Pastor Eric Chang | Matius 21:23-27 | Markus 11:27-33 |
Kita melanjutkan penyembahan dengan mempelajari Firman Allah. Mempelajari Firman Allah itu bukanlah sekadar untuk meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan hanya akan menumbuhkan kesombongan, suatu hal yang sangat tidak kita inginkan. Sebaliknya, kita ingin mempelajari Firman Tuhan dengan pemahaman yang akan membawa kita pada kerendahan hati.
Kita akan melihat pada Markus 11:27-33.
Lalu Yesus dan murid-murid-Nya tiba pula di Yerusalem. Ketika Yesus berjalan di halaman Bait Allah, datanglah kepada-Nya imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua, dan bertanya kepada-Nya:
“Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu, sehingga Engkau melakukan hal-hal itu?”
Jawab Yesus kepada mereka: “Aku akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu. Berikanlah Aku jawabnya, maka Aku akan mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu. Baptisan Yohanes itu, dari sorga atau dari manusia? Berikanlah Aku jawabnya!”
Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: “Jikalau kita katakan: Dari sorga, Ia akan berkata: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi, masakan kita katakan: Dari manusia!” Sebab mereka takut kepada orang banyak, karena semua orang menganggap bahwa Yohanes betul-betul seorang nabi.
Lalu mereka menjawab Yesus: “Kami tidak tahu.”
Maka kata Yesus kepada mereka: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.”
Ada satu pelajaran rohani yang penting di sini. Yang ditanyakan di sini adalah: atas dasar kuasa mana? “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu?” Apa yang dimaksud dengan ‘hal-hal itu’? Tentunya adalah hal-hal yang baru saja dia perbuat. Yesus menyucikan Bait Allah. Dia mengusir keluar para penukar uang. Dibalikkannya meja-meja tempat mereka berdagang. Yesus menggunakan kuasa untuk menyucikan Bait Allah dari berbagai kegiatan komersil dan eksploitasi agama demi keuntungan keuangan. Yesus tidak bisa mentoleransi hal-hal yang semacam itu. Dia mengusir semua orang itu keluar dari Bait Allah.
Hal ini tentu saja sangat membuat marah para imam kepala karena wilayah Bait Allah adalah daerah kewenangan mereka. Mereka adalah para penanggung jawab Bait Allah, secara lahiriah, atau setidaknya seperti itulah menurut anggapan mereka. Dan mereka memandang bahwa Yesus telah melanggar wilayah kekuasaan mereka. “Bait Allah itu urusanku,” demikian kira-kira kata imam kepala. Pada imam kepala menganggap bahwa tempat ini adalah wilayah kekuasaan mereka, dan Yesus datang lalu melakukan semua tindakan tersebut. Jadi mereka berniat menantangnya. Dan saat Yesus melangkah masuk ke Bait Allah, para imam kepala, para ahli Taurat (yakni para pakar Kitab Suci di zaman itu) dan para tua-tua (yakni para pemimpin agama umat Israel. ‘Tua-tua’ adalah sebutan bagi para pemimpin.) menanyai dia, “Dengan kuasa manakah engkau melakukan semua itu? Siapa yang memberimu kuasa atau otoritas itu?” Dengan kata lain, mereka berkata, “Siapakah engkau ini sehingga berani melakukan semua hal tersebut?”
Lalu Yesus berkata, “Aku akan mengajukan pertanyaan dan kalian harus memberikan jawabannya. Dan jika kalian telah memberikan jawaban tersebut, maka aku juga akan memberikan jawab atas pertanyaan kalian, karena jawabanku bergantung dari jawaban kalian. Jadi, kalian jawab dulu pertanyaan ini, baptisan Yohanes Pembaptis, dengan kuasa manakah dia menjalankan pelayanannya di padang gurun itu? Dengan kuasa manusia atau dengan kuasa Allah?”
Para pemimpin itu sedang mencari tahu berdasarkan otoritas duniawi mana Yesus bertindak. Dan menurut mereka jika Anda tidak punya otoritas dari pihak wewenang, maka Anda tidak memiliki kuasa sama sekali. Sedemikian duniawinya, sangat tidak rohani, cara berpikir mereka, “Dari oraganisasi keagamaan manakah Anda berasal? Dari organisasi mana Anda berasal atau organisasi mana yang memberikan Anda kuasa untuk melakukan semua ini? Aku tidak melihat bahwa Anda berpakaian sebagai seorang imam kepala. Aku bahkan tidak melihat bahwa Anda berpakaian sebagai seorang rabi! Aku tidak melihat adanya tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Anda memiliki hak untuk melakukan semua hal itu.”
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah kejadian di Inggris, yakni di Liverpool, ketika saya akan mengunjungi pasien disebuah rumah sakit, dan mobil saya sudah mencapai pintu gerbang rumah sakit itu. Di sana ada sebuah palang yang menutupi jalan dan jika tidak diangkat oleh penjaga di sana, maka Anda tidak bisa masuk. Para penjaga itu memeriksa identitas semua pengunjung. Saya lalu memajukan mobil saya dan berkata, “Saya akan mengunjungi seorang pasien di sini yang merupakan anggota dari gereja kami.” Petugas itu bertanya, “Apakah Anda seorang pendeta?” Saya jawab, “Ya.” Dan dia berkata, “Anda tidak mengenakan kerah yang menjadi ciri khas seorang pendeta.”
Jangan memandang pada permukaan saja
Bagi petugas itu, tanda kuasa atau jabatan terlihat dari apa yang Anda kenakan. Hal yang tampak di permukaan saja. Jika Anda mengenakan kerah yang merupakan ciri khas seorang pendeta, maka dia percaya. Mungkin saja Anda adalah seorang perampok bank, seorang penjahat, atau orang lainnya, akan tetapi selama Anda mengenakan kerah model tersebut, maka hal itu sudah cukup untuk dia percayai. Sangatlah mudah mendapatkan kerah semacam itu. Anda bisa masuk ke sembarang toko religius, mengambil sebuah kerah dari rak, dan memakainya. Dan bagi petugas jaga itu, Anda sudah layak untuk dipercaya sebagai seorang pendeta.
Demikianlah, tidak heran jika seorang perampok bank memasuki bank incarannya dengan memakai kerah ini, dan tidak seorangpun yang akan mencurigai dia. Petugas keamanan di bank tidak mengamatinya, lalu dia masuk dan membuka tasnya, dan mengeluarkan senjata api. Hal ini cukup sering terjadi karena memang inilah cara terbaik untuk menipu manusia. Manusia hanya melihat apa yang ada di permukaan. Jadi, jika Anda mengenakan pakaian hitam dan kerah putih, Anda seorang pendeta. Saya malah bisa lebih dari itu, saya bisa saja mengenakan pakaian ungu, karena di Inggris warna ini menunjukkan jabatan sebagai seorang kardinal. Warna hitam menunjukkan pendeta, sedangkan warna ungu itu menunjukkan seorang kardinal.
Jadi, dalam kesempatan belanja ke toko perlengkapan religius, mungkin saya akan mencari pakaian yang berwarna ungu, dan saya kira, petugas jaga itu bukan sekadar akan membukakan gerbang tetapi dia juga akan berdiri tegak memberi hormat! Oh, begitu mudahnya kita ditipu karena kita hanya melihat hal yang di luar saja.
Organisasi gereja manakah yang Anda wakili? Kita ingin melihat bukti eksternal. Dan jika memang itu yang kita inginkan, maka dengan mudah kita akan ditipu. Sedemikian besar hasrat kita akan bukti eksternal ini sehingga Persekutuan Gereja-gereja Baptis yang menjadi induk organisasi gereja kita, membekali para pendetanya dengan semacam sertifikat, supaya – jika diperlukan – jika saya harus membuktikan bahwa saya adalah seorang pendeta, maka saya hanya perlu menunjukkan kartu yang menyatakan bahwa saya adalah pendeta dari asosiasi gereja tertentu itu. Konyol sekali! Semuanya berjalan agak komersial. Saya rasa pasti ada orang yang berkeliling sambil memanfaatkan kartu semacam ini untuk mengibuli banyak orang dengan leluasa. Orang-orang selalu ingin memeriksa tanda kuasa yang eksternal dari Anda. Di kartu itu tidak disertakan foto diri Anda, jadi siapapun yang memanfaatkan kartu ini akan bisa berlagak sebagai pendeta. Demikianlah, dengan menerbitkan kartu semacam itu, saya rasa hanya akan membuka jalan bagi penipuan yang lebih parah.
Saat saya mendarat di bandara Kennedy dalam perjalanan pulang dari Inggris sekitar satu setengah tahun yang lalu, seorang petugas imigrasi menanyai pekerjaan saya dan saya jawab, “Pendeta.” Dia bertanya, “Adakah kartu identitas yang bisa membuktikannya?” Saya jawab, “Ya,” namun kemudian saya tidak bisa menemukan kartu saya. Saya cari di mana-mana, tetapi tidak saya temukan juga. Lalu dia menatap saya dengan curiga karena saya tidak bisa menunjukkan kartu identitas tersebut. Kemudian dia menggeledah tas saya, sebenarnya dia akan melewatkan saya begitu saja jika saya bisa menunjukkan kartu tersebut. Karena saya tidak bisa, lalu dia memutuskan untuk menggeledah barang bawaan saya. Saya berkata, “Silakan. Geledah saja.” Manusia menghendaki tanda lahiriah – sepotong kertas, atau kerah baju Anda. Inilah bukti bagi sumber kewenangan Anda. Sukar dipercaya!
Saya rasa di dunia ini, manusia terpaksa harus memakai cara itu terus menerus. Saya rasa mereka tidak memiliki jalan lain. Mereka belum memiliki kemampuan untuk membedakan secara rohani untuk memastikan apakah Anda benar-benar seorang hamba Allah atau bukan. Akan tetapi sangatlah penting bagi kita untuk bisa memastikan apakah seseorang itu benar-benar seorang hamba Allah yang sejati atau bukan. Bagaimana kita bisa membedakan hal ini?
Bagaimana membedakan kebenaran?
Yesus menanyai mereka, “Bagaimana kamu bisa tahu bahwa Yohanes Pembaptis itu adalah seorang hamba Allah? Bisakah kamu menjelaskannya?” Dia tidak memiliki kewenangan duniawi. Yohanes Pembaptis tidak termasuk golongan Farisi, bukan orang Saduki, dan dia juga bukan imam kepala. Tanda kewenangan apa yang dia miliki? Apakah tandanya? Apakah karena dia memakai jubah kulit binatang? Dia memakai ikat pinggang yang besar di pinggangnya, apakah hal itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang nabi Allah? Kalau begitu, maka kita hanya perlu mengenakan pakaian dari kulit domba, dan lihatlah, kita semua mendadak berubah menjadi para nabi! Dan memang ada sebagian orang yang akan terusik jika Anda tidak mengenakan tanda kewenangan Anda, seperti petugas jaga di rumah sakit itu. Dia berharap bahwa saya tentunya mengenakan kerah khusus para pendeta. Saya tidak pernah mengenakan kerah tersebut. Saya tidak suka dengan kerah itu. Saya tidak mengerti mengapa kita harus memakai tanda-tanda lahiriah semacam itu. Yang lebih keterlaluan lagi, banyak pendeta yang tidak mau berkhotbah jika tidak mengenakan semacam jubah hitam berikut kerah putihnya di atas mimbar. Tiba-tiba saja, pakaian tersebut memberinya semacam kuasa! Dan jika saya berkhotbah tanpa memakai jubah semcam itu, maka khotbah saya dianggap kurang memiliki kewenangan. Namun jika Anda mengenakan jubah hitam itu, tak peduli apapun yang akan Anda sampaikan di atas mimbar, mendadak saja Anda berada beberapa tingkat di atas. Kita cenderung mudah untuk mematok nilai-nilai berdasarkan unsur-unsur lahiriah.
Mengapa? Karena sama halnya dengan orang-orang Farisi itu, kita buta, atau nyaris buta – begitu terbatasnya pandangan kita sehingga kita tidak mampu melihat. Kita tidak bisa melihat. Itulah sebabnya seringkali Yesus berkata kepada orang-orang Farisi, “Kalian orang-orang Farisi yang buta. Kalian tidak bisa melihat lebih dari yang di permukaan. Kalian hanya melihat apa yang ada di luar saja. Kalian tidak bisa masuk dan membedakan apa yang ada di dalam.”
Ini adalah pertanyaan yang perlu kita cermati. Bagaimana kita bisa mengenali kebenaran? Bagaimana kita bisa memahami bahwa Yesus itu benar? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Yohanes Pembaptis itu benar? Bagaimana kita bisa tahu bahwa seorang hamba Allah itu adalah memang hamba Allah yang sejati? Jika Anda tidak tahu, maka Anda akan ditipu karena banyak nabi palsu akan berkeliaran nanti, dan karena dia membawa Alkitab berukuran besar dengan hiasan keemasan di pinggirannya, dan karena lidahnya sangat fasih – dia memiliki “lidah yang terampil”, dan oleh karenanya, Anda segera berpikir, “Ah! Ini memang manusia Allah yang sejati!” Dia memiliki penampilan yang menarik – memakai kaca mata dengan bingkai emas dan ini langsung saja menaikkan nilai dirinya. Dia menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan pakaian yang sangat mengesankan. Oleh karenanya Anda lalu berpikir, “Dia begitu berwibawa! Segala sesuatu yang dia sampaikan tentunya sangat berharga.” Kita hanya melihat yang di luaran saja. Bagaimana kita bisa memastikannya?
