Pastor Eric Chang | Matius 23:27-33 |

Hari ini, kita melanjutkan pembahasan di Matius pasal 23. Kita telah melihat bahwa di Matius 23, Yesus menjabarkan kepada kita gambaran tentang gejala-gejala dari penyakit yang bisa berakibat fatal bagi kehidupan Kristen. Kita juga telah melihat bahwa kita harus menelaah pasal ini dengan sikap hati yang benar, jika tidak maka pasal ini tidak akan bermanfaat bagi kita. Jika kita mengira bahwa kita bukanlah orang-orang munafik, dan bahwa yang munafik itu adalah orang lain, maka pasal ini menjadi tidak ada artinya bagi kita, sia-sia saja kita mempelajari Firman ini.

Namun semakin kita mempelajari pasal ini, semakin kita sadari bahwa kita sendiri adalah jenis orang yang sangat rawan terkena penyakit-penyakit yang diuraikan di sini. Dan semakin kita melanjutkan, semakin nyata bukti bahwa firman ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Farisi saja, yang hidup sekitar 2000 tahun yang lalu, melainkan juga kepada kita. Pada pembahasan yang terakhir, kita telah mempelajari lima macam dari penyakit rohani yang mengancam kita. Yesus di pasal ini sedang membongkar akar dari permasalahan rohani kita.

(Lima Gejala yang pertama bisa dilihat di Tujuh Gejala Kanker Rohani – 1)


6. Meremehkan Firman Allah dan bukannya mentaatinya

Hari ini, kita sampai pada Matius 23:27-28

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.

 

Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

Perhatikan bahwa kemunafikan dan kedurjanaan di sini tampil beriringan. Kemunafikan adalah kedurjanaan (hal ini akan kita bahas nanti). Namun di dalam celaka yang satu ini, ada satu hal yang sangat mematikan – dari luar kita terlihat benar di hadapan orang lain. Orang bisa saja melihat ke arah kita dan berkata, “Oh, dia ini orang benar. Dari caranya berbicara dan caranya berperilaku, dia terlihat baik.” Namun ternyata, di dalamnya, dia penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Apa yang diperhatikan oleh manusia tidak sama dengan apa yang diperhatikan oleh Allah. Ini adalah situasi yang sangat menakutkan. Bagaimana mungkin seseorang bisa sampai pada keadaan di mana dari luarnya dia terlihat sangat baik, dia membuat dirinya terlihat sangat mempesona bagi manusia, akan tetapi di dalamnya dia penuh dengan kebusukan?

Saya yakin bahwa Anda tahu betapa kita sering masuk ke dalam pengalaman yang mengejutkan – seorang yang kelihatannya seorang Kristen yang baik, tiba-tiba saja terungkap bahwa dia tidak sebaik apa yang dia tampilkan. Hal ini bisa sangat menggoyahkan kita! Landasan iman kita bisa goyah saat berhadapan degan kejadian semacam itu.

Saya tidak pernah melupakan pengalaman saya ketika masih baru menjadi Kristen. Terdapat seorang penginjil yang telah membangun suatu organisasi Kristen yang ‘sangat sukses’ – jika Anda ingin memakai ungkapan tersebut – dan organisasi itu masih ada sampai sekarang. Namun hal yang sangat mengejutkan saya adalah ketika pada suatu hari saya mendapati bahwa dia sendiri hidup di dalam dosa. Terbayang oleh saya betapa dia berkhotbah di dalam berbagai ibadah, menguraikan isi Injil, berbicara dalam bahasa yang sangat alim, tampil benar di hadapan orang-orang – namun saya mendapati bahwa orang ini hidup di dalam dosa. Seperti inilah situasi yang menimpa orang-orang Farisi. Hal yang sangat menakutkan.

Yesus berkata kepada orang-orang Farisi, “Kamu seperti kuburan yang dilabur putih,” yakni kuburan yang dicat dengan kapur putih. Mengapa orang Yahudi melabur kuburan mereka? Bagi orang Yahudi, menyentuh kuburan, bahkan secara tidak sengaja, akan membuat mereka najis. Dan setahun sekali biasanya mereka mengecat putih kuburan-kuburan, yakni di periode menjelang perayaan Paskah.

Menjelang Paskah, semua orang ingin ikut merayakannya. Namun jika mereka tersentuh kuburan, hal itu akan membuat mereka terhalang dalam mengikuti perayaan Paskah. Untuk menghindari bencana ini, mereka melabur putih kuburan-kuburan.

Itulah gambaran yang dipakai oleh Yesus. “Kalian lihat kuburan-kuburan yang dilabur putih di sana? Kuburan-kuburan itu ditandai secara mencolok supaya orang tidak menginjak atau menyentuhnya. Bahkan di dalam gelap sekalipun kalian tidak akan menginjaknya karena cat putih itu tetap terlihat di kegelapan.” Inilah yang dimaksudkan oleh Yesus, “Kamu seperti kuburan yang dilabur putih. Dari luar terlihat bersih dan bagus. Tetapi di dalamnya, berisi tulang belulang orang mati.”

Orang-orang Kristen juga banyak yang seperti ini, terlihat bagus di luar namun jelek di dalam. Kita harus menghindari hal ini. Kita perlu mencari tahu mengapa orang sampai menjadi seperti ini. Mengapa bisa terjadi?

Tidaklah sulit untuk mengetahui bagaimana hal ini terjadi. Jika Anda dan saya tidak berwaspada, kita juga akan menjadi seperti kuburan itu. Apakah Anda kuburan yang dilabur putih? Adakah kematian di dalam diri Anda? Apakah terdapat tulang belulang orang mati? Apakah hal ini hanya terjadi pada diri orang-orang Farisi?

Mari kita membaca Wahyu pasal 3, di mana ada jemaat yang telah menjadi kuburan seperti ini. Hal ini bisa kita baca dari Wahyu 3:1-6. Yesus sendiri yang berbicara di sini, dan kali ini, dia berbicara sebagai Kristus yang telah bangkit dari antara orang mati. Yesus menilai jemaat di Sardis seperti kuburan. Sardis adalah salah satu dari tujuh jemaat di Asia Minor (tempat yang disebut Turki sekarang)

Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati! 

 

Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku.

Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah! Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Aku akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Aku tiba-tiba datang kepadamu.

Tetapi di Sardis ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya; mereka akan berjalan dengan Aku dalam pakaian putih, karena mereka adalah layak untuk itu.

Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat. 

Engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!”

Jemaat yang telah mati yang hanya menyisakan beberapa orang yang masih hidup tanpa tercemar.

