Pastor Eric Chang | Matius 18:21-35 | Lukas 17:3-4 |

Mengampuni orang lain. Hal yang dibahas Yesus di sini adalah persoalan yang terjadi dalam keseharian kita, yaitu mengenai dosa di antara orang-orang Kristen. Misalkan seseorang telah ceroboh, atau barangkali dengan sengaja menyakiti kita. Apa yang seharusnya kita lakukan? Bagaimana kita bertindak bila kita menghadapi masalah seperti itu? Haruskah kita mengampuninya?

Di Matius 18: 15-17, Yesus berkata apabila saudara atau saudari kita tidak bertobat, bawalah masalah ini di hadapan dua atau tiga orang saksi. Jika inipun tidak membuatnya bertobat bawalah masalah ini ke jemaat. Masalahnya adalah jika saudara atau saudari kita berbuat dosa terhadap kita, kita cenderung menjadi muak dan memutuskan untuk meninggalkan gereja – yaitu berhenti dan sama sekali tidak pergi ke gereja lagi. Hal ini jelas salah dan bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Ketika kita lari dari permasalahan, masalah tidak akan pergi. Ia akan menjadi bertambah buruk.

Itulah alasan mengapa kita harus bertindak terhadap dosa. Ketika saudara kita melakukan dosa terhadap kita dan tidak bertobat, dan kita membawa masalah itu ke gereja, hal itu akan mulai ditangani. Pendeta akan membimbing saudara yang telah melakukan kesalahan untuk mencari tahu mengapa ia melakukan hal ini. Jika Saudara itu bertobat dan meminta maaf kepada kita, masalahnya akan terpecahkan dan tidak lagi ada masalah. Namun jika kita membiarkan masalahnya menyebar seperti penyakit di dalam gereja, keseluruhan gereja akan menjadi sakit. Kita harus menangani dosa itu demi Kristus, demi saudara dan saudari dan demi kita sendiri. Gereja tidak untuk memihak yang satu serta menentang yang lain, kita harusnya punya keyakinan pada gereja, pada saudara kita dan pada rasa keadilan mereka di hadapan Tuhan bahwa mereka akan mengatasi masalah secara adil.

Kadang-kadang  kita mungkin bereaksi  dengan cara yang aneh ketika masalah seperti itu terjadi. Kita mungkin akan berkata, “Saudara ini telah menyakiti saya. Saya tidak akan pergi ke gereja lagi karena semua orang Kristen adalah munafik!” Sebenarnya hanya satu orang yang menyakiti kita bukan seluruh gereja. Jika kita adalah orang Kristen, kita berhak untuk tetap berada di tengah jemaat sebagaimana saudara yang telah menyakiti kita itu. Mengapa kita harus meninggalkannya? Sangat sulit dimengerti mengapa kita akan berpikir seperti ini. Kadang-kadang ada suatu masalah di dalam gereja dan Pendeta tidak diberitahu akan hal ini. Jika dia mengetahuinya, dia akan ikut campur membela mereka yang disakiti untuk meluruskannya.


Harus ada batasnya!

Misalkan seseorang melakukan dosa terhadap kita. Dia menyesal dan minta maaf dan kita mengampuninya. Kemudian dia melakukannya lagi dan lagi! Apa yang akan kita lakukan? Inilah pertanyaan yang ingin ditanyakan Yesus. Berapa kali kita harus memaafkan seseorang?

Lukas 17:3-4 memberitahu kita:

Jagalah dirimu jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Dan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata “aku menyesal”, engkau harus mengampuni dia.

Jika seseorang  berbuat salah terhadap kita berkali-kali, Yesus berkata bahwa kita harus memaafkannya sampai tujuh kali dalam sehari. Ketika Yesus memberikan contoh ini, dia tidak bermaksud bahwa tujuh kali adalah batasnya. Hal ini dikarenakan tujuh adalah angka kesempurnaan. Jika kita mampu mengampuni seseorang tujuh kali, kita tentu dapat mengampuninya lebih dari itu. Poinnya adalah kita memaafkan seseorang tujuh kali sehari dari hari ke hari. Dengan kata lain tidak ada batas untuk itu.

Namun, rata-rata orang Kristen tidak bisa memaafkan. Ketika seseorang menyakitinya sekali, mukanya sudah merah dan ia bereaksi seperti ini: “Cukup, aku tidak akan lagi ngomong sama makhluk menjijikkan ini! Aku tidak akan pernah masuk ke gereja ini lagi!” Sekali saja dan sudah cukup. Bagaimana dengan yang “tujuh kali sehari” yang Yesus ajarkan? Apakah pengampunan kita terbatas seperti itu? Kita mencoba membenarkan perilaku kita dan berkata,  “Saya tidak melakukan apa-apa kepadanya, dan dia menyakiti saya! Lalu mengapa saya mesti memaafkannya?” Baiklah, inilah yang Yesus katakan.

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:21-22).

Petrus jelas berpikir bahwa dia sangat pemurah. Dia berpikir tujuh kali tidak terlalu buruk karena menurut rabi-rabi Yahudi, kita bisa mengampuni seseorang satu kali, dua kali, dan bahkan tiga kali, tetapi tidak empat kali. Tiga kali adalah yang paling maksimal. Petrus mungkin berpikir bahwa karena dia menghitung jumlah yang dua kali lipat lebih dari apa yang direkomendasikan para rabbi, dia sudah benar-benar pemurah. Sementara para rabbi memberikan batasan maksimal memaafkan tiga kali dalam seumur hidup kita, tetapi kita disuruh memaafkan orang tujuh kali dalam sehari. Jika jumlah tujuh itu dikalikan dengan masa hidup kita, maka jumlahnya jelas sangat luar biasa. Yesus berkata kepada Petrus, “Aku tidak mengatakan kepadamu tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh.” Sekali lagi, jumlah yang dimaksudkan adalah simbol bilangan tak terbatas. Jika kita bisa memaafkan seseorang tujuh kali sehari dalam tujuh puluh hari atau dua setengah bulan, jumlahnya menjadi tak terbatas.


Mengapa kita perlu mengampuni?

Sebuah pertanyaan yang akan secara alami muncul dalam benak kita. Pertanyaan  itu adalah mengapa kita harus memaafkan orang yang menyakiti atau menyinggung perasaan kita? Mari kita kembali kepada Matius 18:23-35. (Catat kata ‘Sebab’ yang menghubungkan ayat 23 dengan bagian sebelumnya dalam bab itu)

Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk membayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya.

Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”

Perhatikan kata “dengan segenap hatimu”. Bukankah pengampunan seringkali dilakukan dengan rasa enggan, di mana kita berkata “Aku telah mengampunimu. Bagaimanapun, Yesus  menyuruhku untuk mengampuni, maka aku mengampuni.” Mengampuni orang sepenuh hati adalah pengampunan yang dilakukan dengan sukacita. Seperti yang dikatakan dalam Bahasa Mandarin, xuang kuai – bersih, pengampunan mutlak. Bukan memaafkan dengan sakit hati dengan berkata, “OK, tetapi jangan lakukan itu lagi nanti! Di lain waktu aku tidak akan begitu bermurah hati padamu!”  Pengampunan dari dalam hati tidaklah seperti ini.

Sebelum kita simpulkan beberapa prinsip dari perumpamaan ini, mari kita mencoba untuk memahami jumlah uang yang sedang kita bicarakan di sini. Yesus dibandingkan dengan penguasa kerajaan yang agung. Salah satu pelayannya telah salah mengelola usahanya sehingga ia berhutang sepadan dengan 10.000 talenta. Satu talenta pada masa itu lebih dari 15 tahun gaji seorang pekerja. Jika satu talenta sebanding dengan lebih dari 15 tahun gaji seorang pekerja, yaitu 5.400 hari kerja. Maka 10.000 talenta sebanding dengan upah untuk 50 juta hari kerja. Dengan standar kehidupan di Kanada misalnya, berdasarkan pada tingkat upah minimum $30 sehari, jumlah keseluruhannya akan menjadi 30 kali 50 juta, yang akan menjadi $1.5 milyar dolar. Hal ini memberikan kita suatu ide yang bagus tentang skala yang sedang kita bicarakan di sini. Modal seperti itu berhubungan dengan anggaran pengeluaran sebuah negara.

Hamba di kerajaan ini mungkin saja seorang menteri keuangan (kenyataannya semua pegawai tinggi pada saat itu disebut hamba raja). Dia telah melakukan kesalahan besar dalam mengelola keuangan negara hingga mengakibatkan defisit $1.5 milyar. Lalu raja memanggilnya untuk menjelaskan tentang defisit itu. “Kecerobohan macam apa yang engkau lakukan terhadap dana pemerintah? Apa yang telah engkau lakukan? Sekarang sebagai hukuman atas dosa-dosamu, engkau dan keluargamu  akan dijual sebagai budak,” kata sang raja. Barangkali kita bisa mempertimbangkan untuk melakukan hal ini sekarang. Dengan demikian, kita akan memiliki menteri keuangan yang lebih baik di banyak negara jika mereka tahu bila menyalahgunakan uang negara mereka akan dijual sebagai budak. Ini sama sekali bukan ide yang buruk, mengingat bagaimana banyak pejabat pemerintahan menyalahgunakan keuangan negara sekarang ini.

Lalu, hamba itu berlutut dan berjanji akan membayar kembali uang yang dia ambil. Perhatikan kata-katanya yang ambisius dalam ayat 26: “… segala hutangku akan kulunaskan“. Bagaimana caranya dia melakukan hal itu? Mungkin apa yang dia maksudkan adalah: “Berikanlah saya kesempatan lagi untuk menjadi menteri keuangan dan saya akan mengembalikan 1.5 milyar kredit.” Saya yakin, tidak ada raja yang akan memberikan menteri yang melakukan kesalahan besar seperti ini satu kesempatan lagi. Namun, perhatikan, sang raja ternyata bermurah hati. Dia mengampuni hutang hambanya ini. Dia berkata, “Karena engkau memohon dan bertobat, Aku akan mengampuni hutang-hutangmu.” Dia mengampuni hamba itu dan memberikan kesempatan lagi. Dia menghapus hutangnya! Lalu hamba itu pergi dengan perasaan sangat berbahagia.

Setelah beberapa saat, orang itu bertemu temannya yang berhutang kepadanya 100 dinar. Dengan perhitungan kita terdahulu, kita tahu bahwa temannya ini berhutang  sejumlah  $3,000  yang merupakan jumlah yang lumayan besar tetapi tetap tidak ada artinya dibandingkan dengan $1,5 Milyar. Demikianlah orang itu menyeret temannya dan menuntut, “Aku ingin $3,000 itu dikembalikan!”. Orang itu bersujud dan memohon, “Tolonglah kasihani aku ini. Aku tidak punya $3,000 di kantongku tapi aku pasti akan mengembalikan kepadamu $3,000”. Sangatlah mungkin untuk mengembalikan uang $3,000. Nominal yang cukup besar tetapi masih dalam jangkauan rata-rata pekerja, asal ada cukup waktu yang diberikan untuk mengembalikannya. Namun orang itu menolak dan menjebloskan temannya ke dalam penjara karena hutang $3,000!

Masalah ini kemudian disampaikan kepada raja, yang berkata kepada hambanya yang menteri keuangan itu, “Jika aku telah mengampunimu, tidakkah seharusnya engkau mengampuni orang yang berhutang padamu?” Apa yang diajarkan oleh Doa Bapa Kami kepada kita? “Ampunilah kami akan kesalahan [hutang] kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah [berhutang] kepada kami” (lihat Matius 6:12). Yesus berkata jika kita tidak mengampuni pengutang kita, kita tidak akan diampuni. Demikian pula pengampunan yang diberikan kepada pelayan itu akhirnya dicabut. Raja berkata kepadanya, “Engkau hamba yang jahat! Aku mengampuni segala hutangmu karena engkau memohon kepadaku. Tidakkah semestinya kamu merasa kasihan kepada temanmu, seperti yang aku perbuat kepadamu?” Dalam kemarahan, raja mengirimnya untuk disiksa sampai dia mengembalikan $1,5 milyar. Namun karena dia sudah di dalam penjara, dia tidak akan pernah bisa mengembalikannya!

Pesan dari kutipan ini jelas. Sebagaimana ditafsirkan oleh Professor Schweizer dari Zurich dalam buku tafsirannya Das Neue Testament Deutsch, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Loss of Grace: yaitu kasih karunia sebenarnya telah diberikan, tetapi karena orang yang menerimanya tidak pantas, akibatnya kasih karunia itu hilang.

Seorang cendekiawan besar dari Jerman, H.A.W. Meier juga membahas poin ini dengan sangat baik dalam tafsirannya yang berjumlah 20 jilid tentang Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Malahan ini adalah tafsiran terbaik yang ada sampai sekarang ini walaupun naskah itu ditulis ratusan tahun yang lalu, dan hanya dicetak ulang pada tahun 1980. Dengan judul “Doctrine of this Parable (Doktrin dari Perumpamaan Ini)” dia menulis: “Remisi yang telah engkau dapatkan dari Allah, dari hutang dosa yang tak terbayarkan hendaknya merangsang hatimu untuk memaafkan saudaramu dengan hutang yang lebih kecil. Jika tidak penghakiman Mesias akan datang, kebenaran Allah akan menentangmu dan engkau akan dijatuhkan ke Gehenna untuk dihukum selamanya.” Dengan jelas, Meier menunjukkan bahwa kasih karunia yang awalnya diberikan – pengampunan yang awal – kemudian ditarik. Dan orang akan dibuang ke Gehenna (yang berarti Neraka) untuk dihukum selamanya.

Ajaran ini tentu saja tidak akan diterima dengan baik oleh rata-rata gereja Tionghoa. Demi doktrin mereka, mereka menolak kata-kata Yesus yang jelas ini. Sangat menyedihkan cara Watchman Nee coba menjelaskan masalah ini. Semakin dia mencoba, semakin banyak kekacauan yang muncul. Dia mengatakan bukanlah kasih karunia mula-mula yang ditarik kembali, tetapi kasih karunia berikutnya yang ditarik. Hal ini sungguh tidak masuk akal. Jika kasih karunia mula-mula tidak ditarik, maka si hamba masih diampuni hutang  $1.5 milyar dolar itu. Dengan demikian dia tidak akan dijebloskan ke dalam penjara, karena tidak ada hutang yang harus dikembalikan. Pernyataan seperti itu menjadi tidak jelas. Inilah yang terjadi ketika kita mengorbankan kebenaran Firman Allah demi dogma. Ketika ditanya bagaimana cara si hamba membayar hutangnya di penjara, Watchman Nee membuat pernyataan yang mirip dengan ajaran bidat. Dia mengatakan bahwa si hamba akan dihukum selama 1000 tahun di kerajaan mesianik sehingga suatu saat nanti ia mendapat pengampunan. Inilah ajaran yang paling mirip dengan ajaran purgatori yang saya temukan di antara kalangan Protestan. Sungguh luar biasa! Jika melalui penyiksaan, dosa kita dapat diampuni, mengapa Yesus perlu mati? Jika dengan disiksa selama 1000 tahun, $1,5 milyar dapat dihapuskan, mengapa Yesus perlu mati?

Inilah situasi tragis yang dialami oleh mereka yang tidak mau berhadapan dengan Firman Allah. Ini menunjukkan bahwa ketika kita datang kepada Firman Allah, kita harus datang tanpa belenggu doktrin dalam pikiran kita. Jika tidak, kita akan mengelak dan menyalah-tafsirkan pernyataan yang sangat jelas ini, yang dengan baik dipahami oleh Professor Schweizer dan H.A.W. Meier. Namun karena kita terikat pada dogma, maka kita coba memutar-mutar Firman Allah yang sudah jelas, hasilnya kita beromong kosong. Dan akibatnya sangat mengerikan. Apa yang disabdakan Yesus di sini sangatlah jelas dan tegas. Para penafsir yang besar itu tidak ada kesulitan sama sekali dalam memahami makna dari kata-kata sederhana ini.


Tiga tahap yang sangat menentukan dalam keselamatan

Berbicara secara teologis, perumpamaan ini sangat penting, karena ia memberitahukan kita tentang tiga tahap yang harus dilewati untuk diselamatkan


Pengampunan

Tahap pertama yang disebutkan dalam perumpamaan ini adalah pembenaran.  Dalam bahasa sederhananya, berarti pengampunan dosa kita. Karena kita berdosa terhadap Allah, kita perlu diampuni. Dosa di dalam Injil disebut hutang kita kepada Allah. Setiap saat kita berdosa, kita jatuh lebih berat ke dalam hutang secara rohani sampai kita semakin terpuruk dalam hutang. Jadi setiap saat kita berdosa berarti kita berhutang dan itu menjadi tak terbayarkan karena upah dosa adalah maut. Tidak ada sesuatu yang dapat membeli kita kembali dari kematian. Ketika kita berdosa, hukumannya adalah kematian. Gambaran yang diberikan Yesus kepada kita melalui perumpamaan ini adalah karena kita berdosa terhadap Allah, kita berhutang sangat banyak sehingga tidak ada jalan untuk membayarnya. Tidak ada manfaatnya berbicara, “Aku akan membayar hutang dengan melakukan perbuatan yang baik,” karena perbuatan baik memang wajib kita lakukan. Tidak ada perbuatan baik yang dapat membebaskan hutang dosa kita kepada Allah. Orang yang percaya bahwa ia dapat menyelamatkan dirinya sendiri dengan melakukan perbuatan baik sesungguhnya tidak memahami masalah dosa. Perumpamaan ini dengan jelas menunjukkan hal ini.

Terlebih lagi, hutang itu begitu banyak sehingga Yesus melukiskannya dengan angka-angka luar biasa besar yang tidak bisa dibayar kembali. Satu-satunya cara untuk menghapuskan hutang ini adalah bertobat di hadapan Allah. Kita harus datang pada Allah dan memberitahu-Nya bahwa kita menyadari bahwa kita berdosa dan tidak memiliki cara untuk melunasi hutang kita. Itulah sebabnya kita harus memohon kemurahan dan pengampunan-Nya. Hanya dengan begitulah Dia akan menghapuskan hutang kita yang sangat besar.

Bagaimana Allah melakukannya? Hal ini dilakukan lewat Yesus. Yesuslah yang membayar hutang. Dia mati di kayu salib untuk menghapuskan hutang itu. Di dalam perumpamaan ini, orang ini memiliki beban yang sangat berat karena ia berhutang sejumlah 1,5 milyar dolar. Dan Yesus mengangkat beban itu dengan menerima hukuman. Itulah artinya pembenaran. Ketika kita bertobat atas dosa-dosa kita, Allah memaafkan hutang kita dan menghapuskan tanggungan kita.

Sebagian besar gereja berhenti di titik ini. Namun dengan berhenti di sini, kita bisa berakhir tanpa diselamatkan. Catat bahwa walaupun orang di dalam perumpamaan dimaafkan hutang-hutangnya, pengampunan yang diberikan kepadanya ditarik kembali saat ia membuktikan diri sebagai tidak pantas untuk itu. Ini merupakan peringatan bahwa kita tidak pernah menjadi puas dan berpikir, “Horee! Aku telah diselamatkan. Aku bebas! Sekarang Aku bisa pergi dan mencekik leher temanku karena ia berhutang 3,000 dolar!” Jika kita berperilaku seperti ini, pastilah kita akan kehilangan maaf yang telah diberikan kepada kita.


Pengudusan

Tahap ke dua adalah pengudusan dan itu berhubungan dengan perilaku kita. Pengampunan menempatkan satu tanggung jawab yang serius di pundak kita. Tidak ada hak istimewa tanpa tanggung jawab. Ketika kita diampuni, itu adalah hak istimewa tetapi itu segera membawa seseorang pada tanggung jawab yang serius. Setelah kita diampuni adalah merupakan tanggung jawab untuk kita mengampuni orang lain dengan cara yang sama. Itulah yang harus dilakukan hamba di dalam perumpamaan ini. Demikian pula kita yang telah mengalami hak istimewa  pengampunan Allah bertanggung jawab untuk mengampuni orang lain. Allah mengharapkan kita untuk mengampuni orang lain karena Ia telah mengampuni kita.

Apa yang akan Anda lakukan jika seseorang meminjam 100 dolar dan berkata, “Saya tidak bisa mengembalikan uangmu, saya tidak punya uang dan ibu saya sakit. Saya tidak bisa mengembalikan uangmu”? Mungkin Anda akan berkata kepadanya, “OK, lupakan 100 dolar, tidak apa-apa.” Kemudian hari berikutnya Anda melihatnya menagih paksa orang lain yang berhutang 1 dolar kepadanya. Anda berteriak kepada orang yang malang itu, “Berikan kembali uangku yang 1 dolar itu!” Saya kira Anda akan terkejut dan bertanya-tanya, “Apa-apaan ini? Aku mengampuni kamu 100 dolar dan kamu menuntut uang yang hanya 1 dolar dari orang lain? Sungguh aku tidak percaya! Sekarang kembalikanlah 100 dolar kepadaku!”  Anda akan berpikir karena Anda sudah begitu bermurah hati kepadanya, tentunya dia juga akan bermurah hati kepada orang lain.

Bagaimana perasaan Allah jika Dia melihat kita kembali menjadi menjijikkan, mementingkan diri sendiri dan berperilaku buruk setelah dengan murah hati Dia memaafkan kita? Jika kita berpikir kita masih bisa hidup seperti yang telah kita lakukan di masa lalu, apa gunanya kita menjadi Kristen? Banyak pengkhotbah menyampaikan Injil seperti itu, yang merupakan penafsiran Injil yang salah. Diampuni berarti pengampunan itu harus menghasilkan pengudusan. Itulah yang dimaksudkan Paulus ketika dia memberitahu kita untuk mengerjakan keselamatan kita. Karena Allah telah memaafkan kita, sekarang kitalah yang harus memaafkan orang lain. Karena Allah telah mengasihi kita; sekarang giliran kitalah yang mengasihi orang lain. Dan karena Allah bermurah hati kepada kita; sekarang kitalah yang harus bermurah hati kepada orang lain. Begitulah kita mengerjakan keselamatan kita.

Bagaimana jika kita tidak mengampuni dan tidak bermurah hati kepada orang lain? Padahal Allah telah mengampuni kita; apakah yang akan terjadi? Jika kita berperilaku seperti ini, Dia akan mengambil kembali pengampunan-Nya. Dan kita akan kembali ke dalam jerat dosa dan harus membayar seluruh hutang kita. Itulah titik yang paling menentukan dalam ajaran yang disampaikan Yesus tentang keselamatan yang sering ditolak gereja. Sungguh aneh karena ini adalah Firman Allah yang tak terbantahkan. Tidak ada penafsir Firman Allah yang serius yang akan menyanggah bahwa inilah hal yang dikatakan Yesus.

Pembenaran Allah, pengampunan Allah kepada kita, harus segera mendapatkan perwujudannya dalam kehidupan kita jika kita ingin terus berada dalam pengampunan-Nya. Kita tidak bisa menerima pengampunan Allah dan kemudian berperilaku jahat kepada orang lain. Jika kita melakukan ini, Allah memperingati kita bahwa pengampunan yang telah diberikan akan ditarik kembali. Yesus dengan sangat jelas menyatakan ini di dalam perumpamaan: “Maka Bapaku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (ayat 35). Di sini Yesus sedang mengacu kepada setiap orang dari kita karena semua uraian di Matius 18 ditujukan kepada murid-muridnya. Yesus berkata bahwa dia akan mengirim kita ke penjara, ke dalam penyiksaan, jika kita tidak memaafkan saudara kita dengan segenap hati kita (ayat 34). Pesannya tidak bisa lebih jelas dari ini. Orang yang tidak mengerti hal ini adalah orang yang tuli dan buta secara rohani dan tidak mau mendengar Firman Allah. Pada kenyataannya hal ini sangat jelas, tidak ada yang harus didiskusikan atau dipertengkarkan.


Penghakiman

Sekarang kita sampai pada tahap ketiga atau tahap akhir di dalam rencana keselamatan dan hal ini berhubungan dengan penghakiman. Ada ajaran yang aneh yang memberitahu kita bahwa orang Kristen tidak akan menghadap penghakiman Allah. Orang-orang yang mempropagandakan atau kita yang menyetujuinya pastilah belum membaca Injil. Dari perumpamaan ini kita lihat bahwa orang yang telah diampuni akan diadili lagi. Penghakiman adalah sesuatu yang akan dialami oleh orang Kristen. Jangan sampai kita keliru tentang hal ini. Jangan ada yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen bisa hidup sesuka hati mereka tetapi tidak akan dihakimi. Ajaran seperti inilah yang telah membuat gereja menjadi begitu terpuruk secara rohani. Lihatlah orang-orang Kristen dewasa ini. Walaupun mereka hidup di bawah standar non-Kristen, mereka membanggakan diri bahwa nanti mereka akan hidup di Surga sementara yang lainnya akan tinggal di Neraka. Hal ini sungguh suatu ngomong kosong karena orang-orang Kristen akan dihakimi. Jika kita tidak hidup seperti yang Allah harapkan, yakinlah bahwa kita akan berada di bawah penghakiman Tuhan. Tidak peduli apapun yang dikatakan para juru khotbah tentang hal ini, karena itulah yang dikatakan Yesus. Hamba yang telah diampuni hutangnya 1,5 milyar dolar berakhir di penjara. Pengampunannya telah ditarik kembali dan dia tinggal di sana. Ia tidak akan pernah dapat dibebaskan. Kenapa? Karena dari dalam penjara karena ia tidak akan mungkin dapat melunasi hutangnya sekalipun jika hutangnya hanya 100 dolar, apa lagi sejumlah 1,5 milyar dolar!


Prinsip-prinsip hidup Kristen

Dari apa yang telah kita diskusikan, kita dapat menarik dua prinsip kerohanian yang penting tentang bagaimana orang-orang Kristen mestinya hidup. Pertama kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana Allah memperlakukan kita. Yesus menyebutkan secara khusus di Lukas 6:36: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” Prinsip ini dapat disederhanakan sebagai berikut: Allah berharap kita memperlakukan orang lain sebagaimana Dia memperlakukan kita.

Kehidupan rohani diatur dalam tingkat ketelitian yang persis sama sebagaimana alam semesta yang diciptakan Allah. Siapapun yang telah mempelajari Fisika tahu bahwa ada hukum yang mengatur materi. Pelanggaran terhadap hukum ini akan menimbulkan petaka, dan kita tidak bisa melarikan diri dari akibatnya. Contohnya hukum gravitasi. Seseorang yang melompat dari lantai tiga tubuhnya akan hancur, bahkan lehernya juga. Jika dia melompat dari lantai yang lebih tinggi, dia pasti akan hancur berkeping-keping. Kenapa? Karena tarikan daya gravitasi. Tidak ada alasan bagi dia untuk berkata, “Gravitasi akan ditunda. Jika aku melangkah ke jendela, Aku akan melayang di udara”. Gravitasi pasti akan menariknya turun jika dia tidak memiliki sarana untuk mengatasinya.

Juga di dalam kehidupan rohani, kita harus mengerti bahwa ada hukum Allah yang mengatur. Jika kita melanggar hukum ini, kita akan menanggung akibatnya. Hukum yang kita pelajari di sini adalah kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana Allah memperlakukan kita. Karena Allah baik pada kita, kita harus baik pada orang lain. Karena Allah mengampuni kita, kita harus mengampuni orang lain. Tidak masalah bagaimana orang lain memperlakukan kita. Apa yang kita pentingkan adalah bagaimana hubungan kita dengan Allah. Jika kita mengerti hukum rohani ini, kita akan mengetahui bahwa, sebagai orang Kristen, tindakan kita tidak ditentukan oleh orang lain. Cara kita bertindak itu diatur hanya oleh cara Allah menangani kita.

Berapa dari kita yang hidup sesuai dengan hukum ini? Jika seseorang menyakiti kita, kita dengan senang hati akan membalasnya. Jika kita berbuat demikian, maka itu berarti bahwa orang lainlah yang mengatur hidup kita. Kita seperti robot, perbuatan kita diatur oleh orang lain. Jika seseorang berbuat jahat kepada kita, kita akan membalas dia. Perilaku balas membalas ini membuat diri kita pasif, jarang berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Kita hanya bereaksi terhadap apa yang dilakukan orang lain terhadap diri kita. Ini menunjukkan bahwa kita belum sampai kepada tahap di mana kita mengerti prinsip bahwa hidup kita tidak ditentukan oleh perilaku orang lain terhadap kita. Apakah mereka berbuat jahat terhadap kita atau berbuat baik, tidak ada pengaruhnya bagi kita. Cara Allah memperlakukan kitalah yang menjadi penentunya.

Misalkan seseorang berbuat buruk pada Anda. Bagaimana Anda akan bereaksi? Anda harus memaafkannya karena Allah telah mengampuni Anda. Dialah yang menentukan tindakan Anda, bukan orang yang telah menyakiti Anda. Menjadi Kristen membuat Anda betul-betul bebas. Anda menjadi berbeda dari orang lain, perilaku setiap orang lain di dunia ini ditentukan oleh orang lainnya lagi, sedangkan Anda tidak. Apa arti penting dari prinsip  ini? Seorang Kristen, karena tindakannya ditentukan oleh perlakuan Allah terhadapnya, dia akan menjadi saluran bagi kasih, pengampunan, kasih karunia, dan kuasa Allah. Namun sebagian besar orang berperilaku sesuai dengan perilaku orang lain terhadap dirinya. Contohnya di restoran, jika pelayan tidak mempedulikannya tetapi melayani orang lain duluan, dia menjadi jengkel. “Apa-apaan ini? Mengapa Anda melayani orang lain duluan? Akan kubalas kelakuanmu ini!” Apakah ia menyadari atau tidak, perilakunya ternyata dikendalikan oleh perlakuan buruk si pelayan terhadapnya.

Orang yang bukan Kristen tidak akan mengerti mengapa seorang Kristen bertindak seperti ini. Dia akan bertanya-tanya, “Mengapa Anda tersenyum ketika saya menghina Anda? Aku tidak mengerti. Tidak kira bagaimana saya menyakitimu Anda masih bersikap baik pada saya? Saya tidak mengerti. Apa yang sedang terjadi?” Dia akan menyadari Allahlah yang menentukan tindakan seorang Kristen, bukan dia. Ini hal baru bagi dia. Itulah sebabnya seorang Kristen menjadi terang dunia. Dia seorang yang luar biasa karena perbuatannya tidak pernah diatur oleh bagaimana orang lain memperlakukannya.


Menentukan masa depan kita sendiri

Prinsip kedua dalam kehidupan Kristen yang melengkapi prinsip yang pertama adalah Allah memperlakukan kita sama dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Prinsip pertama adalah ajaran Injil tentang pengudusan tadi, bahwa kita memperlakukan orang lain sama dengan cara Allah memperlakukan kita – jika kita balikkan arahnya, maka yang kita dapatkan adalah hukum penghakiman. Ada beberapa uraian dalam Injil yang memberitahukan kita bagaimana Allah akan memperlakukan kita dalam penghakiman. Kita melihat di Mazmur 18:26-27.

Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela, terhadap orang yang suci Engkau berlaku suci, tetapi terhadap orang yang bengkok Engkau berlaku belat-belit.

Prinsip rohani di sini sangat jelas: Allah memperlakukan kita sesuai dengan cara kita menangani orang lain. Jika kita berbuat setia kepada orang lain, Allah juga akan berbuat sama kepada diri kita. Jika kita berbuat kepada orang lain dengan tidak bercela, Dia juga akan berbuat hal yang sama. Namun jika kita berbuat curang kepada orang lain, Allah pun akan berbuat yang sama kepada kita, yaitu ia akan menangani kita dengan keras. Jika kita tahu bagaimana menerapkan prinsip ini, berarti kita sudah mempelajari rahasia kehidupan rohani. Kita akan mengetahui bagaimana Allah akan menangani kita. Kita bisa mencari masalah atau kita bisa meminta kemurahan, tergantung bagaimana kita berbuat pada orang lain. Demikianlah jika kita tidak mengampuni orang lain, Allah pun akan melakukan hal yang sama. Jika kita bermurah hati dengan orang lain, Allah pun akan bermurah hati dengan kita. Cukup sederhana.

Dengan cara ini, lingkaran berkat rohani dibentuk. Allah memaafkan kita, kita memaafkan orang lain. Karena kita mengampuni orang lain, Allah akan terus mengampuni kita bahkan lebih-lebih lagi. Jika kita berhenti pada suatu titik dalam lingkaran ini, kehidupan spiritual kita akan berhenti. Kita bisa mempertahankan gerakan perputaran ini untuk berjalan terus atau menghentikannya. Allah menyerahkan sepenuhnya pada diri kita. Itu berarti kita menjadi hakim terhadap diri kita sendiri. Allah akan mendasarkan penghakiman-Nya terhadap diri kita sesuai dengan perbuatan kita pada orang lain. Sangatlah adil. Pada hari penghakiman, setiap orang hanya dapat berkata, “O Tuhan Engkau benar-benar adil. Saya tidak berbelas-kasihan kepada orang lain dan Engkau tidak berbelas-kasihan kepada saya. Begitulah sepatutnya.” Sebaliknya, jika kita melihat dari sisi positif, itu berarti kita dapat menggerakkan lingkaran ini sedemikian rupa untuk semakin bertumbuh dalam kemurahan.

Saya akan bersaksi tentang masa sekolah saya, untuk menggambarkan poin ini. Pada saat itu saya mengandalkan Allah untuk memenuhi kebutuhan finansial saya. Dia memenuhi kebutuhan saya dengan penuh kemurahan, dengan demikian  memberikan saya tanggung jawab untuk bermurah hati kepada orang lain, seperti yang kita lihat tadi, hal ini adalah prinsip pertama kehidupan Kristen. Itulah sebabnya sampai sekarang saya tidak menyimpan uang di dalam kantong saya jika saya lihat orang lain membutuhkannya. Karena Allah begitu bermurah hati pada saya melalui berbagai orang ketika saya dalam keperluan, sekarang saya harus membantu orang lain kapanpun saya bisa. Karena sekarang saya membantu orang lain, Allah mulai memberi saya lebih banyak, tidak secara material tetapi secara rohani. Inilah isi prinsip kedua. Saya tidak meminta kelebihan material tetapi Allah memberi kelebihan secara rohani, sehingga saya terus dibanjiri kasih karunia Allah melalui pemberian bantuan kepada orang lain. Hal ini mendorong saya untuk memberikan lebih banyak. Yang paling indah adalah semakin banyak saya memberi, semakin banyak saya mengalami anugerah Allah di dalam kehidupan saya!

Lingkaran kemajuan rohani membuat kita mampu bertumbuh dari kekuatan ke kekuatan. Cobalah dan Anda akan menemukan hukum Allah selalu manjur. Seperti yang terjadi di dunia fisik, hukum Allah juga bekerja di dunia rohani karena kita berhubungan dengan Allah yang hidup. Jika Allah bukan Allah yang hidup, tak satupun dari hukum-hukum ini yang berlaku; mereka akan gagal berfungsi. Kita tahu bahwa Allah adalah nyata karena ketika kita menerapkan prinsip ini, hasilnya selalu pasti.

Cara lain untuk menjelaskan prinsip kedua adalah: Perbuatlah kepada orang lain sebagaimana  kita ingin Allah perbuat terhadap diri kita. Prinsip yang mengagumkan ini akan menjadi berkat bagi kita kalau kita tahu bagaimana menerapkannya. Apakah kita ingin Allah lebih murah hati kepada kita? Maka lebih bermurah hatilah kepada orang lain dan lihatlah apa yang terjadi. Tidak diragukan lagi, Dia akan mencurahkan berkat-Nya kepada kita. Yesus mengajarkan dalam Khotbah di atas Bukit: Berilah dan kamu akan diberi. Hal yang sama persis dengan prinsip ini.

Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Lukas 6:38).

Alasan kita tidak mempunyai apa yang kita perlukan adalah karena kita tidak memberikan apa yang dibutuhkan orang lain. Cobalah memberi. Apakah kita hidup dalam kemiskinan rohani? Bermurah hatilah pada orang lain, dan segera kita akan mendapatkan betapa kemurahan Allah melanda kita. Cobalah mengampuni orang lain dan kita akan melihat Allah begitu bermurah hati dan berbelas-kasihan kepada kita. Akan tetapi, jika kita tidak mengampuni, kita akan dengan segera menemukan sikap Allah terhadap kita sangat dingin. Cobalah mengampuni dan kita tiba-tiba akan melihat Allah begitu bermurah hati dan penyayang.

Kitalah yang menentukan bentuk dari kehidupan rohani kita. Kitalah yang akan menentukan jenis penghakiman yang akan kita terima pada hari penghakiman. Itulah rahasia kehidupan Kristen. Kita bisa memacu kemajuannya atau menghentikannya, atau bahkan memundurkannya. Allah menaruh tanggungjawab yang begitu besar di tangan kita ketika Dia memberikan kita kebebasan untuk memilih. Jika kita menginginkan Allah lebih bermurah hati kepada kita, kita harus lebih bermurah hati kepada orang lain. Kita hendaknya jangan membiarkan orang lain yang menentukan tindakan kita karena itu akan membalikkan perkembangan rohani kita menjadi mundur.

Banyak orang berkata, “Aku ingin melayani Allah, tetapi Dia tidak terasa nyata bagi saya.” Inikah juga yang kita rasakan? Cobalah hidup sesuai dengan apa yang saya bicarakan dan lihatlah apa yang terjadi. Cobalah semakin bermurah hati dan lihatlah apakah roda tidak mulai berputar, dan kebaikan Allah tidak mulai melandamu. Saya telah mengalami kasih kebaikan Allah setiap hari, dan saya merasa begitu tidak layak saat melihat kebaikan-Nya kepada saya. Mengapa Dia begitu baik kepada saya? Saya hanya sedikit menolong orang dan Allah mencurahkan kebaikan-Nya secara berlimpah. Karunianya begitu besar dibandingkan bantuan saya yang kecil pada orang lain. Begitu besar kebaikan-Nya!

Namun penghakimannya sangatlah berat bila kita tidak bermurah hati kepada orang lain. Dalam Perjanjian Lama kita melihat bahwa penghakiman-Nya bisa tujuh kali lipat dari perbuatan yang kita lakukan kepada orang lain. Jika kita menjahati orang lain, penghakiman Allah mungkin tujuh kali dari apa yang kita lakukan kepada orang lain.

Banyak dari kita tidak pernah tumbuh secara rohani karena kita tidak menerapkan prinsip-prinsip rohani ini. Barangkali karena kita tidak mengetahuinya. Kehidupan Kristen begitu menarik seperti sebuah petualangan. Terapkanlah prinsip-prinsip ini dan kita akan lihat hasilnya!

 

Berikan Komentar Anda: