Mark Lee |

Kita ini sudah masuk ke bagian yang terakhir dari seri pengenalan Injil. Jadi sudah waktunya kita membuat suatu keputusan dan suatu pilihan. Ada sebagian orang yang datang untuk mendengarkan Injil tetapi mereka tidak pernah membuat tanggapan. Sepuluh tahun berlalu dan keadaan rohani mereka tetap sama saja. Saya khawatir, jika hal ini berlangsung terus, mereka akan menjadi fosil.

Di Injil Matius 11:16-17 –

“Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung.”

Yesus mengatakan bahwa angkatan itu seperti anak-anak yang sedang bermain di jalanan. Anak-anak pada zaman itu tidak punya banyak mainan. Karena itu, mereka akan meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Beberapa anak akan bermain masak-masakan, atau meniru gaya dokter, perawat dan yang lainnya. Anak-anak sangat suka bermain seperti itu.

Di sini disebutkan tentang anak-anak yang sedang menirukan dua hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Mereka melihat orang dewasa bermain seruling, dan mereka ikut bermain seruling. Seruling adalah alat musik yang lazimnya dipakai dalam upacara-upacara pada zaman itu. Di zaman dulu, terdapat sangat sedikit alat musik, jadi seruling dipakai untuk acara pernikahan dan juga di acara pemakaman. Yang membedakan adalah nada lagu-lagu yang dimainkan.

Menari yang dibicarakan di sini, tentu saja, mengacu pada suasana pernikahan. Di sini digambarkan suasana pesta pernikahan yang penuh sukacita dan lagu-lagu yang gembira dimainkan. Akan tetapi, ada beberapa anak yang duduk saja dan tidak tergerak sama sekali. Anda ingin dia ikut menari, tetapi dia tidak menari, ada yang malah meniru upacara pemakaman!

Acara pemakaman di kalangan Yahudi adalah suatu upacara besar. Keluarga yang sedang berduka cita akan menyewa para juru tangis bayaran. Ini karena mereka mengira bahwa dengan ratap tangis yang hebat akan menunjukkan betapa besarnya penghormatan terhadap orang yang sudah mati itu. Terutama jika jumlah anggota keluarga itu kecil, atau mereka sebenarnya tidak terlalu bersedih, maka mereka akan menyewa para juru tangis profesional untuk menangis dan meratap di sepanjang upacara pemakaman. Anak-anak melihat hal ini sebagai suatu hiburan sehingga mereka gemar menirunya.

Di sini disebutkan tentang mereka yang sedang menyanyikan lagu-lagu sedih di pemakaman, akan tetapi Anda tidak mau ikut meniru mereka yang sedang menangis keras itu. Keadaan di zaman sekarang sangat mirip dengan yang di zaman Yesus dulu. Sering kali, kita hanya mau duduk dan menyaksikan dan tidak mau ikut terlibat. Kita hanya mau menjadi penonton saja. Orang-orang di zaman sekarang tidak mau mengkomitkan diri. Oleh sebab itu, kumpul kebo sangat populer sekarang ini. Tidak perlu bertanggungjawab. Anda datang jika Anda suka, dan Anda pergi jika ada yang tidak beres. Anda bahkan tidak perlu repot mengisi formulir perceraian nantinya.

Pemikiran angkatan zaman sekarang ini adalah mereka tidak mau memberikan diri mereka. Mereka tidak mau berkomitmen. Yesus dengan tepat menggambarkan keadaan generasi sekarang yang tidak mau memberikan respon. Anda perlu membuat tanggapan setelah Anda mendengarkan Injil. Apakah Anda termasuk orang yang tidak memberi tanggapan? Saat Anda mendengarkan hal-hal yang menggembirakan di dalam Injil, tentang kabar baik yang terdapat di dalamnya: apakah Anda memberikan respons? Atau Anda justru mematung, tidak bereaksi terhadap tragedi, atau kepada hal-hal yang menyedihkan seperti dosa dan kejahatan? Anda tidak tergerak melihat keadaan orang-orang yang hidup di dalam dosa dan tidak terharu melihat persoalan yang ditimbulkan oleh dosa seperti kematian, kesedihan dan kesakitan.


Kebiasaan membuat kita puas diri

Persoalan dengan generasi zaman sekarang ini sama saja – mereka sebenarnya mendengarkan, bukannya tidak mendengarkan. Minggu demi minggu mereka datang ke gereja untuk mendengarkan khotbah, namun mereka tidak pernah memberikan respons. Di sinilah letak kesulitannya. Mengapa tidak ada reaksi? Apakah in semacam kemalasan? Mereka tidak merasa tergerak. Banyak orang yang seperti itu. Mereka sudah sangat terbiasa dengan cara hidup seperti ini. Atau mungkin mereka tidak mampu memandang lebih jauh lagi, dan puas berada di tempat mereka sekarang.

Beberapa waktu yang lalu, saya menyimak satu berita yang sangat menarik tentang sebuah tempat yang terkenal di Filipina yang disebut Smoky Mountain atau dapat disebut sebagai “Gunung Sampah” juga. Tempat itu adalah gunung yang terdiri dari tumpukan sampah yang sudah ada sejak zaman Marcos. Ia melambangkan sisi yang paling gelap dan jahat dari Filipina. Tempat yang sangat mengerikan.

Yang mengejutkan adalah, ada sekitar 15.000 orang yang tinggal di gunung sampah itu. Situasi ini sangat menarik untuk diamati. Apa yang mereka lakukan di sana? Mereka memunguti sampah dan tinggal serta makan di sana. Mengapa mereka mau tinggal di gunung sampah ini? Karena pekerjaan mereka mengharuskan mereka untuk berkeliaran di tumpukan sampah itu. Banyak truk sampah yang datang dan menambah tinggi tumpukan itu setiap harinya, dan orang-orang ini akan pergi ke puncak gunung itu untuk melihat apakah ada sesuatu yang masih berharga untuk dimanfaatkan.

Lima belas ribu orang tinggal di gunung sampah. Tentu saja, udara di sana sangat terpolusi, dipenuhi dengan berbagai bau busuk. Anda dapat membayangkan seperti apa kondisi di tempat itu dengan timbunan sampah yang tertumpuk selama bertahun-tahun.

Belakangan Ramos menjadi presiden dan dia memutuskan untuk menyingkirkan tempat itu. Dia merasa bahwa tempat itu tidak layak untuk ditempati dan juga tempat itu mempermalukan bangsa Filipina. Jadi, di tahun 1994 ia mengadakan rencana pemindahan warga tempat itu yang memerlukan biaya 6,5 milyar dolar Amerika. Suatu mega proyek yang sangat mahal.

Sebuah fasilitas pembakaran sampah dan sebuah perumahan yang cukup bagus dibangun untuk mengakomodasi kelima belas ribu orang itu. Rencana ini mencakup kursus-kursus pengembangan karir untuk memperlengkapi para pemulung yang tinggal di situ untuk tahu berdagang atau mencari sumber pendapatan yang baru. Juga akan tersedia fasilitas perpustakaan, klinik dokter, dan pusat lowongan pekerjaan.

Di tahun 1995, Presiden mendatangi gunung sampah itu untuk mengumumkan rencananya. Bagaimana sambutan warga terhadap Presiden Ramos? Warga melempari dia dengan batu! Saya sangat heran ketika membaca berita ini. Awalnya, saya kira mereka kecewa karena sang Presiden mungkin seharusnya sudah sejak dulu menjalankan rencana ini, bukannya menunggu sampai sekarang! Tetapi ternyata tidak. Mereka enggan pindah.  Akhirnya, polisi dikerahkan untuk memindahkan penduduk dari gunung sampah itu. Tetapi perselisihan timbul di antara masyarakat dengan polisi dan bentrokan pun terjadi yang mengakibatkan satu korban jiwa dan 20 orang luka-luka.