Jadi janganlah mengira bahwa firman Yesus yang ditujukan kepada orang-oang Farisi ini tidak berlaku bagi Anda. Anda justru akan mendapati bahwa ketujuh celaka yang disampaikan oleh Yesus di Matius pasal 23 ini mendapat kesejajaran yang luar biasa di dalam ketujuh jemaat di dalam kitab Wahyu. Apa yang disampaikan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi ini bisa terjadi juga pada diri mereka. “Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah!

Hal apakah yang bisa mengakibatkan penurunan kualitas rohani? Di sini kita diberitahu: penyebabnya adalah karena memandang remeh Firman Allah, bukannya mentaati Firman Allah tetapi justru meremehkannya. Urusan meremehkan Firman Allah ini adalah hal yang sangat menakutkan. Sudah menjadi bagian dari watak manusia untuk berperilaku seperti ini. Kita memiliki kecenderungan untuk meremehkan segala sesuatu. Dan sikap meremehkan ini sangatlah fatal.


Pernikahan berubah menjadi pahit karena suami dan istri mulai saling meremehkan

Saya akan coba gambarkan hal ini dalam sebuah hubungan pribadi. Ketika dua orang belum menikah, Anda akan melihat betapa hati-hatinya mereka berperilaku antara satu dengan yang lainnya. Mereka berhati-hati dalam berbicara agar tidak menyakiti perasaan satu sama lain. Mereka berhati-hati dalam bertingkah laku, dalam tindakan mereka. Mereka tidak berani untuk langsung saling meremehkan karena pacaran adalah masa-masa yang penting. Pada saat-saat seperti itu, si pasangan masih bisa berkata, “Cukup sudah, putus saja.” Jadi Anda harus berhati-hati. Sangatlah bodoh orang yang langsung bersikap meremehkan di tahap awal seperti ini, karena hal itu akan segera saja menghancurkan hubungan.

Namun begitu mereka sudah menikah, Anda akan bertanya-tanya, mengapa hal yang sebelumnya sangat manis dengan cepat berubah menjadi sangat pahit? Mengapa banyak pernikahan yang hancur hanya dalam setahun atau dua tahun? Mengapa dua orang yang tampak begitu hanyut dalam cinta kasih, hanya dalam setahun usia pernikahan sudah bertengkar dan berkelahi dan berbicara tentang perceraian? Mengapa? Itulah persoalannya. Karena kita mulai meremehkan. Kita mulai merasa, “Sekarang dia sudah menjadi istriku (atau suamku), jadi aku bisa bertindak sesuka hati. Aku bisa menyuruhnya membawa tas belanjaan itu. Tidak soal karena dia sekarang suamiku dan aku berhak untuk menyuruhnya melakukan ini dan itu.” Si suami juga memiliki perasaan yang sama, “Dia sekarang istriku dan aku berhak untuk mengharapkan ini dan itu darinya dan dia akan melakukan hal ini dan itu bagiku.” Saat kita mulai bersikap meremehkan seperti itu, maka hubungan Anda akan segera saja menjadi pahit. Saya harap Anda mengerti akan hal ini.

Ada seorang bijak dari Tiongkok pada zaman dahulu yang berkata bahwa untuk menjaga manisnya hubungan pernikahan antara suami dan istri adalah dengan (相敬如賓 xiang4 jing4 ru3 bin1), yakni memperlakukan pasangannya seperti tamu. Hal ini mungkin terlalu berlebihan karena ini akan berarti bahwa kita akan selalu berada dalam suasana formal. Hal ini akan membuat kehidupan keluarga menjadi terlalu kaku. Akan tetapi kita bisa menarik ide yang disampaikan di sini, yakni, jangan saling meremehkan, jangan saling memperlakukan dengan sembarangan. Dan jangan berkata, “Untuk apa menjadi suami kalau bukan untuk menungguiku?” Atau, “Apa artinya menjadi istri kalau bukan untuk melakukan apa yang aku minta? Kalau tidak suka, jangan menikah denganku.” Nah, masalahnya adalah, “Sebelum menikah, kamu tidak pernah memperlakukanku seperti ini.” Jadi sangatlah penting untuk memperhatikan keseluruhan masalah ini – sikap meremehkan adalah awal dari kejatuhan.


Hubungan Anda dengan Allah akan mati jika Anda bersikap meremehkan

Lalu apakah hubungannya dengan Firman? Sangatlah erat hubungannya dengan Firman Allah. Saat kita mempelajari Firman Allah, kita mempelajarinya dengan rasa hormat, dengan kerendahan hati. Namun dengan mudahnya, seiring dengan waktu, kita mulai meremehkan Firman Allah. Kita mulai berkata, “Aku tahu bahwa Firman Allah mengatakan seperti ini akan tetapi kita tidak harus menjalankannya seperti itu.” Atau kita mulai memelintir Firman Allah untuk mengikuti selera kita. Kita mulai berkata, “Mungkin kita bisa mengartikannya seperti ini atau seperti itu.” Kita mulai meremehkannya.

Sangatlah berbahaya melakukan hal yang semacam ini. Kita tahu apa yang disampaikan oleh Firman Allah, namun secara sengaja kita tidak mengerjakannya seperti yang dimaksudkan. Atau kita hanya melakukan sebagian daripadanya lalu mengabaikan bagian yang tidak cocok dengan selera kita. Begitu kita mulai memperlakukan Firman Allah seperti ini, berarti kita sedang masuk ke jalur bencana! Jangan pernah berani bersikap seperti ini terhadap Firman Allah.

Ada pepatah Inggris yang berbunyi, “Keakraban melahirkan penghinaan.” (Familiarity breeds contempt) Ini adalah kalimat yang mengerikan. Saat Anda mulai akrab dengan seseorang, Anda lalu mulai memperlakukannya dengan tingkat ‘penghinaan’ tertentu. Artinya, Anda mulai meremehkannya. Ini adalah ide yang sama namun disampaikan dengan cara yang berbeda. Saat kita sudah sekitar lima tahun mempelajari Alkitab, kita mengira bahwa kita sudah boleh bersikap sembarangan terhadap Alkitab. Karena pengetahuan kita, keakraban kita akan isinya, kita lalu merasa berhak untuk bersikap meremehkan. Hal ini dilakukan sampai ke tingkat ekstrim oleh para pakar liberal. Mereka mengira bahwa mereka berhak untuk memilih-milih, memotong ayat ini, membuang ayat itu. Keberanian mereka sungguh tak terbayangkan.

Jadi waspadailan hal ini, kita harus terus belajar untuk tidak pernah meremehkan Firman Allah. Artinya, apapun yang disebutkan di sini, saya akan melakukannya. Saya akan berusaha, dengan kasih karunia Allah, untuk mengerjakannya. Jika Anda tidak memiliki sikap hati semacam ini, maka dengan segera Anda akan menjadi orang Kristen yang dari luarnya masih tampak benar, menyampaikan perkataan yang benar, kalimat yang benar, namun secara perlahan Anda mulai mati. Sama seperti matinya hubungan pernikahan, sama seperti matinya hubungan persahabatan jika mereka mulai saling meremehkan, demikian pula hubungan Anda dengan Allah akan mati jika Anda mulai bersikap meremehkan Allah.

Saat Anda masih baru menjadi Kristen – saat di mana Anda masih menikmati ‘cinta pertama’ – Anda begitu berhati-hati dalam berperilaku di hadapan Allah. Anda begitu berhati-hati di dalam saat-saat teduh Anda. Namun begitu Anda menginjak kedewasaan, saat teduh itu hanya untuk orang Kristen baru, bagi orang yang belum kenal betul. Bagi orang-orang Kristen baru, mereka memang harus bersikap seperti itu. Namun aku telah melangkah bersama Tuhan selama bertahun-tahun, dan aku boleh mulai bersikap sembarangan terhadap Allah. Sungguh menakutkan!

Terlebih lagi, kita secara tidak sadar jatuh ke dalam masalah ini. Sama halnya seperti pernikahan, sikap meremehkan ini bukanlah sikap yang direncanakan dengan penuh perhitungan. Sikap ini muncul karena kita tidak waspada. Kita mulai tergelincir ke dalam sikap yang saling menghina ini. Kita mulai saling berbicara dalam bentuk-bentuk yang tidak berani kita bayangkan sebelumnya, yakni di masa masih dalam pertunangan. Dulu kita tidak akan berani berbicara seperti ini. Namun sekarang kita berani karena secara perlahan-lahan kita membiarkan diri kita tergelincir ke dalam kondisi yang semacam ini. Saya harap Anda benar-benar berhati-hati dengan kehidupan Kristen Anda. Kewaspadaan penuh selalu dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan rohani, dan ini sangatlah penting, karena jika tidak, secara perlahan-lahan, bagian dalamnya akan mulai mati.


Selanjutnya, dosa akan menggerogoti kehidupan rohani Anda

Ada sebagian orang yang mengalami kemajuan di dalam kehidupan mereka, namun ada juga yang secara perlahan mengalami kematian bahkan secara tidak mereka sadari. Sama seperti orang yang terkena penyakit kanker yang mematikan di dalam tubuh mereka akan tetapi mereka masih belum merasakannya. Kanker tersebut masih belum mencapai tingkatan yang bisa Anda rasakan, akan tetapi kanker tersebut secara perlahan tapi pasti akan menghancurkan Anda. Namun buat sementara Anda belum menyadarinya. Anda masih merasa baik-baik saja sebelum dokter memberi diagnosanya.

Demikian pula halnya dengan kematian rohani. Hal ini bisa berjalan secara perlahan, pelan-pelan menggerogoti Anda seperti kanker. Satu dosa mungkin sedang menggerogoti Anda, namun Anda tidak menyadari dosa tersebut. Anda mungkin bahkan membenarkan dosa tersebut. Anda bahkan mungkin berpikir bahwa hal itu tidak serius. Namun waspadalah agar Anda tidak menampung dosa yang paling kecil sekalipun di dalam hidup Anda, karena seperti kanker yang berawal dari bentuk yang kecil, mungkin ia berawal dari satu benjolan daging yang kecil saja, lalu ia bertumbuh, ia mulai memakan seluruh tubuh Anda. Hal yang sama berlaku juga di dalam kehidupan rohani.

Demikianlah, secara perlahan, dari luarnya, Anda masih terlihat sehat, di dalamnya, Anda adalah orang yang sakit parah. Itulah hal yang terjadi di sini – kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Sudah tidak ada hidup. Hidupnya sudah berakhir.

Dengan cara yang sama, Yesus berkata kepada jemaat di Sardis, “Yang lain-lainnya sudah hampir mati, sebaiknya kamu menyelamatkan yang tersisa secepatnya lewat pertobatan. Sebaiknya kamu perbaiki itu, karena jika tidak, maka tidak akan ada lagi kehidupan padamu. Kamu akan mati sepenuhnya, tak ada lagi tempat bagimu di dalam Kitab Kehidupan. Aku akan menghapus namamu karena Kitab Kehidupan itu hanya untuk mereka yang hidup saja, bukan untuk mereka yang mati. Jika kamu mati, maka namamu tidak termasuk lagi di dalam Kitab Kehidupan. Namamu akan dikeluarkan dari sana.” Sungguh gamblang pesan yang disampaikan di sini. Peringatan yang konstan dari Yesus.

Bagi Anda yang telah melayani Tuhan, tentunya telah melihat betapa banyak orang yang mati secara rohani. Secara perlahan-lahan, mereka terhanyut, digerogoti oleh semacam kanker di dalam batinnya. Dan pada suatu hari, yang tersisa hanyalah kulitnya saja; isinya sudah mati. Berhati-hatilah! Jangan bersikap sembarangan dengan Firman Allah! Selidikilah isi hati Anda dan mintalah kepada Allah untuk mengungkapkan apakah ada pertumbuhan dosa yang sekarang ini sedang mencemarkan Anda.

Perhatikan sekali lagi pesan yang ditujukan kepada jemaat di Sardis. Ada dua jenis umat di dalam jemaat tersebut: yang satu berpakaian putih dan yang satunya lagi berpakaian tercemar. ‘Tercemar’ berarti begitu Anda meremehkan Firman Allah, maka pakaian Anda tercemar. Anda mulai mengizinkan dosa untuk masuk ke dalam hidup Anda. Firman Allah adalah satu-satunya kubu pertahanan Anda terhadap dosa. Firman Allah adalah satu-satunya cara bagi Anda untuk tetap sehat secara rohani. Anda hanya akan tetap sehat dengan “memakannya” atau menjalaninya dalam hidup Anda yakni dengan mempraktekkannya. Begitu Anda tidak menjalankannya, sama seperti halnya dengan kanker, secara perlahan-lahan, tanpa disadari, Anda akan jatuh. Hal yang mengerikan dari penyakit rohani berupa kemunafikan dan kedurjanaan yang akan menjangkiti dan jika itu terjadi maka Anda sedang menuju pada kematian. “Kuatkanlah apa yang masih tinggal,” yakni hal-hal yang sudah hampir mati.

Jadi Anda bisa lihat, semua ini sama sekali bukan sekadar ditujukan kepada orang-orang Farisi. Hal ini benar-benar terjadi pada orang Kristen, seperti isi pesan yang ditujukan kepada jemaat di Sardis.

7. Hatinya menjauh dari Allah, hanya bibirnya saja yang memuliakan Allah

Mari kita lanjutkan pada poin yang ketujuh. Ayat 29:

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata:

 

Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!

Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?

