Pastor Eric Chang | Matius 23:13-26 |
Kita melanjutkan pembahasan ajaran Yesus di Matius pasal 23. Kita telah mulai mempelajari gejala-gejala penyakit rohani di khotbah yang lalu (Kemunafikan: Ragi orang Farisi).
Kita harus masuk ke Matius pasal 23 dengan sikap hati yang benar. Sikap hati yang benar berarti kita tidak mengganggap bahwa pasal ini berlaku pada orang lain dan bukannya pada kita. Kalau kita ingin agar pasal ini menjadi berkat bagi kita, kita harus terbuka pada kemungkinan bahwa setiap kata ‘celaka’ itu bisa saja berlaku bagi kita. Dan malahan, jika kita merasa bahwa isi pasal ini tidak berlaku bagi kita, maka isi pasal itu justru berlaku bagi kita!
Kita akan memulai dari Matius 23.13, dari kata ‘celakalah’ yang pertama. Kita akan mempelajari ketujuh kata ‘celakalah’ ini, yang bisa juga disebut sebagai “tujuh gejala kanker rohani”. Jika ada salah satu dari gejala ini yang terdapat di dalam kehidupan Anda, maka Anda tahu bahwa Anda telah diserang oleh kanker rohani ini, dan sangatlah perlu untuk langsung melakukan operasi untuk memotongnya.
1. Kesombongan muncul dari keyakinan akan keselamatan
(Matius 23:13) “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.”
Dari pesan yang lalu, kita tahu bahwa kata ‘celakalah’ ini adalah ungkapan kegetiran, ungkapan kegelisahan dan peringatan, karena semua itu saling berkaitan.
Ini adalah yang pertama dari ‘ketujuh celaka’ itu. Dan ungkapan celaka disampaikan kepada orang-orang Farisi ini karena mereka telah menutup pintu Kerajaan Allah bagi mereka yang mau masuk. Apa yang termasuk di dalam tuduhan ini?
Seringkali kita bisa menutup pintu Kerajaan Allah terhadap orang lain melalui perilaku kita. Kita bisa saja memandang bahwa diri kita ini sangat religius, alim dan kudus, akan tetapi cara kita berperilaku bisa sangat menghalangi orang lain. Cara kita berperilaku di kantor atau kampus bisa menjadi penghalang bagi orang lain. Ini bukan karena kita secara sengaja ingin menutup pintu itu melainkan karena perbuatan kita atau mungkin kesombongan kita sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Farisi itu.
Seringkali orang Kristen juga seperti itu. Kita berperilaku seolah-olah kita ini lebih unggul daripada orang lain. Kita memandang diri kita lebih unggul daripada orang lain. Kita juga mengira bahwa kita ini umat pilihan, kita adalah orang-orang terpilih, dan karena kita ini sedemikian terpilihnya, lalu secara tidak sadar kita berperilaku dengan agak sombong. Dan hal ini membuat orang lain menjadi terhalang. Ini adalah salah satu bentuknya.
Hal lain yang mungkin kita lakukan adalah di saat kita tidak dapat mencapai suatu standar yang tertentu, lalu kita mengkritik orang lain yang telah mencapai, atau yang berusaha mengejar standar tersebut. Hal ini juga sangatlah berbahaya.
Sebagai contoh, saya mendengar ada orang yang mengritik mereka yang berpuasa. Mereka berkata, “Orang-orang itu mengira bahwa diri mereka lebih baik, mereka bahkan berpuasa. Mereka terlalu fanatik.” Demikianlah, untuk hal yang tidak bisa kita raih, atau tidak mau kita raih, kita letakkan halangan terhadap orang lain.
Kita mengritik bahwa mereka menetapkan standar yang terlalu tinggi. Kita membenarkan kritikan kita dengan berkata, “Wah, ini benar-benar tidak perlu. Mereka sedang menekankan pada perbuatan baik sebagai alat menuju keselamatan. Keselamatan itu berdasarkan iman, buat apa kita berpuasa?” Sungguh sangat saya sedih ketika saya mendengar seorang jemaat mengritik orang yang berpuasa dengan mengatakan bahwa mereka melakukan itu seolah-olah mau menunjukkan bahwa mereka lebih kudus daripada yang lainnya.
Aneh! Hal yang tidak kita capai atau mungkin tidak kita kejar, atau mungkin karena kita tidak pernah berpuasa dalam seharipun dalam hidup kita dan oleh karena itu kita tidak mau kalau ada orang lain yang berpuasa. Karena kita takut ketinggalan di belakang dan kita tidak suka itu. Kita senang untuk merasa bahwa kita semua berada pada tingkatan yang sama. Oleh karenanya, jika ada orang lain yang berada di depan kita, kita mulai merasa tertekan oleh hal ini dan mulai menekan mereka untuk mundur. Dan jalan untuk menekan mundur mereka adalah dengan cara mengritik mereka yang mengambil langkah maju.
Sungguh aneh! Saya benar-benar sedih oleh kejadian ini karena saya lebih suka jika teguran itu ditujukan terhadap dosa. Demikianlah, kita tidak mau melakukannya dan kita juga tidak membiarkan orang lain melakukannya. Kita tidak bersukacita saat ada orang yang mendahului kita. Kita tidak merasa senang karena mereka lebih baik daripada kita. Kita merasa tertekan karena mereka telah melampaui kita. Ini adalah mentalitas yang sangat lazim ditemui.
Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Bagaimana jika mereka yang ikut dalam tim pelatihan ini suatu hari nanti bisa berkhotbah lebih baik daripada Anda. Bagaimana perasaan Anda akan hal itu?” Jawaban saya adalah, “Saya akan sangat senang sekali! Saya akan sangat gembira jika mereka bisa menjadi lebih baik daripada saya. Mengapa harus merasa tertekan akan hal itu?” Tampaknya, mereka mengira jika suatu hari nanti mereka yang saya latih menjadi lebih baik daripada saya; menjadi lebih terkenal daripada saya; menempati kedudukan yang jauh lebih tinggi di dalam kepemimpinan gereja dibandingkan saya, lalu saya akan merasa tertinggal! Jika hal itu terjadi, saya justru akan bersukacita. Saya bisa memastikan bahwa saya akan sangat gembira. Tidak ada masalah. Tidak menjadi masalah buat saya. Mengapa saya merasa harus menekan mundur seseorang yang sudah melangkah di depan saya? Bukankah kita seharusnya ikut bersukacita?
Jadi di sini kita bisa melihat bagaimana kita bisa menutup pintu Kerajaan bagi orang lain. Kita bisa menjegal mereka yang kelihatannya akan melewati kita. Saat mereka akan melewati kita, seperti di dalam pertandingan basket, secara ‘tidak sengaja’ Anda memajukan kaki Anda tepat sebelum dia akan memasukkan bola ke dalam keranjang, akhirnya dia terjerembab dan mudah-mudahan wasit tidak melihat hal itu. Saya rasa sikap semacam ini sangatlah menjijikkan. Demikianlah, ada banyak jalur di mana kita bisa menutup pintu Kerajaan bagi orang lain.
Seringkali, misalnya, jika ada orang yang ingin melayani Tuhan secara full-time, dan Anda berkata, “Sudahlah, jangan terlalu fanatik. Engkau tidak harus melakukan hal itu. Ini benar-benar tidak perlu. Bukankah kita semua memangnya sudah full time melayani Tuhan.” Dan Anda tahu mereka mau menjadi pelayan purna waktu. Namun Anda melemahkan semangatnya. Demikianlah, lewat semua tindakan ini, kita sedang menghalangi orang lain dengan berbagai macam cara, mungkin pada saat itu kita bahkan tidak sadar akan apa yang sedang kita perbuat.
Saya akui bahwa seringkali, jika ada orang yang ingin melayani Tuhan, saya ingin menggali lebih dalam lagi motivasinya, dan saya memang menghentikannya untuk sejenak. Saya mendalami motivasinya, apakah memang sudah tepat? Mengapa Anda ingin melayani Tuhan? Apakah alasan Anda yang sesungguhnya Anda ingin melayani Tuhan? Apakah Anda tidak sekadar hanyut dalam kobaran semangat orang lain? Adakah sesuatu yang mendorongnya dari dalam hatinya sendiri? Dengan cara itulah saya mendalami dan mencari tahu apakah motivasinya memang benar. Hal ini memang harus kita kerjakan. Namun bukan dalam rangka menjatuhkan semangatnya untuk meneruskan niat tersebut.
Apakah penilaian Allah terhadap saya?
Orang-orang Farisi itu tidak berpikir bahwa mereka menutup pintu Kerajaan Allah terhadap orang lain, akan tetapi justru hal itulah yang sedang mereka lakukan. Mereka juga mengira diri mereka pasti masuk ke dalam Kerajaan. Namun dalam kehidupan rohani masalah siapa diri kita ini tidak ditentukan oleh perkiraan kita sendiri, namun menurut penilaian Allah.
Janganlah kita menilai diri kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Aku bahkan tidak menghakimi diriku sendiri. Tidak masalah jika aku dihakimi oleh kalian karena aku sendiri bahkan tidak menghakimi diriku.” Di dalam pengertian ini, kita harus belajar untuk tidak menilai diri kita secara memihak. Kita harus bersikap netral terhadap diri sendiri dan belajar untuk melihat diri kita sendiri secara lebih kritis.
Inilah yang dimaksudkan oleh Yesus. Jangan terlalu sibuk melihat balok yang ada di mata orang lain, karena balok yang besar itu kemungkinan ada di mata Anda sendiri. Jadi di sini kita perlu mengamati gejala penyakit rohani jenis yang satu ini. Jika saya menjadi terlalu yakin bahwa saya pasti diselamatkan, maka itu adalah hal yang sangat berbahaya. Seperti yang telah kita lihat di pesan yang lalu, ini bukanlah jaminan. Ini adalah penipuan diri sendiri yang berbahaya. Seringkali mereka yang paling yakin bahwa dirinya akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, yang paling yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang akan diselamatkan, ternyata justru bukan orang-orang yang akan diselamatkan.
Saya harus terus menerus mengevaluasi diri saya juga. Kalau saya berpikir, “Aku adalah seorang pendeta, kalau ada orang yang akan diselamatkan, maka tentunya para pendetalah yang harus diselamatkan.” Ini adalah tindakan menipu diri sendiri. Kita tidak pernah boleh membayangkan bahwa “kedudukan kita di gereja menjamin keselamatn kita.” Ini adalah kebodohan. Saya harus terus menerus mengevaluasi posisi saya di hadapan Tuhan. Saya harus membiarkan Roh Kudus menunjukkannya kepada saya. Dan inilah yang saya maksudkan dengan bersikap netral. Saya harus mengizinkan Roh Kudus menunjukkannya kepada saya keadaan saya sebenarnya.
Kadang-kadang, mungkin, orang yang paling beruntung adalah orang-orang yang justru sedang dijatuhkan tindakan disiplin. Justru mereka yang sedang dihakimi dan juga menghakimi diri mereka sendiri, tidak akan dihakimi oleh Allah nantinya. Kadang kala kita berpikir bahwa mereka yang sedang dikenai disiplin adalah orang yang tidak beruntung. Sebenarnya kita tidak terkena tindakan disiplin mungkin lebih baik jika kita berada di bawah tindakan disiplin. Adalah lebih baik bagi saya untuk terus menerapkan disiplin yang tegas pada diri saya sendiri, atau secara terus menerus menguji hati saya sendiri.
Di sini Anda bisa melihat adanya dua aspek. Di satu sisi, kita tidak mau berpihak pada diri kita dalam menilai diri ini. Di sisi lain, kita harus seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Dia yang menghakimi dirinya sendiri tidak akan dihakimi.” Itulah kedua aspek dari penghakiman, yang tampaknya bertentangan namun sebenarnya saling melengkapi satu dengan yang lainnya, karena aspek yang pertama menangani sikap hati, dan aspek yang kedua berurusan dengan tindakan yang Anda kenakan pada diri Anda sendiri. Ini sangatlah penting.
Bukalah diri sepenuhnya kepada Allah
Belajarlah untuk membiarkan Allah menghakimi kita. Itu hal yang sangat penting – yakni belajar untuk membiarkan Allah berbicara kepada hati kita secara terus menerus karena begitu kita menghentikan pembicaraan Roh Kudus kepada kita, maka kita akan terkena masalah. Jaminan keselamatan yang sejati bukanlah karena saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya ini selamat. Paulus memberitahu kita di dalam Roma pasal 8 bahwa jaminan keselamatan yang sejati hanya datang dari Allah.
Jika Anda berkata bahwa Anda selamat, lalu saya tanyakan mengapa Anda begitu yakin, dan Anda menjawab, “Yah, karena saya telah dibaptiskan,” atau memberi jawab, “Firman Allah mengatakan bahwa jika saya percaya maka saya diselamatkan,” – itu merupakan tindakan menipu diri sendiri. Karena apakah Anda tahu apa arti ‘percaya’ itu? Apakah definisi Anda tentang kata “percaya” itu? Kita diselamatkan oleh iman namun apakah arti iman itu?
Apakah definisi alkitabiah mengenai “percaya”? Hal ini sudah saya bahas berulang-ulang. Kita mengira bahwa kita telah memenuhi persyaratannya. Apakah begitu juga menurut Allah? Itulah persoalannya. Karena Allah lewat Yesus-lah yang akan menghakimi pada hari penghakiman itu, bukannya kita yang menghakimi diri kita sendiri nanti. Kalau kita boleh mengisi sendiri buku rapor kita. Jika boleh, pasti kita akan mengisinya dengan nilai-nilai yang sangat tinggi. Bagaimana penilaian dari sang guru itu urusan lain. Jadi, persoalannya adalah berapa nilai yang Tuhan berikan, bukan berapa nilai yang saya berikan. Jadi, pokok pertama yang ingin saya tekankan lagi adalah bahwa jaminan yang sejati itu dibangun berdasarkan fakta bahwa Roh dari Allah yang hidup yang memberikan Anda jaminan itu. Apakah Anda yakin bahwa Allah telah memberikan Anda jaminan itu? Jika Anda bisa menjawab ya, terpujilah Tuhan.
Roh Kudus akan mengingatkan Anda akan dosa
Orang yang terbuka terhadap Roh Allah, adalah orang yang menerima jaminan keselamatan ini dan ia juga adalah orang yang membuka hatinya untuk diinsafkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus akan mengingatkan Anda akan dosa. Anda akan memiliki kepekaan terhadap dosa, hal yang tadinya tidak Anda miliki. Anda harus membiarkan Roh Allah terus menerus menjaga Anda sebagai anak-Nya dan membuat kita peka terhadap dosa. Banyak orang yang tidak tahu bagaimana untuk membuka diri terhadap Roh Allah. Sebagai akibatnya mereka membangun keyakinan berdasarkan pengetahuan intelektual yang mereka pikir lebih nyata ketimbang hubungan yang akrab dengan Allah. Mereka menganggap bahwa hubungan dengan Allah ini terlalu metafisikal, terlalu sulit untuk dijelaskan. Akan tetapi hanya itu satu-satunya jaminan yang bisa kita dapatkan dari Allah. Hanya jaminan semacam itu yang ada di dalam Kitab Suci. Jika Anda ingin membangun keyakinan akan jaminan Anda berdasarkan hal yang lainnya, maka Anda sedang membangun dasar yang berbahaya. Jadi, poin yang pertama ini adalah poin yang penting dan fundamental, itulah sebabnya mengapa saya luangkan waktu untuk membahasnya.
Orang-orang Farisi sangat merasa yakin bahwa mereka akan berada di dalam Kerajaan Surga. Oh! Mereka yakin sepenuhnya akan hal tersebut! Akan tetapi Yesus memberitahu mereka bahwa mereka tidak akan memasukinya. Oh! Ada perbedaan yang sangat besar di sana, dan apa yang disampaikan oleh Yesus itulah yang penting, bukannya apa yang dikatakan oleh orang-orang Farisi itu. Jadi, marilah kita pahami poin yang pertama ini: Bangunlah hubungan yang hidup dengan Allah jika Anda tidak ingin terjatuh ke dalam penyakit rohani. Pekalah kepada suaraNya, pada pengungkapanNya.
Dan lagi, di dalam hal dosa ini, kita mungkin saja berkata pada diri kita sendiri, “Nah, yang ini tidak terlalu berdosa,” hanya karena menurut kita hal itu tidak terlalu berdosa. Saya mungkin sedikit curang dalam pembayaran pajak, namun semua orang melakukannya juga. Jadi kita tidak perlu terlalu sensitif akan hal itu. Bagaimanapun juga, apa yang tidak saya serahkan ke kantor pajak itu saya serahkan kepada Tuhan, dan mungkin itu salah satu cara untuk mengakalinya. Tuhan tidak menghendaki uang itu. Dia tidak mau uang yang semacam ini. Tidak perlu mencari alasan apapun. Demikianlah, ternyata kepekaan kita terhadap dosa tidak sebagaimana mestinya. Kita harus terbuka kepada Roh Allah agar Dia bisa berbicara kepada kita sekalipun kita merasa bahwa apa yang kita perbuat itu tidak salah. Biarlah Allah memberitahukan hal itu kepada kita.
Dan kadang kala kejadiannya bisa terbalik. Kita bisa saja memandang sesuatu yang telah kita perbuat itu salah akan tetapi Tuhan tidak menginsafkan kita. Dan kita terkejut. Bagaimana mungkin Dia tidak menginsafkan kita? Apakah karena kerohanian kita telah menjadi tumpul? Mungkin saja begitu. Namun jika kita benar-benar terbuka kepada Allah, maka Dia pasti akan menginsafkan hati kita bahwa hal itu berdosa.
Jadi mari kita ungkapkan dengan cara lain. Jawaban terhadap ‘celaka’ yang pertama, adalah dengan benar-benar terbuka kepada Allah, peka terhadap suaraNya. Dan jangan berpikir bahwa Allah akan menghabiskan waktu hanya untuk menegur Anda. Karena ada yang berpikir bahwa jika kita terbuka kepada Allah, maka di sepanjang hari Dia akan memarahi kita, “Mengapa kamu lakukan itu?” “Mengapa tidak kamu kerjakan hal yang lain saja?” Selanjutnya, kehidupan Kristen itu menjadi sangat sulit. “Allah mengecamku dari pagi sampai malam. Dia tak pernah mengatakan hal yang menyenangkan kepadaku. Aku sangat lelah dicela terus sepanjang hari.”
Allah tidak seperti itu. Jika Anda mengira bahwa Allah memang seperti itu, maka itu berarti bahwa Anda belum bergaul karib dengan Allah. Dia adalah Gembala kita. Dia adalah Bapa kita. Apakah Bapa menghabiskan waktuNya seharian hanya untuk mengecam anakNya? Tidak sepanjang hari, namun hanya jika Anda melakukan hal yang salah. Di saat yang lain mungkin Dia akan bertanya, “Kamu mau es krim?” Oh! Senang sekali! Dia juga kadang kala melakukan hal yang menyenangkan bagi saya. Allah begitu baik kepada kita, sangat baik kepada kita. Namun jika kita ingin mendapatkan kebaikanNya, maka kita juga harus bersifat terbuka terhadap-Nya.
Marilah kita pahami pokok ini, yakni bagaimana mengatasi penyakit rohani yang ini? Dengan keterbukaan kepada Allah. Dan Anda akan dapati bahwa melangkah bersama Allah itu penuh dengan sukacita. Sangat penuh sukacita. Namun kita harus belajar keterbukaan itu.
2. Semangat yang berapi-api pada kegiatan lahiriah
Mari kita melanjutkan pada celaka yang kedua di dalam perikop ini, yakni di ayat 15:
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.”
Kita telah membahas sebagian dari hal ini di pesan yang lalu namun saya menguraikannya dalam bentuk ringkas supaya kita bisa menangkap pelajaran pentingnya.
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,” karena apa? Karena mereka begitu bersemangat akan kegiatan lahiriah. Ada kalanya untuk menutupi kekurangan dalam hal spiritual, kita bisa mengakalinya dalam bentuk kegiatan ibadah. Kita mengira bahwa menjadi religius itu sama artinya dengan menjadi rohani. Kedua hal ini, sangatlah jauh perbedaannya. Malahan, keduanya sangat bertolak belakang. Inilah hal yang disampaikan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi: “Kamu tidak tahu perbedaan antara menjadi rohani dengan menjadi religius, dan kamu mengira bahwa karena kamu religius maka hal itu berarti rohani. Keduanya jelas tidak sama.”
Menjadi religius bisa menimbulkan berbagai bentuk bahaya. Ia bisa berupa perilaku yang bersifat khusus. Bahkan bisa mengambil bentuk yang sangat lahiriah. Jika saya mengenakan kerah khas para pendeta, tentu saya akan terlihat lebih religius bukan? Pendeta ini berkeliaran dengan mengenakan dasi, bukannya kerah khusus para pendeta. Begitu saya mengenakan kerah tersebut, tiba-tiba saja saya terlihat sebagai orang yang religius, bukankah begitu? Jujur saja. Seperti itulah perasaan Anda, bukankah demikian? Jika Anda melihat seorang pendeta mengenakan pakaian hitam dengan kalung salib di lehernya, tiba-tiba saja dia terlihat lebih religius. Dia memang terlihat lebih religius. Hal ini terlihat sangat menyolok. Saya berdiri di sini dengan mengenakan pakaian orang awam, tidak mengenakan pakaian khas para pendeta atau hamba Tuhan. Saya bahkan tidak mengenakan jubah hitam. Namun di saat Anda mengenakan jubah hitam tersebut, kesan yang ditimbulkannya memang terasa, Anda langsung terlihat religius, bukankah begitu?
Lihatlah bangunan ini. Tak ada kesan religius dari bangunan ini. Ada beberapa pilar yang dipasang di tempat yang salah, jika Anda kebetulan berada di belakang pilar tersebut, maka Anda tidak bisa melihat pendeta di depan. Jadi tempat ini sama sekali tidak berkesan religius. Tata letaknya tidak benar. Jika Anda pergi ke gereja tertentu, hal pertama yang Anda rasakan adalah bau kemenyannya. Hm! Ini religius. Terkesan bagus. Tiba-tiba Anda merasa lebih religius. Ada jendela kaca yang diberi hiasan. Ada organ kuno yang berukuran besar, seperti yang kita lihat di dalam kapel besar. Itu terlihat jauh lebih menyerupai gereja. Gedung ini tidak terlihat seperti gereja. Gedung apa ini? Kita begitu dipengaruhi oleh hal-hal lahiriah. Jujur saja! Hal-hal lahiriah tersebut memang memberi pengaruh. Sebagai manusia kita memang cenderung melihat pada segi lahiriah saja dan hal-hal lahiriah tersebut cenderung mempengaruhi kita. Lalu kita campur adukkan hal yang religius itu dengan kerohanian.
Menjadi rohani berarti Anda melangkah bersama Allah tanpa mementingkan hal-hal yang lahiriah. Hal-hal jasmani tidak berarti bagi Anda. Malahan, Anda merasa lebih dekat dengan Allah ketika Anda berjalan di antara pepohonan di hutan, atau mungkin di gunung, di padang rumput di mana bunga-bunga bermekaran dan burung-burung bernyanyi. Ah! Itulah makna menjadi dekat dengan Allah. Namun sebagian orang tak bisa merasa dekat dengan Allah jika tidak berada dalam katedral. Di sana baru mereka bisa merasa dekat dengan Allah. Bagaimanapun juga, jendela-jendela kaca yang berhias itu memberi mereka dampak yang diharapkan. Aneh, bukankah begitu? Dari sini Anda bisa menilai apakah Anda mengalami masalah dalam membedakan hal yang religius dengan hal yang rohani. Apakah Anda mengalami masalah ini? Sebelum Anda bersikap keras terhadap orang-orang Farisi itu, sadarilah bahwa kita juga mengalami persoalan yang sama. Kita dipengaruhi oleh hal-hal lahiriah. Apakah hal-hal yang lahiriah itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Apakah kita dapat dengan jujur berkata bahwa Anda merasa lebih dekat dengan Allah di tengah padang rumput atau di hutan daripada di dalam gereja?
Banyak orang yang mengira bahwa sibuk dalam banyak kegiatan adalah tanda kerohanian. Mereka melakukan banyak hal di gereja. Mereka bertanggung jawab atas berbagai macam hal. Dan mereka mengira bahwa karena mereka begitu banyak terlibat dalam kegiatan gereja, maka mereka itu rohani. Masalahnya sama sekali bukan begitu. Seringkali justru orang-orang yang banyak terlibat berbagai macam kegiatan itu adalah orang-orang yang tidak rohani. Seringkali fakta yang terjadi adalah bahwa pendeta yang begitu sibuk dengan pengelolaan gereja ternyata adalah orang yang paling tidak rohani di tengah jemaat! Percayalah, saya tahu akan hal ini. Hal ini memang benar-benar terjadi di banyak gereja, pendetanya ternyata orang yang paling tidak rohani di tengah jemaat. Dia meluangkan waktu yang paling sedikit di dalam doa dan paling sedikit di dalam pendalaman Alkitab. Dia begitu sibuk menyelenggarakan ini dan mengelola itu, dia tidak punya waktu untuk berdoa.
Jika Anda punya waktu, berbicaralah dengan seorang pendeta sebuah gereja yang sibuk, tanyalah padanya secara pribadi, “Jujurlah kepada saya. Tidak perlu menutup-nutupi. Berapa banyak waktu yang Anda luangkan untuk berdoa hari ini? Berapa banyak waktu Anda untuk saat teduh bersama Allah?” Jawabannya bisa sangat memalukan. Memang sangat memalukan. Kebutuhan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan ibadah justru menjauhkannya dari kehidupan rohani. Orang-orang Farisi itu begitu sibuk menyebarkan agama, mereka bepergian kemana-mana, sibuk sekali, mengerjakan berbagai macam hal untuk Allah tetapi tidak bersama Allah. Mereka tidak dalam persekutuan dengan Allah. Mereka tidak berhubungan dengan Allah. Ini adalah hal yang secara khusus harus diwaspadai oleh setiap pelayan Kristen. Bagi saya, saya justru akan mengurangi kegiatan. Saya ingin ada waktu untuk bisa bersama dengan Tuhan. Mungkin sekadar berjalan-jalan untuk bisa berhubungan dengan Tuhan. Saya tidak suka menjadi terlalu sibuk. Terlalu berbahaya bagi kehidupan rohani.
Jadi waspadailah hal-hal tersebut. Pertahankanlah waktu Anda bersama Allah karena ketujuh gejala itu saling berkaitan. Semua itu bukan gejala yang tidak saling berkaitan. Bagaimana Anda punya waktu itu membuka diri kepada Allah jika Anda begitu sibuk dengan kegiatan penginjilan dan kegiatan gereja? Bagaimana Anda bisa terbuka kepada Allah? Anda tidak punya waktu untuk mendengarkan Allah. Anda tidak punya waktu untuk menjadi peka kepadaNya. Anda tidak punya waktu untuk bersekutu denganNya.
3. Kurangnya komitmen pada kebenaran
Mari kita melanjutkan pada poin yang ketiga.
Poin ini terdapat di dalam ayat 16:
“Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat.
Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat.
Hai kamu orang-orang buta, apakah yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu?
Karena itu barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu yang terletak di atasnya. Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya”
Celaka yang ini adalah karena kurangnya komitmen pada kebenaran. Di pesan yang lalu, kita telah melihat betapa orang-orang Farisi memiliki cara yang aneh dalam mendefinisikan ‘sumpah’. Dan di dalam buku Mishnah, buku ajaran tradisi orang Yahudi itu, terdapat satu bagian yang secara khusus membahas tentang sumpah. Jika Anda membaca itu, Anda akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Yesus. Beberapa sumpah tidak mengikat, dan hanya sedikit jenis saja yang mengikat.
Lalu apa gunanya mengucapkan sumpah? Apa gunanya mengucapkan sumpah jika ada beberapa jenis sumpah yang tidak mengikat? Mereka mengatakan bahwa beberapa jenis sumpah mengikat jika dinyatakan dalam bentuk tertentu, bergantung dari bentuk sumpah itu dan dari isi sumpah Anda. Jadi, jika Anda bersumpah demi mezbah, maka sumpah itu tidak ada artinya. Jika Anda bersumpah demi persembahan di atas mezbah itu, maka sumpah tersebut mengikat. Ini hanyalah semacam akal-akalan saja. Sama sekali tidak masuk akal jika pelaksanaan sumpah itu seperti ini. Inilah bahaya yang harus diwaspadai oleh seseorang: bahaya tidak jujur sepenuhnya. Yesus berkata, “jika ya katakanlah ya, jika tidak katakanlah tidak.”
Kemunafikan: menutupi sesuatu hal yang egois dalam bentuk yang terlihat rohani
Namun kita perlu meneliti lebih jauh lagi. Mengapa kurang kejujuran? Perhatikanlah cara mereka menyatakan hal tersebut. Bukan Bait Allah yang membuat sumpah itu mengikat, melainkan emas persembahannya! Aneh! Kecintaan akan emas; kasih akan uang muncul di sini. Ini berarti bahwa untuk bisa terhindar dari bencana rohani, kita harus memeriksa motivasi kita. Ini adalah hal yang sangat penting. Mengapa kita melakukan hal yang semacam ini? Mengapa kita mengucapkan hal-hal semacam ini? Mengapa orang-orang Farisi berkata jika Anda bersumpah demi mezbah, maka sumpah itu tidak mengikat, namun jika Anda bersumpah demi persembahan di atas mezbah itu, maka sumpah Anda mengikat? Mengapa persembahan menjadi lebih penting daripada mezbahnya? Mengapa emas lebih penting daripada Bait Allah?
Dalam penelusuran yang singkat ini, Anda bisa melihat adanya kasih akan uang, alasan duniawi bekerja di balik tabir yang kelihatannya rohani. Ini adalah salah satu definisi dasar dari kemunafikan. Kemunafikan menurut definisi yang alkitabiah adalah bahwa Anda menyajikan sesuatu yang duniawi di balik tabir kerohanian. Anda menutupi sesuatu yang jelas-jelas egois dengan suatu tabir yang kelihatan rohani. Ini sangatlah berbahaya! Dan kita sering melakukan hal ini dalam berbagai bentuk. Ini adalah hal yang sangat menakutkan.
Selidikilah motivasi di dalam hati Anda
Selidikilah motivasi Anda sewaktu-waktu, jika Anda sedang melakukan sesuatu hal dan Anda berkata, “Alasanku melakukan hal ini adalah karena itu.” Benarkah itu merupakan alasan yang sesungguhnya? Apakah itu alasan yang sesungguhnya? Jika saya pergi ke sekolah Alkitab dan menanyai setiap orang di sana, “Jujurlah sepenuhnya. Mengapa Anda masuk ke Sekolah Alkitab? Mengapa Anda berada di sini?” “Oh, aku ingin melayani Tuhan.” Saya tidak menginginkan jawaban semacam itu. Periksalah semua motivasi Anda. Adakah alasan lain mengapa Anda masuk di sini? Apakah, misalnya, Anda lari dari hal lain, dan Anda mendapati bahwa tempat terbaik untuk melarikan diri adalah Sekolah Alkitab? Apakah Anda sedang melarikan diri dari sesuatu, mungkin suatu tanggung jawab? Anda akan terkejut mendapati betapa banyak, jika mereka benar-benar jujur, betapa banyak yang akan mengakui bahwa mereka memang lari dari sesuatu hal.
Atau, adakah alasan lainnya? Mungkin mereka senang dengan hal administrasi. Mungkin mereka bercita-cita menjadi semacam pemimpin dan satu-satunya jalan untuk mendapat posisi kepemimpinan adalah dengan memasuki tempat training semacam ini. Apakah motivasi Anda benar-benar murni atau Anda sebenarnya sedang mengejar sesuatu yang lain dan menutupinya dengan bahasa yang terdengar rohani? Jika Anda lakukan survei ini di Sekolah Alkitab, Anda akan terkejut mendapati betapa banyak orang yang akan dikeluarkan dari sana. Banyak yang akan dikeluarkan jika motivasi yang sebenarnya memang diungkapkan. Motivasi kita seringkali bisa sangat menipu. Alkitab memberitahu kita bahwa hati manusia itu adalah hal yang paling licik.
“Apakah Anda pernah melamar ke Universitas yang terkenal itu?” “Ya.” “Apakah Anda diterima?” “Tidak.” “Apakah Anda melamar ke Universitas yang itu juga?” “Ya.” “Apakah Anda diterima?” “Tidak.” “Lalu Anda masuk ke sini?” Itukah alasan Anda memasuki Sekolah Alkitab? Namun Anda punya cara untuk menjelaskan hal ini. “Oh, Allah menutup pintu untuk masuk ke sana dan di tempat lain juga. Dan Allah membuka pintu di sini.”
Oh! Kita bisa menutupi segala sesuatu dengan bahasa yang rohani. Apakah Anda melihat betapa liciknya otak kita? Kita menganggap bahwa itu adalah petunjuk. Mungkin petunjuk lainnya adalah bahwa kita harus mencoba lagi ke Universitas yang terkenal itu tahun depan, untuk melihat apakah kita akan diterima di sana atau tidak. Jika Anda diterima, namun Anda berkata, “Aku tidak akan ke sana, aku mau sekolah “Alkitab.” Kalau begini, ceritanya akan menjadi lain, bukankah begitu? Namun jika Anda berkata, “Nah, mereka tidak menerimaku, jadi satu-saunya pilihan dari Allah adalah masuk Sekolah Alkitab.” Ini bukanlah penjelasan yang bisa diterima. Jelas tidak bisa diterima. Itu hanya berarti bahwa Anda sedang mencari jalan keluar yang lain, pekerjaan yang lain. Jika tidak bisa mencari pekerjaan di lain tempat, maka Anda mencarinya di sini. Itu tidak bisa diterima.
Bahkan sekalipun mereka masuk Sekolah Alkitab bukan karena mereka ditolak di tempat lain, mungkin saja orang itu sudah diterima di Universitas ternama namun dia tetap memilih Sekolah Alkitab, apakah motivasinya benar-benar murni? Tidak selalu. Masih bisa ada alasan lainnya. Mungkin karena kekasihnya masuk ke Sekolah Alkitab. Lagi pula, dia mungkin tidak mau pergi ke tempat lain jika kekasihnya ada di Sekolah Alkitab. Jika kekasihnya masuk Sekolah Alkitab, dan dia tidak mau berpisah terlalu lama dari sang kekasih itu, maka sekolah Alkitab juga tetap dia masuki. Oh! Ini sangat berbahaya bagi kehidupan rohani. Ada banyak alasan duniawi tentang mengapa sesorang melakukan sesuatu hal lalu dia menutup-nutupinya. Lalu apakah dia berkata, “Aku masuk Sekolah alkitab karena kekasihku ada di sana”? Tentu tidak. Dia akan berkata, “Tuhan telah menuntunku masuk ke sini.” Bagaimana cara Dia maenuntun? Tentunya dia dituntun masuk ke dalam Sekolah Alkitab melaui kekasihnya. Bagi dia hal itu adalah alasan yang cukup bagus. Apakah itu akan menjadi alasan yang cukup bagus bagi Allah? Saya meragukannya.
Demikianlah, poin ketiga yang saya prihatinkan ini. Ini bukanlah sekadar kurangnya komitmen kepada kebenaran, namun hal apakah yang berada di balik kurangnya komitmen pada kebenaran ini? Cara bagaimana kita menipu diri kita sendiri saat sedang melakukan hal-hal yang dikuasai kedagingan namun kita mencari alasan yang terdengar rohani untuk menjelaskannya. Ini adalah hal yang sangat berbahaya untuk dikerjakan! Kehidupan rohani sebegaimana yang Yesus katakan, adalah jalan yang sempit. Jalan ini ditandai oleh begitu banyak jebakan dan kita bisa jatuh ke dalam salah satu atau beberapa jebakan itu berulang kali, dan kadang kala dampaknya begitu menghancurkan. Itulah sebabnya mengapa sangatlah penting untuk kita mengasihi kebenaran.
4. Fokus pada hal-hal kecil dan mengabaikan hal-hal yang besar
Mari kita masuk ke dalam ‘celaka’ yang keempat. Ayat 23-24:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.
Persoalan apakah yang kita hadapi di sini? Apakah bahayanya? Sangat mudah untuk dilihat. Kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal kecil sambil mengabaikan perkara yang besar. Kita memusatkan perhatian kita pada perkara yang kecil, yang ringan, dan tidak melihat perkara yang berat, perkara yang lebih berbobot. Prinsip substitusi kembali terjadi di sini, kita mengira bahwa karena kita telah melakukan hal-hal yang kecil itu, berarti kita telah menjalankan segala persyaratan. Dan jika kita memusatkan perhatian serta ketekunan kita pada perkara-perkara yang kurang penting itu, maka kita boleh mengabaikan perkara-perkara yang lebih penting. Kita memusatkan perhatian kita pada detail dan mengabaikan gambaran menyeluruhnya yang lebih utama.
Munculnya denominasi di dalam gereja Kristen
Saya akan memberi Anda contoh akan hal ini, di mana orang Kristen juga ternyata melakukan kesalahan yang sama. Ini adalah fakta sejarah yang menyedihkan. Tidak perlu kita menyalahkan orang-orang Farisi. Kita juga melakukan hal yang sama setiap saat. Anda mungkin berkata, “Kita tidak mempersembahkan selasih, adas manis dan jintan.” Yang sedang kita bahas ini bukanlah perkara selasih, adas manis dan jintan semata; yang kita bahas ini adalah prinsip yang menyertainya.
Coba perhatikan orang-orang Kristen. Kadang kala mereka juga begitu cerewet akan perkara-perkara kecil, dan saling mengucilkan hanya untuk perkara remeh. Sebagai contoh hal tentang denominasi-denominasi di gereja Kristen. Dari mana munculnya mereka? Inilah salah satu kasus munculnya sebuah denominasi. Mengapa kaum Baptis mendapat sebutan seperti itu? Saya berbicara sebagai salah satu anggota Persekutuan Kaum Baptis di Kanada. Mengapa kita memakai nama ‘Baptis’ untuk perhimpunan ini? Karena kaum Baptis memiliki satu siri khas: menekankan baptisan pada orang dewasa. Memang benar! Ini adalah reaksi terhadap baptisan bayi sehingga muncullah penekanan pada baptisan orang dewasa, yakni Anda tidak bisa dibaptis sebagai bayi, Anda harus dibaptis sebagai orang dewasa karena hanya setelah dewasa Anda tahu apa yang sedang Anda perbuat itu. Hal ini memang sangat baik. Tidak ada yang salah dengan perpuluhan berupa selasih, adas manis dan jintan, dan tidak ada yang salah juga dengan baptisan orang dewasa. Semuanya baik.
Namun jika kita memakai perincian kecil ini untuk memandang gereja yang lain sebagai bukan ‘Kristen’ seperti kita; bahwa mereka adalah kaum yang kualitasnya di bawah kita – saat kita melakukan ini berarti kita telah melanggar prinsip ini. Kita telah mengutamakan detail dan mengabaikan komitmen kita pada kebenaran dan kemurahan, yakni untuk mengasihi dan mempercayai. Akibatnya kita bersikap kurang murah hati dan kurang benar terhadap orang lain.
Ah! Menurut kita, “Anda tidak dibaptis sebagai orang dewasa, Anda dibaptis sebagai bayi.” Lalu semua jemaat denominasi ini disingkirkan. Semua jemaat yang melakukan baptisan bayi itu adalah orang-orang lebih rendah secara rohani, dan kita tidak sudi bersekutu dengan orang-orang seperti mereka. Kita akan bertanya, “Apakah mereka tidak pernah membaca Alkitab?” Jemaat itu juga membaca Alkitab mereka. Memang benar bahwa tindakan mereka tidak memiliki dasar yang kuat. Tetapi sekalipun kita memiliki perbedaan dalam hal ini, tidakkah kita juga seharusnya tetap saling mengasihi? Apakah untuk hal ini kita harus mengabaikan kemurahan, yakni kasih, iman dan kebenaran? Hal mana yang lebih penting? Haruskah kita membangun suatu denominasi oleh karena perbedaan cara pembaptisan? Cukup memalukan karena kita harus mengakuinya, yakni bahwa kita memang membangun suatu denominasi karena masalah baptisan.
Saya adalah orang yang memandang bahwa baptisan itu penting, akan tetapi saya tidak memandang bahwa hal tersebut merupakan alasan yang cukup kuat untuk mengucilkan saudara kita dari denominasi lain, dari persekutuan iman. Anda lihat, kita ini munafik. Sungguh kita ini memang munafik. Kita melakukan hal yang semacam itu lalu kita menganggap bahwa hanya orang-orang Farisi itu yang munafik. Kita mengurusi satu masalah kecil, lalu kita besarkan masalah itu sehingga kita memisahkan diri. Sungguh memalukan. Dan kita terus saja melakukan hal-hal semacam itu. Kita sebagai manusia, secara alami kita ini sangat cerewet! Kita ini luar biasa cerewetnya!
Pernahkah Anda sadari, misalnya, jika Anda berbagi kamar dengan seseorang, maka Anda akan membangun begitu banyak ketegangan dengan orang tersebut hanya untuk masalah-masalah kecil. Dan setelahnya, jika Anda renungkan kembali, Anda merasa sangat konyol! Begitu ribut mempersoalkan masalah kecil dan membesarkannya sampai kelewatan dan gagal melihat apa yang penting dan apa yang tidak.
Antara suami dan istri, hal ini juga sering juga terjadi. Kadang kala Anda menjadi begitu tersinggung terhadap suami atau istri Anda hanya untuk masalah-masalah sepele. “Cangkir ini harus ditaruh di sini. Selalu di sini! Tapi kamu taruh di sana. Tahukah kamu kalau cangkir ini harus selalu ditaruh di sini? Sudah berapa tahun kita menikah dan kamu tetap tidak tahu kalau cangkir ini harus ditaruh di sini?” Begitu remehnya masalah itu sehingga Anda akan berkata, “Sungguh terlalu! Aku begitu ribut hanya karena cangkirnya tidak ditaruh di tempat yang seharusnya.
“Mengapa kamu pakai lap yang ini untuk mengeringkan tangan? Tidakkah kamu tahu kalau lap untuk tangan itu, yang di sana itu? Yang ini lap untuk mengeringkan cucian dan yang itulah yang dipakai untuk mengeringkan tangan. Sudah 20 tahun kita menikah dan kamu masih belum tahu juga lap mana yang harus dipakai?” Oh! Mendadak saja persoalan lap ini menjadi sangat penting, masalah kasih dan keadilan, semua itu lenyap. Semua urusan besar itu lenyap begitu saja. Jujur saja. Bukankah kita melakukan hal semacam itu? Tentu saja kita melakukannya. Kita ini munafik. Memang begitulah adanya kita.
Dan seberapa sering Anda merasa marah terhadap teman sekamar Anda hanya karena beberapa tetes air yang di lantai. “Ha! Lihat air di lantai ini! Sungguh orang yang jorok! Aku harus selalu bersabar terhadap orang yang terus saja mengotori lantai ini.” Saat kami berbicara ulang tentang hal semacam ini, kedengarannya memang lucu, akan tetapi di saat Anda berada dalam situasi tersebut, Anda juga merasa jengkel, bukankah begitu? “Aku harus membersihkan lantai ini, apa dia pikir aku ini pembantu? Apa yang pernah kamu perbuat untuk aku?” Demikianlah, perkara kecil menjadi begitu besar, sangat besar! Dan belakangan, saat Anda sudah jauh dan bisa merenungkannya, Anda akan berkata pada diri Anda sendiri, “Betapa bodohnya aku ini! Sungguh konyol.”
Kita mengabaikan hal yang penting karena hal sepele. Dengan kata lain, kita melihat nyamuk namun kita tidak melihat unta. Sungguh aneh hal yang terjadi pada diri kita. Seolah-olah kita mengamati dunia ini dengan mikroskop.
Begitulah keadaannya, bukankah demikian? Saudara kita mungkin hanya punya satu kesalahan kecil, namun menurut kita sudah tamatlah riwayat orang itu akibat satu kesalahannya itu. Dia memakai dasinya dengan cara yang salah. Mengapa dia berjalan kesana kemari dengan sepatu yang buruk itu. Sebetulnya aku mau saja menerima orang ini kalau dia tidak memakai sepatu buruk itu. Demikialah, kita menilai seseorang melalui hal-hal yang sangat remeh. Kita selalu saja melakukan hal yang semacam ini. Jujur saja, bukankah begitu? Kita selalu melakukan hal yang semacam ini. Begitu dangkal cara kita menilai.
Jujur saja. Saat pertama kali Anda berjumpa dengan seseorang, hal apakah yang Anda amati dari orang tersebut? Hubungan Anda nantinya dengan orang itu berdasarkan pada hal-hal sepele. Anda berpikir, “Potongan rambut macam apa ini? Aku tidak mau berbicara dengan orang ini.” Mungkin Anda beranggapan bahwa hal ini keterlaluan, akan tetapi memang benar, bukankah begitu? Jujur sajalah. Anda memang menilai seseorang seperti ini, “Aku tidak suka potongan rambutnya, aku tidak mau berbicara dengannya.” Atau, “Bajunya kotor. Aku tidak suka orang semacam ini. Aku tidak mau berbicara dengannya.” Anda tidak tahu mungkin saja ada orang lain yang menumpahkan sesuatu ke bajunya saat makan siang tadi; jadi bukan salahnya jika bajunya kotor. Akan tetapi Anda tidak tahu perinciannya. Detail semacam ini tidak penting bagi Anda.
Demikianlah, sama halnya dengan orang-orang Farisi ini, kita begitu cerewet akan detail yang kecil akan tetapi kita abaikan perkara yang besar – bagaimana Anda bisa tahu bahwa dia tidak baik hanya dari potongan rambutnya? Dia bisa saja adalah manusia Allah yang perkasa. Anda tidak tahu. Apakah Anda akan menilainya berdasarkan potongan rambutnya? Jika Anda melihat foto John Sung, bagaimana kesan pertama Anda? Saat pertama kali saya melihat foto John Sung, saya terkejut! Saya bertanya, “Inikah John Sung” Sekilas pandang akan membuat Anda berkata, “Itukah dia? Mengecewakan sekali! Kalau saja aku tidak pernah melihat fotonya, aku akan mempunyai penilaian yang lebih bagus tentang dia.”
Mementingkan penampilan luar dan bukannya karakter
Di sisi lain, kita mungkin berjumpa dengan orang yang berpenampilan bagus dan kita mengira bahwa dia orang penting! Namun bisa saja dia itu bukan apa-apa sama sekali. Sama sekali bukan siapa-siapa! Namun kita selalu menilai seseorang seperti itu. Apakah Anda juga menilai dengan cara itu?
Mari kita tanya para pemuda dengan jujur. Saat pertama kali dia melihat si gadis, hal apakah yang dia perhatikan? Ah! Mata yang indah. Jadilah, dia akan menjadi istriku. Mengapa? Karena matanya indah. Begitulah cara kita menilai seseorang. Kita menikahi seorang gadis hanya karena matanya indah. Jujur saja. Bukankah hal ini benar? Kita tidak mempersoalkan hal-hal yang berat. Seperti apa karakternya? Siapa yang peduli dengan karakter? Yang penting matanya! Itulah yang penting. Seperti itulah hal yang terjadi. Mereka membuat keputusan besar di dalam hidup mereka berdasarkan hal-hal yang sangat tidak berhubungan. Memang bagus memiliki mata yang indah, namun hal itu tidak menjadi pokok yang penting dan menentukan. Sayang sekali, hal yang tidak penting itulah yang menentukan segalanya.
Jadi Anda bisa lihat, kita mentertawai orang-orang Farisi, akan tetapi kita juga sama saja; seperti itu jugalah cara kita mengambil keputusan; cara kita berhubungan dengan orang lain; cara kita bertindak.
Lalu bagaimana kita mengatasi hal ini? Sudah tentu, satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan menaruh penekanan pada tempat yang benar. Kita harus membuat keputusan bahwa “Aku tidak peduli seperti apa potongan rambut orang ini, yang aku pentingkan adalah isi hatinya. Bagaimana komitmennya kepada Tuhan? Bagaimana kasihnya? Bagaimana pendiriannya tentang kebajikan? Kebenaran? Keadilan? Itulah hal-hal yang akan kuperhatikan.”
Namun kecenderungan kita adalah tidak melihat dengan cara seperti itu. Jujur sajalah. Saat Anda memilih kekasih Anda, apakah Anda menanyakan hal-hal tersebut? Saya meragukannya. Jika Anda melakukannya, maka Anda berada di jalur yang benar. Jika Anda berkata, “Aku tidak peduli bagaimana penampilannya. Aku ingin tahu bagaimana kasihnya pada kebenaran? Apakah dia berkomitmen untuk melayani Tuhan dan mengikut Dia? Apakah dia beriman?” Jika Anda mencari kekasih, hal-hal semacam inikah yang Anda tanyakan?
5. Perhatian pada hal-hal yang fana, dan mengabaikan hal-hal batiniah
Mari kita lanjutkan apda ‘celaka’ yang kelima. Ayat 25 dan 26:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.
Celaka yang sebelumnya menunjukkan bahwa kita tidak tahu apa yang penting dan apa yang tidak. Kita menekankan hal-hal yang tidak penting dan mengabaikan persoalan-persoalan yang penting.
Celaka yang kelima ini berurusan dengan perkara lahiriah dan batiniah – yakni tentang perlunya kita menjadikan hal-hal yang rohani itu sepenuhnya sebagai bagian dari hidup kita (internalize the spiritual things).
Di sini, yang menjadi pusat perhatiannya adalah perkara lahiriah. Gambaran yang ada di sini adalah gambaran lucu tentang seseorang yang sibuk membersihkan bagian luar dari cawan, menghabiskan banyak waktu hanya untuk membersihkan bagian luarnya akan tetapi bagian dalamnya tetap kotor. Namun dia tidak peduli apakah bagian dalamnya tetap kotor; yang dia pedulikan hanya bagian luarnya saja. Ini adalah situasi lain yang sangat mudah menjebak kita: yakni kepedulian kita hanya pada sisi lahiriah, pada hal-hal yang fana dan kita abaikan bagian yang penting, yakni bagian dalamnya. Yang terjadi pada orang-orang Farisi: jika Anda mengamati seorang Farisi, maka dari luar dia akan terlihat sangat baik. Dia terlihat begitu layak tampil, sangat rohani. Dia mengenakan jubah yang indah dengan tali sembahyang yang lebar. Dia memakai jumbai baju yang panjang. Dia memasang kotak kecil yang diikatkan di bagian dahinya dan juga di lengannya. Dan jumbai bajunya berayun-ayun di ujung bajunya. Dia juga membawa-bawa buku doanya. Penampilannya cukup mengesankan. Namun bagaimana dengan bagian dalamnya?
Kita sangat dipengaruhi oleh penampilan. Jika seorang melangkah masuk, dengan segala kelengkapan kebesarannya, semua orang akan menaruh hormat setinggi-tingginya kepada dia. Mengapa? Itu karena pengaruh dari pakaiannya. Kita juga memperlakukan orang dengan cara ini, bukankah begitu? Yakobus memperingatkan kita bahwa ini bukanlah cara yang benar di dalam menilai seseorang. Jika ada orang yang masuk ke gereja dengan pakaian yang sangat indah, dan kita berkata, “Silakan duduk di kursi yang indah ini. Dari sini, Anda bisa melihat pendeta dengan lebih baik.” Kemudian ada orang yang masuk, dan pakaiannya buruk sekali, lalu kita berkata, “Bagaimana kalau Anda duduk agak di belakang? Atau bagaimana kalau Anda duduk di keset saja?” Kita menilai seseorang dengan cara seperti ini. Jika Anda masuk dengan pakaian yang buruk, hampir tidak akan ada orang yang akan melihat Anda. Namun jika Anda melangkah masuk dengan baju berkancing emas, beberapa gelang besar dari emas, dan memakai berbagai perhiasan emas lainnya, Anda akan terkejut melihat bagaimana para penyambut tamu memperlakukan Anda. Memang benar, sangatlah penting untuk berpakaian yang sesuai dengan tempatnya, terutama jika Anda ingin mendapatkan penghormatan dari orang lain. Seperti inilah kecenderungan kita di dalam menilai orang lain.
Keserakahan: Menginginkan sesuatu yang bukan hak Anda
Namun bagaimana di dalamnya? Perhatikanlah. Disebutkan bahwa di dalamnya, Anda penuh dengan apa? “Sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.” Secara sederhana, artinya “rampasan” adalah bahwa Anda menginginkan sesuatu yang bukan hak Anda. Dan Anda akan mencari cara untuk membenarkan tindakan Anda.
Ahab mengambil ladang anggur yang bukan haknya
Satu contoh kasus yang saya ingat dari Perjanjian Lama adalah Ahab. Anda ingat bahwa Ahab ingin mendapatkan sebuah kebun anggur. Dia melihat ada orang yang memiliki sebuah kebun anggur yang bagus dan dia menginginkan kebun anggur itu, lalu dia berkata, “Aku akan membelinya darimu.” Akan tetapi orang itu menjawab, “Aku tidak akan menjualnya, sekalipun kepada sang raja. Hal ini bertentangan dengan hukum di Israel karena kebun ini adalah warisan dari leluruhku. Aku tidak bisa menjual kebun anggur ini.” Namun Ahab begitu menginginkannya, sehingga apa yang selanjutnya dia perbuat? Dia membuat siasat yang mengakibatkan orang tersebut dihukum mati dan kemudian dia bisa memiliki kebun anggur itu.
Inilah hal yang dimaksudkan oleh kata ‘rampasan’ itu. Kata ini berarti memperoleh sesuatu melalui kejahatan yang serius. Namun janganlah mengira bahwa karena kita tidak melakukan hal yang separah Ahab lalu perbuatan kita itu bukanlah dosa. Dosa adalah dosa entah itu sangat besar atau sangat kecil. Hal itu tetaplah dosa. Suatu noda tetaplah noda entah hanya setitik atau sebesar dinding kamar Anda! Keduanya sama saja.
Orang muda ingin menikmati seks di saat belum berhak melakukannya
Pernahkah terjadi Anda menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya Anda miliki atau belum saatnya Anda miliki? Anda menginginkannya, lalu Anda berdaya upaya untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara curang sekalipun. Ini adalah area di mana kita harus sangat berhati-hati karena Anda mungkin saja berkata, “Saya tidak melakukannya.” Mungkin Anda tidak melakukannya dalam hal keuangan, akan tetapi bisa melakukannya dalam hal yang lain.
Terutama bagi orang-orang muda, godaan itu lebih berkenaan dengan seks. Saya akan berterus terang dan jujur kepada Anda. Anda ingin menikmati pengalaman berhubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan Anda atau belum saatnya Anda berhak melakukannya. Lalu Anda melakukan hal itu sampai suatu tingkat tertentu, dan mungkin Anda berkata, “Aku akan melangkah sejauh ini saja dan tidak lebih jauh lagi.” Namun Anda tidak akan bisa berhenti jika Anda telah melangkah sejauh itu. Itulah artinya mengambil sesuatu hal yang bukan hak Anda. Anda ingin merampas. Anda ingin mencurinya, ingin memiliki barang curian. Ini salah. Jadi, di sini kita bisa lihat bahwa kita juga melakukan hal yang sama [dengan orang-orang Farisi]. Kita mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Dengan demikian, kita juga melakukan kesalahan yang sama, yang di dalam ayat ini diterjemahkan dengan kata ‘rampasan’. Itulah keserakahan. Konsekuensi dari hal ini menurut Kitab Suci sangatlah serius. Jatuh ke dalam ‘celaka’ yang satu ini sangatlah fatal.
Kurangnya pengendalian diri secara batiniah
Sekarang perhatikan kata yang diterjemahkan dengan kata ‘kerakusan’. Apakah kerakusan itu? Kata ini secara harfiah di dalam bahasa Yunaninya adalah kekurangan pengendalian diri. Itulah makna dasar dari kata sumbernya. Makna kata ini adalah menyenangkan/memanjakan diri dan dalam hal ini secara khusus berkenaan dengan masalah seksual. Itulah sebabnya mengapa saya memberikan ilustrasi tadi. Kata ini juga dipakai di dalam 1 Korintus 7:5 dan diterjemahkan dengan kata pengendalian diri namun di Matius, kata yang sama diterjemahkan sebagai kerakusan. Seluruh isi 1 Korintus pasal 7 berkenaan dengan masalah hubungan seksual dan di dalam ayat 5 itu disebutkan hal yang berkenaan dengan hubungan suami istri:
Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak (kurangnya pengendalian diri – lack of self-control).
Kata yang diterjemahkan sebagai kerakusan di Matius, di 1 Korintus ini diterjemahkan dengan ‘tidak tahan bertarak’. Masalah yang tersangkut dengan orang-orang Farisi dan juga kebanyakan orang Kristen adalah kurangnya pengendalian diri yang bisa berakibat fatal. Karena kurangnya pengendalian diri inilah maka orang menghendaki sesuatu yang bukan merupakan haknya pada saat itu. Kita ini serakah; kita bersiasat untuk mendapatkan sesuatu hal buat kita. Kita bisa melakukannya dengan berbagai macam cara dan dalam berbagai macam bidang. Saya telah menyebutkan salah satu contohnya, yakni di bidang seksual, yang sebenarnya sangat cocok dengan ayat ini karena adanya kata “tidak tahan bertarak atau kurangnya pengendalian diri” ini.
Kita menginginkan reputasi yang tidak merupakan hak kita
Kita bisa melakukan hal ini dalam berbagai bidang. Sebagai contoh, kita menginginkan reputasi melebihi apa yang pantas kita miliki. Ini juga merupakan kemunafikan. Kita ingin agar orang lain menilai kita lebih tinggi daripada keadaan yang sebenarnya. Kita ingin agar orang lain mengagumi kita lalu kita membuat cerita tentang kehebatan yang pernah kita lakukan.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah buku yang dituliskan mungkin dengan tujuan bercanda, yang ditulis oleh seorang Inggris, dia sendiri adalah seorang gentleman, keturunan dari keluarga ningrat. Judul buku itu adalah The English Gentleman. Buku ini begitu berterus terang akan watak manusia, dia menjabarkan perilaku seorang gentleman, atau sejujurnya, kemunafikan mereka. Malahan, dia menguraikan dengan cara yang agak menyindir, “Nah, jika Anda ingin menjadi seorang gentleman, maka Anda harus belajar cara untuk membual.” Misalnya, jika Anda mendapat undangan pesta dari Ratu Inggris, pesta teh kerajaan, maka Anda perlu memamerkan surat undangan itu di tempat yang menyolok mata. Dan jika ada orang bertanya, “Oh! Anda mendapat undangan ke pesta teh kerajaan!” Maka Anda berkata, “Iya, pesta yang membosankan. Saya sudah sering ke sana dan acaranya sangat membosankan,” walaupun sebenarnya Anda belum pernah menghadirinya. Namun yang penting teruslah katakan, “Oh, ini bukan apa-apa! Aku tidak yakin kalau aku bisa hadir karena aku sangat sibuk.” Dan orang akan berpikir, “Oh! Anda benar-benar istimewa! Sang Ratu sering mengundang Anda ke pesta.”
Kita semua juga sangat berpengalaman di bidang ini, saya yakin akan hal itu. Anda tidak perlu belajar dari orang Inggris untuk urusan ini. Kita juga memiliki keahlian terus membual di sepanjang hidup kita. Kita terus menerus menunjukkan betapa sibuknya kita, betapa banyaknya uang mengalir masuk akan tetapi kita tidak punya waktu untuk menangani semuanya itu. Lalu orang akan berpikir, “Wah! Orang ini memang hebat!”
Kita ingin agar orang lain menilai baik diri kita
Akan tetapi orang Kristen juga melakukan hal yang sama. Kita melakukannya lewat cara yang lebih halus. Kita ingin agar orang lain menilai baik diri kita, jadi kita beri mereka sedikit petunjuk tentang hal-hal yang kita perbuat, bahwa kita telah menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan dan kita berkata, “Sungguh merupakan suatu kesempatan yang istimewa bagiku untuk bisa membantu orang itu.” Kita menyampaikannya dengan cara yang halus. Oh! Kita sangat munafik! Kita ingin mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Kita ingin agar orang lain menilai baik diri kita, melebihi apa yang layak bagi kita. Anda bisa lihat betapa banyak hal yang bisa kita lakukan dntuk mengakali Firman Allah.
kejarlah pujian dari Allah bukannya dari manusia
Waktu kita sudah habis, dan sejauh ini kita sudah mempelajari lima prinsip dan juga cara bagaimana untuk mengatasinya. Lalu bagaimana kita mengatasi yang hal yang kelima ini? Kita harus belajar untuk menekankan pada yang batiniah dan bukan yang lahiriah; tidak mengejar kemuliaan dari manusia. Inilah poin kunci di sini. Persoalan yang menjebak orang-orang Farisi adalah karena mereka mengejar kemuliaan dari manusia. Jujur sajalah. Apakah kemuliaan dari manusia tidak berarti apa-apa bagi Anda? Anda bisa dengan mudah memeriksanya. Bagaimana perasaan Anda ketika orang lain memuji Anda? Oh! Anda tiba-tiba merasa sangat senang. Sungguh enak dipuji. Periksalah reaksi Anda disaat Anda dipuji. Bagaimana perasaan Anda?
Itulah sebabnya mengapa orang memakai pujian sebagai senjata. Mereka memakai pujian terhadap orang lain karena mereka tahu bahwa pujian itu sangat efektif. Tinggal mengucapkan hal-hal yang menyenangkan tentang orang tersebut, sekalipun hal itu tidak benar, maka dia akan segera melakukan segala-galanya buat Anda, ia akan melakukan segala seusatu yang Anda inginkan. Sangatlah mudah untuk memanipulasi dan mengendalikan orang lain dengan memakai pujian.
Oleh karena itu belajarlah untuk mengejar kemuliaan dari Allah, demikian kata Yesus di dalam Yohanes 5:41, dan janganlah mengejar kemuliaan dari manusia jika Anda ingin menghindari bencana rohani. Saya sampaikan hal ini secara khusus kepada kaum wanita. Bagi saya tampaknya para saudari, walaupun hal ini juga berlaku bagi para saudara, namun seringkali para saudari terjatuh oleh mulut yang licin, dari orang yang datang dan menimbun puji-pujian, dan dengan mudah dia jatuh. Penyerahan yang instan. Bagaimana? Cukup dengan terus menerus memujinya.
“Oh, selera berpakaian Anda sangat bagus! Sungguh selera yang sangat bagus! Saya belum pernah melihat orang yang punya selera sebagus ini!” “Oh! Benarkah? Anda hanya bercanda, begitu kan?” “Oh! Saya serius!” Dan, “Oh! Tata rambut Anda sangat indah! Di salon manakah Anda menatanya?” “Oh! Aku menatanya sendiri.” “Oh! Anda sangat terampil menata rambut Anda. Anda sangat berbakat. Sungguh luar biasa sekali!”
Dengan cara begitu banyak wanita yang terjatuh oleh para ahli merayu. Mereka cukup berbicara saja. Dan Anda sudah hanyut sampai jauh. Sungguh mematikan! Sungguh mengerikan!
Dan orang-orang Kristen juga kadang-kadang melakukannya tapi dengan cara yang lebih halus. Anda bisa membuat semua orang melakukan apa saja jika Anda memanipulasi mereka lewat pujian. Anda mempermainkan kelemahannya. Siapakah yang tidak menjadi lemah jika berhadapan dengan pujian? Saya sampaikan ini karena Iblis bisa menghantam kita dengan cara ini dan hasilnya bisa sangat parah.
Saya kenal dengan seseorang yang sangat cerdas, orang yang sangat berpendidikan, malah dia memiliki dua gelar Doktor, namun dia dengan mudahnya masuk ke dalam sebuah sekte, meninggalkan gereja dan masuk ke dalam sebuah sekte. Bagaimana bisa begitu? Karena orang yang bertugas ‘memenangkan jiwa’ itu menimbun pujian kepadanya. Lalu orang ini terhanyut. Dia tinggalkan gereja Allah dan bergabung dengan suatu sekte. Mengapa? Karena orang-orang tersebut bisa dan mau memakai cara tersebut untuk ‘melicinkan’ jalan mereka mempengaruhi Anda dan menarik Anda, menjadikan Anda penganut sekte mereka. Dalam cara kami memenangkan jiwa, kami tidak akan memakai cara tersebut. Itu bukanlah cara untuk memenangkan jiwa karena dengan demikian berarti Anda telah menipu orang lain, memanfaatkan kelemahan mereka, memberi mereka kesenangan dengan tujuan supaya mereka bersedia melakukan apa yang Anda inginkan. Ini adalah tipuan yang paling gawat.
Dan dengan cara inilah Iblis membawa kita ke dalam dosa. Dia akan menjatuhkan kita ke dalam dosa. Banyak saudari dan juga saudara seiman yang dengan sukarela takluk di bawah dosa, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, cukup melalui timbunan pujian. Tinggal mengucapkan kata-kata yang menyenangkan hati mereka dan Anda akan segera dapatkan hal yang seharusnya tidak berhak Anda dapatkan. Banyak gadis yang dengan sukarela memberi jalan kepada pemuda yang berbicara seperti ini kepadanya. Waspadailah hal ini. Anda sedang berjuang bagi keberlangsungan kehidupan rohani Anda. Bersiagalah. Jangan mencari kemuliaan dari manusia. Jangan mencari pujian dari manusia jika Anda ingin bertahan.