Apakah kardinal dari gereja tertentu menjadi lebih berharga karena dia mengenakan gaun berwarna bagus? Dan orang-orang lalu berlutut dan memberi hormat. Pakaian menghasilkan hal-hal yang ajaib. Sungguh hebat hal-hal yang bisa dicapai lewat cara berpakaian. Jika kita mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja, maka tak akan ada orang yang mempedulikan kita. Tapi lihatlah, seseorang tiba di depan pintu dengan memancarkan pesona lewat pakaiannya yang bagus! Oh! Dampaknya begitu hebat! Mungkin minggu depan, saya akan mengenakan pakaian yang lebih bagus untuk mencari tahu seberapa mendalam dampaknya terhadap khotbah saya!
Persoalannya sangat bergantung pada pokok yang satu ini. Di dalam ucapan terakhir Yesus pada khotbah terakhirnya di Matius 24:24 dan Markus 13:22 disebutkan bahwa,
“Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga.”
Sekiranya mungkin tidak berarti bahwa mereka pasti bisa menipu orang-orang pilihan.
Orang-orang pilihan selalu menjadi sasaran penipuan di dalam sejarah panjang gereja. Orang-orang Yahudi adalah orang-orang pilihan. Kata ‘pilihan’ berarti umat yang terpilih. Akan tetapi memang belum pernah ada umat yang tertipu dengan begitu parah dibandingkan dengan umat Yahudi. Malahan, Yesaya berkata,
“Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan yang Kusuruh? Siapakah yang buta seperti suruhan-Ku dan yang tuli seperti hamba TUHAN?” (Yesaya 42:19).
Mereka buta; mereka tidak bisa melihat.
Demi keselamatan kita, kita harus mengerti bagaimana membedakan kebenaran. Adakah cara bagi kita untuk mengenali kebenaran? Adakah tehnik yang bisa kita kembangkan, yang bisa kita pakai sebagai semacam sinar X untuk menyoroti para hamba Allah, untuk menaruh mereka di bawah semacam lampu ‘rontgen’ rohani? Bisakah kita mengembangkan tehnik yang canggih seperti itu? Kita semua adalah orang-orang yang terpelajar di dalam berbagai bidang, dan kita terlatih untuk mempelajari berbagai macam tehnik, metode dan ketrampilan, dan kita selalu ingin mendapatkan tambahan keahlian dan juga tehnik-tehnik baru namun kita tetap masih berurusan dengan hal-hal di tingkat permukaan saja. Tehnik adalah hal yang bisa kita raih tanpa harus ditransformasi.
Namun di dalam Alkitab tak ada hal yang semacam itu. Di dalam kehidupan rohani, tak ada hal yang berjalan dengan cara seperti itu. Ini bukanlah persoalan tehnik. Ini adalah masalah siapa diri Anda. Tak ada jalan bagi Anda untuk bisa mengenali kebenaran sebelum Anda menjadi jenis orang yang bisa membedakannya. Jika Anda adalah jenis orang tertentu, tak peduli seberapa besar keterampilan Anda, seberapa banyak pengetahuan teologi Anda, Anda tidak akan bisa membedakan kebenaran karena Anda bukan termasuk jenis yang bisa membedakan kebenaran itu.
Allah mempercayakan kemampuan untuk mebedakan ini, sama seperti Ia mempercayakan kuasaNya, hikmatNya, kepada orang-orang yang tertentu. Atau yang lebih tepatnya, kepada orang yang sudah ditransformasi menjadi manusia baru. Itulah sebabnya mengapa di dalam pelatihan untuk melayani Tuhan, pelatihan itu tidak boleh ditekankan pada sebarapa banyak pengetahuan yang bisa Anda kumpulkan, pelatihan itu harus menekankan pada masalah akan menjadi orang jenis apakah Anda. Segenap isi Perjanjian Baru, segenap isi Firman Allah, berkenaan dengan pokok menjadi manusia jenis ini.
Di sanalah letak arti pentingnya transformasi. Segala sesuatunya bergantung pada transformasi. Dan pada seberapa jauh Anda sudah ditransformasi, sampai seberapa jauh Anda telah menjadi manusia baru dan itulah yang menentukan sampai seberapa jauh Anda bisa membedakan.
Pokok utamanya adalah perkembangan transformasi Anda. Itulah sebabnya mengapa Minggu demi Minggu, saya selalu berbicara tentang hal mengalami perubahan, menjadi jenis manusia baru karena jika Anda tidak menjadi manusia jenis itu, maka Anda tidak akan bisa membedakan kebenaran. Anda akan dengan mudah diperdaya.
Cara mengetahui kebenaran: Komitmen kepada kebenaran
Jika Anda seorang non-Kristen, dan saya ingin menyampaikan beberapa patah kata pada Anda. Persoalan Anda pada dasarnya adalah, bagaimana saya tahu bahwa Yesus itu benar? Bagaimana saya tahu bahwa dia menyampaikan kebenaran? Bahwa dia bukanlah seorang penipu seperti yang lainnya? Bahwa yang Yesus sampaikan adalah kebenaran yang sesungguhnya? Karena persoalannya adalah bagaimana Anda akan mempercayai Yesus jika Anda tidak tahu bahwa dia itu benar? Ini sangatlah penting. Keselamatan Anda bergantung pada hal ini.
Kita tidak bisa sekadar berkata kepada orang non-Krsiten, “Yesus itu benar karena memang dia benar.” Itu hanyalah permainan kata-kata saja, tidak membuktikan apa-apa. Atau, dia mungkin akan berpikir, “Itu hanya pendapatmu saja bahwa Yesus itu benar. Bagaimana aku bisa tahu bahwa Yesus memang benar?” Dengan cara bagaimana dia bisa memecahkan permasalahan ini?
Izinkan saya berkata kepada Anda yang non-Kristen, bahwa untuk bisa menjadi seorang Kristen sejati, (sungguh disayangkan melihat begitu banyaknya orang Krsiten palsu), Anda harus membuat komitmen untuk mengasihi kebenaran. Tak seorangpun yang tidak memiliki komitmen total untuk mengasihi kebenaran yang bisa menjadi seorang Kristen sejati. Pernyataan ini dapat dengan mudah dibuktikan berdasarkan Firman Allah.
Kata ‘kebenaran’ itu sendiri muncul ratusan kali di dalam Perjanjian Baru. Rasul Paulus sendiri memakai kata ‘kebenaran’ ini sebanyak 47 kali di dalam surat-suratnya. Kitab Suci sangat peduli akan kebenaran, bukan pada dogma, bukan pada doktrin, bukan pada agama. Titik perhatian utama Tuhan adalah kebenaran dan jika Anda hanya peduli pada agama, maka Anda tidak masuk pada kekristenan yang alkitabiah; Anda akan masuk pada sesuatu hal yang lain. Jika Anda hanya peduli pada kekristenan sebagai agama, hal itu tidak akan menghasilkan orang Kristen yang sejati. Anda harus utamakan kebenaran. Jika Allah itu tidak benar, maka Anda tidak boleh mempercayaiNya! Jika Allah itu tidak benar, Anda tidak harus mempercayaiNya! Saya berani mengatakan hal ini dengan tegas. Satu-satunya jalan untuk mengetahui kebenaran adalah dengan memiliki komitmen absolut untuk mengasihi kebenaran, dan siap untuk mengasihi kebenaran walau apapun hasilnya, apapun pengorbanannya. Itulah tepatnya harga dari pemuridan.
Apa yang dimaksudkan dengan komitmen pada kebenaran?
Apakah yang dimaksudkan dengan komitmen pada kebenaran itu? Hal ini dapat saya gambarkan seperti ini. Saya tersentuh dengan kisah yang berkaitan dengan seorang jendral dari Amerika yang bernama Robert E. Lee. Jendral Robert E. Lee adalah seorang perwira yang hebat, namun ada hal yang lebih penting dari itu, kisah ini menyebutkan bahwa dia pernah diminta untuk menghadap presiden Amerika saat itu, Presiden Davis, yang meminta pendapatnya tentang perwira tinggi lainnya. Apakah pendapat Jenderal Lee mengenai kualitas profesional dari perwira tersebut? Apakah dia tentara yang baik? Apakah dia mampu mengemban tugas? Dan Jendral Lee sangat memuji orang itu. Dia berkata bahwa perwira tersebut adalah seorang prajurit yang unggul, panglima yang hebat dan sangat mampu mengemban tugas tersebut. Orang yang sangat hebat!
Perwira lain yang berdiri di sampingnya terkejut mendengar Jendral Lee sangat memuji perwira tersebut. Lalu dia bertanya kepada Robert E. Lee, “Jendral, perwira yang sangat Anda puji ini, tentunya Anda tahu, bahwa dia adalah musuh Anda yang paling sengit.”
Jendral Lee berkata, “Benar, aku tahu itu. Namun yang ditanyakan oleh presiden kepadaku adalah pendapatku atas kualitas profesionalnya, bukan pada perasaannya terhadapku. Dan penilaianku terhadap kualitas profesionalnya adalah bahwa dia itu seorang perwira yang luar biasa.”
Itulah artinya mengasihi kebenaran. Itulah komitmen pada kebenaran. Saya tidak tahu berapa banyak orang yang mau memuji musuhnya, yakni orang yang sangat menentang Anda, lalu Anda bisa tetap menilai orang tersebut tanpa bias dan prasangka. Karena kita ini cenderung untuk tidak mengasihi kebenaran, melainkan mengasihi perasaan kita sendiri, mengasihi diri kita sendiri.
Namun jika Anda hanya mengasihi diri sendiri, maka Anda tidak akan bisa menjadi seorang Kristen yang sejati. Anda harus memiliki komitmen terhadap kebenaran yang seperti itu, yang siap untuk mengutarakan kebenaran walaupun kebetulan Anda tidak menyukai orang yang Anda nilai, atau mungkin kebetulan Anda menyukainya. Itulah komitmen pada kebenaran. Saya merasa sangat tersentuh dengan kisah ini, beliau menyampaikan penilaian yang adil dan tidak bias atas orang tersebut. Itulah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang Kristen. Dan saya yakin bahwa Jendral Lee adalah seorang Kristen.
Jika Anda adalah seorang non-Kristen, dan Anda ingin tahu apakah Allah itu benar, apakah Yesus itu benar, ketahuilah bahwa Allah telah memberikan komitmennya bahwa Dia akan mengungkapkan kebenaran. Allah akan mengungkapkan kepada Anda asalkan Anda mengasihi kebenaran. Namun jika Anda tidak mengasihi kebenaran, maka Allah tidak akan menyatakan kebenaran buat Anda. Dia tidak akan mengungkapkan hal itu kepada Anda.
Allah menjamin bahwa Anda akan mengetahui kebenaran
Mari kita perhatikan lagi perikop ini. Itulah sebabnya mengapa Yesus menanyakan sekali lagi kepada mereka, “Bagaimana menurut kalian? Bagaimana penilaian kalian terhadap Yohanes Pembaptis? Karena jawabanku bergantung pada jawaban kalian.” Perhatikan apa jawaban mereka. Sungguh memalukan. Para pemimpin jemaat! Pemimpin Israel! Para pemimpin! Imam-imam kepala yang dipercaya untuk mengelola urusan yang kudus namun komitmen mereka kepada kebenaran sangatlah memalukan!
Apakah mereka berkata, “Ya, aku akan menyampaikan kebenaran”? Tidak! Mereka berkumpul dan berkata, “Apa yang akan kita sampaikan kepadanya?” Nah, yang benar bagaimana? Seharusnya beritahu saja apa yang benar kepadanya. Namun tidak. Mereka tidak mau memberitahu yang sebenarnya kepada Yesus. Mereka memutuskan untuk memberi jawaban berdasarkan apa yang mau mereka sampaikan saja. Bencana! “Langkah politik apa yang harus kita ambil sekarang? Tindakan apa yang paling bagus? Langkah ‘catur’ macam apa yang harus kita ambil?” Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kebenaran. “Nah, kalau kita berkata bahwa dia itu berasal dari Allah, maka Yesus akan berkata, ‘Lalu mengapa kalian tidak percaya kepadanya?’ Kalau kita berkata bahwa dia itu berasal dari manusia, bahwa kuasanya itu murni adalah kuasa manusia saja, bagaimana dengan tanggapan orang banyak? Mereka pasti akan melempari kita dengan batu. Orang banyak ini sungguh menakutkan.”
Tentu saja mereka tidak percaya bahwa Yohanes Pembaptis itu berasal dari Allah, kalau mereka percaya tentunya akan sangat mudah bagi mereka untuk menyatakannya. Mereka tak mau berkata bahwa dia berasal dari Allah karena mereka tidak percaya itu, namun mereka juga tidak mau berkata bawha dia berasal dari manusia karena mereka tidak mau dilempari batu oleh orang banyak. Jadi, persoalannya kemudian tidak lagi berpusat pada kebenaran melainkan masalah apa ‘langkah politik’ yang harus diambil saat itu. Seperti itukah cara berpikir Anda? Seperti itukah cara Anda berfungsi? Yesus berkata, “Jika ya katakanlah ya, dan jika tidak maka katakanlah tidak.” Sampaikanlah kebenaran dan tidak ada yang lain selain kebenaran. Itu saja! Namun mereka tidak begitu.
Dan perhatikanlah reaksi dari Yesus: “Karena kamu tidak menyampaikan kebenaran, kamu tidak mau tahu kebenaran, kamu tidak berkomitmen untuk mengasihi kebenaran, maka Aku juga tidak mau memberitahu kalian. Aku tidak akan memberitahu dari mana kuasaku ini berasal. Aku tidak akan mengungkapkan kepada kalian, sumber dari kuasaku.”
Inilah hal yang sedang disampaikan oleh Allah lewat Yesus kepada kita. Jika Anda tidak berkomitmen pada kebenaran, jika Anda ingin bermain-main dengan kebenaran, maka Allah tidak akan mengungkapkan apa-apa kepada Anda. Anda tidak akan bisa mengetahui apa-apa karena bagaimana Anda bisa mengetahuinya kalau Allah tidak mengungkapkannya buat Anda?
Inilah inti dari perikop ini. Inilah pelajaran rohani dari perikop ini: Anda harus berkomitmen pada kebenaran. Jika Anda siap untuk berkomitmen tanpa syarat pada kebenaran, saya jamin, dan yang lebih penting lagi, Allah yang menjamin, bahwa Anda akan mengetahui kebenaran. Itulah tepatnya hal yang dikatakan, “Mintalah maka kamu akan diberikan. Ketuklah maka pintu akan dibukakan kepadamu. Carilah maka kamu akan mendapatkannya. Aku berjanji bahwa kamu akan mendapatkannya.” Itulah janji dari Allah melalui pengajaran Yesus. Namun langkah pertamanya adalah bahwa Anda harus berkomitmen tanpa syarat untuk mengasihi kebenaran.
Apa yang akan terjadi jika Anda berkomitmen pada kebenaran?
1. Anda akan segera mengakui bahwa Anda adalah seorang berdosa
Apa yang akan terjadi jika Anda berkomitmen pada kebenaran? Yang pertama adalah Anda akan melihat segala sesuatunya dengan mata yang berbeda. Anda akan melihat segala sesuatunya berdasarkan kriteria yang berbeda, kriteria kebenaran, Anda akan segera mengakui bahwa Anda adalah seorang berdosa karena memang itulah faktanya, ini bukan masalah kerendahan hati. Fakta bahwa kita orang berdosa itu segera terungkap; fakta bahwa kita ternyata jauh dari apa yang seharusnya. Dulunya, kita mudah tersinggung. Dulunya, kita kasar terhadap orang lain. Dulunya, kita tidak bersikap jujur sepenuhnya terhadap orang lain. Dengan segera Anda mengakui bahwa Anda adalah seorang berdosa. Itulah hal yang disebutkan di 1 Yohanes 1:8 – “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” Anda lihat, jika kebenaran itu ada di dalam diri Anda, maka Anda akan segera mengakui bahwa Anda adalah seorang berdosa.
2. Mereka yang mengasihi kebenaran datang kepada terang dan tidak sembunyi di dalam kegelapan
Hal kedua yang disampaikan dalam Firman Allah adalah bahwa mereka yang mengasihi kebenaran akan datang kepada terang. Di Yoh 3:21 dikatakan, mereka yang mengasihi kebenaran datang kepada terang, sedangkan mereka yang tidak mengasihi kebenaran akan bersembunyi di dalam kegelapan.
3. Hati yang terbuka pada kebenaran dapat menerima Roh Allah
Dan ketiga. Mereka yang hatinya terbuka pada kebenaran dapat menerima Roh Allah. Hal ini sungguh indah! Mengapa? Karena di dalam Firman Tuhan, Roh Kudus adalah Roh Kebenaran. Kita membaca ini di Yoh 14.17, 15.26, 16.13 dan seterusnya. Roh Allah adalah Roh Kebenaran.
Ini adalah hal yang mutlak penting untuk kita pahami, jika Anda tidak berkomitmen untuk sepenuhnya mengasihi kebenaran, maka Anda tidak akan tahu apakah Allah itu benar atau tidak. Di 2 Petrus 2:2, kehidupan Kristen itu disebut Jalan Kebenaran. Dan di 1 Timotius 3:15, Paulus berbicara tentang gereja, bahwa jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran, yakni yang menopang dan membela kebenaran.
4. Orang Kristen yang mengasihi kebenaran akan lebih mengasihi Yesus karena Yesus adalah kebenaran
Satu hal lagi, dan ini secara khusus berkaitan dengan orang Kristen, bahwa semakin Anda mengasihi kebenaran, maka Anda akan semakin mengasihi Yesus. Mungkin Anda bertanya-tanya, sebagai seorang Kristen, mengapa kasih Anda kepada Yesus begitu kecil? Jawabannya ada di sana. Anda tidak akan bisa semakin mengasihi Yesus jika Anda tidak semakin mengasihi kebenaran. Semakin Anda mengasihi Yesus, maka Anda juga semakin mengasihi kebenaran. Dan semakin Anda mengasihi kebenaran, maka Anda juga akan semakin mengasihi Yesus. Itulah sebabnya mengapa di Yohanes 14:6, Yesus disebut sebagai kebenaran.
Selidikilah hati Anda sendiri, hal ini saya tujukan kepada orang Kristen. Selidikilah isi hati Anda, sampai seberapa jauh Anda mengasihi kebenaran? Seberapa jauh arti penting kebenaran itu bagi Anda? Izinkan saya berkata, jangan terlalu yakin bahwa Anda mengasihi kebenaran. Anda mungkin akan terkejut jika mengetahui betapa kecilnya kasih Anda pada kebenaran. Saya mohon agar Anda memahami rahasia rohani yang paling penting ini karena jika Anda tidak mengerti akan hal ini, maka kehidupan rohani Anda akan berjalan di tempat.
Seringkali saya menyelidiki diri saya sendiri dan merasa terkejut karena mendapati bahwa kasih saya pada kebenaran ternyata tidak sebesar yang saya harapkan, atau yang saya bayangkan.
Jika seseorang menegur Anda akan sesuatu hal, apakah Anda akan segera merasa tersinggung?
Sebagai contoh, jika seseorang menegur Anda akan sesuatu hal, apakah Anda akan segera merasa tersinggung? Saya rasa, kebanyakan orang Kristen akan seperti itu. Saya rasa ini adalah bukti bahwa kebenaran masih kalah penting dibandingkan dengan perasaan Anda. Jika Anda sungguh-sungguh mengasihi kebenaran, maka Anda tidak akan menguatirkan perasaan Anda. Bagi Anda, yang terpenting saat itu adalah apakah kebenaran yang sesungguhnya? Mana yang lebih penting? Jika Anda menjadi tersinggung saat ditegur, itu berarti kebenaran itu kalah penting dibandingkan perasaan Anda.
Saya kadang-kadang menyebutkan, misalnya, nama-nama seperti John Calvin atau kadang kala Luther Martin King, atau kadang-kadang Watchman Nee dan juga Martin Lloyd Jones – saya mengungkapkan adanya kesalahan dalam eksposisi mereka, dalam hal ini, pengajaran mereka, dan beberapa orang mungkin berpikir, “Hei, apakah Anda sedang menjatuhkan orang-orang seperti Calvin? Atau Watchman Nee?” Saya tidak sedang menjatuhkan siapapun. Saya hanya memiliki satu tujuan: mengejar kebenaran. Kebenaran adalah hal yang mutlak penting bagi saya. Saya sama sekali tidak menyerang pribadi mereka. Orang-orang tersebut hampir bisa dipastikan adalah orang-orang yang lebih baik daripada saya.
Saya juga tidak bermaksud mengatakan bahwa karena adanya suatu kesalahan dalam sebuah eksposisi mereka maka semua ajaran mereka itu salah. Tidak sedikitpun. Yang saya maksudkan adalah di dalam hal-hal tertentu mereka telah melakukan kesalahan. Dan saya perlu menunjukkan bukti akan hal itu. Kita tidak boleh membuat pernyataan yang bersifat kabur yang menyebutkan bahwa orang ini atau orang itu salah. Kita tidak boleh melontarkan pernyataan yang bersifat kabur.
Jika Anda berkata ada sesuatu yang salah, maka Anda harus tunjukkan bukti dan berkata, “Inilah buktinya.” Jika saya kataka bahwa John Calvin salah di dalam doktrin predestinasi-nya, saya harus menunjukkan bukti untuk menguatkannya. Jika ada orang yang menghakimi saya dan berkata, “Bagiku, bukti-bukti itu keliru,” dan dia menguji analisa saya, dan membuktikan bahwa saya yang salah. Saya akan sangat bersyukur, saya katakan ini dengan setulusnya, saya akan sangat bersyukur jika ada orang yang berkata bahwa saya telah salah setelah menguji eksposisi saya karena sangatlah penting dalam hal saya melakukan kesalahan lalu ada orang yang menunjukkan bahwa hal tersebut salah, sehingga saya bisa secara terbuka mengakui kesalahan saya akan hal tersebut, dan orang lain tidak ikut-ikutan jatuh ke dalam kesalahan atau dosa yang sama. Yang lebih penting daripada itu, agar tak ada orang yang tersesat karena kesalahan tersebut.
Mengapa saya mengungkapkan kesalahan? Apakah untuk menjatuhkan orang lain? Allah melarang hal itu! Melainkan karena karya orang-orang tersebut dibaca oleh begitu banyak orang, pengaruh mereka luar biasa luasnya, dan oleh karena itu, sangat besar bahaya tersesatnya orang banyak [akibat kesalahan di dalam karya-karya mereka]. Kita harus memiliki komitmen pada kebenaran. Akan tetapi sayangnya, orang-orang lebih berkomitmen pada perasaan ketimbang kebenaran.
Apakah kita tidak peduli pada kebenaran sampai bahkan di saat orang salah sekalipun, kita akan membiarkannya? Jika John Calvin salah, apakah kita akan berkata, “Tidak masalah, dia itu Calvin. Dia berhak untuk salah. Sekalipun banyak orang akan tersesat, tidak jadi masalah.” Apakah itu akan menjadi masalah atau tidak, bergantung pada komitmen Anda pada kebenaran. Saya tidak membuat pernyataan yang kabur mengenai Calvin. Tidak, Banyak hal luar biasa yang disampaikan oleh Calvin, sebagian besar memang sangat berguna, namun ada juga yang salah. Dan saya tidak membuat pernyataan yang tanpa dasar, saya mengungkapkannya berikut bukti-bukti untuk bisa diamati oleh setiap orang. Saya menunggu, jika ada orang yang ingin mengoreksi pernyataan saya. Saya akan sangat bersyukur pada orang yang bisa mengungkapkan adanya kesalahan dalam hal-hal yang saya sampaikan. Karena bukan perasaan saya yang penting, bukan kedudukan saya yang penting, bukan reputasi saya yang penting. Semua hal itu tidak penting jika dibandingkan denan kebenaran. Kebenaran dari Allah harus dibela. Saya harap Anda memahami hal ini.
Jika ada orang yang salah, maka kita harus mengungkapkannya
Persoalannya sekarang adalah jika ada orang yang kedapatan melakukan kesalahan, termasuk saya sekalipun, maka kita harus menunjukkannya. Jika Anda bisa menunjukkan kepada saya akan adanya kesalahan dalam pernyataan saya berdasarkan Firman Allah, katakanlah hal itu kepada saya. Saya akan maju dan mengakui kesalahan saya di depan semua orang. Saya bersedia mengakui kesalahan saya. Itu adalah hal yang perlu saya lakukan sebab, jika tidak, maka saya – sebagai seorang pimpinan umat Kristen – akan menyesatkan banyak orang. Sungguh hal yang luar biasa, mengapa gereja membela dogma, kredo, doktrin dan sistemnya padahal kita seharusnya menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran? Tidak ada kewajiban bagi Anda untuk membela apapun selain kebenaran. Dan jika Anda belum melakukan ini, maka Anda akan terus berada dalam kesalahan-kesalahan. Anda akan menyesatkan orang lain setiap saat. Sangatlah penting bagi kita untuk memahami hal ini. Karena komitmen saya pada kebenaran, di masa lalu, saya telah mengubah doktrin saya, saya telah mengubah pernyataan-pernyataan saya karena saya tidak memiliki komitmen pada apapun selain pada kebenaran.
Sebagai bukti akan hal ini, beberapa tahun yang lalu, saya mengevaluasi ulang eksposisi saya mengenai salah satu perumpamaan. Dan secara terbuka saya mengoreksi eksposisi saya tentang Matius 13:44-45, yakni perumpamaan tentang harta terpendam. Secara terbuka saya menyatakan bahwa eksposisi saya akan perumpamaan tersebut kurang memadai. Banyak orang berkata, “Wah, jika Anda melakukan hal itu, banyak orang yang tidak akan mempercayai Anda lagi.” Saya menyatakan secara terbuka bahwa eksegesis saya saat itu tidak tepat. Sekalipun eksegesis itu tidak tepat, sebenarnya eksegesis itu tidak membahayakan orang. Tak ada hal di dalam eksegesis itu yang bisa membahayakan kehidupan rohani orang lain. Ada tidak mengerti mengapa saya perlu mengumumkan pengakuan bahwa eksegesis itu tidak tepat, bahwa saya telah mempertimbangkan ulang akan eksposisi itu dan telah mengoreksinya.
Orang-orang berkata kepada saya, “Jika Anda melakukan hal itu, mereka yang sedang Anda latih itu akan kehilangan kepercayaan mereka terhadap Anda.” Saya tidak ingin agar mereka percaya kepada diri saya. Mereka harus yakin pada kebenaran saja. Mereka harus yakin kepada Allah saja. Malahan, salah satu dari mereka yang ikut pelatihan meninggalkan pelatihan itu saat dia mendengar bahwa saya secara terbuka mengoreksi diri saya. Jika mereka mengerti, dari contoh itu, bahwa mereka harus berkomitmen pada kebenaran lebih daripada terhadap diri saya, maka pelatihan mereka menjadi bernilai. Kita harus mengasihi kebenaran dan tidak membawa sikap seperti para imam kepala serta ahli-ahli kitab itu. Kita tidak boleh memiliki sikap hati seperti mereka. Kita tidak boleh berkata, “Bagaimana sebaiknya kita menjawab pertanyaan ini?” Kita harus mengatakan kebenaran. Kita harus mengejar kebenaran dengan gigih.
Dapatkah kebenaran itu diketahui?
Namun inilah masalahnya. Ada orang yang mungkin saja berkata, “Dapatkah kita sesungguhnya mengetahui kebenaran? Bisa jadi itu hanya pendapat orang saja.” Banyak orang Kristen yang begitu pesismis sehingga mereka tidak berani lagi meyakini bahwa kebenaran itu bisa diketahui. Mereka berkata, “Nah, itu semua hanya masalah pendapat saja. Anda bisa saja mengatakan halnya seperti ini, lalu orang lain berkata lain lagi.” Maksudnya, kebenaran itu kemudian menjadi tidak bisa benar-benar diketahui; tidak bisa dikenali. Ini adalah situasi yang sangat menyedihkan. Jika kebenaran memang tidak bisa diketahui, maka kita orang-orang Kristen ini adalah orang-orang yang paling perlu dikasihani! Kita adalah orang-orang yang paling menyedihkan di antara orang lain jika kebenaran itu tidak bisa diketahui. Apakah Anda yakin bahwa kebenaran itu tidak bisa diketahui?
Jika Anda berpandangan: isi perikop ini hanya sekadar suatu pendapat saja, dan ayat yang lain juga suatu pendapat saja, lalu pendapat Anda mungkin sama bagusnya dengan pendapat orang lain, lalu ayat ini dipandang seperti ini dan ayat itu dipandang seperti itu, lalu apa gunanya menjadi orang Kristen? Karena tentunya, kita tidak sedang membicarakan hal yang dangkal. Kita sedang berbicara tentang prinsip-prinsip keselamatan. Dengan pandangan semacam itu, berarti kita sedang berbicara tentang hal yang lebih penting lagi: kita sedang berkata bahwa Allah membiarkan kita berada dalam kebingungan. Allah telah membuat kebenaran itu menjadi mustahil untuk diketahui. Dia tidak menyatakan kebenaran itu kepada kita. Dan jika Dia tidak ingin menyatakan kebenaran itu kepada kita, apa gunanya menjadi orang Kristen? Satu orang berkata bahwa kita diselamatkan melalui cara ini, dan yang lain berkata bahwa kita diselamatkan lewat cara lain. Kita tidak sedang berbicara tentang hal yang dangkal; kita sedang berbicara tentang keselamatan.
Beberapa waktu yang lalu saya berbicara tentang Watchman Nee, mengenai salah satu ekpsosisinya, saya berbicara dalam lingkup keselamatan. Kita tidak sedang membicarakan pribadi seseorang. Mereka adalah orang-orang yang lebih baik daripada saya. Namun jika ada eksegesis mereka yang keliru, dengan pertolongan Allah, saya akan menyatakannya. Dan jika ada orang yang tersinggung akan hal itu, maka saya mohon maaf. Saya berkomitmen untuk membela kebenaran. Dan jika ada orang yang bisa menunjukkan kesalahan saya, saya beritahu Anda, saya akan sangat berterima kasih kepadanya, saya akan merangkulnya dengan sepenuh hati. Dan saya ingin agar Anda menjadi saksi. Saya menantikan sekian tahun kalau-kalau ada orang yang menunjukkan kekeliruan dalam eksegesis saya, tak peduli sekecil apapun itu, namun belum ada orang yang melakukan hal itu. Tak ada. Saya masih tetap menanti, dan saya menyatakan ini dengan tulus, bahwa saya akan menyambut mereka dengan penuh hormat.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah kita akan menuruti pendapat orang? Apakah menjadi seorang Kristen hanya sekadar masalah memilih di antara berbagai macam pendapat? Apakah separah itu? Saya yakin bahwa hanya ada satu kebenaran sebab Yesus berkata, “Katakanlah ya jika memang ya, katakanlah tidak jika memang tidak.”
Namun sekarang ini, kita cenderung membenarkan semua pendapat. Baiklah, jika tidak suka dengan pendapat Chang, maka cobalah pendapat Nee, dan jika Anda tidak suka dengan Nee, maka cobalah Calvin, dan jika Anda tidak suka Calvin, maka cobalah Luther, silakan pilih. Lalu apa gunanya menjadi orang Kristen? Situasi kita menjadi tanpa harapan. Bagaimana saya bisa tahu bahwa yang ini tidak salah atau yang satunya lagi benar? Bagaimana saya bisa tahu? Bisa saja saya ini lalu menjadi orang buta yang mengikuti pimpinan orang buta lainnya, dan kami sama-sama jatuh di satu lubang. Ini bencana!
Anda harus bisa membedakan, saudara-saudari, apakah saya ini menyatakan kebenaran atau tidak. Jika Anda merasa sedikit saja tidak yakin, sedikit saja ragu bahwa hal yang saya sampaikan ini adalah kebenaran, maka sudah menjadi kewajiban Anda untuk tidak mendengarkan saya. Sudah menjadi tugas Anda untuk datang dan berkata kepada saya, “Saya tidak mau mendengarkan hal ini lagi karena saya melihat bahwa ini bukanlah kebenaran.” Kebenaran adalah hal yang mutlak penting. Namun saya yakin bahwa Allah tidak membiarkan kita berada dalam kegelapan, saudara-saudari. Dia telah menyatakan kebenaran itu kepada kita. Malahan, Paulus menambahkan lagi, Dia ingin agar kita semua sampai pada pengenalan akan kebenaran. Saya tidak pesimis karena saya percaya kepada Allah, bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita di dalam kegelapan. Apa gunanya berkata, “Yesus akan memimpin saya ke dalam kebenaran,” hal yang dia sampaikan di Yoh 16:13, lalu kita dibiarkan berada dalam kebingungan? Pada kebenaran macam apakah kita ini dibawa?
Lalu mengapa kita berhadapan dengan persoalan-persoalan? Karena kurangnya komitmen pada kebenaran. Dan saya akan terus mengulangi hal ini sekalipun Anda merasa telinga Anda sudah jenuh karena saya terus saja berkata, “Kebenaran, kebenaran, kebenaran,” sampai Anda lelah mendengar kata ‘kebenaran’. Saya harap Anda tidak menjadi lelah mendengar kata ‘kebenaran’. Anda tidak akan pernah cukup mendengarkannya.
Kurangnya kasih pada kebenaran membawa pada dogmatisme dan perselisihan
Mari kita masuk pada petanyaan utama kita: apakah komitmen pada kebenaran, kasih pada kebenaran ini, tidak akan mebawa kita pada dogmatisme? Apakah hal itu tidak akan membawa kita pada fanatisme? Tidakkah hal itu akan membawa kita pada kekakuan sikap? Tidakkah pergumulan dan perselisihan itu timbul karena orang-orang berkeras bahwa dia sedang menyampaikan kebenaran? Jawaban saya tidak. Bukan kasih pada kebenaran yang membawa pada dogmatisme dan ketegangan. Kurangnya kasih pada kebenaran, saudara-saudari, yang justru membawa kita pada dogmatisme dan perselisihan. Setiap orang yang berkata bahwa kasih pada kebenaran akan membawa pada dogmatisme hanya membuktikan bahwa dia tidak tahu apa semangat dari mengasihi kebenaran itu. Mengasihi kebenaran tidak akan mungkin membawa pada dogmatisme.
Orang yang berkomitmen pada kebenaran tidaklah dogmatik
Lihatlah dari sisi ini, jika Anda dan saya berbeda pandangan tentang satu hal, namun Anda dan saya sama-sama berkomitmen untuk mengasihi kebenaran, sama-sama berkomitmen – tanpa syarat, secara tulus, mengasihi kebenaran, tidakkah Anda melihat bahwa dasar kita yang sama dalam hal mengasihi kebenaran itu jauh lebih kuat daripada segala perbedaan pandangan akan sebuah masalah tertentu? Semangat yang menyatukan pada diri masing-masing telah menyatukan hati kita yang bersama-sama mengejar kebenaran. Tak peduli sebesar apapun ketidakcocokan itu akan bisa diluruskan oleh semangat yang sama-sama mengasihi kebenaran. Dengan kata lain, dasar kecocokan kita jauh lebih besar daripada unsur-unsur yang tidak cocok itu.
Saya tidak akan pernah berselisih dengan orang yang mengasihi kebenaran. Saya selalu katakan, karena saya bergemar di dalam kebenaran, maka saya akan senang jika saya dikoreksi. Saya akan senang untuk dikoreksi karena saya ingin mengenal kebenaran. Oleh karena itu, dari mana konflik akan muncul? Dari mana perselisihan akan muncul? Perselisihan muncul dari fakta bahwa saya berkeras membela kepentingan saya, bukan pada kebenaran melainkan pada kepentingan saya. Saya tidak mau memaksakan kepentingan saya; saya tidak punya kepentingan untuk dipertahankan. Jika ada orang yang bisa menunjukkan kepada saya, berdasarkan eksposisinya di dalam Firman Allah, akan suatu kebenaran, maka dengan senang hati saya akan mengakui dan dengan sukacita saya akan menerima petunjuk dari orang tersebut.
Jadi, dari sini kita bisa melihat beberapa hal. Orang yang berkomitmen pada kebenaran, sikap hatinya akan sangat berbeda. Dia bukan orang yang dogmatis. Dia akan selalu bersedia mendengar pendapat orang lain. Saya sampai pada suatu kesimpulan setelah dengan cermat saya merenungkan berbagai macam alternatif yang bisa diteliti dan diuji. Saat saya menolak doktrin John Calvin tentang predestinasi, hal itu tidak saya lakukan tanpa menelaah uraiannya tentang predestinasi. Saya telah meneliti dengan cermat apa yang disampaikan oleh doktrinnya itu, apakah isinya berlandaskan pada Kitab Suci atau tidak. Dan, baru setelah melalui pertimbangan yang sangat teliti, setelah melakukan eksegesis yang sangat melelahkan, barulah saya mengungkapkan kekeliruannya itu, saya telah menuliskan hal itu di dalam buletin agar bisa dilihat oleh semua orang. Jika ada orang yang bisa menemukan cacat pada eksegesis di mana saya tunjukkan bahwa pemahaman John Calvin mengenai predestinasi itu tidaklah alkitabiah, saya siap mendengar. Ada banyak pengikut Calvin akan tetapi sampai sekarang saya belum mendengar apa tanggapan mereka, maka saya persilakan Anda tunjukkan cacat itu. Tunjukkan di mana kira-kira kesalahan eksegesis saya. Dengan senang hati saya akan mendengarkannya; saya akan berterima kasih kepada mereka. Tak ada unsur konflik sama sekali. Tak ada hal yang berkaitan dengan unsur pribadi di sini. Sangatlah penting untuk memahami hal ini.
Orang yang mengasihi kebenaran tidak begitu saja melompat pada kesimpulan
Kedua, orang yang mengasihi kebenaran itu sangatlah berhati-hati di dalam analisanya. Dia tidak begitu saja melompat pada kesimpulan; dia periksa dan periksa lagi, dia uji dan uji lagi. Tidak ada satu apa pun yang saya ucapkan dari atas mimbar ini yang belum saya memeriksa dan mengujinya karena pernyataan-pernyataan ini akan sangat besar konsekuensinya. Jika Anda menguji eksposisi seseorang dalam pokok tertentu, maka Anda harus bertanggung jawab atas pernyataan Anda. Anda harus bisa membuktikan setiap ucapan Anda. Oleh karena itu, Anda tidak akan berbicara sekenanya saja. Anda tidak akan pernah berbicara sembarangan dan tanpa tanggung jawab.
Itulah hal-hal yang saya harap agar Anda renungkan baik-baik, saudara-saudari. Tanyakanlah diri Anda, jauh di dalam hati Anda, “Seperti apa komitmen saya pada kebenaran?” Jika Anda melakukan hal ini, maka berkat Allah akan tercurah pada diri Anda lewat cara yang ajaib.
Komitmen untuk mengasihi kebenaran: membongkar kepalsuan dengan gigih
Bagaimana kita akan melangkah maju dalam kekudusan? Dengan cara membongkar dosa. Apakah dosa itu? Dosa adalah ketidakbenaran, kepalsuan. Oleh karena itu, satu-satunya cara bagi Anda untuk bisa melangkah maju dalam keudusan adalah dengan membongkar semua itu dengan gigih. Perlakukanlah diri Anda sendiri dengan disiplin yang tegas. Orang yang mengasihi kebenaran biasanya bersikap sangat keras pada diri mereka sendiri. Dia akan menguji setiap motivasinya.
Renungkanlah aspek yang satu ini. Banyak orang mengaku bahwa mereka mengasihi kebenaran namun Anda bisa lihat dari perilaku mereka bahwa sebenarnya mereka tidak mengasihi kebenaran. Mengapa? Karena mereka sangat mudah tersinggung; mereka sangat sensitif. Apakah Anda sangat mudah tersinggung dan sensitif? Itu adalah tanda yang pasti bahwa Anda tidak mengasihi kebenaran. Apakah Anda bisa dengan mudah dikoreksi? Apakah Anda selalu siap belajar?
Kitab Suci berkata, jika Anda menegur seorang yang bijak, maka dia akan mendapat tambahan pengetahuan. Menegur seorang yang bijak berarti membuatnya bertambah bijak, dan dia akan bersyukur akan hal itu. Namun janganlah menegur seorang pencemooh, janganlah menegur seorang bodoh karena dia akan membenci Anda. Perhatikanlah sikap hati yang berbeda ini, perbedaan yang mendasar di dalam sikap hati mereka!
Mari kita pahami bahwa jika kita ingin tahu bahwa Allah itu benar, jika kita ingin melangkah maju di dalam kehidupan rohani kita, kita harus memiliki komitmen tanpa kompromi untuk mengasihi kebenaran!