Bayangkan, mereka diundang untuk pindah dari tumpukan sampah ke sebuah apartemen yang bagus. Lalu, apa yang terjadi? Mereka menolak untuk pindah dan malah bentrok dengan polisi. Setelah itu para pekerja sosial diminta untuk membujuk mereka pindah. Tetapi para petugas sosial ini juga gagal.

Apakah orang Filipina ini orang-orang yang aneh? Mengapa mereka menolak untuk pindah? Jawabannya tidak sulit. Menjadi pemulung sampah memberikan penghasilan yang cukup bagus. Rata-rata penghasilan mereka adalah sekitar US $11. Padahal seorang pekerja terampil, misalnya tukang las dan tukang bangunan hanyalah diupah US $6 sehari. Jika Anda adalah bagian dari mereka, maukah Anda pindah? Apakah Anda lebih memilih untuk pindah, belajar keterampilan baru, dan kemudian menerima penghasilan US $6 sehari? Atau mungkin Anda akan berkata, “Tidak, terima kasih. Tak jadi masalah apakah keadaan di sini jorok, yang penting saya mendapat 11 dolar sehari.”

Apa yang akan Anda lakukan jika Anda adalah mereka? Mungkin kita tidak akan jauh berbeda dengan orang-orang Filipina itu! Jadi, Anda tentu dapat memaklumi perasaan mereka. Mungkin kalau kita adalah mereka, sangatlah sulit untuk meninggalkan gunung sampah itu. Demikianlah, judul berita itu tertulis sebagai berikut “Susahnya Berpisah Dengan Tumpukan Sampah”. Ini memang merupakan suatu perpisahan yang sulit. Sebagian dari pemulung itu memamerkan kalung emas mereka, jam tangan Rolex berlapis emas, dan cincin emas kepada wartawan ketika mereka diwawancarai. Dan mereka berkata, “Beritahu saya – mengapa saya harus pindah?” Jawabannya sangat jelas. Mengapa mereka harus pindah kalau di sana ada emas yang dapat digali?

Tetapi tentu saja, masalahnya tidak sesederhana itu. Memang benar bahwa di sana ada emas yang bisa didapatkan, akan tetapi pengorbanannya terlalu tinggi karena polusi di lingkungan itu mengakibatkan anak-anak mereka diancam berbagai macam jenis penyakit. Mereka juga tidak mendapatkan persediaan air bersih dan listrik. Jadi apa pilihan Anda?

Manusia adalah makhluk yang sangat menarik. Mengapa orang-orang itu tidak mau berubah? Mengapa mereka puas tinggal di dalam kondisi mereka yang seperti itu?

Kita tahu bahwa dunia ini sangat tercemar, seperti tumpukan sampah. Dunia sangat tercemar, penuh dengan dosa dan segala kejahatan. Akan tetapi, kita tetap mentolerirnya. Karena kita bisa memperoleh emas dari sana. Kita tidak dapat lagi mendapatkan emas jika kita meninggalkan tempat ini, jadi kita puas dalam keadaan demikian! Mari kita tetap tinggal di sini dan melanjutkan hidup kita seperti apa adanya, sekalipun ini akan membuat kita jatuh sakit, sekalipun kesehatan tubuh dan roh kita terancam, sekalipun kita dicemari oleh kenajisan dunia dan roh kita menjadi sakit!

Jika ada orang yang menganjurkan Anda untuk pindah ke tempat yang lebih baik, Anda mungkin menjawab, “Tidak. Ada emas yang bisa didapat di sini. Tidak masalah kalau aku jatuh sakit. Hal yang paling penting adalah uang.” Apakah itu berarti bahwa kita bersedia mempertaruhkan nyawa kita demi itu? Sekalipun aku harus menutupi hidung dan setiap hari mengorek-ngorek sampah dan tinggal di lingkungan yang sangat jorok, tetapi aku tetap mau karena ada sesuatu yang dapat diperoleh.

Bagi kita, orang-orang ini berada dalam keadaan yang jauh lebih baik. Karena, setidaknya, mereka sudah menetapkan pendirian. Mereka memutuskan untuk tidak pindah. Tetapi banyak di antara kita yang sulit membuat keputusan. Aku sepertinya ingin mempercayai Yesus, tetapi rasanya bukan pilihan yang terbaik, tetapi kalau tidak mempercayai Yesus juga sepertinya bukan hal yang tepat. Mengapa Anda tidak langsung saja memilih untuk tidak percaya kepada Yesus dan tidak usah kembali lagi setelah itu? Akan tetapi, Anda tetap datang selama satu bulan, dua bulan, setengah tahun, setahun, dua tahun, dan terus saja datang beribadah ke gereja. Kalau ditanya, “Apakah engkau percaya?” Anda masih belum dapat memberikan respon.

Mengapa Anda tidak melupakan saja persoalan ini dan tidak usah pergi ke gereja lagi? Akan tetapi Anda tidak sanggup. Anda takut kalau-kalau terjadi sesuatu di masa depan. Sama seperti ketika Anda mau memasang taruhan. Lalu Anda ragu, “Bagaimana kalau Anda salah?” Akhirnya Anda tidak memasang sama sekali karena Anda benar-benar tidak dapat mengambil keputusan. Keadaan tidak mampu mengambil keputusan ini jelas jauh lebih menyedihkan.

Ada satu peristiwa di Perjanjian Lama di mana Elia, nabi kepada bangsa Israel bertanya kepada bangsa Israel, “Berapa lama lagi engkau tidak mau mengambil keputusan? Berapa lama lagi waktu yang kalian perlukan? Berapa lama lagi?” Orang-orang itu tidak menjawab.

Saya ingin mengajukan pertanyaan yang sama terhadap Anda, “Berapa lama lagi waktu yang Anda perlukan untuk mempertimbangkannya? Anda tidak mengambil keputusan, tidak memberi tanggapan – kapankah Anda berniat untuk melakukannya?” Anda harus menjawab pertanyaan ini. Anda berkata, “Aku ingin melakukannya hari ini.” Bagus sekali. Atau Anda tidak mau melakukannya hari ini. Kalau begitu kapan. Dapatkah Anda menentukan tenggat waktunya?

Mengapa tidak Anda beritahukan apa alasan Anda tidak dapat mengambil keputusan? Atau, mengapa tidak katakan saja hal-hal yang dapat membantu Anda dalam mengambil keputusan? Katakan saja – “Ya Allah, jika Engkau dapat melakukan hal ini, atau hal itu, maka aku akan membuat keputusan.”

Sayangnya, Anda seperti orang Israel, diam membisu, tak sepatah katapun.

Mintalah dan hal itu akan diberikan.  Anda dapat mengatakan kepada Allah jika Anda merasa ada sesuatu yang harus ditegaskan sebelum Anda mengambil keputusan. Jika hal itu memang wajar, maka Allah akan menjawab permintaan Anda. Dia akan menolong Anda.

Akan tetapi, masalahnya adalah Anda tidak pernah memberitahu Dia tentang hal-hal yang menjadi penghalang bagi Anda. Jika Anda berkata kepada Allah, “Kalau saja masalah ini dapat diselesaikan, maka aku akan membuat keputusan.” Dia akan menolong Anda, akan tetapi, sama halnya dengan umat Israel, persoalannya terletak pada keengganan Anda mengungkapkan hal itu. Jika demikan tidak ada orang yang dapat menolong Anda.

Demikianlah, sang nabi berkata bertanya kepada mereka, kapan mereka dapat memutsukan. Berapa lama lagi? Pertanyaan ini diajukan dalam konteks peristiwa pertentangan antara sang nabi dengan para nabi palsu di Gunung Karmel dalam rangka menunjukkan siapa nabi sejati dan siapa Allah yang sejati. Elia berkata,

“Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia.”

Setidaknya persoalan ini sangat sederhana, – Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia! Kalau tidak ada Allah di muka bumi ini, maka pergilah makan dan bersenang-senang. Bersenang-senang sampai Anda jatuh mabuk di karaoke. Jawabannya sangat sederhana. Ini bukanlah persoalan yang rumit.

Anda hanya perlu merenungkan persoalan ini dengan cermat di dalam hati Anda. Tentu saja hal yang terjadi selanjutnya berbeda. Lalu Elia berseru agar diturunkan api dari langit. Sudah pasti, saya akan segera percaya jika saya melihat api turun dari langit. Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa Elia menyampaikan perkataan tersebut kepada mereka sebelum ia memanggil api turun dari langit, bukan sesudahnya. Dia tidak perlu bertanya lagi sesudah peristiwa itu terjadi karena semua orang tentunya akan segera berlutut dan percaya. Adakah orang yang tidak mau percaya setelah melihat api yang turun dari langit? Namun perhatikanlah, bahwa ucapan tersebut disampaikan sebelum mukjizat terjadi. Apakah maksud dari sang nabi dengan berbuat seperti itu? Dia tidak ingin mereka percaya karena mukjizat. Kepercayaan yang timbul setelah melihat mujizat bisa jadi tidak ada gunanya.

Saya telah bertemu dengan orang-orang yang sudah pernah melihat berbagai macam mukjizat lalu mereka jadi percaya. Akan tetapi kepercayaan sedemikian tidak selalunya berdasarkan pada landasan yang kokoh. Apakah yang diinginkan oleh sang nabi dari mereka? Elia ingin agar mereka memiliki kepercayaan yang berdasarkan hati nurani mereka, kepercayaan yang timbul atas tanggapan terhadap Kebenaran.

Mengapa di pesan lalu kita melihat pada persoalan apakah Anda benar-benar mencintai Kebenaran? Ini adalah karena kepercayaan kita harus muncul karena Kebenaran dan bukan karena kita telah melihat mukjizat.

Dengan cara yang sederhana inilah saya mempercayai Tuhan untuk pertama kalinya. Pada saat itu, teman sekelas saya memberitakan Injil kepada saya. Suatu malam, dia mengundang saya ke rumahnya untuk bercakap-cakap. Ia mulai berbicara tentang Alkitab dan Injil. Lalu saya menjadi percaya dalam waktu 30 menit. Dia juga merasa bahwa kejadian itu sangat cepat dan berkata, “Kalau saja semua orang seperti kamu, maka aku hanya perlu meluangkan waktu 30 menit saja, dan tidak harus memboroskan nafasku.” Dalam waktu 30 menit, saya memutuskan untuk mengikut Dia dan menyerahkan hidup saya kepada Tuhan. Sejak saat itu, sekitar 20 tahun yang lalu, saya tidak pernah membatalkan keputusan saya.

Sangat sederhana. Tak ada hal yang rumit. Saya memahaminya ketika ia menyampaikan tentang persoalan dosa saya. Saya mengakui hal itu ketika dia mulai bericara – saya tahu bahwa saya hidup di dalam dosa. Hati nurani saya memberitahu saya bahwa ini semua adalah kenyataan. Ini adalah Kebenaran.

Dia lalu melanjutkan dengan berkata bahwa ada Allah di dunia ini dan Dia adalah Allah Maha pencipta – dan hal ini juga, dapat saya pahami. Dunia dan segala isinya tidak mungkin muncul begitu saja dari bebatuan. Tidaklah mungkin manusia berasal dari makhluk bersel tunggal. Ini sangat bertentangan dengan logika ilmu pengetahuan. Jika Anda melakukan sedikit penelitian ilmiah, Anda akan tahu bahwa para ilmuwan modern mengalami kesulitan dalam menjelaskan teori Evolusi. Mereka masih berpegang pada teori ini karena mereka belum mendapatkan teori yang lebih bagus.

Saya mengerti semua ini. Sangat sederhana – tanyakan saja hati nurani Anda. Anda tahu itu semua – Anda tahu tentang dosa-dosa Anda tanpa perlu dinyatakan oleh orang lain. Anda tahu bahwa pasti ada Tuhan, karena bagaimanapun juga, harus ada yang menguasai semua ini. Anda tahu ini. Saya juga tahu bahwa Dia adalah Allah, Dialah yang telah menciptakan saya, karena inilah saya melayani Dia. Jadi, kita bahkan tidak memerlukan waktu sampai 30 menit. Setiap pertanyaan adalah pertanyaan yang logis dengan jawaban yang sederhana. Apakah menurut Anda ini semua sangat sulit? Di manakah letak kesulitannya?

Persoalannya adalah apakah Anda taat pada Kebenaran, apakah Anda mendengarkan apa yang dikatakan oleh hati nurani Anda. Anda boleh saja berkata, “Aku tidak tahu yang manakah Allah yang benar. Kalau saja aku tahu, maka aku pasti akan mengikut dan melayani Dia seumur hidupku.” Dia akan memberitahu Anda siapa Dia. Anda tidak perlu khawatir dan bersusah payah mencari Dia.

Masalah yang terbesar tidak terletak pada pengetahuan. Tidak peduli apakah saya tahu mana yang benar-benar Allah – apakah Buddha itu Tuhan atau siapakah nabi Muhammad itu. Bukan itu persoalannya. Masalah yang terbesar tidak terletak pada aspek pengetahuan, melainkan pada aspek sikap hati.

Allah yang ini adalah Allah yang bersedia menghadapi tantangan. Anda tidak perlu khawatir. Dia adalah Allah yang mampu mengungkapkan dengan jelas kepada Anda bahwa Dia adalah Allah yang sejati. Untuk yang satu ini, saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Yang penting adalah apakah Anda memiliki sikap hati yang mengasihi Kebenaran atau Anda mungkin malah berkata kepada Allah, “Pertama-tama, izinkan aku melihat-Mu dulu, untuk mengetahui bahwa Engkau memang nyata, selanjutnya aku akan mempertimbangkan apa yang akan kulakukan, entah akan mengikut Engkau atau tidak.” Pengaturan semacam ini tidak akan berjalan karena Anda tidak memiliki sikap hati yang jelas dalam mentaati Kebenaran di dalam hati Anda.

Kebenaran berbicara dengan sangat jelas, “Jika Dia adalah Allah, kalau Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan Anda, apakah hati nurani Anda tidak akan mengarahkan Anda untuk mentaati Firman-Nya?” Tidakkah Anda harus melayani Dia dalam sepanjang hidup Anda? Dia adalah Allah yang telah menciptakan Anda! Pokok ini ditegaskan dengan sangat nyata oleh Kebenaran.

Jadi persoalannya terletak pada sikap hati kita, bagaimana cara kita menilai Kebenaran. Ini bukanlah persoalan pengetahuan. Masalahnya bukan pada seberapa lama kita perlu menyimak tentang Kebenaran. Jika Anda bertanya, “Berapa lama kita perlu datang ke gereja untuk mendengarkan khotbah-khotbah sebelum kami bisa membuat keputusan? Setengah tahun? Setahun?” Jawabannya adalah, “Anda tidak perlu menunggu. Anda dapat membuat keputusan dengan segera jika Anda bisa bereaksi terhadap Kebenaran.” Sama seperti hari ketika saya mendengarkan selama 30 menit dan dengan segera memahami apa yang sedang terjadi. Saya segera tahu bahwa saya ingin mengikut Allah yang satu ini, bahwa Dia adalah Tuan dan Raja di dalam hidup saya. Apa lagi yang Anda tunggu? Jika Anda bereaksi pada Kebenaran, Anda bisa membuat keputusan itu sekarang juga.

Ya, Alkitab juga mengajarkan kita untuk duduk tenang dan memikirkan ongkosnya dengan cermat. Bagaimana pun juga, Anda harus camkan bahwa Yesus ingin agar Anda bersikap tenang, jangan terburu-buru, dan memikirkan harga yang harus dibayar dengan cermat. Tapi berapa lama waktu yang Anda perlukan untuk membuat perhitungan? Satu atau dua tahun? Lima tahun? Apakah Anda punya waktu selama itu?

Apa yang dilakukan oleh para murid ketika Yesus memanggil mereka? Apakah mereka berkata, “Tunggu sebentar. Kami akan datang padamu minggu depan dengan jawabannya”? Tidak. Mereka memberikan respons yang jelas. Para murid dengan segera ikut ketika Yesus memanggil mereka. Mereka membuat keputusan di tempat dan saat itu juga. Yesus tidak perlu menunggu. Dia tidak harus mencari bangku untuk duduk menunggu sampai mereka memberikan tanggapan. Para murid dengan segera datang. Yesus memanggil Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas – mereka semua menanggapi dengan segera. Pada saat itu, beberapa dari mereka sedang menebar jala, memperbaiki jaring, atau sedang menangkap ikan. Akan tetapi mereka segera membuat keputusan dengan segera, meninggalkan jala mereka dan pergi!

Alkitab mencatat adanya tanggapan dalam bentuk keikutsertaan dan juga penolakan yang bersifat langsung. Seperti pada catatan tentang Yesus dan orang muda yang kaya. “Tinggalkan semua kekayaanmu dan ikutlah Aku” – akan tetapi orang kaya ini tidak mampu melakukannya, jadi dia memilih untuk meninggalkan Yesus. Jika dia tidak mau berpisah dari harta kekayaannya, maka dia harus mengucapkan selamat tinggal kepada Yesus. Orang muda yang kaya itu tidak berkata, “Tolong beri saya waktu untuk pulang dan mempertimbangkannya lagi. Saya akan memberi jawabannya nanti. Beri saya nomor HP Anda, dan saya akan menghubungi Anda jika saya sudah mendapatkan jawabannya!” Tidak, kita tidak melihat itu.

Ada banyak kejadian seperti itu di dalam Kitab Suci. Yesus memanggil murid-muridnya, dan ada yang menjawab, “izinkan aku pulang dulu, untuk menyelesaikan semua urusan, dan mengucapkan selamat tinggal kepada ayahku.” Yesus berkata, “Tidak. Engkau harus membuat keputusan sekarang juga.

Melalui semua ini, Yesus mau menyampaikan pesan bahwa Anda harus membuat keputusan segera bagi Kebenaran tanpa penundaan. Kita punya kebiasaan menunda sesuatu – “Hari ini bukanlah hari baik. Tunggu sampai besok.” Besok dan besok lagi. Ada berapa banyak hari esok? Saya yakin bahwa setiap orang sudah tahu fakta bahwa sekali Anda menunda sesuatu, maka Anda akan terus menundanya tanpa akhir.

Sama seperti beberapa orang yang sudah bertahun-tahun hadir di gereja. Apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda pasti akan membuat keputusan suatu hari nanti jika Anda tidak dapat membuat keputusan itu sejak awal? Sekali Anda menundanya, maka Anda akan menundanya lagi.

Kami tidak ingin memaksa Anda untuk membuat keputusan. Keputusan itu harus berupa suatu tanggapan dari dalam hati Anda kepada Allah. Saya tidak bertanya apakah Anda berminat untuk menjadi orang Kristen atau berencana untuk dibaptiskan setelah mendengarkan pesan-pesan di seri pengenalan injil ini. Ini bukan suatu keputusan dangkal, melainkan keputusan dari dalam hati. Keputusan apakah yang akan Anda buat, tanggapan apakah yang akan Anda berikan setelah mendengarkan Kebenaran?

Dunia ini fana dan tidak kekal. Bagaimana reaksi Anda pada pernyataan ini? Apakah Anda akan pulang dan memeriksa hubungan Anda dengan dunia ini secara cermat? Apakah Anda hanya menginginkan ketenaran, kekayaan dan kesenangan duniawi? Jika memang demikian, apakah gunanya Anda datang ke gereja dan mendengarkan khotbah?

Jika Anda telah mendengar pesan hari ini dan mengetahui dengan jelas bahwa dunia ini fana dan tidak dapat diandalkan, akan tetapi Anda masih mengandalkan kebahagiaan Anda pada semua itu, maka keadaan Anda sama seperti bursa saham, bahagia hari ini, sengsara bulan depan. Inilah Kebenaran.

Izinkan saya bertanya, “Apakah tanggapan Anda?” Renungkan dan bertindaklah sesuai dengan suara hati Anda. Inilah respons dari dalam batin yang sedang saya bicarakan. Bukannya tindakan yang Anda pertontonkan kepada orang.

Jika Alkitab berbicara tentang masalah dosa, sudahkah Anda pulang dan mengakui dosa Anda? Sudahkah Anda bertobat dari dosa Anda? Sudahkah Anda meresponi Kebenaran ini.

Anda harus mengerti bahwa satu-satunya orang yang dapat menolong Anda selain Allah adalah diri Anda sendiri. Apakah Allah dapat menolong Anda, hal itu bergantung pada apakah Anda mau menolong diri Anda sendiri. Hal ini bergantung pada reaksi Anda kepada Kebenaran.

Hanya ada satu penjelasan mengapa saya percaya kepada Yesus – karena saya tahu bahwa ini adalah Kebenaran dan saya meresponi itu. Bukan karena saya tahu apa itu surga atau neraka, dan sebagainya.

Ada orang yang berkata, “Saya tidak begitu paham tentang apa itu surga dan neraka. Saya tidak percaya kalau kedua hal itu ada.” Tidak, kedua hal itu sangat abstrak, Anda tidak akan dapat memahami kedua hal itu dengan sepenuhnya sekarang ini. Ada lagi yang berkata, “Aku belum mengalami kasih Allah.” Saya sendiri juga belum mengalami hal tersebut pada saat itu. Saya hanya mendengarkan selama 30 menit. Pada saat itu saya tidak merasakan seberapa besar kasih Allah kepada saya.

Belakangan, selama dua puluh tahun melayani Dia, saya mengalami banyak hal yang tidak saya alami pada saat pertama itu. Jika Anda tanyakan bagaimana perasaan saya saat itu, saya tidak mengalami suatu perasaan khusus, hanya sekadar keyakinan bahwa semua itu benar pada saat itu. Anda tidak harus mengalami sesuatu hal. Terlebih lagi, saat itu pengetahuan dan kemampuan berpikir saya masih sangat sedikit. Buku-buku arkeologi yang menjelaskan tentang seperti apa makam Yesus dan seperti apa batu yang menutup makam itu belum saya baca saat itu. Saya juga tidak menelaah naskah-naskah Alkitab dalam bahasa aslinya.

Saya tidak memiliki semua pengetahuan itu, akan tetapi saya tahu bahwa ada satu hal yang sangat jelas di dalam hati nurani saya – inilah Kebenaran, ini semua nyata. Lalu saya ikut, begitu saja. Yesus hanya peduli pada respons Anda terhadap hati nurani Anda – akankah Anda taat atau menolaknya? Jika Anda menentang, tak akan ada gunanya bagi Anda untuk datang mendengarkan lebih banyak lagi. Anda hanya akan semakin jauh masuk ke dalam posisi menentang.

Jadi saya harap Anda dapat menegaskan sikap hati dan tanggapan Anda sehingga Anda tidak datang hanya untuk mendengarkan saja. Apakah Anda seorang yang mengasihi Kebenaran?

 

Berikan Komentar Anda: