Pastor Eric Chang | Matius 20:1-16 |
Mari kita mulai dengan membaca apa yang terdapat di dalam Matius 20:1-16:
1 “Sebab, Kerajaan Surga adalah seperti pemilik kebun yang pagi-pagi sekali pergi untuk mencari pekerja-pekerja bagi kebun anggurnya.
2 Ketika ia sudah sepakat dengan para pekerja itu untuk sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.
3 Dan, kira-kira pada jam ketiga ia pergi dan melihat yang lainnya sedang berdiri menganggur di pasar.
4 Lalu, ia berkata kepada mereka, ‘Kamu, pergilah juga ke kebun anggur dan apa yang pantas akan aku berikan kepadamu.’ Dan, mereka pun pergi.
5 Sekali lagi, sekitar jam keenam dan jam kesembilan ia pergi dan melakukan hal yang sama.
6 Dan, kira-kira pada jam kesebelas, ia pergi dan menemukan yang lainnya sedang berdiri dan berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu berdiri di sini menganggur sepanjang hari?’
7 Mereka berkata kepadanya, ‘Karena belum ada yang mempekerjakan kami.’ Pemilik kebun itu berkata kepada mereka, ‘Kamu, pergilah juga ke kebun anggurku.’
8 Ketika hari sudah mulai malam, pemilik kebun itu berkata kepada mandornya, ‘Panggillah para pekerja dan bayarkan kepada mereka upahnya, dimulai dengan yang terakhir sampai yang pertama.’
9 Ketika mereka yang dipekerjakan pada jam kesebelas, datang, masing-masing orang menerima 1 dinar.
10 Ketika mereka yang dipekerjakan pertama kali, datang, mereka mengira akan menerima lebih banyak. Namun, mereka masing-masing juga menerima 1 dinar.
11 Ketika menerimanya, mereka memprotes kepada pemilik kebun.
12 Mereka berkata, ‘Orang-orang yang masuk terakhir hanya bekerja selama 1 jam, dan engkau membuat mereka sama dengan kami, yang sudah menanggung beban dan panas terik seharian.’
13 Akan tetapi, pemilik kebun itu menjawab dan berkata kepada satu dari mereka, ‘Saudara, aku tidak bersalah kepadamu. Bukankah kamu sudah sepakat denganku untuk satu dinar?
14 Ambillah milikmu dan pergilah, tetapi aku ingin memberi kepada orang yang terakhir ini, sama seperti kepadamu.
15 Apakah aku tidak dibenarkan untuk melakukan apa pun yang kuinginkan terhadap milikku sendiri? Atau, apakah matamu jahat karena aku baik?’
16 Jadi, yang terakhir akan menjadi yang pertama, dan yang pertama akan menjadi yang terakhir.”
Bagaimana perasaan Anda saat membaca perumpamaan ini? Apa reaksi Anda terhadap perumpamaan ini? Saat membaca perumpamaan ini, tidakkah Anda merasa agak jengkel bahwa mereka yang bekerja seharian dari pagi hingga petang, dan akhirnya hanya menerima sedinar? Pembagiannya tidak adil, bukankah begitu? Orang-orang lain baru mulai bekerja beberapa jam setelah mereka — misalnya, mereka yang datang ke kebun anggur pada pukul lima sore — dengan jam kerja yang jauh lebih singkat, tetapi juga menerima upah sedinar. Bagaimana perasaan Anda atas pembagian ini? Apakah Anda akan senang dengan kebaikan hati si pemilik kebun anggur ini? Orang yang datang bekerja di kebun anggur menjelang petang hari dan hanya bekerja selama satu jam juga mendapat satu dinar, sama dengan yang didapat oleh mereka yang bekerja selama 12 jam!
Saya harap Anda cermati baik-baik reaksi Anda terhadap perumpamaan ini. Jika Anda tergolong kelompok mayoritas, saya pikir Anda akan merasa pemilik kebun anggur ini telah bertindak tidak adil; Anda bersimpati dengan orang-orang malang yang telah bekerja selama 12 jam dan mendapat upah satu dinar dibandingkan dengan mereka yang bekerja hanya satu jam dengan bayaran yang sama. Dalam hal ini, Anda telah mengidentifikasikan diri Anda dengan mereka yang bekerja sejak awal, dan tidak bersimpati dengan mereka yang bekerja paling akhir. Mereka yang bekerja belakangan tidak butuh rasa iba Anda. Orang-orang malang yang datang pertama ke kebun anggur, itulah yang butuh simpati Anda.
Mungkin reaksi Anda agak tercampur-aduk. Anda mungkin merasa, “Sial sekali mereka yang datang sejak awal, mereka yang datang terakhir lebih beruntung. Sedangkan mereka yang datang di jam-jam pertengahan, ya, bisa dibilang tidak rugi, tetapi juga tidak beruntung. Yang datang pada jam-jam pertengahan ini tidak perlu mengeluh, tetapi juga tidak bisa ikut merasa senang.”
Dengan kelompok yang manakah Anda mengidentifikasikan diri? Hal ini sangat penting untuk Anda catat sekarang di dalam benak Anda. Dapatkan gambaran yang jelas tentang reaksi Anda saat membaca perumpamaan ini. Alasannya akan menjadi jelas sejalan dengan pembahasan kita selanjutnya nanti.
Pandangan dari para penafsir
Sebagai langkah awal, mari kita lihat apa yang disampaikan oleh para penafsir. Mari kita simak pendapat salah satu penafsir yang paling berpengaruh saat ini — Joachim Jeremias. Dia adalah seorang profesor di University of Gurtingen di Jerman dengan karya besarnya The Parables of Jesus (Perumpamaan-perumpamaan Yesus), dan ia memandang bahwa perumpamaan ini berbicara tentang kebaikan Allah. “Apakah matamu jahat karena aku baik?” Dari sini Jeremias memandang bahwa penekanan utama dari perumpamaan ini adalah kebaikan Allah — kebaikan terhadap mereka yang kekurangan, kebaikan terhadap mereka yang berada di tempat paling rendah, dan terhadap mereka yang datang terakhir ke kebun anggur itu. Secara ringkas, itulah pandangannya. Akan tetapi, itukah hal yang dibicarakan dalam perumpamaan ini? Apakah perumpamaan ini benar-benar berbicara tentang kebaikan Allah?
Saat Anda membaca perumpamaan ini, apakah muncul kesan kuat tentang kebaikan Allah di dalam benak Anda? Apakah kebaikan Allah merupakan hal pertama yang Anda pikirkan saat membaca perumpamaan ini? Mungkin tidak. Mungkin Anda justru merasa bahwa Ia tidak baik sama sekali sehubungan dengan orang-orang yang datang bekerja sejak pagi hari. Kebaikan bukanlah hal yang relatif. Allah itu baik atau sama sekali tidak baik; tidak bisa dinilai secara relatif. Di manakah kebaikan Allah terlihat dalam perlakuan-Nya terhadap kelompok yang datang pertama ini? Apakah salah menjadi orang yang dipanggil untuk bekerja duluan? Apakah bekerja sehari penuh itu salah? Di dalam perumpamaan ini, tampaknya mereka yang bekerja paling lama justru menjadi yang paling sial. Ini semua tampaknya sama sekali tidak menunjukkan adanya kebaikan, bukankah demikian? Mereka datang ke sana karena mereka ingin bekerja; mereka butuh uang untuk menghidupi keluarga mereka, jadi mereka berangkat ke pasar untuk mencari pekerjaan. Akhirnya mereka dipanggil bekerja selama 12 jam, dan yang mereka dapatkan adalah masing-masing satu dinar. Di mana kebaikan Allah di dalam perumpamaan ini?
Bagi mereka yang datang bekerja sejak pukul lima sore, sepertinya ada kebaikan di dalam perlakuan terhadap mereka. Akan tetapi, kebaikan tersebut ternyata mengalami penurunan secara bertahap. Mereka yang terlebih dulu menerima bayaran adalah para pekerja yang datang pada pukul lima sore. Setiap orang menerima upah satu dinar. Kebaikan itu terus menurun dan yang bekerja paling lama mendapat kebaikan yang paling rendah. Jika perumpamaan ini memang merupakan pembahasan tentang kebaikan, ini adalah definisi kebaikan yang sangat aneh.
Apa sebenarnya maksud penafsiran dari Jeremias? Apakah kita disuruh untuk memandang bahwa kebaikan Allah itu hanya bisa dipahami secara relatif? Mengapa mereka yang datang terakhir tidak diberikan lebih banyak pekerjaan? Mereka berkata bahwa sampai saat itu masih belum ada orang yang mempekerjakan mereka. Bisa jadi memang begitu halnya. Namun, bisa juga terjadi karena mereka datang terlambat sehingga sebagian besar pekerjaan sudah diambil oleh orang lain. Alasan mengapa mereka menganggur pada sore itu memang tidak diberikan.
Sangat sulit untuk memandang bahwa perumpamaan ini berbicara tentang kebaikan Allah. Ada beberapa perumpamaan yang memang berbicara tentang kebaikan Allah dan kita tidak butuh perumpamaan seperti ini untuk membahas tentang kebaikan Allah. Di dalam perumpamaan ini, tampaknya kebaikan Allah tidak didasari oleh keadilan. Jika kelompok pertama itu bekerja tidak efisien dan mereka menerima upah yang sudah disepakati sejak awal, kita bisa memahami hal itu. Anggaplah perumpamaan ini berkata bahwa para pekerja dari kelompok pertama ini memang bekerja seharian, tetapi mereka agak malas dan dengan demikian mendapatkan upah yang sama dengan yang diterima oleh para pekerja dari kelompok terakhir, hal ini akanmasuk akal; kita dapat menerima perlakuan tersebut. Mungkin mereka sama seperti banyak pekerja kantor yang seharian santai sambil menaruh kaki di atas meja, dan berkata, “Aku sudah seharian berada di sini.” Nah, mereka tidak mengerjakan lebih banyak hal dibandingkan mereka yang bekerja selama satu jam. Mereka yang datang belakangan, menyingsingkan lengan bajunya, dan benar-benar bekerja dengan giat, melakukan hal yang sebanding dengan yang telah dikerjakan oleh kelompok pertama selama 12 jam. Dengan demikian, mereka semua sama-sama mendapatkan satu dinar. Jika itu yang terjadi, perlakuan ini adil.
Akan tetapi, keadaannya tidak seperti itu. Dalam perumpamaan ini disebutkan tentang mereka yang telah bekerja selama 12 jam, dan tidak ada keluhan apa pun tentang pekerjaan mereka. Tidak ada yang berkata bahwa mereka hanya sibuk menghirup teh selama 12 jam itu. Tidak diragukan lagi, mereka telah bekerja keras selama 12 jam itu. Akan tetapi, yang mereka terima hanya satu dinar. Mereka yang hanya bekerja selama satu jam, mungkin mereka juga bekerja sekeras mereka yang bekerja 12 jam itu. Akan tetapi, tetap saja mereka hanya bekerja selama satu jam, dan menerima upah satu dinar, dan hal ini tidaklah adil! Dapatkah kita meluruskan persoalan ini? Jujur saja, saya tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Jeremias. Apakah Anda mengerti apa maksudnya? Saya pikir Jeremias memberikan penjelasan tersebut karena dia tidak ada penjelasan yang lebih baik daripada itu. Perumpamaan ini memang membuat pusing banyak penafsir.
Selanjutnya, kita beralih kepada penafsir besar yang lain, Profesor Edouard Schweitzer dari Zurich. Penafsirannya atas perumpamaan ini pada dasarnya sampai pada kesimpulan yang sama dengan Jeremias. Schweitzer berkata perumpamaan ini mengungkapkan kebaikan dan kasih karunia Allah. Bagi Schweitzer, Allah bebas untuk memilih akan berbuat baik kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Jika Allah ternyata memilih untuk berbuat baik kepada Anda, Ia akan berbuat baik kepada Anda. Tidak peduli apakah Anda layak untuk menerima kebaikan itu atau tidak; kelayakan tidak dipersoalkan di sini. Kebaikan adalah perkara kasih karunia-Nya, yang tidak berhubungan dengan apakah Anda pantas menerimanya atau tidak.
Jika benar demikian, perumpamaan ini akan membawa kita pada kesimpulan bahwa kasih karunia-Nya tertuju bagi mereka yang tidak bekerja. Akan tetapi, apa salahnya bekerja? Saya jadi ingin tahu. Apakah salah bekerja untuk waktu yang lama? Apakah orang-orang yang malang ini dianggap telah melakukan kesalahan karena bekerja selama 12 jam? Mungkin sebaiknya kita semua menjadi orang-orang malas saja. Dengan begitu, Allah akan mencurahkan kebaikan-Nya secara khusus kepada kita. Kita akan mendapatkan kasih karunia Allah. Jelaslah jalan pikiran seperti ini terlalu serong untuk bisa dikatakan sebagai definisi tentang kasih karunia yang alkitabiah.
Satu lagi penafsir besar yang akan kita bahas, Profesor T.W Manson dari Inggris, dalam karyanya yang terkenal The Sayings of Jesus (Ucapan-ucapan Yesus) menunjukkan bahwa memberikan penjelasan tentang kasih karunia dengan membandingkannya dengan pekerjaan adalah tidak benar karena semua orang di dalam perumpamaan ini telah bekerja. Persoalannya bukan apakah yang satu bekerja dan yang lainnya tidak. Mereka semua bekerja. Pokok persoalan dalam perumpamaan ini berkaitan dengan jangka waktu pekerjaan mereka, bukannya tentang kasih karunia Allah bagi mereka yang tidak bekerja. Kelima kelompok pekerja itu — baik kelompok yang pertama, kedua dan yang lainnya — datang ke kebun anggur dan segera bekerja. Manson dengan tepat menunjukkan bahwa perumpamaan ini tidak membandingkan kasih karunia dengan pekerjaan (atau perbuatan), karena semua kelompok telah bekerja. Akan tetapi, pandangan Manson ini pun masih belum menjelaskan apa-apa kepada kita.
Perumpamaan ini akan terlihat masuk akal jika yang kita bicarakan adalah kasih karunia bagi mereka yang tidak pantas menerimanya. Itu berarti kelompok yang terakhir tidak melakukan pekerjaan apa pun sama sekali. Artinya jika mereka disewa pada jam 6 sore dan mendapat upah satu dinar. Itu sepenuhnya kasih karunia karena mereka sama sekali tidak melakukan pekerjaan apa-apa!
Oleh karena Manson menyatakan bahwa perumpamaan ini sama sekali tidak membahas tentang kasih karunia karena semua kelompok bekerja, ia — seperti kehabisan akal — menyimpulkan bahwa perumpamaan ini berbicara tentang kesetaraan. Manson berkata bahwa Allah memperlakukan setiap orang dengan setara tidak peduli seberapa lama mereka telah bekerja karena semuanya menerima upah satu dinar. Jadi, setiap orang mendapatkan perlakuan yang seimbang. Tidak peduli seberapa banyak atau sedikit pekerjaan yang Anda lakukan, Allah akan memperlakukan setiap orang dengan seimbang. Bagaimanapun juga, penjelasan ini sangatlah aneh karena kita bisa melihat bahwa di dalam perumpamaan ini, Allah tidak memperlakukan setiap orang dengan seimbang karena pada dasarnya kelompok yang terakhir telah menerima 12 kali lipat lebih banyak daripada kelompok pertama. Di mana kesetaraanya? Kita bisa berkata ada kesetaraan kalau kelompok yang terakhir menerima satu dinar dan kelompok yang pertama menerima 12 dinar. Kalau begitu, barulah bisa dikatakan setara karena kelompok yang terakhir hanya bekerja selama satu jam sedangkan kelompok yang pertama bekerja selama 12 jam. Upah yang diterima setara dengan beban kerja yang ditanggung.
Bagaimana kita bisa berbicara tentang kesetaraan jika itu berarti ada pekerja yang bekerja selama satu jam dengan upah satu dinar, dan pekerja yang lain bekerja selama 12 jam dengan upah satu dinar juga? Justru itulah tepatnya hal yang dikeluhkan oleh para pekerja dari kelompok yang pertama ini: mereka telah diperlakukan dengan tidak adil karena ada pekerja lain dengan beban kerja yang tidak sama telah memperoleh pendapatan yang sama. Saya tidak mengerti di mana letaknya kesetaraan.
Lantas apa yang diajarkan oleh perumpamaan ini kepada kita tentang Allah? Apakah itu berarti tidak peduli seberapa besar atau seberapa kecil pengorbanan Anda bagi Dia, Dia akan tetap memperlakukan setiap orang dengan sama-rata? Apa gunanya bekerja sepanjang hari? Lebih baik datang menjelang saat akhir saja! “Kalian ingin bekerja selama 12 jam? Silakan! Selamat mengabdi! Saya akan datang saat-saat terakhir saja. Saya akan bekerja selama satu jam saja karena kita semua akan mendapat perlakuan yang sama, bukankah begitu?”
Mirip dengan orang-orang Kristen yang berkata, “Nah, aku akan menjalani hidup di dalam dosa dulu dan nanti, menjelang ajal — mungkin menjelang ajal terlalu singkat waktunya, jadi mungkin sekitar jam 5 sore — aku akan menjadi orang Kristen. Sekarang ini, aku bisa menikmati waktuku, pergi ke Las Vegas, bersenang-senang dengan para penari di sana dan berjudi sesuka hati, menikmati dosa dan menggelapkan pajak, menipu orang lain dan menimbun kekayaan. Kemudian, sebelum ajal menjemput, aku akan datang ke gereja, memanggil pendeta dan bertobat, menjadi Kristen!” Tentu saja, jika kita bukan orang-orang bodoh, jalan inilah yang akan kita tempuh.
Lalu, untuk apa Anda pergi ke gereja setiap hari Minggu? Tunggu saja sampai, katakanlah, usia Anda mencapai 50 atau 60 tahun, ketika rambut Anda sudah beruban, baru Anda datang ke gereja. Pada saat itu, ketika Anda berusia 50 atau 60 tahun, saya harap Anda masih cukup sehat untuk bisa datang ke gereja. Itulah saat yang tepat untuk menjadi orang Kristen — pukul lima sore.
Kalau kita menjadi Kristen sejak sekarang, untuk selanjutnya kita harus menjalani kehidupan Kristen. Kita akan menguras keringat, bergumul untuk menjadi Kristen. Setelah menanggung segala beban serta terik matahari, kita hanya mendapatkan satu dinar. Sementara orang lain bisa menikmati hidupnya di dalam segala kenikmatan dosa, lalu datang pada saat-saat terakhir, dan lihatlah, ia juga menerima jumlah yang sama dengan upah kita dari Tuhan! Jadi, untuk apa kita bergumul dalam kehidupan ini? Bodoh sekali kita ini. Untuk apa saya membuang waktu selama 40 tahun memberitakan Injil jika teman-teman saya boleh memperkaya diri di luar sana? Mereka itu juga orang Kristen! Mereka sedang menikmati kehidupan duniawinya pada saat saya sedang berkutat dengan kehidupan Kristen ini, melayani Tuhan dan memberitakan Injil. Nantinya mereka juga akan menerima satu dinar, seperti yang saya dapatkan. Inikah yang disebut sebagai kesetaraan atau keadilan? Tidak mungkin hal seperti ini yang diajarkan oleh perumpamaan ini. Alkitab berkata bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatan mereka. Jadi, tafsiran Manson ini mau membawa kita ke mana? Nah, saya pikir Anda sekarang dapat memahami betapa besarnya persoalan yang dihadapi para penafsir dalam menguraikan perumpamaan ini.
Manson sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada yang ‘pertama’ maupun yang ‘terakhir’. Semuanya sama saja; semua diperlakukan sama-rata. Mengatakan bahwa semuanya sama saja merupakan sebuah penjelasan yang aneh; padahal yang terdahulu menjadi yang terakhir dan yang terakhir menjadi yang terdahulu. Sebuah pembahasan yang aneh tentang kesetaraan!
Jika kita sepakat dengan pandangan para penafsir di atas, kita semua akan memutuskan untuk datang kembali ke gereja ketika berusia sekitar 60-an tahun — sekitar pukul lima sore. Kita akan berkata, “Nah, aku mengerti arti perumpamaan itu sekarang!” Setiap orang yang mempelajari Alkitab akan bertanya-tanya bagaimana mungkin Manson bisa sampai kepada kesimpulan yang aneh seperti itu. Apakah ini merupakan ungkapan dari keputusasaannya karena tidak mampu untuk sampai pada penjelasan yang lebih baik?
Bagaimana dengan penjelasan yang diberikan oleh para pengkhotbah dari China? Mungkin John Sung bisa memberi kita sedikit pencerahan tentang perumpamaan ini. “Pu Tou Yuan de bi yu jiu shi jiao ren zuo gong, bu yao gong qian. Ying dang wei ai Zhu er gong zuo,” demikianlah kata John Sung di dalam bukunya yang berjudul Jiang Jing Jie, sebuah buku yang tidak diarahkan sebagai pembahasan ekspositori melainkan rangkuman dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia menyimpulkan bahwa perumpamaan ini mengajarkan kita untuk bekerja tanpa mengharapkan imbalan apa pun! Artinya, Anda disuruh pergi mencari pekerjaan tanpa imbalan apa pun. Dengan kata lain, Anda pergi bekerja tanpa pamrih karena Anda mengerjakannya atas dasar kasih Anda kepada Allah. Pandangan John Sung ini cukup menyentuh karena memang benar bahwa kita seharusnya melayani Allah tanpa pamrih. Kesediaan kita dalam melayani Allah seharusnya tidak didasari oleh imbalan apa pun; kesediaan kita melayani Allah seharusnya tanpa pamrih. Sungguh tepat. Tidak seorang pun yang bisa menyangkal bahwa memang benar kita harus siap untuk melayani Allah tanpa mengharapkan imbalan. Sebab, Allah sendiri sebenarnya sudah memberikan segalanya buat kita; Ia sudah memberikan kepada kita anak-Nya yang tunggal.
Walaupun pandangan John Sung — bahwa kita seharusnya melayani Allah tanpa pamrih — sangatlah tepat, tetapi sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa pendapat ini merupakan penjelasan yang tepat atas perumpamaan ini. Pandangannya itu sendiri memang benar, sama benarnya dengan pandangan bahwa Allah memberikan kita segalanya atas dasar kasih karunia-Nya, bukan atas dasar prestasi kita. Akan tetapi, kita sudah melihat tadi bahwa perumpamaan ini tidak sedang membahas hal tersebut. Apakah pandangan bahwa kita seharusnya bersedia melayani Allah tanpa pamrih bisa disimpulkan dari perumpamaan ini? Kesimpulan semacam ini bisa kita ambil dari bagian lain dalam Alkitab, tetapi saya ragu apakah dari perumpamaan ini bisa diambil kesimpulan seperti itu.
Mereka yang datang paling awal tentunya adalah orang-orang yang mencari pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan. Apakah ini merupakan sebuah kejahatan? Tentunya tidak. Apakah Anda akan datang ke bursa kerja sambil berkata, “Aku mencari pekerjaan, tetapi tidak mencari penghasilan. Aku mencari pekerjaan karena menurutku sebuah pekerjaan adalah hal yang sangat baik buat orang Kristen. Tidak usah memikirkan masalah upah. Aku bersedia bekerja tanpa imbalan apa pun.” Pada zaman dahulu, pasar juga berfungsi sebagai bursa kerja. Orang-orang pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Pernahkah Anda mendengar ada orang yang mencari pekerjaan karena ia tidak menginginkan upahnya? Jika Anda berasal dari keluarga yang sangat kaya dan Anda adalah anak orang kaya, jelas Anda bisa tidak peduli dengan upah karena Anda dapat hidup tanpa mengandalkan upah itu. Akan tetapi, orang-orang yang pergi ke pasar mencari pekerjaan pada zaman itu adalah mereka yang datang demi menghidupi istri, anak, dan mungkin nenek, paman atau bibi yang perlu dipenuhi kebutuhannya. Ada sekumpulan mulut yang menanti makanan dari hasil pekerjaannya. Mereka tidak datang mencari kerja tanpa upah.
Pandangan bahwa kita seharusnya siap untuk melayani Allah tanpa mengharapkan imbalan tentu saja sangat baik. Akan tetapi, pandangan ini tidak ada kaitannya dengan perumpamaan yang sedang kita bahas sekarang ini, yang berbicara tentang orang-orang yang mencari pekerjaan. Alasan Anda mencari pekerjaan adalah karena Anda butuh penghasilan demi menghidupi keluarga dan diri Anda. Hal ini bukanlah suatu kejahatan. Pandangan John Sung tampaknya menyiratkan bahwa orang yang datang mencari kerja demi memperoleh penghasilan itu salah. Apakah mereka harus datang ke bursa kerja dengan niat untuk menjadi pekerja tanpa mengharapkan bayaran?
Sekarang mari kita lihat penjelasan yang diberikan oleh Watchman Nee. Ia sudah cukup dekat dengan kesimpulan yang diharapkan, tetapi cara dia menjelaskan perkara ini masih sulit untuk diterima. Ia berkata setiap orang seharusnya selalu memandang diri sendiri mulai bekerja sejak pukul lima sore. Apa artinya ini? Artinya, jika saya datang sejak pagi hari, dan menghabiskan seharian bekerja di kebun anggur, saya akan menganggap bahwa jam kedatangan saya adalah pukul lima sore, sesuai dengan anjuran Watchman Nee. Jadi, ketika saya datang ke kebun itu pada pagi hari, saya sudah menanamkan sebuah pikiran ke dalam benak saya, “Jam kedatangan saya adalah pukul lima sore,” walaupun sebenarnya sudah seharian saya menanggung beban kerja dan terik matahari di kebun. Apakah kita sedang diajar untuk menipu diri sendiri?
Atau, andaikan Anda datang pada pukul 9 pagi, lalu Anda memakai trik mental seperti ini, “Memang benar aku datang pukul 9 pagi, tetapi aku akan menganggap bahwa jam kedatanganku adalah pukul lima sore.” Dengan kata lain, ada selang waktu kerja selama 8 jam yang harus dilupakan. Pandangan ini mengandung kebenaran sekaligus juga kesalahan. Bayangkan saja, semakin awal jam kedatangan Anda, semakin besar upaya yang harus Anda kerahkan untuk memainkan trik mental ini. Anda harus terus berusaha membayangkan bahwa jam kedatangan Anda adalah pada pukul lima sore, sekalipun kenyataannya adalah lebih awal dari itu.
Dapatkah Anda memahami pernyataan dari Watchman Nee ini? Anda mungkin akan berkata, “Bukankah tadi disebutkan bahwa Watchman Nee memiliki penjelasan yang paling dekat dengan maksud perumpamaan ini? Namun, yang saya lihat justru pandangan dia yang paling jauh ketimbang yang lainnya.” Saya dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh Watchman Nee, hanya saja cara penyampaiannya yang tidak memuaskan. Penjelasannya itu seperti mengatakan bahwa menjadi Kristen berarti hidup dengan menipu diri sendiri. Akan tetapi, setiap orang Kristen harus mengasihi kebenaran di atas segalanya. Jika saya datang pukul enam pagi, tidak ada gunanya saya beranggapan bahwa saya datang pukul lima sore, karena kenyataannya sudah jelas. Fakta dari jam kedatangan saya memang demikian adanya. Jika saya datang pada pukul 9 pagi, tidak ada gunanya saya menganggap bahwa jam kedatangan saya adalah pukul lima sore. Lalu, Anda mungkin berkata, “Oke oke, jadi apa yang sedang diajarkan oleh perumpamaan ini?”
Kondisi kerja pada zaman itu
Untuk bisa mengetahui apa yang sedang dibahas di dalam perumpamaan ini, sebaiknya kita teliti dulu seperti apa kehidupan dan kondisi kerja pada zaman itu. Pertama-tama, kita perlu mengetahui berapa lama jam kerja yang berlaku untuk sehari pada zaman itu. Saat itu jumlah jam kerja normal adalah 12 jam sehari, bukannya 8 jam seperti zaman sekarang ini. Keadaan ini justru memberi banyak manfaat. Sekarang ini kita hanya bekerja selama 8 jam sehari, dan ada banyak waktu luang yang kita miliki, suatu hal yang mungkin justru tidak sehat bagi mental kita. Tidak heran jika pada zaman sekarang ini, ada banyak orang di negara-negara maju yang harus menelan pil untuk menjaga ketenangan syaraf mereka. Kegiatan apa yang harus mereka lakukan untuk mengisi waktu luang yang ada? Pada zaman dahulu, orang-orang bekerja seharian sehingga ketika pulang pada malam hari, mereka demikian lelahnya sehingga tidak perlu meminum obat penenang untuk bisa tidur. Terlalu mengantuk untuk memikirkan obat tidur. Mereka segera pergi ke tempat tidur dan terlelap, dan ketika fajar menyingsing, mereka sudah harus bangun dan bekerja lagi. Hal ini sungguh sangat bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik kita. Itulah bagusnya jam kerja 12 jam sehari.
Yesus berkata, “Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari?” (Yoh 11:9). Begitulah, saat itu jam kerja normal adalah 12 jam sehari. Anda harus mengetahui hal ini untuk bisa memahami apa artinya jika ada orang yang datang bekerja mulai pukul lima sore. Hari dimulai sejak matahari terbit dan belum berakhir sampai dengan munculnya bintang, demikianlah penjelasan para rabi Yahudi. Dengan kata lain, lamanya bekerja dalam sehari dimulai dari sejak matahari terbit dan selesai pada saat matahari terbenam. Orang tidur dan bangun seiring dengan terbit atau terbenamnya matahari. Dan waktu sepanjang 12 jam itu diisi dengan bekerja keras.
Oleh karena perumpamaan ini berbicara tentang kebun anggur, maka tentunya pekerjaan yang sedang berlangsung adalah panen buah anggur. Anggur memiliki kandungan gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan juga memiliki rasa yang enak sehingga dijadikan salah satu bahan makanan dan minuman utama bagi orang Yahudi. Jika dilihat dari perumpamaan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa hasil panennya sangat melimpah. Seiring dengan menanjaknya hari, si pengawas melihat bahwa ia membutuhkan lebih banyak pekerja lagi jika ia ingin menyelesaikan panenan sebelum turunnya hujan musim dingin. Setelah mempekerjakan kelompok yang pertama, ia melihat bahwa mereka masih terlalu sedikit untuk bisa menangani hasil panen yang banyak itu, jadi ia mulai mencari tambahan pekerja lagi di sepanjang hari itu. Peristiwa seperti itu bukanlah hal yang aneh bagi masyarakat zaman dahulu yang menjadi pendengar dari perumpamaan ini.
Kelompok yang pertama dipekerjakan sejak pukul lima atau enam pagi. Yang kedua dipanggil sekitar pukul 9 pagi. Ada lagi yang dipanggil saat tengah hari dan di sekitar pukul tiga sore. Kelompok yang terakhir masuk sekitar pukul lima sore.
Alasan mengapa ada orang yang masuk lebih awal mungkin karena mereka sudah ada di pasar sejak pagi hari. Mereka yang mencari pekerjaan di pasar datang dari tempat yang berbeda-beda jaraknya dari pasar itu. Ada yang harus menempuh jarak yang lebih jauh, sehingga tidak bisa sampai di pasar pada jam-jam awal. Mereka biasanya menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, kecuali bagi yang memiliki keledai atau bagal. Sebagian besar orang pada zaman itu berjalan kaki. Jika, katakanlah, Anda tinggal sekitar 15 km dari pasar, Anda harus menempuh berbagai bukit dan lembah untuk bisa sampai ke pasar. Jadi orang-orang yang mencari pekerjaan di pasar akan tiba pada jam yang berbeda-beda.
Satu dinar yang disebutkan dalam perumpamaan ini adalah upah yang biasanya didapatkan seorang pekerja dalam sehari pada zaman itu. Jumlahnya cukup besar dan satu dinar ini masih berada di atas upah minimum saat itu. Ada orang yang hanya menerima setengah dinar sehari. Namun, jika Anda seorang pekerja terampil, upah Anda mungkin mencapai dua dinar sehari. Pekerja pada zaman itu digaji sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimiliki, sama halnya dengan cara penilaian pada zaman sekarang ini. Satu dinar bisa dianggap sebagai upah rata-rata untuk jenis pekerjaan seperti ini.
Pada zaman itu, para pekerja biasanya diberi upah pada hari yang sama, pada malam harinya. Hal ini dapat kita lihat dari Imamat 19:13 atau Ulangan 24:14. Para pekerja biasanya dibayar langsung pada hari itu karena bisa saja mereka tidak dipakai lagi keesokan harinya. Mungkin pada esok harinya mereka sudah tidak dibutuhkan lagi sehingga mereka harus mencari kerja pada orang lain.
Di dalam perumpamaan ini, upah para pekerja dibagikan pada petang hari, demikianlah sang pemilik kebun menyuruh hambanya untuk memulai pembayaran mulai dari pekerja yang datang terakhir. Orang-orang ini baru satu jam bekerja dan tentunya mereka hanya bisa mengharapkan upah sebesar satu pondion (seperduabelas dari satu dinar). Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bahwa upah yang mereka terima adalah satu dinar, dua belas kali lipat dari upah yang mereka harapkan! Kelompok yang berikutnya tentu saja berpikir, “Wah, mereka dapat satu dinar! Kami sudah bekerja sekitar tiga jam, jadi mungkin kami akan mendapat tiga dinar.” Ternyata mereka mendapatkan satu dinar juga. Mereka yang bekerja sejak tengah hari, dan mengira akan menerima enam dinar, ternyata juga menerima satu dinar. Demikianlah seterusnya.
Perumpamaan ini mendiagnosa kondisi kerohanian Anda
Pada bagian awal khotbah ini, saya meminta Anda untuk mengamati reaksi perasaan Anda terhadap perumpamaan ini. Bagaimana Anda akan bereaksi sangat tergantung pada kepada kelompok yang mana Anda mengidentifikasikan diri Anda. Apakah Anda menyamakan diri Anda dengan kelompok yang pertama, kedua, ketiga atau yang keempat? Atau, dengan kelompok yang terakhir?
Jika Anda menyamakan diri dengan kelompok yang pertama, Anda akan merasa telah diperlakukan dengan tidak adil dan jengkel karena menurut Anda bukan begitu caranya memperlakukan orang yang sudah seharian bekerja keras. Jika si pemilik kebun anggur bermaksud bermurah hati, setidaknya ia harus melakukannya dengan cara yang adil ketimbang bertindak dengan cara yang tidak masuk akal seperti itu. Apakah Anda merasa seperti ini?
Atau mungkin Anda hanya sedikit jengkel saja? Anda mungkin berkata, “Si pemilik kebun anggur ini orang yang aneh.” Mungkin saja dia adalah orang yang nyentrik dan sedikit aneh, yang menggunakan uangnya dengan sesuka hati. Siapa yang bisa berdebat dengan orang seperti itu? Tentu saja, dia bebas bertindak sesuka hati dengan uang miliknya, tapi seharusnya ia melakukan hal itu dengan sedikit mempertimbangkan keadilan. Namun, siapa yang berhak melarangnya untuk bertindak sesuka hati dengan uangnya sendiri? Percuma saja. Akan tetapi, dia seharusnya bertindak lebih adil dengan uangnya.
Anda bisa juga bereaksi dengan cara lain. Misalnya, Anda bersukacita karena orang-orang miskin yang hanya bekerja selama satu jam bisa memperoleh upah satu dinar. Mereka punya anak dan istri yang harus diberi makan, dan tentunya tidak akan bisa mengenyangkan perut keluarganya jika hanya memperoleh satu pondion. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan upah satu pondion? baik jika si pemilik kebun memberi mereka upah kerja sehari penuh sehingga anak-anaknya tidak sampai kelaparan malam itu. Seperti itukah perasaan Anda saat membaca perumpamaan ini? Jika tidak, mungkin perasaan Anda tercampur-aduk di antara semua macam reaksi itu. Saat ini mungkin Anda bertanya, “Buat apa Anda menanyakan reaksi saya?”
Karena perumpamaan ini berfungsi mengungkapkan siapa diri kita. Sampai dengan saat ini, saya sudah menguraikan pengajaran Yesus secara sistematis selama lebih dari 20 tahun. Pada masa-masa sebelumnya, saya juga sudah sering berkhotbah. Semakin saya mempelajari ajaran Yesus ini, semakin saya melihat betapa dia sungguh luar biasa! Dia mampu mengajar dalam bentuk yang tidak dapat disamai atau ditandingi oleh siapa pun, dan pengajarannya tidak akan bisa dipahami, apalagi dipraktekkan, oleh manusia duniawi. Nah, Anda mungkin berkata, “Mengapa Anda sekarang malah berbasa-basi? Kita semua masih dalam kebuntuan.” Poin dari perumpamaan ini adalah ini merupakan perumpamaan yang mendiagnosa kita. Selalunya diagnosa akan dilakukan oleh seorang dokter ketika sedang memeriksa keadaan tubuh Anda. Perumpamaan ini dirancang untuk mengungkapkan siapa diri Anda sebenarnya. Perumpamaan ini menyingkapkan watak Anda, dirancang secara khusus untuk membongkar jalan pikiran Anda yang sebenarnya!
Yesus memberi kita berbagai macam perumpamaan, mulai dari yang bersifat deskriptif, yang menjelaskan keadaan tertentu, sampai yang bersifat nubuatan, yang memberitahukan hal-hal yang akan datang. Khusus untuk perumpamaan ini, ia bersifat diagnostik. Penulis surat Ibrani berkata bahwa firman Allah itu tajamnya melebihi pedang bermata dua, ia menembus jauh ke dalam hati kita, membedakan pikiran dan niat hati kita (Ibr 4:12). Tidak ada perumpamaan lain yang mengerjakan hal itu secara unik dibandingkan perumpamaan ini. Perumpamaan ini menembus pikiran kita seperti pedang bermata dua, menyingkapkan cara berpikir kita, sama seperti cermin yang memperlihatkan siapa diri Anda sebenarnya. Kita harus mengetahui siapa diri kita dengan bercermin dari perumpamaan ini, dan mendiagnosa keadaan rohani kita dengan cara mengukur temperatur rohani kita.
Anda akan merasa berhak untuk jengkel jika Anda mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang pertama. Apakah Anda merasakan hal yang sama dengan kelompok pertama? Apakah Anda telah bekerja selama seharian? Lalu, mengapa Anda menyamakan diri dengan para pekerja kelompok pertama? Apakah Anda menyamakan diri dengan kelompok yang kedua atau yang ketiga? Mengapa Anda mengidentifikasikan diri Anda dengan kelompok tersebut? Apakah Anda sedang bekerja di ladang anggur? Tidak. Lalu, mengapa Anda memandang diri Anda seperti salah satu dari kelompok pekerja tersebut? Kita belum bisa menjawab semua pertanyaan itu di tahap ini.
Jika Anda merasa senang sehubungan dengan nasib pekerja kelompok kelima, itu terjadi karena Anda merasa sama dengan mereka, sekalipun Anda tidak sedang bekerja di ladang anggur. Mengapa? Jawabannya terletak di dalam hati Anda. Jawabannya tidak terdapat di dalam perumpamaan ini; jawaban ada di dalam hati Anda. Perumpamaan ini hanya sekadar membongkar isi hati Anda seperti pedang bermata dua, atau seperti pisau bedah yang tajam, menyingkapkan cara berpikir Anda dan menanyakan Anda — mengapa Anda merasa sama dengan salah satu kelompok tersebut?
Apakah Anda merasakan reaksi yang campur-aduk? Jika demikian, hal itu juga memberitahu sesuatu tentang kondisi Anda. Anda sedang duduk di atas pagar, yang berarti bahwa Anda sedang berada dalam posisi yang tidak bagus sama sekali. Anda masih merupakan orang Kristen jenis ragu-ragu, yang masih belum menetapkan tekad untuk mengejar Allahdengan segenap hati.
Perhatikan bahwa perumpamaan ini berbicara mengenai orang Kristen. Ia tidak ditujukan kepada orang non-Kristen, karena mereka tidak perlu didiagnosa. Untuk bisa mendiagnosa keadaan seseorang, hal yang perlu dimiliki adalah kehidupan rohani. Anda tidak akan mendiagnosa orang yang mati karena tidak ada gunanya. Jika Anda memiliki kehidupan rohani, Anda dapat melakukan diagnosa terhadap hidup itu.
Mengapa dikatakan bahwa perumpamaan ini berkaitan dengan orang Kristen? Karena yang kita bicarakan adalah kebun anggur, dan seperti yang disetujui oleh para penafsir, pemilik dari kebun anggur itu adalah Allah sendiri. Mereka yang bekerja di kebun anggur adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh-Nya. Ia pergi ke pasar dan memanggil kita, dan kita menanggapi panggilan itu. Kita berbicara tentang orang-orang yang telah menerima panggilan. Setiap orang Kristen sejak zaman Perjanjian Baru sampai sekarang telah menerima panggilan, dan ini adalah panggilan dari-Nya. Dengan demikian, menurut definisi yang alkitabiah, setiap orang Kristen adalah pekerja Kristen. Seperti yang dikatakan oleh Petrus, kita semua adalah hamba-hamba Allah. Istilah ini tidak sekadar ditujukan kepada para pendeta dan pengkhotbah. Kita adalah hamba Allah jika kita adalah orang Kristen sejati. Kita seharusnya sedang bekerja di kebun anggur-Nya.
Jika perumpamaan ini berbicara kepada kita orang-orang Kristen, memberitahu tentang bagaimana kita akan bereaksi terhadap firman Allah, lalu hal apa sebenarnya yang sedang diungkapkannya? Saya ingin tahu apakah Anda merasa bahwa respon Anda termasuk yang menggembirakan atau tidak. Apakah Anda termasuk sedikit orang yang memberi tanggapan penuh sukacita karena Anda memandang diri Anda sama dengan mereka yang datang pada “pukul lima sore”? Mungkin tidak. Anda mungkin termasuk ke dalam kelompok mayoritas — yaitu mereka yang merasa sama dengan para pekerja di kelompok pertama dan merasa diperlakukan secara tidak adil. Atau, mungkin Anda termasuk mereka yang masih duduk di atas pagar? Tidak ada tempat yang netral di dalam kehidupan rohani. Jika respon Anda tidak jelas, Anda sedang berada dalam kondisi rohani yang tidak bagus.
Kecemburuan adalah akar persoalannya
Perhatikan baik-baik sikap dari para pekerja di dalam kelompok pertama. Anda akan mendapati bahwa unsur pokoknya adalah kecemburuan. Yesus bertanya kepada mereka, “apakah matamu jahat karena aku baik?” (Mat 20:15). “Mata yang jahat” merupakan sebuah istilah dengan arti cemburu atau iri hati. “Iri hatikah engkau karena aku murah hati?” begitulah Yesus menanyakan mereka, karena mereka terlihat kecewa. Mengapa mereka kecewa? Matius 20:12 memberitahu kita itu karena orang lain yang datang belakangan ternyata diperlakukan setara dengan mereka. Para pekerja dari kelompok pertama merasa hal ini tidak adil. “Engkau menyamakan kami dengan mereka?” demikianlah keluhan mereka (ayat 11). Dari situ muncullah kepahitan dan kecemburuan. Ingatkah Anda tentang perkataan Yesus bahwa lebih mudah bagi seekor unta masuk melalui lubang jarum? Unta termasuk hewan yang berperilaku paling buruk di dunia. Mereka selalu bertingkah dan menggerutu. Di sini kita melihat hal yang sama lagi. Dapatkah Anda melihat kaitan internal antara ayat-ayat tersebut? Para pekerja di kelompok pertama adalah unta-unta yang tidak bisa masuk ke dalam kerajaan sama seperti unta yang tidak dapat melewati lubang jarum.
Tak ada hal yang lebih penting dibandingkan dengan sikap seseorang di dalam hidup ini. Jika Anda memiliki sikap tertentu, Anda akan bereaksi dengan cara yang tertentu karena begitulah watak Anda. Jika Anda termasuk kelompok yang pertama ini, secara tak terhindarkan Anda akan bereaksi seperti itu karena begitulah watak Anda.
Pada bagian awal, saya sudah menanyakan mengapa Anda menyamakan diri dengan kelompok yang ini atau yang itu. Sekalipun Anda mungkin berada di luar kebun anggur itu, tetapi Anda masih bisa menyamakan diri Anda dengan salah satu kelompok yang ada di dalam perumpamaan ini. Hal itu terjadi karena watak Anda cocok dengan pola reaksi orang-orang tersebut. Di sinilah letak kedalaman perumpamaan ini. Ia mengungkapkan watak Anda. Cara Anda bereaksi akan mengungkapkan orang macam apa Anda sebenarnya — cara Anda berpikir dan perilaku khas Anda. Ini sebabnya mengapa perubahan akal budi merupakan perubahan yang paling penting dalam diri seseorang. Karena perubahan akal budi berarti perubahan watak.
Pentingnya mengalami perubahan sikap
Sikap merupakan hal yang paling berpengaruh di dalam hidup ini. Sebagai contoh, sikap yang keliru seringkali mengakibatkan rusaknya hubungan. Pikirkanlah tentang hubungan suami-istri yang macet. Pertanyaan yang penting bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang penting adalah, “Seperti apa sikap kedua orang itu?” Upaya penilaian dalam hal ini sangatlah sulit. Salah satu atau bahkan kedua pihak bisa saja memiliki sikap yang salah. Pernikahan menjadi berantakan karena sikap mereka yang kaku. Jika sikap-sikap yang kaku ini bertabrakan, persoalan akan meledak.
Serupa dengan itu, hubungan anak-orangtua dapat menimbulkan banyak ketegangan jika sikap salah satu atau keduanya salah. Hubungan antar manusia sepenuhnya ditentukan oleh sikap. Sikap bisa menimbulkan keretakan ataupun harmoni.
Perkara sikap ini juga merupakan poin utama dalam hubungan kita dengan Allah. Bagaimana sikap Anda terhadap Allah? Hubungan Anda dengan-Nya ditentukan oleh sikap Anda. Itu sebabnya mengapa menjadi seorang Kristen melibatkan perubahan sikap. Bukan sekadar masalah percaya ini atau itu. Semua itu tidak ada gunanya jika sikap Anda tidak berubah.
Menurut Paulus, menjadi seorang Kristen berarti menjadi seorang manusia baru. Bagaimana Anda akan menjelaskan seperti apa manusia baru itu? Dia adalah orang yang akal budinya sudah berubah, sebagai dasar bagi perubahan yang lain. Paulus berkata,
“Berubahlah oleh pembaruan akal budimu” (Rm 12:2)
Pembaharuan akal budi berarti cara berpikir dan sikap Anda mengalami perubahan sepenuhnya. Demikianlah perumpamaan ini menjangkau jauh sampai ke dasar kehidupan orang Kristen. Ia memaksa Anda untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku telah berubah?” Yesus tidak tertarik dengan perkara apakah Anda sudah membuat pengakuan iman atau belum. Pertanyaan yang pokok adalah apakah Anda sudah berubah. Jika Anda sudah berubah, Anda adalah orang Kristen sejati. Jika belum, Anda bukan orang Kristen sejati.
Menjadi seorang Kristen menuntut adanya pertobatan. Kata pertobatan di dalam bahasa Yunani adalah metanoia, yang berarti perubahan akal budi. Jadi, pertobatan adalah perubahan sikap. Sebelumnya, Anda terbiasa berbuat dosa, tetapi sekarang Anda menjadi sangat berduka akan hal itu. Itulah perubahan sikap yang sangat mendasar. Sebelumnya, Anda tidak ragu-ragu menyakiti perasaan orang lain, tetapi sekarang Anda sangat berduka jika Anda sampai menyakiti perasaan orang lain. Itulah perubahan sikap. Menjadi seorang Kristen tidak ada artinya jika tidak membawa perubahan sepenuhnya di dalam batin — yaitu pembaharuan akal budi, seperti yang dikatakan oleh Paulus. Itulah arti menjadi ciptaan baru. Itulah arti dilahirkan kembali. Tidak ada artinya jika Anda hanya sekadar mengangkat tangan dan mengaku percaya kepada Allah. Tidak ada gunanya, kecuali jika terjadi perubahan. Pengalaman hidup yang paling penting dan menyentuh hati adalah pengalaman yang berkaitan dengan perubahan sikap.
Saat sepasang suami-istri, sebagai contoh, yang demikian saling membenci satu sama lain, kemudian mampu untuk saling mengasihi di dalam kasih yang baru serta mendalam karena terjadinya perubahan sikap pada keduanya, hal itu akan membuat kita meneteskan air mata. Kita sangat tersentuh oleh peristiwa rujuk semacam ini karena kita menyaksikan betapa dua pihak yang saling bermusuhan dapat saling merangkul kembali! Benar-benar perubahan sikap yang sangat nyata! Serupa dengan itu, ketika anak dan orang tua yang selama ini tidak pernah akur, kemudian bersatu kembali, kita akan benar-benar merasa terharu.
Itulah yang disebut perubahan keyakinan. Menjadi seorang Kristen berarti Anda yang tadinya egois sekarang mengalami perubahan yang seutuhnya. Sikap Anda secara keseluruhan mengalami suatu revolusi dan segala sesuatunya kemudian berubah. Yang terdahulu menjadi yang terakhir dan yang terakhir menjadi yang terdahulu.