Kata neraka ini adalah terjemahan dari kata gehenna, tempat api yang kekal. Apakah akhir dari kemunafikan? Apakah akhir dari semua kisah ini? Semuanya berakhir di neraka. Itu dia. Jika Anda hidup di dalam kemunafikan, bagaimana mungkin Anda bisa lolos dari neraka? Memang, kamu adalah umat Allah. Bukan saja kamu adalah umat Allah, kamu bahkan termasuk kumpulan elit di dalam umat Allah, yakni orang-orang Farisi, umat religius yang paling menonjol dari umat religius Israel, namun jika kamu munafik bagaimana mungkin kamu bisa lolos dari hukuman neraka? Itulah persoalannya.

Orang-orang Farisi merasa sangat aman, mereka merasa sangat terjamin keselamatannya. Mereka adalah para pemimpin agama di Israel. Mereka menetapkan standar kebenaran yang sangat tinggi di Israel. Mereka menjalankan hukum Taurat sampai pada perinciannya. Justru kepada orang-orang ini, bukan kepada orang-orang yang tidak percaya, bukan kepada orang non-Kristen, melainkan kepada mereka yang memiliki hubungan perjanjian dengan Allah, Yesus berkata, “Bagaimana mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?”

Anda tahu, tragedi yang terbesar di sini adalah bahwa orang-orang Farisi sama sekali tidak menyangka bahwa ucapan Yesus ditujukan kepada mereka, karena mereka, dibandingkan semua orang yang lainnya, sangat yakin akan masuk ke surga. Orang banyak, yakni orang-orang yang tidak mengerti hukum Taurat, mereka itu mungkin saja akan dihukum di neraka, akan tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang Farisi, para ahli teologi. Tentunya bukan kami! Justru kepada merekalah Yesus berkata, “Bagaimana mungkin kalian bisa luput dari hukuman neraka?” Apakah menurut Anda iman Anda kepada Allah akan menyelamatkan Anda? Apakah menurut Anda karena Anda berada dalam hubungan perjanjian dengan Allah di dalam Perjanjian Lama, maka hal itu akan menyelamatkan Anda? Apakah menurut Anda karena secara lahiriah Anda terlihat benar dan menjalankan semua perincian hukum Taurat maka hal itu akan menyelamatkan Anda? Dan jawaban mereka tentunya, “Ya, memang begitu, kami pikir hal itu semua akan menyelamatkan kami.” Akan tetapi jawaban Yesus adalah, “Tidak, hal itu tidak akan menyelamatkanmu.” Mengapa? Karena apa yang ada di dalam batin Anda itulah yang penting, yakni siapa diri Anda sebenarnya. Di sanalah letak persoalan Anda.

Apakah yang mereka perbuat? Mereka membangun monumen-monumen untuk orang-orang benar. Mereka membangun kuburan para nabi. Dan mereka membedakan diri mereka dari para leluhur mereka yang telah membunuh para nabi. Mereka berkata, “Namun kami tidak akan melakukan hal itu. Dan bukti bahwa kami tidak akan melakukan hal yang sama adalah bahwa kami membangun kuburan dari para nabi itu sekarang. Kami menghormati para nabi itu.”

Demikianlah, dari cara hidup mereka, terlihat jelas hal yang dinyatakan oleh nabi Yesaya di dalam Yesaya 29:13, di mana Tuhan berkata, “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku.” “Orang-orang ini menghormatiKu dengan mulut mereka namun saat Aku memeriksa isi hati mereka, ternyata hati mereka menjauh dariKu.”


Apakah Allah melihat bahwa hati Anda mendekat kepadaNya?

Saat Allah melihat ke dalam hati Anda, apakah yang Dia lihat? Apakah Dia melihat bahwa hati Anda mendekat kepadaNya? Bersikap jujurlah pada diri Anda sendiri. Jangan sampai kita menjadi munafik bahkan di tingkatan ini. Mungkin ucapan Anda terdengar sangat baik. Mungkin ucapan saya saat menyampaikan semua Firman Allah ini terdengar sangat baik, namun persoalannya adalah apakah hati saya mendekat kepada Allah? Itulah masalah yang penting sehubungan dengan keselamatan. Fakta bahwa saya adalah seorang pendeta, saya adalah seorang penginjil tidak menjamin apa-apa bagi saya di surga. Hal itu tidak membuktikan apa-apa; bukan merupakan landasan bagi saya untuk selamat. Bahwa saya bahkan berada di dalam hubungan perjanjian dengan Allah juga bukan merupakan jaminan keselamatan bagi saya.

Yang diperhatikan oleh Allah adalah isi hati; Dia melihat ke dalam hati Anda dan melihat seperti apa diri Anda sebenarnya. Berdasarkan hal itu, Dia akan menetapkan apakah Anda telah membuat komitmen kepadaNya atau tidak, dan apakah saya telah membuat komitmen kepadaNya atau tidak.

Kita bisa menipu manusia akan tetapi kita tidak bisa menipu Allah. Kita bisa menipu manusia dengan membangun monumen-monumen bagi orang-orang benar. Kita bisa menipu manusia dengan membangun kuburan-kuburan para nabi. Namun kita tidak bisa menipu Allah dengan semua hal itu. Kita bahkan bisa menipu diri kita sendiri dengan berkata, “Aku tidak akan melakukan semua hal itu kalau aku ada di sana pada zaman itu.” Apakah Anda tidak akan melakukannya? Apakah ada ujian untuk membuktikan bahwa Anda tidak akan melakukannya?

Satu-satunya jalan adalah dengan melihat ke dalam hati Anda. Allah tahu apakah Anda akan melakukannya atau tidak. Namun tragedi yang terjadi pada orang-orang Farisi ini adalah bahwa mereka mengira mereka tidak akan melakukannya, bahwa mereka lebih benar daripada leluhur mereka. Apakah kita benar-benar mengenal diri kita sendiri? Atau apakah kita ini hanya mendekati Allah dengan bibir kita saja?


Perilaku kita menunjukkan isi hati kita

Apakah bukti bahwa bibir kita mendekat kepada Allah? Seringkali, yang perlu Anda lakukan hanya melihat cara kita berpikir dan cara kita berperilaku, itulah yang akan mengungkapkan isi hati kita. Sekarang ini, begitu mudahnya kita menunjukkan semangat akan hal-hal yang lahiriah dari keagamaan, dan ini sangat menakutkan saya – yakni kita membangun kuburan-kuburan para nabi. Kita berbicara tentang hal yang benar. Kita ahli dalam berbicara; kita bahkan suka akan teologi. Kita gemar akan doktrin. Kita suka berdebat tentang doktrin.

Saya masih ingat di tahun pertama saya kuliah teologi, saya masuk ke ruangan umum para mahasiswa dan mendengarkan mereka berdebat tentang berbagai doktrin. Dalam hal ini, mereka berdebat tentang masalah doktrin predestinasi. Saat saya mendengarkan perdebatan mereka, hati saya sangat muak. Hati saya sangat muak, bukan pada isi perdebatannya melainkan pada cara perdebatan itu dilakukan. Cara mereka berbicara antara satu dengan yang lain, cara mereka saling menjatuhkan, cara mereka saling menekan sangat membuat saya ngeri. Sebenarnya, apakah yang sedang mereka biacarakan? Mereka sedang membicarakan Firman Allah. Benar, akan tetapi mereka mendiskusikan Firman Allah dengan cara yang akan membuat orang bertanya-tanya apakah kita ini sedang berbicara sebagai orang Kristen atau kita berbicara sebagai orang non-Kristen. Dan saya yakin, seringkali Anda juga merasakan hal yang sama, saat Anda melihat orang-orang Kristen berdebat tentang sesuatu hal, apakah mereka ini orang Kristen?

Dulu, pada waktu saya masih kuliah di Cambridge, ada satu pertemuan gereja-gereja, ada banyak pemimpin Kristen terkemuka dari gereja-gereja di Inggris, nama-nama mereka bisa Anda lihat pada banyak sampul buku yang sampai sekarang masih dijual di toko-toko buku. Dan ketika para ‘selebriti agama’ ini berkumpul di Cambridge, di tempat yang menjadi tempat tinggal saya dan sebagai seorang mahasiswa baru, saya meminta izin untuk boleh ikut hadir di dalam pertemuan mereka.

Mereka mengizinkan saya untuk ikut hadir mendengarkan diskusi itu. Belakangan saya justru berharap bahwa saya seharusnya tidak ikut menghadiri perbincangan itu karena ketika saya menyimak perilaku para pemimpin gereja itu, perlu saya katakan – dengan beberapa pengecualian – sebagian besar dari mereka bertengkar sedemikian kerasnya sehingga membuat saya terkejut dan terheran-heran! Apakah kita harus begitu ngotot membela doktrin kita sehingga kita merasa harus berperilaku sangat agresif? Kita boleh saja berdebat akan tetapi tidak dengan cara menjatuhkan orang lain secara langsung! Saya sangat tercengang! Bingung! Saya memohon kepada Allah agar dengan kemurahanNya, saya tidak akan berperilaku seperti itu lewat kasih karuniaNya.

Secara aktual kita ini bisa saja terlibat di dalam pekerjaan Tuhan, dan mengira bahwa karena kita ini terlibat dalam pekerjaan Allah, mengerjakan sesuatu yang memuliakan Allah, membangun kuburan-kuburan para nabi dan membuat tugu penghormatan bagi para nabi, maka kita aman. Tapi penghormatan itu hanyalah di luarnya saja, hanya di bibir. Bagaimana dengan hidup kita? Saat Allah menatap kita pada Hari itu, saat Allah melihat isi hati para pemimpin gereja, dan itu berarti termasuk diri saya – setelah sekian tahun ini, apakah yang Allah lihat di dalam hati saya? Itulah yang akan menjadi persoalannya. Apakah yang Allah lihat di dalam hati Anda? Dari luarnya kita terlihat benar, tapi apakah di dalamnya penuh kemunafikan dan kedurjanaan?


Apakah yang dimaksudkan dengan kemunafikan?

Sebelum kita tutup pembahasannya, mari kita renungkan apa makna kemunafikan ini, karena ada banyak kesalahpaman mengenai arti kemunafikan ini. Dan kami sendiri sudah beberapa kali membahas tentang hal ini sebelumnya, namun karena begitu berbahayanya kemunafikan ini, sehingga bahkan rasulpun tidak kebal terhadap kemunafikan, maka saya harap agar Anda benar-benar mencamkannya.

Di dalam Galatia 2:13, rasul Petrus juga jatuh dalam kemunafikan. Dan kita akan membaca dari ayat 11 untuk bisa mendapatkan konteksnya.

Tetapi waktu Kefas (nama Petrus dalam bahasa Aram) datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus (salah satu pemimpin jemaat di Yerusalem) datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat (di Antiokhia), tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat (dia takut dikecam oleh pihak Yahudi). Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.

Rasul Petrus dan Barnabas, keduanya adalah rasul dan keduanya telah berlaku munafik. Sungguh menakutkan! Jika seorang rasul bisa jatuh ke dalam kemunafikan, bagaimana mungkin kita kebal akan kemunafikan? Kemunafikan bukanlah ketidaktulusan. Unsur berpura-pura tidak masuk dalam makna kata munafik. Munafik bukanlah kepura-puraan. Ini harus kita pahami.

Saat jemaat di Sardis dikatakan dari luarnya terlihat hidup namun di dalamnya mati, ini bukanlah suatu tuduhan bahwa jemaat di Sardis berlagak tampil hidup. Adalah suatu fakta bahwa mereka pernah benar-benar hidup baik dari sisi luar maupun sisi dalamnya. Namun seiring dengan waktu, hanya sisi luarnya saja yang tetap hidup sedangkan sisi dalamnya secara perlahan mengalami kematian. Sebagaimana yang telah kita lihat, tanpa disadari kehidupan rohaninya telah digerogoti. Tidak ada kepura-puraan di sana; sungguh merupakan tragedi di mana mereka sekarang telah mati akan tetapi masih menunjukkan penampilan sebagai jemaat yang hidup. Dan kita tidak perlu menambahkan tragedi ini dengan menuduh mereka berpura-pura hidup. Tindakan berpura-pura secara sengaja bukanlah bagian dari tuduhan ini. Hal ini penting untuk dipahami. Namun, di zaman sekarang ini, kita telah membelokkan makna ‘kemunafikan’ menjadi tindakan berpura-pura benar.


Kesalahpahaman: kita baru menjadi munafik jika kita secara sadar bersikap tidak tulus, atau berpura-pura

Alasan mengapa saya prihatin dan mengurusi kesalahpahaman ini adalah karena kita bisa saja berbangga dan mengira diri kita ini tidak munafik, karena kita tidak berpura-pura tampil benar. Lalu kita mengira bahwa kita bukan orang munafik. Apakah menurut Anda rasul Petrus itu secara sadar bersikap munafik? Apakah secara sadar dia bersikap tidak tulus? Tentu saja tidak. Ketidaktulusan ini tidak bisa dituduhkan terhadap Petrus. Kemunafikan ini muncul ketika dia menguatirkan kecaman dari pihak Yahudi yang datang dari Yerusalem ke Antiokhia, oleh karena itu dia lalu mengambil jarak dari saudara-saudara yang bukan Yahudi. Ini bukanlah suatu tindakan yang disengaja untuk menipu siapapun. Ini adalah masalah kelalaian dalam satu ketika, dan sebagai akibat dari kelalaian itu, dia menjadi tidak konsisten; dia tergelincir ke dalam dosa tersebut. Dan itu memang dosa. Kita tidak bisa meremehkannya. Ini adalah salah satu dosa yang paling serius yang dilakukan oleh rasul Patrus.

Oleh karena itu, Anda harus buang jauh-jauh pikiran bahwa karena Anda tidak berpura-pura, maka Anda tidak munafik. Ini adalah suatu kesalahpahaman yang besar dan kita bisa menipu diri sendiri dalam hal ini. Kemunafikan sama sekali bukanlah kepura-puraan. Mereka yang tahu siapa itu orang-orang Farisi tidak akan mau menuduh bahwa orang Farisi tidak tulus. Orang-orang Farisi bukannya tidak tulus. Rasul Paulus sendiri adalah orang Farisi, dan tak ada orang yang berani menuduh dia tidak tulus. Ketidaktulusan bukanlah masalah orang Farisi. Yang terjadi pada mereka adalah bahwa kehidupan rohani di dalam diri mereka telah mati dan hanya menyisakan ibadah luarnya saja. Sungguh suatu tragedi. Yang terjadi pada diri mereka adalah, mereka begitu mengasihi Firman Allah sehingga mereka selalu membicarakan Firman Allah namun mereka lupa untuk melakukannya. Mereka tidak menjalankan Firman Allah.

Kita, misalnya, bisa begitu terjerat dalam pembelaan dogma, seperti para mahasiswa Sekolah Alkitab itu yang sudah saya sebutkan tadi, yang begitu hanyut dalam pembelaan dogma sehingga mereka berperilaku seperti orang tanpa nilai-nilai Kristiani. Apakah menurut Anda mereka itu secara sengaja berperilaku demikian? Tentu saja tidak. Atau seperti para pemimpin gereja yang juga telah saya sebutkan itu, yang berkumpul di Cambridge, apakah menurut Anda mereka secara sengaja ingin berperilaku seperti ini? Tidak, namun mereka begitu larut dalam proyek tertentu yang ingin segera dijalankan dan sangat kecewa pada orang-orang yang bersikap menentang proyek tersebut, sehingga mereka agak lupa diri dan menjadi sangat agresif. Sikap munafik ini tidak dilakukan secara disengaja. Ketidaktulusan bukanlah bagian dari makna kata ini. Anda harus memahaminya dengan jelas. Kurangnya kesiagaan itulah yang membuat kita tergelincir dalam kemunafikan. Inilah hal yang membuat kemunafikan itu menakutkan. Hal inilah yang harus kita waspadai.


Hanya Yesus yang memakai kata ‘munafik’ ini di dalam Perjanjian Baru

Selanjutnya kita akan membahas makna kata ‘kemunafikan’ ini. Kata ‘munafik’, sebagai contoh, dipakai sebanyak 17 kali di dalam Perjanjian Baru. Dan kesemuanya itu muncul di dalam pengajaran Yesus. Ini adalah kata yang dipakai oleh Yesus saja. “Hypocrite (munafik)” adalah kata yang dipakai oleh Yesus saja sebanyak 17 kali. Kata ‘hypocrisy (kemunafikan)’ muncul sebanyak 6 kali di dalam Perjanjian Baru, 3 di dalam Injil-injil sinoptik, 2 di dalam tulisan Paulus dan 1 dalam tulisan Petrus. Namun yang lebih penting bagi kita adalah mempelajari bagaimana kata ini digunakan.

Sebagai contoh, di dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani, Septuaginta, kata ini dipakai di dalam Ayub 34:30 dan 36:13. Dan di sana, kita lihat, bahwa kata ‘munafik’ ini merupakan terjemahan dari kata Ibrani yang berarti ‘godless (tidak bertuhan)’, bukan kata berpura-pura tetapi kata tidak bertuhan. Anda bisa saja secara tulus tidak bertuhan. Anda bisa bersikap tulus namun tetap munafik karena di dalam diri Anda tidak ada kehidupan walaupun di luarnya terlihat hidup.


Kata ‘kemunafikan’ sejajar dengan kata ‘kejahatan’, ‘kelicikan’

Demikian pula halnya dengan Yesus yang memakai kata ini secara tegas, jika kita buat perbandingan di dalam Injil sinoptik. Sebagai contoh, di Markus 12:15, di sini Anda temukan kata ‘hypocrisy (kemunafikan)’. Jika Anda bandingkan dengan ayat yang sejajar di dalam Matius 22:18, Anda temukan kata ‘wickedness (kejahatan)’. Dan jika Anda bandingkan lagi dengan Lukas 20:23, yang Anda temukan adalah kata ‘deceitfulness (kelicikan)’. Jadi di sini Anda bisa temukan kesejajaran antara kemunafikan dengan kejahatan dalam berbagai bentuknya. Kata ini tidak dimaksudkan untuk dimaknai sebagai sekadar ketidaktulusan.


Kemunafikan adalah: dari luar terlihat alim, namun di dalamnya tidak bertuhan

Bagi Anda yang ingin mempelajarinya lebih jauh, yang perlu Anda lakukan adalah meneliti kamus teologi untuk melhat sendiri bagaimana cara kata ini dipakai. Dan Anda akan mendapati bahwa kata ini dipakai untuk menegaskan makna tidak bertuhan, terutama jika Anda pelajari Perjanjian Lama berbahasa Yunani. Dari luarnya terlihat alim, namun di dalamnya tidak bertuhan. Itulah sebabnya mengapa, bahkan di dalam pasal ini, Anda bisa menemukan kata ‘kedurjanaan’ dan ‘kemunafikan’ dipakai dalam arti yang sama.

Hal yang sama akan Anda temukan jika Anda periksa kita Perjanjian Lama berbahasa Yunani lainnya. Terjemahan versi Aquila, Anda akan dapati hal yang sama di dalam Ayub 15:34, 20:5 dan sebagainya, di mana kata ‘kemunafikan’ dipakai untuk menerjemahkan kata ‘tidak bertuhan’. Hal yang sama terjadi dengan terjemahan versi Symmacus, juga di dalam terjemahan Theodotian, semua terjemahan Perjanjian Lama berbahasa Yunani itu memiliki kesamaan, yang menunjukkan bahwa tidak hanya di dalam Septuaginta saja, melainkan di seluruh terjemahan berbahasa Yunani untuk Perjanjian Lama, Anda akan mendapati pemahaman yang sama bahwa kata ‘kemunafikan’ itu bermakna tidak bertuhan, kejahatan, kedurjanaan dan pada dasarnya tidak berkaitan dengan ketidaktulusan, walau ketidaktulusan itu merupakan salah satu bentuk dari perwujudannya akan tetapi bukan merupakan makna dasarnya.


Bagaimana Yesus memaknai kata ‘kemunafikan’?


a.  penilaian orang lain terhadap Anda jauh lebih penting daripada penilaian Allah

Terakhir, mari kita lihat bagaimana Yesus sendiri memaknai kata ‘munafik’ ini. Dia memakai kata ‘munafik’ ini di Matius 6: 2, 5 dan 16 di mana dia berbicara tentang hal berpuasa dan bagaimana perbuatan baik dan puasa yang kita jalankan itu kita lakukan hanya untuk dinilai oleh orang lain. Hal ini bukan berarti ada ketidaktulusan tapi adanya kedagingan. Artinya benak Anda dikuasai oleh kedagingan. Pikiran yang dikuasai kedagingan yakni, selalu lebih memperhatikan orang lain daripada Allah.

Kita juga melakukan hal yang sama. Saya yakin bahwa Anda juga melakukan hal itu dalam tingkatan tertentu. Dan saya sendiri juga ternyata begitu. Seringkali, kita lebih kuatir pada penilaian orang lain daripada penilaian Allah. Hal ini bukan berarti bahwa kita tidak tulus, akan tetapi artinya adalah bahwa prioritas kita salah. Kita lebih peduli pada penilaian manusia terhadap diri kita. Inilah hal yang terjadi pada Petrus. Dia kuatir bagaimana penilaian pihak Yahudi nanti terhadapnya ketika mereka melihat dia bergaul dengan orang asing. Dan pada waktu itu, dia lebih peduli pada apa yang dipikirkan oleh rekan Kristen yang lain tentang dia daripada apa yang dipikirkan oleh Allah tentang dia, akibatnya dia jatuh ke dalam kemunafikan. Ini adalah hal yang sangat mengejutkan kita.

Akar dari kemunafikan terletak pada fakta bahwa bagi kita, penilaian orang lain terhadap diri kita lebih penting daripada penilaian Allah terhadap diri kita. Kita lebih peduli pada apa sikap, ucapan dan reaksi orang terhadap kita.


Apakah Anda merasa sangat tersinggung ketika orang lain mengritik Anda?

Sebagai contoh, apakah Anda merasa sangat tersinggung jika ada orang yang mengritik Anda? Anda hanya merasa sangat tersinggung jika bagi Anda, pendapat orang itu lebih penting daripada pendapat Allah tentang diri Anda. Jika pendapat Allah yang lebih penting bagi Anda, apalah artinya pendapat orang lain tentang diri Anda? Namun Anda bisa melihat betapa orang Kristen begitu sensitif, sangat mudah tersinggung. Orang yang mudah tersinggung menunjukkan bahwa mereka mempunyai prioritas yang salah. Apakah Anda orang Kristen yang mudah tersinggung? Apakah Anda begitu mudah sakit hati? Kalau ya, berwaspadalah! Berwaspadalah karena Anda adalah calon orang munafik. Orang yang lebih peduli pada pendapat Allah dan bukannya pendapat manusia tidak akan mudah tersinggung jika Anda mengritiknya. Sungguh ajaib, dengan ujian yang mudah dan cepat ini Anda bisa melihat apakah Anda ini calon pengidap penyakit rohani yang mematikan ini.

Jika Anda orang yang tidak keberatan pada kritik orang lain terhadap Anda, malah Anda berterima kasih kepada mereka, “Saya benar-benar menghargai pandangan Anda akan hal ini. Saya sangat terharu akan hal ini, bahwa Anda sangat peduli terhadap saya sehingga memberitahukan saya akan hal ini.” Maka, mungkin dengan kasih karunia Allah, itu merupakan pertanda bahwa Anda lebih mengutamakan untuk menyenangkan hati Allah ketimbang manusia. Maka peluang Anda terkena penyakit mematikan ini, kanker rohani kemunafikan ini, lebih kecil.


b. Anda orang yang kritis

Hal kedua tentang kemunafikan adalah bahwa dia orang yang selalu saja mengritik orang lain, dan bukannya dirinya sendiri. Hal ini bisa Anda lihat di Matius 7:5 –

“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Tanda orang munafik adalah dia selalu lebih kritis terhadap orang lain daripada terhadap dirinya sendiri. Apakah Anda orang yang kritis dan cerewet? Jika Anda adalah orang yang sangat cerewet, maka Anda adalah kandidat orang munafik. Orang-orang cerewet. Selalu ada orang semacam itu. Sebaiknya Anda lebih menguatirkan orang yang suka mengkritik itu daripada orang-orang yang mereka kritik. Mereka selalu sangat kritis. Yang ini salah yang itu salah. Jemaat punya kesalahan di sini dan di sana, dan mereka selalu saja mengritik orang-orang di gereja. Orang semacam itulah yang harus Anda kuatirkan. Dia sedang berada di jalur yang merbahaya. Ini situasi yang sangat menakutkan.

Namun orang yang selalu mengritik dirinya sendiri, mengakui kesalahannya di hadapan orang lain, orang itu berada di jalur menuju hidup kekal. Pahami hal ini baik-baik.


c. Anda ceroboh dalam menjalankan perintah Allah namun cermat dalam menjalankan peraturan buatan manusia

Ciri ketiga dari kemunafikan terlihat di Matius 15:7, yaitu bahwa orang tersebut begitu cermat menjalankan peraturan buatan manusia tetapi ceroboh dalam menjalankan perintah Allah. Ini adalah tanda lain dari kemunafikan. Dia sangat teliti dalam menjalankan perintah manusia. Jika ada aturan buatan manusia, “Kamu tidak boleh melakukan ini,” maka dia akan mentaatinya dengan sangat cermat. Demikianlah, jika orang berkata bahwa Anda tidak boleh pergi ke bioskop, maka begitu Anda berada di dalam bioskop, Anda akan merasa sangat bersalah. Jika aturan manusia menyatakan bahwa Anda tidak boleh minum anggur, maka begitu Anda minum segelas anggur, Anda lalu merasa, “Aku sedang dalam perjalaan masuk neraka sekarang.”

Namun jika berkenaan dengan hal menjalankan perintah Allah, orang tersebut, anehnya, sangat ceroboh. Anda bisa melihat ketidakseimbangan ini. Orang yang sangat peduli pada kehendak Allah tidak akan begitu peduli pada peraturan buatan manusia. Dia tidak tertarik pada aturan buatan manusia.

Kami seringkali mengalami hambatan di masa-masa Helen, istri saya, masih bekerja di rumah sakit. Kami sering diundang untuk bergaul dengan para pekerja di rumah sakit, dengan para dokter dan sebagainya, di mana mereka sering mengadakan pesta dan melibatkan acara dansa. Dan kami sering merasa bahwa sebagai orang-orang Kristen, kami tidak bisa menghadiri pesta tersebut karena ada sajian minuman anggur dan acara dansa tersebut. Kami harus memisahkan diri kami, kami harus menjaga jarak dari orang-orang duniawi ini. Jika memang demikian halnya, lalu bagaimana kami akan memenangkan mereka bagi Kristus? Bagaimana Anda akan memenangkan orang berdosa bagi Kristus jika Anda tidak akan pernah bertemu dengan mereka di tempat di mana dia biasanya berada?

Ada yang berkata, Anda bisa menemui mereka di tempat yang netral. Di manakah tempat yang netral itu? Di terminal bis atau kereta? Dan bagaimana cara Anda untuk menemui mereka di tempat umum tersebut sehingga Anda bisa mengajaknya berbicara tentang injil? Jika Anda tidak berbicara dengan mereka di tempat seperti pesta, lalu di mana Anda bisa berbicara dengan mereka? Di mana Anda akan menemui mereka? Karena di sanalah tempat Anda akan bertemu dengan mereka.

Apakah aturan itu dibuat oleh Allah? Apakah Allah berkata bahwa Anda tidak boleh minum segelas anggur? Jika memang demikian, tolong tunjukkan kepada saya di bagian mana dari Kitab Suci, dan saya akan menghindari anggur di kemudian hari. Ini adalah aturan buatan manusia. Jika saya lebih peduli pada Allah dan pada pekerjaanNya, maka saya tidak peduli pada aturan buatan manusia. Saya bisa saja tidak minum anggur dan kemudian saya meminta segelas jus jeruk, dan ini juga bagus. Namun saya tidak akan membiarkan aturan buatan manusia melumpuhkan penjangkauan jiwa bagi Allah.

Namun sekali lagi, perhatikan baik-baik, manakah yang lebih penting bagi Anda? Apakah Anda sangat terikat pada peraturan buatan manusia? Atau, apakah terlaksananya kehendak Allah lebih penting bagi Anda? Kehendak Allah nomor satu. Apapun hal yang akan memuliakan namaNya harus diutamakan. Dan Anda ingin menjadikan itu sebagai kebiasaan, yakni memeriksa setiap peraturan buatan manusia, apakah hal itu alkitabiah. Apakah Anda menemukan dasarnya di dalam Firman Allah? Inikah hal yang disampaikan oleh Allah? Periksalah. Pertanyakan setiap peraturan buatan manusia yang Anda terima. Anda akan menikmati kemerdekaan yang lebih luas jika melakukan hal itu, kemerdekaan yang jauh lebih luas di dalam kehidupan Kristen.

Kemerdekaan sangatlah penting di dalam kehidupan Kristen. Keterikatan pada aturan-aturan itulah yang bisa menghancurkan Anda secara rohani, menghancurkan hubungan Anda dengan Allah, memasukkan Anda ke dalam belenggu. Jadikanlah pelaksanaan kehendakNya, FirmanNya, sebagai pusat perhatian Anda. Praktekkan hal itu, dan itu saja, dan jangan pernah peduli pada apa pendapat orang lain pada diri Anda.


d. Anda bertindak jahat terhadap sesama hamba Tuhan

Dan terakhir, yang keempat yang disebutkan oleh Yesus di Matius 24:51. Hal ini berkenaan dengan hubungan kita dengan sesama orang Kristen. Di bagian akhir dari perumpamaan ini, Yesus memperingatkan para muridnya tentang apa yang akan terjadi ketika dia datang kembali, dia berbicara tentang orang-orang yang bertindak sangat jahat terhadap sesama hamba.

Ayat 48 berbunyi:

“Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk (dia mabuk dan berperilaku tidak tertib), maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.”

Orang yang jahat dijadikan senasib dengan orang munafik. Perhatikan di ayat 48, di mana hamba ini disebut sebagai hamba yang jahat, lalu kemudian dia digabungkan dengan orang-orang munafik. Bagaimana dengan nasib orang-orang munafik? “Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.” Satu-satunya tempat perhentian bagi orang munafik di dalam rencana Allah adalah di neraka. Oleh karena itu, janganlah kita berani mengidap penyakit ini.


Bagaimana menghindari kemunafikan?

(1) Bersikap keras ketika mengkritik diri Anda sendiri; dan lembut ketika mengkritik orang lain

Bagaimana mengatasi masalah ini? Bagaimana menghindari penyakit ini? Pelajarilah satu hal: bersikap keraslah di dalam mengritik diri sendiri; namun lembut di dalam mengritik orang lain. Orang yang selalu menguji dan mengritik dirinya tidak akan menjadi calon orang munafik.


(2) Jangan takut untuk menyampaikan kesalahan Anda di hadapan orang lain

Kedua adalah: belajar untuk mengakui kesalahan Anda. Jangan takut untuk menyatakan kesalahan Anda di hadapan orang lain. Sungguh sangat memerdekakan jika mampu menjadikan diri Anda sasaran kritik. Dan terlebih lagi, Anda bisa memulai satu kecenderungan yang indah di mana setiap orang berhenti saling mengritik, dan mulai mengritik diri sendiri saja.

Saya mendapati bahwa ini merupakan penyembuhan yang luar biasa bagi hubungan antar pribadi. Saya pernah memiliki masalah hubungan pribadi di Tiongkok dengan seseorang, dan saya memutuskan bahwa saya tidak akan mengritik orang tersebut atas kesalahannya, saya terus saja mengritik diri saya sendiri di hadapan orang itu dan sesuatu yang ajaib terjadi. Sebagai hasilnya, orang itu mulai mengritik dirinya sendiri juga. Dia adalah seorang ibu yang tinggal bersama dengan saya dan yang berperan sebagai ‘ibu’ bagi saya karena anaknya seusia dengan saya. Dan dia adalah orang yang sangat sulit dihadapi. Saya mendapati adanya dua pilihan tindakan yang bisa saya ambil. Saya bisa saja terus mengritik kesalahannya, padahal dia adalah seorang Kristen yang lebih lama daripada saya, atau saya mengritik diri saya sendiri. Lalu saya mencoba yang kedua. Hasilnya ajaib! Sungguh ajaib! Demikianlah, bukannya memilih untuk mengritik dia, saya mulai mengritik diri saya sendiri. Dan Anda tahu, Allah mulai mengubah hidupnya sebagai hasil dari pilihan ini. Allah tidak sekadar mengubah diri saya, akan tetapi dia juga. Sungguh ajaib hal yang bisa dikerjakan oleh Allah jika kita bersedia merendahkan diri kita.


(3) Di dalam segala hal tanyakanlah: “Apakah ini berasal dari Allah atau bukan?”

Dan yang terakhir, juga yang ketiga. Letakkan segala sesuatunya di bawah pemeriksaan yang cermat dari Roh Allah. Belajar untuk mengajukan pertanyaan: Apakah ini berasal dari Allah atau bukan? Biarlah Roh Kudus memimpin Anda ke dalam kebenaran.

 

Berikan Komentar Anda: