang akibat kehidupan dan perilaku Anda
Mari kita uji diri kita dengan cermat apakah kita melakukan hal yang satu ini atau tidak.
“Kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.”
Lalu Anda berkata, “Ah, tentu saja aku tidak melakukan hal itu. Aku melangkah langung masuk ke dalam Kerajaan. Aku tidak menghalangi siapapun.”
Berpikir seperti ini berarti gagal memahami makna ayat itu. Ajukanlah pertanyaan berikut ini kepada diri Anda. Mungkin Anda tidak secara sengaja menghalangi orang lain memasuki Kerajaan, namun adakah sesuatu di dalam perilaku Anda yang bisa menghalangi orang lain memasuki Kerajaan? Dan hal-hal yang telah saya lakukan atau cara berpikir saya memang bisa menghalangi saya untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan, dan yang lebih buruk lagi, hal-hal tersebut juga bisa menghalangi langkah orang lain menuju Kerajaan. Saya tidak tahu, saudara, saya tidak tahu apakah pada Hari Penghakiman nanti, akan ada berapa banyak orang Kristen yang akan dituduh bersalah oleh pengadilan ilahi karena bukan saja diri mereka gagal masuk ke dalam Kerajaan, namun juga telah menghalangi mereka yang akan masuk ke dalam Kerajaan.
Dengan cara bagaimana? Seberapa sering kita mendengar ungkapan, “Aku tidak mau menjadi Kristen, aku tidak mau menjadi Kristen karena orang Kristen yang aku kenal sangat menyebalkan.” Orang-orang Kristen tersebut tentunya tidak memandang bahwa diri mereka jahat, akan tetapi orang lain yang mengamati kehidupan mereka dan juga perilaku mereka menjadi terhalang oleh apa yang mereka amati itu.
Bukankah hal ini yang sedang dibicarakan dalam ayat itu? Orang-orang Farisi ini bukan secara sengaja tidak mau masuk ke dalam Kerajaan. Mereka justru mengira bahwa diri mereka memiliki tempat khusus di dalam Kerajaan Allah, bukannya malah tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan. Mereka beranggapan bahwa jika ada tempat yang akan memberi sambutan khusus buat mereka, maka tempat itu adalah Kerajaan Allah karena dari semua orang Yahudi, orang-orang Farisi itulah yang paling religius. Mereka adalah pembela hukum Taurat yang paling gigih, mereka bahkan sama sekali tidak memandang diri mereka sedang menghalangi orang lain.
Prinsip rohani yang pertama: biarlah Allah dan orang lain menilai kita
Pikirkanlah baik-baik, ucapan itu bukanlah ucapan yang mencela pemikiran orang-orang Farisi; yang dikecam adalah apa yang mereka perbuat; apa yang sesungguhnya terjadi pada diri mereka. Ini adalah penilaian dari Allah tentang mereka, bukannya penilaian mereka atas diri sendiri. Inilah prinsip rohani yang pertama di dalam kehidupan rohani, bahwa kita membiarkan Allah dan orang lain menilai kita karena kita cenderung menilai diri sendiri terlalu tinggi, bukankah begitu? Hanya karena kita mengira bahwa kita sedang menuju ke surga bukan berarti bahwa kita ini benar-benar masuk ke surga. Hanya karena orang-orang Farisi itu mengira bahwa mereka akan masuk ke dalam Kerajaan bukan berarti mereka benar-benar masuk.
Ini adalah prinsip penting yang harus dicermati. Tak ada hal yang lebih berbahaya daripada mengira, “Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Aku sudah dibaptis. Aku sudah membuat pengakuan iman.” Dan anehnya, gereja-gereja mendorong kita untuk memegang ‘jaminan’ yang semacam ini. Tidak ada orang yang mempunyai keyakinan ini lebih dari orang-orang Farisi; mereka adalah orang-orang yang paling yakin, bukan sekadar menduga-duga, tetapi mereka menyakini bahwa mereka akan memegang kedudukan yang sangat tinggi di sana karena mereka adalah para pemimpin umat religius; mereka adalah para pengajar Firman Allah.
Sama juga halnya dengan kami para pendeta, kami juga sangat yakin akan diri kami, bukankah kita yakin bahwa kita akan berkedudukan tinggi di dalam Kerajaan Allah? Coba lihat Eric Chang, mereka yang rendah dan hina ada di bawah sana, akan tetapi Eric Chang akan ada di tempat yang tinggi. Anda boleh yakin bahwa saat Anda masuk ke dalam Kerajaan Allah maka Anda akan melihat Eric Chang berada di atas sana. Sungguh munafik kita ini! Saya akan bersyukur kepada Allah jika atas kemurahanNya saya boleh masuk, bukannya berpikir bahwa saya akan berada di tempat yang tinggi.
Akan tetapi dengan mudahnya kita masuk ke dalam anggapan yang seperti itu. Coba lihat pekerjaan-pekerjaan yang telah kulakukan. Coba lihat betapa terkenalnya diriku. Berdasarkan hal-hal begini, kita merasa kedudukan kita di dalam Kerajaan Allah terjamin. Demikianlah cara kita menipu diri sendiri; membohongi diri kita sendiri. Lalu kita berkeliling membanggakan ‘jaminan’ ini. Itukah yang disebut jaminan keselamatan? Itukah definisi yang alkitabiah dari jaminan keselamatan? Saya beritahu Anda, tak ada orang yang lebih yakin akan jaminan keselamatan itu dibandingkan orang-orang Farisi. Namun apakah itu jaminan yang sesungguhnya?
Jika Anda ingin memiliki jaminan, silakan saja. Bagi saya, saya lebih suka melangkah dalam kerendahan hati. Mungkin saya belum cukup rendah hati, itu memang menjadi masalah saya, karena saya mempunyai terlalu banyak kesombongan. Dan saya tidak membutuhkan jaminan semacam itu yang akan membuat saya menjadi lebih sombong lagi.
Dan jika Anda berkata, “Bukankah sebagai seorang penginjil, Anda tahu bahwa jaminan itu berkaitan dengan kasih karunia Allah.” Benar sekali! Karena kita adalah umat pilihan! Kita adalah umat pilihan Allah di dalam hikmatNya yang tak terbatas dan di dalam kemurahanNya telah memilih orang seperti saya! Saya telah ditetapkan untuk menjadi orang terpilih oleh Allah sebelum dunia ini diciptakan! Tidaklah mudah untuk menjadi rendah hati jika Anda seorang yang terpilih. Namun setidaknya, kita cenderung membual tentang kasih karunia Allah yang begitu baik. Itulah ‘jaminan’, sobat. Nah, jika Anda suka akan jaminan yang semacam itu, silakan saja.
Namun lihatlah apa yang dikatakan di sini: “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” “Tidak. Saya tidak meninggikan diri saya; Allah-lah yang meninggikan diri saya. Namun saya tidak bisa menahan betapa enaknya perasaan ditinggikan oleh Allah.” Lalu akhirnya kita tidak perlu terlalu merendahkan diri.
Kesombongan karena doktrin
Ada satu hal yang sangat sangat berbahaya mengenai dogma orang Kristen jika disampaikan dengan cara ini. Sangat berbahaya sehingga membuat saya takut. Doktrin tentang orang-orang pilihan dan doktrin tentang kasih karunia yang didefinisikan dengan cara ini sangatlah berbahaya. Anda tidak perlu menjadi orang yang cerdas atau berpandangan jauh untuk bisa memahami hal itu. Secara historis sudah terbukti bahwa sangatlah sukar bagi orang Kristen, mereka yang memandang dirinya sebagai umat pilihan Allah, untuk menjadi rendah hati.
Lihatlah orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi sangat sukar untuk merendahkan diri karena bahkan sampai dengan sekarang ini mereka masih memandang diri mereka sebagai umat pilihan. Bagaimana Anda bisa menjadi rendah hati jika Anda adalah orang pilihan? Ini memang sangat sukar. Jalan untuk melakukannya adalah dengan selalu menyadari adanya bahaya bahwa kita cenderung untuk jatuh ke dalam jerat di mana kita menipu diri kita sendiri.
Jadi, renungkanlah pertanyaan tersebut, renungkanlah dengan hati-hati. Apakah Anda memiliki setitik kesombongan, tak peduli seberapa kecil kesombongan itu, setitik kesombongan bahwa Anda adalah orang yang dipilih oleh Allah di antara sekian banyak orang lain di jalanan? Coba lihat orang-orang yang rusak yang pergi ke tempat hiburan, yang pergi ke bar dan pub dan melakukan berbagai hal menjijikkan lainnya. Sedangkan kita, kita tidak melakukan hal-hal yang menjijikkan semacam itu karena kita adalah orang-orang terpilih. Bagaimana Anda bisa merendahkan diri? Izinkan saya bertanya kepada Anda, bagaimana Anda bisa merendahkan diri jika Anda berpikir seperti ini? Bagaimana kita bisa merasa rendah? Saya tidak tahu bagaimana melakukannya jika saya berpikir dengan cara seperti itu. Jadi marilah kita renungkan dengan hati-hati bahayanya, jebakannya, inilah yang saya maksudkan, gejala dari penyakit rohani. Bersikap jujurlah terhadap diri Anda.
Kesombongan karena Allah telah memakai kita
Saya akan jujur kepada Anda. Saya juga sering merasa sombong. Dan saya takut akan hal itu. Allah telah memperlengkapi saya untuk memberitakan FirmanNya, untuk memberitakan FirmanNya dengan suatu takaran kuasa tertentu dan tentu saja itu semua adalah karena kasih karuniaNya, akan tetapi kasih karunia itu diungkapkan di dalam diri saya dan melalui saya! Saya menjadi saluran kasih karuniaNya sehingga sekalipun itu adalah kasih karunia, tetap saja sayalah yang dipakai untuk mewujudkan kasih karunia itu. Dan karena itu saya merasa sombong! Coba pikirkan posisi saya. Pikirkan penghormatan yang saya dapatkan, entah dalam bentuk rasa hormat atau dalam rasa benci. Hal ini menyebabkan datangnya kesombongan. Ini memang sangat berbahaya. Kiranya kita bisa mengatasi kejahatan yang diam di dalam diri kita ini. Dan karena kesombongan itu, kita lalu berperilaku dengan cara yang menyebalkan orang lain, sekalipun kita mungkin saja tidak menyadarinya. Saya mungkin saja menghalangi orang lain dengan kesombongan saya. Dan saya tidak menyadari kesombongan saya. Malahan saya mengira bahwa apa yang saya perbuat itu bisa dibenarkan.
Dan karena kesombongan ini, yang merupakan penyakit utama dari orang-orang Farisi, mereka tidak akan masuk ke dalam Kerajaan dan juga tidak mengizinkan orang lain untuk masuk. Anda bisa lihat bahwa hubungan antara ayat 13 ini dengan ayat sebelumnya sangatlah jelas. Orang-orang Farisi meninggikan dirinya. Mereka sangat sombong. Mereka gila hormat. Mereka menyukai kemuliaan yang diberikan kepada mereka, tempat duduk utama di dalam perjamuan. Tentu saja, Anda tidak akan menempatkan seseorang yang terhormat seperti orang Farisi di tempat yang rendah dalam perjamuan. Dia harus selalu ditempatkan di meja utama. Jadi dia akan selalu menempati meja utama; dia selalu dimuliakan. Ini hal yang sangat berbahaya.
Jadi, mari kita renungkan dengan sangat hati-hati penyakit yang sangat fatal ini, dan gejalanya bisa menyerang dan melumpuhkan kita. Dan yang menguatirkan saya adalah bahwa kita sering membela diri dalam menikmati rasa dimuliakan dan ditinggikan itu dengan berkata bahwa itu semua karena kasih karunia, bahwa Allah yang memberikan kita semua ini, oleh karena itu, ini semua adalah pekerjaan Allah. Dia meninggikan kita. Dia yang menempatkan kita seperti sekarang ini. Mari kita waspadai dengan cermat bahaya serius yang akan melumpuhkan kita ini.
Gejala kedua: hiperaktivitas
Mari kita masuk pada gejala yang kedua yang ada di ayat 15. Gejala yang kedua ini sangat berkaitan dengan gejala yang pertama.
(Sebagai catatan, jika Anda membaca Alkitab terjemahan versi RSV atau versi modern lainnya, maka Anda tidak akan menemukan ayat 14, dan memang seharusnya demikian. Ayat 14 itu memang bukan bagian dari Matius melainkan tertulis di dalam Markus 12:40. Dan dalam terjemahan versi RSV ayat 14 itu akan dimasukkan di dalam catatan pinggir, ia merupakan ayat yang disalin dari naskah kuno dari Markus 12:40 ke tempat yang memang bukan merupakan tempatnya. Jadi ayat 15 adalah celaka yang kedua.)
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.
Kata penganut agamamu itu di dalam Alkitab bahasa Inggris disebut proselyte. Kata proselyte ini adalah orang asing yang menganut agama Yahudi, entah dia orang Yunani ataupun Romawi, atau apapun kebangsaannya, yang menjadi penganut agama Yahudi. Mereka itu disebut proselyte, yakni orang yang takut akan Allah.
Semangat penginjilan yang berapi-api belum tentu ada kaitan dengan kecintaan pada Allah
Celaka yang kedua ini berkenaan dengan aspek lainnya. Semangat penginjilan yang berapi-api! Anda datangi gereja-gereja, dan mungkin Anda akan kagum pada semangat yang mereka tunjukkan bagi kegiatan-kegiatan penginjilan. Ada ‘Akhir Pekan Penginjilan’, lalu ‘Bazaar Penginjilan’ dan ‘Acara Penginjilan ini dan itu’. Mereka menyisir daratan dan lautan dengan semangat penginjilan mereka. Pendeta tampil dan mendorong kita untuk menginjili, mendorong kita untuk pergi ke tengah rimba Afrika atau ke daerah es di Kutub Utara lalu menginjil di sana. Dan di mana-mana, kegiatan penginjilan adalah tanda dari vitalitas penginjilan gereja, bukankah demikian? Saya yakin bahwa Anda tahu akan hal itu. Anda menilai vitalitas gereja Injili melalui semangat penginjilannya, dan Anda bisa sangat tertipu oleh hal ini.
Pahamilah akan satu hal. Kita begitu mudah menipu diri sendiri dengan mengira bahwa semangat penginjilan kita yang berapi-api itu sama dengan semangat kita yang berapi-api untuk Allah. Tidak harus ada kesamaan di antara kedua hal ini. Tidak semestinya ada kaitan di antara keduanya. Orang-orang Farisi tidak bisa dikalahkan dalam hal semangat penyebaran agama mereka. Mereka bersedia menyisir daratan dan lautan hanya untuk menghasilkan satu penganut agama. Segala perjuangan mereka tidak sia-sia sekalipun yang dihasilkan hanya satu penganut agama. Dan hal ini rasanya cukup akrab juga bagi telinga kita.
Anda lihat, Yesus menohok kita tepat di titik yang paling menyakitkan, di titik-titik tempat kita membangun keyakinan kita; di tempat di mana kita merasa rohani. Namun justru karena di balik hal-hal yang terdengar rohani itulah biasanya kita menyembunyikan kedagingan kita. Hal-hal itulah yang biasanya kita jadikan alat untuk menipu diri sendiri, kita berpikir bahwa karena kita begitu aktif di gereja, kita mengerjakan ini dan itu, kita menyelenggarakan ini dan itu. Karena saya diundang untuk berkhotbah di dalam ibadah ini dan KKR itu, lalu saya berpikir, “Tentunya aku ini adalah orang yang rohani karena setiap orang ingin mendengarkanku berkhotbah.” Selanjutnya saya akan menjadi orang yang paling bodoh. Kita mengira bahwa semua kegiatan itu merupakan jaminan bagi tempat kita di surga, karena kita begitu bersemangat! Apakah yang dikatakan oleh Yesus? “Yang kamu hasilkan hanyalah satu orang yang dua kali lebih layak masuk neraka daripadamu.” Oh! Sungguh membuat kita tercekat. Kita sering memakai kegiatan lahiriah untuk meyakinkan diri dalam hal kerohanian kita.
Siapa diri kita sebenarnya, itulah yang diperhitungkan. Itulah hal yang penting. Siapakah manusia di dalam diri Anda? Bahkan pilihan dan panggilan dari Allah adalah hal yang eksternal bagi kita. Hal itu bukanlah sesuatu yang berada di dalam diri kita. Dan kita mengira bahwa karena kita telah membuat semacam tanggapan maka kita akan selamat. Semua hal itu tetaplah merupakan hal yang eksternal bagi kita. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hati manusia. Jadi janganlah mengira bahwa karena Anda aktif di dalam persekutuan, jika Anda aktif di gereja, atau Anda begitu aktif membaca Alkitab Anda, maka hal itu adalah jaminan bahwa Anda adalah orang yang sangat baik. Semua aktifitas itu memang baik. Tak ada yang salah dengan semua kegiatan itu. Sekali lagi, semangat yang mendorong kita mengerjakan semua itulah yang penting. Semangatnyalah yang penting.
Saya mohon Anda untuk memahami bahwa Anda bisa saja menjadi seorang penginjil dengan semangat yang salah. Anda bisa saja menjadi seorang pendeta dengan semangat yang salah, dengan niat yang salah. Jika menjadi seorang pendeta akan memberi Anda status sosial, dan memang bisa jadi demikian, maka hal itu sudah menjadi suatu jerat bagi Anda karena Anda telah memilih menjadi seorang pendeta dengan alasan yang salah. Namun tentu saja Anda tidak akan mau mengakui bahwa diri Anda memang punya niat seperti itu. Ini hal yang sangat berbahaya. Anda lihat, jerat rohani itu begitu banyak sehingga kita harus selalu memeriksa diri kita sendiri apakah semangat kita sudah benar. Anda mungkin saja adalah seorang pimpinan dalam kelompok PA Anda, di dalam persekutuan doa Anda. Anda seorang pimpinan, Anda orang penting, dan oleh karena itu Anda berpikir bahwa Anda selamat. Tingkat kemurtadan di jajaran ‘pimpinan’ termasuk dalam golongan yang tertinggi karena mereka cenderung melangkah menuju lubang jebakan itu tanpa kewaspadaan. Jadi mari kita waspadai hal ini dengan cermat.
Gejala ketiga: Kurangnya komitmen pada kejujuran dan pada Allah
Mari kita masuk ke dalam poin yang terakhir hari ini, yakni celaka yang ketiga. Celaka yang ketiga diuraikan di sepanjang ayat 16-22:
Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat.
Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat.
Hai kamu orang-orang buta, apakah yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? Karena itu barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu yang terletak di atasnya.
Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya.
Apakah gejala ketiga di sini? Apa yang kita lihat? Adanya kekurangan pengenalan rohani, terdapat suatu kebutaan. Tiga kali kata ‘buta’ dipakai di sini. Pemimpin-pemimpin buta (ayat 16) dan orang-orang bodoh dan orang-orang buta (ayat 17) dan yang ketiga terdapat di ayat 19, orang-orang buta. Tiga kali mereka disebut sebagai orang buta. Malapetaka terbesar dari itu semua adalah bahwa orang-orang Farisi tentu saja adalah kelompok orang terakhir yang berpikir bahwa mereka buta. Seperti yang bisa Anda lihat di dalam Injil Yohanes, mereka dengan tegas menolak bahwa mereka buta. Dan Anda juga tentu tidak mau disebut buta, saya sendiri mungkin tidak mau disebut buta. Kita semua mengira bahwa kita bisa melihat akan tetapi Yesus berkata kepada mereka yang merasa bisa melihat bahwa mereka buta. Dan yang terlebih lagi, bahwa mereka adalah pemimpin-pemimpin buta. Mereka memimpin orang lain padahal mereka sendiri buta. Sungguh sangat berbahaya.
Bagi Anda yang bertanggung jawab untuk menjalankan kepemimpinan, mungkin Anda pimpinan kelompok, mungkin pimpinan kelomppok PA, atau pimpinan persekutuan doa, apapun yang Anda jalankan, maka Anda adalah seorang penuntun. Seorang penuntun adalah orang yang membimbing jalan bagi orang lain. Dan jika si pembimbing itu sendiri buta, lalu akan menuju kemana orang yang dia pimpin itu? Sungguh pemikiran yang mengerikan!
Bagaimana kebutaan mereka bisa dilihat, diamati? Di dalam rangkaian ayat-ayat ini kita bisa melihatnya dengan jelas. Lalu apakah penyebab kebutaan mereka? Penyebab utamanya adalah kurangnya komitmen pada kebenaran.
Bagaimana orang-orang Farisi ini menguraikan Kitab Suci? Dikatakan di sini bahwa mereka menilai beberapa macam sumpah sebagai tidak mengikat sedangkan beberapa yang lainnya mengikat. Bukankah aneh jika Anda mengucapkan sesuatu kalimat seperti, “Aku bersumpah,” lalu sumpah itu tidak mengikat? Lalu mengapa Anda bersumpah kalau memang sumpah itu tidak mengikat? Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen pada kebenaran.
Sebagai contoh, jika seorang Farisi bersumpah demi Bait Allah, dan dia berkata, “Aku bersumpah padamu demi bait Allah tentang hal ini dan itu dan aku akan mengerjakan hal ini dan itu,” namun sumpah itu sebenarnya tidak mengikat. Lalu dia berkata, “Aku bersumpah demi mezbah di Bait Allah, demi mezbah suci itu,” maka sumpah itupun tidak mengikat. Akan tetapi, jika ia berkata, “Aku bersumpah demi emas di Bait Allah,” maka sumpah itu baru mengikat.
Jadi saat berurusan dengan orang Farisi, Anda harus sangat memahami isi Kitab Suci agar tidak dikibuli oleh mereka, karena menurut pengertiannya, sebagian sumpah memang mengikat namun sebagian lagi tidak mengikat. Jadi, untuk apa bersumpah? Bukankah ini suatu penipuan, mungkin bukan penipuan yang sengaja dirancang, tapi karena dia tahu seluk beluk dari penafsiran akan sumpah, dan kita kita tahu, maka dia bisa mengibuli kita. Kita pikir dia sudah bersumpah padahal sumpahnya tidak mengikat!
Sebagai contoh, jika seorang Farisi berkata kepada ayahnya, “Aku bersumpah demi Bait Suci bahwa aku akan memberikan uang $500 kepadamu,” namun dia tidak perlu memberikan uang satu senpun kepada ayahnya karena sumpah itu tidak mengikat. Jadi, jika ayah yang malang ini tidak tahu akan hal itu, maka bukankah dia sudah ditipu? Ayahnya tidak akan pernah mendapatkan uang yang $500 itu. Akan tetapi orang Farisi ini akan merasa dirinya benar. Dengan kata lain, adalah kesalahan Anda sendiri karena Anda tidak mengetahui bahwa sumpah itu tidak mengikat. Anda sendiri yang sial. Anda harus mempelajari lebih jauh lagi tentang ajaran orang Farisi. Salah Anda sendiri jika Anda tidak tahu. Salah Anda sendiri jika Anda bodoh, Anda tidak mempelajari ajaran ini. Bukankah hal ini menunjukkan betapa kurangnya komitmen mereka pada kebenaran?
Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Janganlah kamu bersumpah. Jangan mengucapkan sumpah apapun. Kalau ya katakanlah ya. Jika tidak maka katakanlah tidak. Jika kamu berkata akan mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah hal itu. Engkau tidak perlu mengangkat sumpah akan hal itu.” Itulah komitmen pada kebenaran. Jika Anda tidak memiliki komitmen sedalam ini, maka Anda akan mendapati bahwa diri Anda buta secara rohani.
Bersikap jujurlah kepada Allah
Jadi janganlah berkata, “Aku selalu melakukan apa yang aku katakan.” Apakah Anda benar-benar selalu melakukan apa yang Anda katakan? Saya kenal orang-orang Kristen yang telah berkomitmen masuk dalam pelayanan full-time, yang ternyata tidak menjalankannya. Atau, setelah melakukannya, mereka malah mengundurkan diri.
Pernahkah Anda mengangkat tangan Anda di dalam sebuah KKR untuk menyatakan komitmen Anda untuk melakukan sesuatu hal namun Anda tidak melakukannya? Pernahkah Anda menjanjikan sesuatu hal kepada saudara seiman Anda lalu tidak melakkannya? Atau pernahkah Anda berkata kepada seseorang bahwa Anda akan melakukan ini dan itu lalu Anda tidak melakukannya? Jangan berkata kepada diri kita bahwa kita selalu jujur. Seberapa sering doa kita kepada Allah tidak diimbangi oleh tindakan kita? Kita mengucapkan hal-hal yang indah kepada Allah di dalam doa, namun seberapa sering kita menerapkannya?
Lalu ketika kita tidak menjalankannya, kita berkata, “Nah, itu salah Allah sendiri. Karena, bukankah segala sesuatu itu bergantung kepada kasih karunia Allah, dan karena Dia tidak memberi saya kasih karunia untuk menjalankannya, janganlah menyalahkan saya. Itu salah Allah sendiri.” Sekali lagi, kita telah menipu diri sendiri. Mari kita selidiki hati kita untuk melihat seberapa dalam kasih kita pada kebenaran.
Kita akan melanjutkan di khotbah selanjutnya untuk memeriksa empat gejala penyakit rohani yang lain, dan marilah kita camkan semua peringatan dari Yesus ini; semua seruan ‘celaka’ ini, yang ditujukan kepada kita juga sebagai para muridnya. Kiranya kita benar-benar jujur di hadapan Allah tanpa menipu diri sendiri dalam bentuk apapun. Kiranya Allah menyelidiki kita dan melihat kita apa adanya. Dan jika kita benar-benar terbuka kepada Allah, maka dengan kemurahanNya, dengan kebaikanNya, kita akan mendapat tempat di dalam KerajaanNya.