Pastor Eric Chang |

Tema kita adalah, “Siapa itu orang bijak?” Apa saja unsur dari hikmat itu? Beberapa hari yang lalu, saya membaca koran, yaitu koran minggu pagi. Saya kolom yang berjudul, “Believe It Or Not (Percaya atau Tidak)”. Kolom yang berjudul “Believe It Or Not” ini berisi tentang hal-hal yang aneh dan luar biasa. Salah satu bagiannya bercerita tentang Charles Boaz yang bekerja sebagai badut. Apa yang luar biasa seorang badut? Seorang badut hadir untuk memberikan hiburan, membuat kelucuan, melawak, setidaknya untuk membantu melonggarkan stress dalam hidup ini. Dan sepertinya tak seorangpun yang akan berpikir bahwa seorang badut adalah orang yang bijak. Anda memandang mereka sebagai orang-orang bodoh; pekerjaan mereka memang untuk tampil sebagai orang bodoh dan bukannya sebagai orang bijak. Lalu mengapa kolom seperti “Believe It Or Not” menyajikan berita tentang seorang badut? Hal yang menarik perhatian adalah fakta bahwa badut yang ini, Charles Boaz, adalah seorang Doktor. Umumnya, orang menilai mereka yang bergelar Doktor sebagai orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi. Dan lebih dari itu, kolom ini juga mengatakan bahwa Dr. Boaz ini adalah seorang asisten profesor bidang ekonomi di State University of Michigan, dan bahwa dia telah mengundurkan diri dari pekerjaannya itu untuk bekerja sebagai orang bodoh, yaitu badut. Cukup menarik!

Jika Anda berhenti sejenak dan merenungkannya, di sini ada begitu banyak orang muda yang masih pelajar, dan kalian semua berjuang keras untuk bisa memperoleh ijazah sekolah menengah kalian. Dan di saat Anda berhasil mencapai gelar sarjana S1, Anda akan mengira bahwa Anda adalah orang yang cukup penting di dunia ini. Akan tetapi, kalau Anda sampai di tingkatan S3 (Doktor), Anda akan berpikir bahwa Anda telah mencapai puncak! Namun di koran ini ada seseorang yang telah mencapai semua itu, dan memutuskan untuk menanggalkan semuanya untuk menjadi seorang apa? Seorang badut!

Dari sejarahnya, pekerjaan badut sudah ada sejak lama, khususnya pada masa kerajaan-kerajaan di Eropa di mana raja-rajanya menderita stress seperti yang dialami oleh orang-orang modern. Mereka membutuhkan pertunjukan badut saat mengakhiri atau mengawali hari-hari mereka, atau sewaktu-waktu jika stress yang dihadapi begitu berat, dan para badut akan membuat lawakan untuk melonggarkan stress raja mereka. Pada zaman itu tidak ada TV atau telenovela, jadi yang Anda butuhkan adalah pertunjukan badut. Jadi sebenarnya, seorang badut menjalankan peranan yang penting. Akan tetapi hal itu semua sudah berlalu. Di zaman sekarang ini, para badut menghibur anak-anak supaya orang tua mereka bisa berkurang stress-nya, dan para orang tua ini bisa keluyuran secara leluasa sambil menikmati es krimnya.

Tapi mari kita kembali ke pertanyaan ini, hal apa yang membuat seorang bijak – seorang bergelar Doktor, yang menurut ukuran dunia adalah seorang bijak – ingin menjadi orang bodoh? Dapatkah Anda menempatkan diri Anda pada posisi orang ini dan membayangkan dalam keadaan seperti apa Anda akan bersedia untuk mengesampingkan prestasi akademik Anda? Tidaklah mudah menjadi seorang profesor atau asisten profesor lalu beralih berkelana ikut sirkus dan melawak dengan keledai, kuda dan monyet-monyet. Mungkinkah karena dia merasa bahwa hidup ini ternyata hanya sekadar lawakan belaka, dan dia merasa bahwa lebih baik menjalaninya sebagai seorang badut sekalian? Hidup ini adalah lawakan, jadi perlakukan saja segala sesuatu sebagai bahan lawakan. Bisa jadi dia, sebagai seorang manusia, adalah orang yang cukup cerdas untuk bisa memahami bahwa hidup ini adalah lawakan, jadi, jalani saja dengan bercanda.

Mungkin yang menjadi masalah utama bagi umat manusia adalah lantaran kita ini tidak cukup cerdas untuk bisa memahami persoalan yang sebenarnya, tetapi juga tidak terlalu bodoh sehingga bisa mencapai akar permasalahannya. Dengan kata lain, kita terjebak di dua sisi; kita tidak bisa melihat persoalannya secara jelas, entah karena kita ini terlalu bodoh atau terlalu cerdas, akibatnya kita juga tidak bisa menemukan jawaban yang jelas atas pertanyaan tentang arti hidup itu. Lalu kita terjebak di dalam lingkaran kebodohan, lingkaran kesia-siaan, lingkaran tanpa tujuan. Sehingga orang ini memandang bahwa jika memang tidak ada yang bisa dipegang di dalam lingkaran kesia-siaan ini, setidaknya kita masih bisa bercanda-ria. Jadi, pada dasarnya, masalah kebodohan atau kebijaksanaan berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan tentang arti hidup.


“Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati”

Alkitab memberitahu kita bahwa ada dua pemecahan atas persoalan makna hidup ini dan Dr. Boaz memakai salah satunya untuk mencapai pemecahan masalah tersebut. Jalan tersebut di dalam Alkitab dijabarkan dalam kalimat: marilah kita makan, minum, kawin dan bersenang-senang, sebab besok kita mati. Jadi mengapa kita tidak bercanda-ria malam ini? Bersenang-senanglah, untuk satu malam saja, mari kita tertawa, sebab besok kita mati. Begitulah mentalitas banyak prajurit yang sedang berada di lubang-lubang pertahanan. Sebelum menghadapi peperangan besar, mereka tahu bahwa di saat yang sama pada esok hari nanti, sebagian besar dari mereka akan mati; mereka semua akan mati. Ini adalah malam terakhir mereka, jadi bukalah botol bir atau minuman apapun itu, makanlah coklat terakhirmu, nikmatilah saat-saat ini, tertawalah, nikmatilah saat-saat terakhir ini, sebab besok kita semua mati. Itulah salah satu solusi atas masalah makna hidup ini. Anda hidup di dunia ini, Anda tahu bahwa waktunya singkat, jadi nikmatilah apa yang bisa Anda raih! Jika Anda punya satu rumah, belilah yang kedua. Jika Anda punya satu mobil, beli satu lagi. Entah apapun merek mobil kecil Anda, belilah mobil Jaguar, belilah mobil yang benar-benar hebat di mana Anda bisa duduk, bersandar di lapisan kulit mahal, dan mengendarainya. Nikmati saja! Anda tidak punya banyak tahun untuk menjalani hidup. Alkitab juga punya solusi semacam itu. Tak ada yang baru. Sudah ada tertulis di dalam Alkitab. Walau bukan berarti bahwa Alkitab menganjurkan metode ini tetapi ia memberitahu Anda bahwa itu memang salah satu solusinya.


Bangunlah hidup Anda berdasarkan Allah, Batu Karang itu

Ada metode lain yang Yesus sebutkan. Dia membandingkan kehidupan ini dengan pekerjaan membangun rumah. Bagaimana cara Anda menjalani hidup mirip dengan bagaimana cara Anda membangun rumah. Hari demi hari, Anda memasang batu bata, menambahkan hiasan, Anda menambahkan sesuatu pada bangunan rumah itu. Setiap orang membangun kehidupannya setiap hari. Jadi, ada dua cara untuk membangun. Yesus mengakhiri Khotbah di Bukit dengan hal ini: Anda bisa membangun rumah, rumah kehidupan Anda, entah dengan landasan batu karang atau pasir; ada dua cara untuk membangunnya.

Lalu, di akhir hidup Anda, orang-orang menatap Anda dan berkata, “Ah! Jadi ini bangunan rumah kehidupanmu. Sebuah rumah yang sempurna dan indah!” Bangunan rumah adalah suatu pencapaian, bukankah begitu? Ia menjadi simbol status dan memang merupakan simbol status yang sangat terlihat karena Anda tinggal di dalamnya. Rumah juga sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Ada banyak hal yang tidak perlu Anda beli. Anda tidak perlu membeli sebuah vas kembang karena Anda bisa saja menaruh kembang-kembang Anda di dalam botol, jadi Anda tidak perlu memiliki vas kembang yang cantik. Akan tetapi rumah adalah sarana yang sangat penting. Anda tidak akan merasa bertindak boros karena membeli sebuah rumah. Rumah adalah tempat tinggal Anda, tempat tinggal anak-anak Anda, dan bisa jadi banyak generasi bisa tinggal di rumah tersebut. Akan tetapi, Anda membangun rumah Anda di landasan yang bagaimana?

Yesus menjabarkannya di bagian akhir Matius pasal 7:24-27, sebuah perikop yang sangat terkenal:

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.

Ini adalah ayat-ayat yang sudah dipelajari oleh anak-anak sekolah minggu. Sangat sederhana. Namun sama seperti sabda-sabda Yesus lainnya yang terlihat sederhana, perikop ini memiliki makna yang sangat dalam.


Adakah seseorang dengan sengaja membangun di atas pasir?

Kalau kita membangun di atas batu karang, maka itu mudah untuk dimengerti karena kita ingin agar rumah itu bertahan lama; kita tentu tidak mau membangun rumah yang akan ambruk esok harinya. Akan tetapi maukah Anda membangun rumah di atas pasir? Pikirkan saja berapa besar biaya untuk membangun sebuah rumah – materialnya, batu-batu, besi baja, cerobong, dan segala sesuatu yang akan menjadi bagian dari rumah itu – apakah Anda menempatkan semua investasi itu dalam bentuk sebuah rumah indah di atas pasir?

Saya melihat bahwa orang di negara Barat menyukai kegiatan di luar rumah. Saya pernah berjalan-jalan dengan Helen di sebuah pusat perbelanjaan dan kami melihat sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, yang sebagian besar dari isinya menjual peralatan berkemah – tenda berikut barang-barang yang sejenisnya. Ada tenda yang hanya terdiri dari satu ruang, ada yang punya dua ruang dan ada juga yang memiliki dua ruang berikut serambinya, dan sebagainya. Saya jadi heran mengapa orang begitu ingin membangun rumah? Yang perlu Anda lakukan hanyalah membeli satu dari tenda-tenda itu, dan Anda akan mendapatkan rumah berkamar dua lengkap dengan serambinya. Sungguh indah! Dan jika Anda ingin pergi, Anda cuma perlu melipatnya untuk kemudian digelar kembali di tempat yang baru. Jadi misalnya, pekerjaan Anda pindah dari satu kota ke kota yang lain, maka Anda cuma perlu melipat rumah Anda dan membawanya ke Sydney, dan rumah berkamar dua milik Anda sudah siap dalam sepuluh menit. Sungguh luar biasa! Dengan rumah semacam ini, Anda bisa membangunnya di atas pasir, atau landasan apapun yang Anda sukai, tidak akan menjadi masalah, karena jika landasannya rusak, maka Anda hanya perlu melipat rumah Anda dan pindah ke tempat lain.

Akan tetapi Yesus berkata, “Jika engkau mendengarkan firman-Ku, (hal yang sedang Anda lakukan saat ini), tetapi engkau tidak mengerjakannya, maka engkau sama seperti orang yang membangun rumah, bukan tenda, di atas pasir.” Mungkin Anda berkata, “Tentunya tak ada seorangpun yang sedemikian bodohnya sehingga ia membangun rumah di atas pasir.” Dan saya pikir, Yesus juga tidak memandang bahwa sebagian besar orang bodohnya seperti itu.

Lokasi manakah yang lebih Anda sukai jika Anda akan membangun rumah? Saya tahu tempat seperti apa yang lebih disukai oleh orang-orang Hong Kong dalam membangun rumah mereka – di tepi laut di mana mereka bisa melihat pemandangan laut. Jika rumah Anda bisa dipakai untuk melihat pemandangan laut, maka harga rumah itu akan meningkat. Anda bisa melihat pemandangan laut di sana – sungguh indahnya! Dan tampaknya di setiap negara, orang suka pemandangan laut. Mereka ingin bisa mengamati pemandangan laut dengan leluasa. Jadi mereka gemar membangun rumah di tepi laut, di bukit-bukit, atau di bagian lainnya yang memungkinkan Anda menikmati pemandangan laut yang indah.

Beberapa tahun yang lalu, saya baca di sebuah majalah berita, dan seorang juru foto mengambil gambar sebuah rumah dari sudut yang sangat mengejutkan. Separuh bagian dari rumah itu menonjol keluar di atas laut! Dan separuh bagian lagi berada di darat sebagai pengimbangnya. Dan yang difoto itu bukanlah rumah tua; rumah yang berusia sekitar 20 tahunan saja. Ketika pertama kali sang arsiteknya merancang dan membangun rumah itu, terdapat kesalahan hitung, dan selama 20 tahun berselang, terjadilah hal itu, laut mulai menggerogoti daratan, dan menggerus tanah serta batu yang menjadi landasan rumah itu. Demikianlah, mimpi indah tentang rumah yang mereka rencanakan akan bisa ditempati seumur hidup sambil menikmati pemandangan laut, harus menghadapi penggerogotan dari bawah! Jadi, pada awalnya terdapat sebuah taman yang indah yang melebar dari rumah ke tebing pantai. Dan tahukah Anda apa yang terjadi kemudian? Taman indah milik mereka itu semakin lama semakin mengecil, dan selanjutnya terjadilah hal yang mengerikan ini, yaitu bahwa seluruh taman mereka hilang lenyap! Dan jika Anda membuka pintu serta melangkah keluar secara ceroboh, maka Anda akan melangkah langsung ke laut! Rumah ini dibangun cukup kuat karena pemiliknya adalah orang yang cukup kaya; jika tidak, tentunya rumah itu akan jatuh ke laut sebagian demi sebagian. Setidaknya rumah itu memiliki landasan beton yang cukup kuat dan stabil di bawahnya. Jadi, ketika juru foto itu mengambil gambar rumah tersebut, terlihat landasan betonnya dan rumah itu dibangun di atas landasan tersebut, dan tanah di bawahnya kosong. Mereka bertanya-tanya kapan kira-kira keseimbangan bangunan itu berubah dan rumah itu jatuh ke laut.

Ketika saya mengamati foto rumah tersebut, saya membatin, “Itulah hal yang Yesus maksudkan!” mereka telah menaruh semua investasi seumur hidup mereka untuk membangun rumah yang indah dengan pemandangan laut ini. Dan sekarang apakah yang tersisa bagi mereka? Sewaktu-waktu rumah itu akan ambruk ke dasar laut. Dan mereka mencoba untuk mencari jalan menyelamatkan rumah itu karena laut terus saja menggerus bebatuan serta tanah di bawahnya. Dan rumah itu sekarang tidak berharga barang sesen pun! Maukah Anda membeli rumah seperti ini? Anda tentu tahu bahwa rumah di tepi pantai harganya sangat mahal. Anda mungkin tidak akan bisa mendapatkannya dengan uang seperempat juta dolar. Namun saat ini, jika Anda menghadiahkan rumah di dalam foto itu pada orang lain, tak seorangpun yang mengingininya, karena pada pagi berikutnya, Anda mungkin akan berada di dasar laut!


Pilihannya hanya Batu Karang atau pasir

Pesan macam apakah yang ingin Yesus sampaikan lewat tema kebijaksanaan ini? Batu Karang di dalam Alkitab melambangkan Allah. Kata ini muncul berulang kali di dalam Perjanjian Lama – “Tuhan adalah Gunung batuku; dan Dia adalah Keselamatan-ku.” Isi pesannya adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini akan berubah, segala sesuatu akan berlalu. Akan tetapi Allah adalah batu Karang; Dia tidak berubah, Dia tidak berlalu. Batu karang itu adalah lambang kekekalan. Anda bisa lihat di dalam Mazmur 89:19 bahwa Tuhan adalah Raja, dan di ayat 27 dari Mazmur di pasal yang sama berkata, Allahku dan gunung batu keselamatanku.Nah, saya ingin agar Anda perhatikan dua hal ini: Allah adalah Gunung batu dan Raja. Itu sebabnya mengapa Paulus berkata di dalam 1 Timotius 1:17, Allah, Raja segala jaman, Allah adalah Raja yang kekal. Membangun rumah di atas batu karang berarti membangun kehidupan berlandaskan Allah yang kekal yang tidak akan berubah.

Segala sesuatu di dunia ini berubah dan perubahannya semakin cepat saja. Setahun yang lalu, dapatkah Anda bayangkan tentang hal-hal yang terjadi sekarang. Pasir di dalam Alkitab, tentu saja, adalah lambang dari segala sesuatu yang bersifat sementara, yang akan berlalu, yang tak tinggal tetap. Jika Anda membangun kehidupan Anda berlandaskan hal-hal yang sementara sifatnya, maka Anda tidak akan memiliki apa-apa pada akhirnya nanti.

Saya sudah menyebutkan sebelumnya bahwa Yesus tidak sedang meremehkan kecerdasan kita. Dia tahu Allah tidak menciptakan makhluk bodoh. Saya yakin bahwa Dia tidak beranggapan bahwa akan ada orang yang dengan sengaja membangun rumahnya di atas pasir. Lalu mengapa orang membangun rumahnya di atas pasir? Karena salah perhitungan, gagal memahami realitas kehidupan, atau lebih serius lagi, karena mereka enggan untuk memahami realitas kehidupan. Di zaman ini, manusia benar-benar hanyut karena dia telah memutuskan hubungan dengan Batu Karang keselamatannya. Dan jika Anda memutuskan hubungan dengan Batu Karang keselamatan, maka yang tersedia bagi Anda hanyalah pasir saja. Tak tersedia landasan jenis lain untuk membangun.

Kita sedang membahas perkara-perkara yang penting untuk kekekalan. Harap jujur di saat ini. Dan yang lebih penting lagi, jujur sajalah kepada Allah saat ini, mungkin buat pertama kali dalam hidup Anda, bersikap jujurlah di hadapan Allah. Dan bersikap jujurlah kepada diri Anda sendiri, jika memang Anda tidak bisa jujur kepada orang lain. Apakah Anda memiliki hubungan dengan Allah? Dapatkah Anda menjawab pertanyaan ini dengan jujur? Apakah Anda memiliki hubungan dengan Allah? Jika Anda tidak memiliki hubungan dengan Allah yang kekal, jika Anda tidak memiliki hubungan dengan Batu Karang keselamatan, maka landasan macam apa yang tersedia bagi Anda selain pasir? Beritahukan saya, apa lagi yang tersedia bagi Anda selain pasir? Hanya ada pilihan antara batu karang atau pasir, tidak ada pilihan lainnya. Jadi jika Anda tidak bisa membangun kehidupan Anda di atas batu karang; itu terjadi bukan karena Anda bodoh sehingga Anda melakukan hal itu, penyebabnya adalah karena tak ada jenis landasan lain yang tersedia bagi Anda selain pasir.


Orang bijak membangun kehidupannya berlandaskan Allah

Apa artinya menjadi bijak? Menjadi bijak berarti berpaling dari pasir yang labil dalam hidup ini, dan kembali ke batu karang yang adalah Allah, untuk membangun hidup Anda di atas Batu karang yang tak akan bergeser. Ketika para penguasa muncul silih berganti, Anda akan tetap bertahan di sana karena Allah Anda adalah Dia yang menjadi landasan tempat Anda membangun.

Jadi, orang macam apakah yang disebut bijak itu? Orang yang bijak adalah orang yang membangun di atas batu karang. Tetapi apakah artinya itu? Artinya dia adalah orang yang menjalin hubungan dengan Allah, Batu Karang itu. Rumahnya dibangun di atas batu karang, berlandaskan batu karang, tertanam di batu karang dan terhubung dengan batu karang itu. Apakah Anda seperti itu? Orang bijak menyatu dengan batu karang itu. Rumahnya bukan sekadar bersandar pada batu karang itu, tapi menjadi satu dengan batu karang itu.

Saya ingin bertanya, apakah itu gambaran kehidupan Anda? Apakah Anda menjalin hubungan dengan Allah yang hidup? Kita sedang berurusan dengan sesuatu hal yang luar biasa pentingnya bagi kehidupan Anda. Kita harus mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini. Bagaimana saya bisa mengenal Allah yang hidup? Izinkan saya untuk menguraikannya sesingkat mungkin dalam sisa waktu kita ini.

Saya akan merangkum semua itu dengan istilah “hukum raja.” Perhatikan kata-kata tersebut; saya ingin agar huruf-huruf tersebut benar-benar tertera di benak Anda; jika Anda lupa pada apa yang sudah saya sampaikan hari ini, setidaknya ingatlah pada istilah “hukum raja,” yaitu hukum dari Sang Raja. Di sini, kita tidak sedang berbicara tentang hukum menurut pengertian legal, kita sedang berbicara tentang hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dari Raja. Kita dapat melihat ungkapan ini di dalam Yakobus 2:8. Di sana, Anda akan temukan ungkapan yang diterjemahkan sebagai “hukum utama (royal law = hukum raja)” atau hukum dari Raja. Dan perhatikan bahwa saya mengutipnya dari Yakobus 2:8, saya mengutipnya dari Perjanjian Baru, bukan dari Perjanjian Lama; dan surat Yakobus berbicara banyak tentang hikmat atau kebijaksanaan.

Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik.

Izinkan saya mencoba untuk menunjukkan kepada Anda tentang situasi yang dihadapi umat manusia di zaman sekarang ini, dan mengapa manusia di zaman sekarang ini kehilangan hubungan dengan Batu Karang dan akhirnya membangun kehidupan mereka di atas landasan pasir. Menyampaikan hal ini kepada Anda sama halnya dengan menjabarkan seluruh isi Alkitab dalam waktu lima menit. Ini adalah hal yang indah; sekolah Alkitab dalam waktu lima menit. Setelah ini, Anda bisa mendapatkan ijazah. Jika kita balik ke kitab Kejadian, apa yang terlihat? Jika Anda baca segenap sejarah di Perjanjian Lama, ada satu hal sederhana yang muncul ke permukaan: manusia tidak menghendaki Allah menjadi Raja atas kehidupannya, dan oleh karena itu, mereka tidak memperoleh landasan di batu karang. Ketika Adam berbuat dosa di taman Eden, lewat dosanya itu dia sudah menyatakan bahwa dia ingin mengambil jalannya sendiri dan tidak ingin Allah memberitahu dia tentang bagaimana menjalani hidupnya. Situasi ini berkembang dari buruk menjadi rusak jika Anda melanjutkan pembacaan Alkitab Anda. Pada pasal enam dari kitab Kejadian, hanya berselang enam pasal sejak penciptaan, manusia sudah memulai pemberontakan terhadap Allah sebagai Raja sehingga situasinya tidak bisa didamaikan.


Menjadi bijak berarti menobatkan Allah sebagai Raja atas kehidupan Anda

Izinkan saya mengajukan pertanyaan lain. Saya adalah pengkhotbah yang suka blak-blakan; saya sering mengajukan pertanyaan pada orang-orang. Apakah Allah adalah Raja atas kehidupan Anda saat ini? Apakah Dia Raja atas kehidupan Anda saat ini? Apakah Anda tahu apa artinya memiliki Allah sebagai Raja atas kehidupan Anda? Jika tidak, maka Anda tidak tahu apa artinya menjadi orang bijak karena Anda tidak tahu apa artinya membangun di atas batu karang. Alkitab memberitahu di dalam Amsal 1:7 tentang hikmat ini:

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.

Mengapa takut akan Tuhan? Siapakah yang ditakuti oleh orang-orang? Mereka takut kepada raja, dan apakah hasilnya? Mereka taat karena mereka takut. Akan tetapi manusia telah sejak lama meninggalkan rasa takut yang kekanak-kanakan ini. Para filsuf besar Jerman yang hebat itu gemar memberitahu kita bahwa manusia telah bertumbuh dewasa; manusia tidak takut lagi pada apapun juga. Hanya anak-anak yang mengalami ketakutan; orang dewasa tidak takut apapun. Kalau memang tidak memiliki rasa takut lagi, mengapa rata-rata orang mengalami stress di sepanjang hidupnya? Takut akan Allah adalah awal dari hikmat. Dan jika saya takut akan Allah, maka saya menghargai Dia sebagai Raja atas kehidupan saya.

Namun sejarah di dalam Alkitab bercerita tentang manusia yang, di sepanjang waktu, selalu menolak Allah sebagai Raja. Saat Israel menjadi suatu bangsa, apa yang mereka inginkan? Mereka tidak ingin Allah menjadi Raja. Mereka menginginkan orang lain. Siapakah yang mereka inginkan? Mereka menginginkan Saul. Oh, Saul bertubuh sangat tinggi! Mungkin mereka senang saat menengadah untuk bisa menatapnya. Alkitab berkata bahwa Saul sekepala dan sebahu lebih tinggi dari orang lain, bukan sekadar sekepala. Saya sering coba membayangkan, seberapa tinggi dia itu? Saya punya sahabat yang sangat baik di Kanada, seorang profesor teologi. Tingginya 2 meter lebih; jika saya berbicara dengannya, saya harus mendongak ke atas. Saya sering bercanda dengannya dengan bertanya, “Clark, bagaimana cuaca di atas?” Suatu hari, saya mengantarkannya dari universitas ke kota, dan saya penasaran ingin melihat bagaimana dia berusaha masuk ke dalam mobil saya. Lalu saya mundurkan tempat duduk sejauh mungkin ke belakang, tapi dia masih harus berjuang bahkan untuk sekadar memasukkan satu kakinya, kemudian yang satunya lagi.

Demikianlah, Saul lebih tinggi sebahu dan sekepala dibandingkan orang lain. Mereka menghendaki orang macam ini sebagai raja; dia sangat tinggi sehingga dia dijadikan raja. Tampaknya mereka tidak peduli ada berapa banyak sel otak yang ada di kepalanya. Yang penting dia bertubuh besar. Akan halnya dengan Allah, kita tidak menghendaki Allah. Kita mau orang ini saja yang menjadi raja. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa Allah bisa saja menggusur orang ini setiap saat, dan kenyataannya, memang hal itu yang Dia lakukan, Dia menggusur Saul. Dan Dia menobatkan anak muda bernama Daud. Jadi, kita bisa melihat bahwa di sepanjang sejarah manusia, kita selalu menolak Allah sebagai Raja; kita tidak menghendaki Dia menjadi Raja.

Tapi saya beritahukan Anda, jika Anda ingin memahami Alkitab, ada satu prisip utama yang perlu Anda pegang. Seluruh isi Alkitab, dari awal sampai akhir,   mengajarkan satu hal: Allah itu Raja, jika Anda tidak suka kata ‘raja’, tidak jadi masalah; Anda boleh menyebut-Nya ‘Komisaris,’ Anda boleh menyebut-Nya ‘Penguasa,’ atau ‘Presiden,’ atau ‘Panglima,’   atau apa pun itu, sejauh Dia menjadi Yang Nomor Satu.

Saya pernah membaca sebuah buku yang sangat tebal dan seluruh isinya mengupas tentang satu hal. Buku itu ditulis oleh seorang profesor teologi dari Skotlandia. Buku yang dia tulis itu berjudul Biblical Doctrine of the Reign of God ( Doktrin Alkitabiah tentang Kedaulatan Allah). Dia menguraikan dari bagian awal Alkitab sampai ke bagian akhirnya, dari Kejadian sampai Wahyu, satu kebenaran utama tentang Allah: Allah itu Raja. Entah Anda suka atau tidak, tidak jadi masalah. Anda mungkin tidak menyukainya, mungkin membenci kebenaran tersebut, Anda mungkin berkata, “Aku tidak percaya. Aku muak. Aku tidak mau mendengarkannya,” hal ini tidak mengubah apapun; memang seperti itulah yang diajarkan Alkitab. Allah yang menentukan apa yang akan terjadi pada hidup Anda. Itu sebabnya saya mengutipkan apa yang ada di dalam Yakobus 2:8, tentang hukum dari Raja yang Yakobus bicarakan. Orang bijak adalah orang yang taat pada hukum dari Raja. Dan kedaulatan Sang Raja ini bukanlah sesuatu yang berat untuk ditanggung, karena Alkitab secara konstan mengajarkan kita bahwa Dia memanggil kita untuk masuk ke dalam persahabatan dengan-Nya, untuk menjadi sahabat Raja. Saya tidak begitu berminat untuk mengetahui apakah seseorang itu raja atau bukan. Yang saya minati adalah satu hal, raja macam apakah dia itu? Orang macam apakah dia itu?

Saya adalah orang yang bertumbuh dalam kekuasaan. Saya pikir saya bisa dengan aman mengatakan bahwa tak seorang pun di dalam ruangan ini yang mengenal kekuasaan sebagaimana yang pernah saya kenal. Anda tahu, ayah saya memegang jabatan yang sangat tinggi di pemerintahan China yang dulu. Dia memegang komando atas sekitar 40.000 tentara. Dia punya dua jenderal sebagai bawahannya, salah satu dari mereka menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata di Taiwan. Dan bagi Anda yang mengerti masalah politik China, tentunya Anda tahu nama jenderal itu, Sun Li Ren, seorang jenderal yang sangat hebat. Dan yang lebih menarik lagi adalah bahwa pasukan ayah saya tidak berada di bawah komando pemerintah pusat; mereka sepenuhnya di bawah kendali ayah saya. Tahukah Anda bahwa sebagian besar dari pasukan ayah saya ditempatkan di sekitar Nanjing, ibu kota China sebelum kaum komunis menang? Jika ada di antara Anda yang tahu tentang peristiwa Liu Si, atau insiden 4 Juni, Anda akan tahu apa artinya memiliki pasukan perang yang berkedudukan di sekitar kota. Anda bisa mengepung kota itu dengan 20-30.000 orang dengan tank dan bala tentara, dan Anda bisa saja menurunkan pemerintahnya. Di sepanjang perairan pantai China, ayah saya memimpin 100 kapal perang berukuran kecil, yaitu kapal motor kecil dengan persenjataan yang cukup berat dan kemampuan untuk bergerak sangat cepat.

Saya tahu bagaimana rasanya hidup dalam kekuasaan. Saya tahu bagaimana rasanya berbicara dengan jenderal atau menteri ini dan itu, bahkan sejak saya masih kecil. Duta besar dari berbagai negara kerap menjadi tamu di rumah kami. Duta besar Amerika yang terkenal, Leighton Stewart, adalah sahabat baik ayah saya, dan dia sering berkunjung ke rumah kami. Saya masih ingat pada suatu waktu, ketika dia berkunjung, dia adalah orang yang sangat tinggi, mungkin setinggi Profesor Clark Pinnock, lalu dia masuk dan berbicara dengan saya, dan dia berkata, “Tahukah kamu siapa nama-ku? Namaku adalah Leighton. Maukah kamu ingat pada Leighton?” Saya berkata, “Baik, aku akan mengingatmu, Leighton.” Saat itu saya tidak tahu bahwa dia adalah duta besar Amerika Serikat. Dia berkata, “Ingatlah selalu padaku, maukah kamu melakukannya?” Saya menjawab, “Akan ku-coba.” Demikianlah, saya sudah memenuhi janji saya: saya selalu ingat padanya. Anda bisa lihat namanya di dalam buku-buku sejarah.

Saya tahu apa itu kekuasaan; saya pernah bergaul dengan para penguasa. Saya pikir Allah punya tujuan tertentu dengan semua pengalaman ini. Saya pikir, karena pengalaman ini, saya jadi tidak takut pada manusia dari kalangan manapun, saya tidak peduli siapapun mereka. Saat kami ikut jamuan makan malam Kabinet China, dan saya menjadi orang yang sangat berguna di sana karena para politikus itu tetaplah politikus; dalam jamuan itu sering muncul masalah, yaitu masalah tentang siapa yang akan diminta untuk duduk (di meja makan yang agak kecil) di sebelah kanan Wakil Perdana Menteri China saat itu. Yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri saat itu adalah Wang Yun Wu. Tentu saja, jika menempatkan Menteri Pertahanan di kursi sebelah kanan itu, maka Menteri Ekonomi akan tersinggung. Demikianlah, para menteri ini menilai kedudukan mereka berdasarkan siapa yang akan duduk di sebelah kanan Perdana Menteri – perhatikan bahwa Alkitab juga berbicara tentang hal sebelah kanan ini. Masalah ini bisa dipecahkan; mereka meminta saya yang duduk di sana. Jadi saya duduk di sebelah kanan Perdana Menteri, dan istrinya duduk di sebelah saya, saya diapit oleh Perdana Menteri dan istrinya. Poin yang penting bukan apakah Anda Raja atau Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan atau Jenderal atau siapapun itu. Ada begitu banyak orang yang datang dan pergi di rumah saya pada masa itu, tetapi saya tidak tahu yang mana Menteri Pertahanan, Perdana Menter atau Jenderal – saya perlu menghitung jumlah bintang di pundaknya. Hal yang penting bukan pada apa jabatan Anda melainkan orang macam apakah Anda.

Jika saya berpikir tentang Allah, jika saya menyebut, “Raja” yang saya bayangkan bukanlah seseorang yang mengenakan semacam jubah yang menjuntai ke bawah. Saya tidak tertarik pada pakaiannya; yang ingin saya ketahui adalah Pribadi macam apakah Dia? Saya ingin memberitahu Anda bahwa bagi saya, mengenal Allah sebagai Raja berarti mengenal Dia sebagai Pribadi yang hidup kepada siapa saya bisa berbicara setiap harinya, saya bisa bersekutu dengan Dia, dan saya bisa mengucap syukur padanya akan hal-hal yang indah. Saya bisa berkata, “Ya Allah, sungguh menakjubkan Engkau!” Itulah Allah – dari sisi kepribadian-Nya, bukan jabatan-Nya. Kenalkah Anda akan Allah yang ini? Apakah Anda mengenal Allah yang ini sebagai Sahabat? Bagi saya, saya tidak peduli apakah Anda berteman dengan seorang perdana menteri atau duta besar, itu semua bukan hal yang relevan bagi saya; saya tidak tertarik dengan itu semua. Saya bahkan tidak paham mengapa mereka semua ingin berteman dengan saya, karena sesuatu hal, mereka tampaknya tertarik pada saya dan saya masih tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Di London, ada seorang jenderal yang datang pada saya dan ingin berteman dengan saya; saya tidak tahu mengapa; orang ini cukup tua untuk menjadi kakek saya. Bagi beberapa orang, mereka pikir berteman dengan seorang jenderal adalah hal yang sangat hebat! Sebenarnya, saya punya dua teman jenderal di London; saya tak pernah berusaha untuk membangun persahabatan dengan mereka; justru mereka yang selalu ingin berhubungan dengan saya. Saat saya ke Israel, saya diberi nama kepala staf angkatan darat Israel oleh mereka, yaitu Jenderal Yigal Yardin, dia seorang jenderal dan cendekiawan yang terkenal. Saya tidak pernah berusaha untuk mengunjunginya. Saya hanya menelepon dan menyampaikan salam pada jenderal tersebut, itu pun demi kedua kawan di London ini.

Saya tidak tertarik pada jenderal dan Perdana Menteri, dan saya berkata sejujurnya. Namun saya ingin mengasihi para saudara dan saudari yang terkecil, sebagaimana yang Allah lakukan. Yesus, Raja segala raja, tertarik pada pengemis yang buta. Apakah Anda juga demikian? Itu sebabnya saya berkata kepada Anda, Dia berbeda dengan para pemimpin berbagai bangsa. Dia sangat berbeda. Kepribadian-Nya sangat berbeda. Kita pernah membaca tentang Ceausescu di Rumania, tentang kebusukan, korupsi dan kebrutalan dari orang ini. Saya beritahu Anda mengapa saya tidak tertarik pada orang-orang semacam ini: karena manusia itu terlalu kecil untuk menjadi besar. Mereka tidak cukup besar untuk bisa menampung beban kekuasaan sambil menjaga kemurniannya. Mereka menjadi angkuh, sombong dan korup. Akan tetapi Raja dan Allah saya tetap menjadi Sahabat bagi mereka yang lemah dan rendah. Saya ingin mengajukan pertanyaan ini kepada saudara: Kenalkah Anda dengan Raja yang ini? Jika tidak, apakah Anda ingin mengenal Dia? Apakah Anda ingin membangun kehidupan berlandaskan Dia, yaitu Batu Karang yang tak akan pernah berubah?


Mengenal Allah yang hidup lewat kata ini: R-O-Y-A-L

Sebagai penutup, saya ingin memberi Anda prinsip hukum raja (royal law) yang akan saya bahas secara lebih lengkap di pesan berikutnya. Untuk membantu Anda mengingatnya, saya akan memberi Anda cara mengingat yang didasari oleh kata ‘royal’. Kata ‘royal’ adalah kunci yang ingin saya berikan pada Anda untuk mengingat tentang cara untuk menjalin hubungan dengan Allah yang hidup. Anda telah menerima kesempatan yang istimewa. Seluruh dunia, bahkan sebagian besar gereja, telah menolak Allah, dan mungkin bisa saya katakan khususnya Gereja. Saya akan membahas hal ini secara lebih mendalam di pesan yang berikutnya. Mengapa saya katakan bahwa Anda memperoleh kesempatan istimewa? Karena Allah sekarang ini hanya memiliki sedikit sahabat. Mengapa Allah hanya memiliki sedikit sahabat? Karena semua orang ingin pergi dan mengerjakan kehendaknya sendiri, mereka tidak menginginkan Allah sebagai Raja. Ketika mereka menyalibkan Yesus, mereka berkata, “Kami tidak mau Orang ini menjadi Raja atas kami. Kami tidak menghendaki Orang ini sebagai Raja.” Tahukah Anda apa artinya pernyataan itu? Hal itu membuat kesempatan kita untuk menjadi sahabat-Nya jadi sangat mudah, karena hanya ada sedikit sahabat-Nya. Saya ingin menjadi salah satu sahabat-Nya, saya berharap untuk boleh duduk di kaki meja, di tempat yang paling rendah di kaki-Nya, karena saya telah melihat keindahan wajah-Nya.

Kata ‘royal’ di dalam royal law (hukum raja) dieja r-o-y-a-l. Huruf ‘r’ untuk kata ‘repentance (pertobatan)’. Huruf yang kedua, yaitu ‘o’ untuk kata ‘obedience (ketaatan)’. Huruf yang ketiga ‘y’, untuk kata ‘yoked (memikul kuk)’. Huruf keempat ‘a’ untuk kata ‘absolute (mutlak)’ Dan huruf yang terakhir ‘l’ untuk kata ‘launch (berangkat)’. Di pesan yang berikutnya, saya akan membahas kelima huruf tersebut, karena jika Anda bisa menangkap maknanya, maka Anda akan mampu membangun kehidupan Anda di atas Batu Karang yang tidak akan bergeser.

Berikan Komentar Anda: