Pastor Eric Chang | Matius 25:31-46 |
Ini adalah bagian terakhir dan yang penting dari pengajaran Yesus di Matius 24-25. Ini sebenarnya bukan sebuah perumpamaan, melainkan sebuah pengajaran parabolis atau metafora yang menggambarkan Penghakiman Terakhir melalui gambaran yang sangat hidup.
31 “Ketika Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya, dan para malaikat bersama-Nya, lalu Ia akan duduk di takhta kemuliaan-Nya.
32 Semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya, dan Ia akan memisahkan mereka satu dari yang lain, seperti gembala yang memisahkan domba dari kambing-kambing.
33 Dan, Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya, dan kambing-kambing di sebelah kiri.
34 Kemudian Raja akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya, ‘Marilah, kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, warisilah Kerajaan yang disediakan untukmu dari permulaan dunia.
35 Karena ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan. Aku haus dan kamu memberi Aku minum. Aku orang asing, dan kamu mengundang Aku masuk.
36 Aku telanjang dan kamu memakaikan Aku pakaian. Aku sakit dan kamu menengok Aku. Aku di penjara dan kamu datang kepada-Ku.’
37 Lalu, orang-orang benar itu akan menjawab-Nya, ‘Tuan, kapan kami melihat Engkau lapar dan memberi-Mu makan, atau haus dan memberi-Mu minum?
38 Kapan kami melihat Engkau seorang asing dan mengundang Engkau masuk, atau telanjang dan memakaikan Engkau pakaian?
39 Kapan kami melihat Engkau sakit atau di penjara dan kami datang kepada-Mu?’
40 Raja itu akan menjawab, ‘Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu, sebagaimana kamu melakukannya terhadap satu dari saudara-saudara-Ku yang paling kecil ini, kamu melakukannya untuk-Ku.’
41 Kemudian, Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya, ‘Pergilah dari hadapan-Ku, kamu yang terkutuk, ke dalam api abadi yang telah disiapkan untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.
42 Sebab, Aku lapar dan kamu tidak memberi-Ku makan. Aku haus dan kamu tidak memberi-Ku minum.
43 Aku orang asing dan kamu tidak mengundang-Ku masuk; telanjang dan kamu tidak memakaikan Aku pakaian; sakit dan di penjara, dan kamu tidak menengok Aku.’
44 Kemudian, mereka juga akan menjawab, ‘Tuan, kapan kami melihat Engkau lapar atau haus, atau seorang asing, atau sakit, atau telanjang, atau di penjara, dan tidak melayani-Mu?’
45 Kemudian, Ia akan menjawab mereka, “Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu, sebagaimana kamu tidak melakukannya terhadap satu dari mereka yang paling kecil ini, kamu tidak melakukannya kepada-Ku.’
46 Dan, mereka ini akan pergi ke dalam penghukuman kekal, tetapi orang-orang benar ke dalam kehidupan kekal.”
Di sini Yesus memberi sebuah gambaran yang sangat jelas tentang apa yang akan terjadi pada Hari Penghakiman nanti. Pertama-tama, mari kita amati secara sekilas ayat-ayat tersebut untuk dengan lebih jelas melihat beberapa perincian.
Yesus akan datang kembali
Kedatangan Yesus yang pertama terjadi dalam keadaan penyangkalan diri, yaitu, ia merendahkan dirinya (ay 31). Ia tidak dilahirkan di istana yang megah, tetapi di palungan dalam sebuah kandang. Namun, seperti yang kita lihat dari ayat 31, saat ia datang kembali, hal itu akan berlangsung di dalam kemuliaan. Kata ‘kemuliaan’ muncul dua kali di dalam ayat ini.
Perhatikan juga bahwa ketika ia datang lagi, ia akan datang bersama para malaikatnya. Di sini kita melihat adanya dua kelompok yang berlawanan, yaitu Kristus dan para malaikat-Nya serta Iblis dan para malaikatnya. Ini merupakan sebuah kontras yang sangat menyolok. Kedua kelompok ini menggambarkan kontras antara domba dan kambing. Dengan demikian, pada dasarnya ada dua macam kelompok utama. Iblis, para malaikatnya dan juga para kambing di satu sisi, dan di sisi lain, Kristus, para malaikatnya dan para dombanya.
Penghakiman untuk semua orang
Ayat-ayat ini memberitahu kita bahwa segala bangsa akan dikumpulkan dihadapannya pada saat Penghakiman (ay 32). Ini karena Injil Kerajaan Allah akan diberitakan kepada segala bangsa (Mat 24:14). Injil akan menjangkau segala bangsa, suku dan bahasa. Oleh karena Injil menjangkau segala bangsa, maka akan ada umat dari berbagai bangsa yang akan berdiri di hadapan Kristus pada Penghakiman nanti. Pertama-tama, mereka akan dikumpulkan di hadapannya, kemudian dilakukan pemisahan, sebagaimana yang digambarkan oleh ayat-ayat tersebut. Para peternak di Palestina pada zaman itu menggembalakan kambing dan domba secara bersamaan. Pada petang hari, para gembala akan memisahkan domba-domba dari kawanan kambing. Hal ini menjadi gambaran yang tegas tentang akan adanya pemisahan pada Hari Penghakiman saat Yesus datang kembali nanti.
Pemisahan domba dan kambing
Pemisahan domba dan kambing berkaitan dengan perbedaan karakter mereka. Domba bisa ditaruh di tempat terbuka karena mereka akan saling menghangatkan satu dengan yang lain dengan cara saling berdempetan. Dengan cara ini, mereka menjadi hangat. Akan tetapi, kambing, hewan yang sangat individualis, tidak punya kebiasaan untuk saling berdempetan. Mereka baru mau melakukannya jika Anda memaksakannya, karena jika ada pilihan, mereka lebih suka bertindak semaunya sendiri, yaitu saling menjauhi. Akibatnya, mereka tidak bisa saling menghangatkan dan perlu ditempatkan di dalam kandang pada malam hari. Itu sebabnya mengapa para gembala memisahkan domba dan kambing pada petang hari.
Ada lagi perbedaan menarik yang lain antara domba dengan kambing. Di Palestina, domba biasanya berbulu putih sementara kambing cenderung berbulu hitam. Ini memberikan gambaran yang menarik tentang perbedaan yang kasat mata antara domba yang putih dengan kambing yang hitam. Memang ada juga kambing berbulu putih di negara-negara barat, tetapi sungguh menarik betapa kambing-kambing yang diternak di Palestina biasanya berbulu hitam.
Di ayat 33, disebutkan tentang sebelah kanan dan kiri. Sisi kanan secara tradisional merupakan tempat kehormatan. Di China, sebagai contohnya, tempat kehormatan secara tradisional terletak di sebelah kanan.
Kerajaan Allah adalah bagian dari rencana kekal Allah
Ayat 34 berbicara tentang Kerajaan yang sudah disiapkan sejak dunia ini diciptakan. Ini menunjukkan bahwa kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang mendadak dipikirkan, tetapi merupakan bagian dari rencana kekal Allah. Sejak saat Ia menciptakan alam semesta ini, Kerajaan itu sudah direncanakan-Nya. Hal ini menunjukkan tujuan utama dari penciptaan-Nya, yakni untuk mendirikan sebuah Kerajaan di mana kebenaran-Nya berdiam dan seluruh kepribadian-Nya terwujudkan. Ungkapan “sejak dunia dijadikan” mengungkapkan pemahaman bahwa Kerajaan Allah merupakan bagian dari rencana kekal-Nya dalam menciptakan segala sesuatu, khususnya manusia.
Telanjang: Berpakaian tidak layak
Di ayat 36 dan 38, kita melihat kata ‘telanjang’. Sangatlah penting bagi kita untuk memahami bahwa kata ‘telanjang’ di dalam Alkitab tidak diartikan secara harfiah, yaitu tidak memiliki sepotong pun pakaian. Akan tetapi, kata ‘telanjang’ di dalam Alkitab merupakan sebuah ungkapan untuk menggambarkan keadaan tidak memiliki pakaian yang layak, misalnya tidak memakai jubah.
Pada zaman itu, jubah luar merupakan hal yang sangat penting. Jika Anda tidak memiliki jubah luar, Anda dipandang seolah-olah telanjang karena jubah luar dianggap seperti kulit Anda. Kadang-kala jubah ini bisa dilepaskan, tetapi hanya di bawah keadaan tertentu saja, misalnya demi melunasi hutang. Jika Anda tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan sebagai jaminan hutang Anda, Anda bisa memakai jubah Anda sebagai jaminan. Akan tetapi, jubah ini sangatlah penting bagi setiap orang sehingga pada saat matahari terbenam, ia harus dikembalikan. Hukum Taurat mensyaratkan agar pakaian luar ini dikembalikan kepada pemiliknya karena ia memerlukannya sebagai selimut pada malam hari.
Kata ‘telanjang’ juga merujuk kepada fakta bahwa orang tersebut tidak memiliki pakaian yang layak. Sebagai contoh, seseorang bisa saja berpakaian compang-camping akibat kemiskinan. Jadi, sekalipun ia memiliki pakaian luar, ia masih bisa dianggap ‘telanjang’ karena kondisi pakaiannya yang sangat lusuh.
Menerima berkat atau kutuk
Anak Manusia berkata kepada para kambing yang berada di sebelah kiri-Nya,
“Pergilah dari hadapan-Ku, kamu yang terkutuk” (ayat 41).
Kalimat “yang terkutuk” bukanlah sebuah ungkapan makian, sebagaimana yang sering dikira orang. “Orang-orang terkutuk” adalah sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa orang-orang tersebut berada dalam kutuk Allah. Berada di bawah kutuk Allah, sesuai dengan pemahaman dari Perjanjian Lama, berarti berada di bawah penghakiman Allah. Ini merupakan kontras dari ungkapan “kamu yang diberkati” yang disampaikan oleh Yesus kepada para domba, yang berada di sebelah kanannya:
“Marilah, kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku” (ayat 34).
Mereka ini diberkati sedangkan kelompok yang satunya lagi berada di bawah penghakiman Allah.
Kata “dikutuk” sering dipakai dalam Perjanjian Lama dalam kaitannya dengan orang-orang yang melanggar perintah Allah. Sebagai contoh, di dalam Ulangan 11:26-28 disebutkan:
“Lihatlah, aku memperhadapkan kepadamu pada hari ini berkat dan kutuk: Berkat, apabila kamu mendengarkan perintah YAHWEH, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini; dan kutuk, jika kamu tidak mendengarkan perintah YAHWEH, Allahmu, dan menyimpang dari jalan yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain yang tidak kamu kenal.”
Berkat diberikan bagi mereka yang taat kepada Allah, dan kutuk bagi mereka yang tidak taat. Ini merupakan bahasa Perjanjian Lama yang sangat khas, khususnya di kitab Ulangan. Di Ulangan 28:15-19 tercatat daftar kutuk yang dihadapkan kepada mereka yang tidak taat kepada Allah.
“Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara YAHWEH, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan mencapai engkau: Terkutuklah engkau di kota dan terkutuklah engkau di ladang. Terkutuklah bakulmu dan tempat adonanmu. Terkutuklah buah kandunganmu, hasil bumimu, anak lembu sapimu dan kandungan kambing dombamu. Terkutuklah engkau pada waktu masuk dan terkutuklah engkau pada waktu keluar.”
Daftar yang lebih lengkap daripada daftar ini sulit ditemukan! Itulah hal yang persisnya terjadi pada orang-orang yang digambarkan sebagai kambing di dalam perumpamaan ini. Para kambing adalah mereka yang, apa pun pengakuan mereka, telah gagal untuk menaati perintah Allah sementara domba adalah mereka yang telah menaatinya. Poin ini sangatlah jelas dan nyata di dalam Alkitab. Lihatlah Adam sebagai contohnya. Ketika ia berbuat dosa, ia segera jatuh ke bawah kutuk Allah (Kej 3:14). Ini menunjukkan bahwa kutuk selalu berkaitan dengan dosa atau ketidaktaatan.
SIAPAKAH YANG DILAMBANGKAN OLEH KAMBING?
Sesudah mengamati kata-kata penting di dalam nas ini, kita sekarang melangkah untuk menentukan siapa yang diwakili oleh domba dan oleh kambing ini. Orang-orang yang digambarkan sebagai domba sangat mudah dijelaskan karena baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru selalu memakai domba sebagai lambang bagi umat Allah. Jadi, kita tidak perlu menelitinya lagi. Akan tetapi, siapakah yang digambarkan sebagai kambing? Apakah kambing menggambarkan orang-orang non-Kristen atau menggambarkan orang-orang Kristen dengan ciri-ciri tertentu? Kita harus mengamati beberapa hal untuk bisa menjawab pertanyaan ini.
Pertama, domba dan kambing pada dasarnya berasal dari satu famili sekalipun mereka memiliki karakter yang berbeda. Mirip dengan pertalian antara elang dan burung bangkai. Meskipun kedua burung itu dari satu famili, tetapi karakter mereka sangat berbeda. Baik kambing maupun domba merumput di tempat yang sama dan hidup berdampingan.
Kedua, domba dan kambing seringkali merupakan ternak dari penggembala yang sama karena mereka merumput di tempat yang sama. Inilah hal yang dikatakan oleh Yesus dalam ayat-ayat ini. Anda akan melihat bahwa baik domba maupun kambing sama-sama menyebut Yesus dengan kata “Tuan”. Di ayat 37, “Tuan, kapan kami melihat Engkau lapar…?” Kemudian di ayat 44, para kambing juga memanggilnya “Tuan”, dan juga bertanya, “Tuan, kapan kami melihat Engkau lapar…?” Jelas sekali orang non-Kristen tidak akan menyebut Yesus sebagai Tuan dalam pengertian yang sama seperti yang dipahami oleh orang Kristen. Fakta bahwa domba dan kambing merupakan milik dari satu gembala yang sama, dan baik kambing maupun domba menyebut gembalanya dengan cara yang sama menunjukkan bahwa para kambing ini merupakan orang Kristen. Kata ‘kambing’ adalah ungkapan lain bagi orang Kristen. Ini adalah hal yang tidak terbantahkan.
Kemiripan antara perumpamaan ini dengan perumpamaan sebelumnya di Matius tidak sulit untuk dipahami. Sama seperti adanya hamba yang setia dengan yang tidak setia, serta lima gadis bijak dan lima gadis bodoh, di perumpamaan ini kita melihat adanya domba dan kambing yang berasal dari satu famili, tetapi berbeda karakter (kata “baik, jahat, bijak, bodoh” semuanya menggambarkan karakter sebagaimana yang akan kita lihat nanti). Jelas ada kesejajaran di antara hamba yang baik dengan yang jahat, gadis yang bijak dengan yang bodoh dan sekarang antara domba dengan kambing. Di dalam setiap kasus, kelompok orang yang menjadi rujukan adalah satu kelompok yang sama, sama dalam arti mereka semua orang Kristen.
Dari perumpamaan ini, kita dapat melihat bahwa Penghakiman didasarkan pada satu kriteria saja, yaitu apakah orang-orang itu memiliki kasih terhadap apa yang disebut Yesus sebagai “salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini.” Jelaslah, seorang non-Kristen tentunya tidak akan dihakimi berdasarkan apakah ia mengunjungi orang Kristen yang di penjara, atau apakah ia memberi makan orang Kristen yang kelaparan. Bagaimana mungkin Anda akan menghakimi mereka berdasarkan kriteria itu? Anda tidak bisa mengharapkan seorang non-Kristen mengunjungi orang Kristen yang di penjara karena bisa saja dialah salah satu orang yang menjebloskan orang Kristen itu ke penjara. Jika seorang non-Kristen datang mengunjungi seorang Kristen di penjara, mungkin itu dalam rangka memukuli, bukannya untuk menghibur. Dengan demikian, kriteria ini tidak masuk akal jika diterapkan kepada mereka. Menghakimi seorang non-Kristen berdasarkan kriteria-kriteria tersebut tidak akan ada gunanya karena memang sangat aneh jika kita mengharapkan mereka datang menjenguk seorang Kristen di penjara.
Anak kalimat “salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini” menunjuk kepada orang Kristen karena kata ‘saudara’ di dalam Alkitab selalu mengacu kepada orang Kristen tanpa pengecualian. Berdasarkan itulah orang-orang Kristen menyebut orang-orang yang seiman sebagai saudara. Mereka adalah bagian dari sebuah keluarga rohani yang besar. Seperti yang dikatakan oleh Yesus,
“Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat 12:50).
Jadi kata ‘saudara’ mengacu kepada mereka yang melakukan kehendak Allah, dan di dalam hal ini para dombalah yang melakukan hal itu. Ini berkaitan dengan poin di dalam kitab Ulangan bahwa mereka yang diberkati adalah mereka yang melakukan kehendak Allah, yang menaati perintah-perintah-Nya. Jadi, Penghakiman didasarkan pada kriteria apakah para saudara itu dikasihi atau tidak. Dalam kasus para kambing, mereka tidak mengasihi saudara-saudara tersebut; sedangkan para domba mengasihi mereka.
Kasih bukanlah sebuah pilihan
Ada satu dasar anggapan yang sangat jelas di dalam perumpamaan ini, yaitu jemaat adalah sebuah masyarakat umat Allah yang baru, dan inti dari masyarakat ini adalah kasih sayang antara satu dengan yang lain. Kasih antara satu dengan yang lainnya di dalam jemaat bukanlah sebuah opsi atau pilihan. Kasih bukan sekadar hal yang dianjurkan. Kegagalan dalam hal saling mengasihi akan menimbulkan akibat yang sangat berat, sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat-ayat ini. Alasannya adalah karena saling mengasihi itu merupakan hal yang diperintahkan, bukan sebuah anjuran. Yesus menegaskan hal ini ketika Ia berkata,
“Seluruh hukum Taurat didasari oleh kedua hukum ini: Kasihilah Allah dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Artinya, jika Anda melanggar hukum yang kedua itu, Anda telah melanggar semua perintah Allah, dan berada dalam posisi memberontak terhadap Allah.
Hal ini lebih diperjelas lagi dalam ajaran Yesus ketika ia berkata,
“Satu perintah baru Aku berikan kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kalian, demikianlah kamu juga saling mengasihi.’ (lihat Yoh 13:34).
Oleh karena ini merupakan sebuah perintah, maka ia tidak memberi Anda pilihan lain. Anda tidak bisa berkata, “Aku tidak mau mengasihi orang itu karena aku tidak suka dengannya. Aku tidak suka kepribadian, gaya, latar belakang dan penampilannya!” Yesus melanjutkan,
“Dengan begitu, semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jika kamu sailing mengasihi.” (Yoh 13:35).
Ciri khas dari masyarakat baru ini adalah kasih tanpa syarat antara satu dengan yang lainnya. Kata “tanpa syarat” berarti kita tidak mengasihi seseorang karena faktor-faktor tertentu seperti gaya rambut, penampilan, karakter atau kepribadiannya. Kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita diperintahkan untuk mengasihi, itu saja. Tidak boleh ada syarat apa pun.
Yesus berkata,
“Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti semua perintah-Ku” (Yoh 14:15).
Jadi, orang yang tidak menuruti perintahnya sama dengan tidak mengasihinya, tidak peduli apa pun pengakuan mereka. Di dalam pengajarannya, kasih diartikan dalam bentuk tindakan, bukan dalam bentuk perasaan. Kita bisa saja tidak merasa mengasihi seseorang, tetapi itu tidak menjadi soal. Kita tetap harus berbuat berdasarkan perintah Tuhan. Itu berarti jika orang tersebut sedang berkekurangan, kita akan menolongnya tidak peduli apakah kita menyukainya atau tidak, apakah wajah atau kepribadiannya menyenangkan atau tidak. Kita berada di bawah kewajiban untuk mengasihi dan menolong saudara seiman kita. Entah kita merasa sayang kepadanya atau tidak, hal itu tidak menjadi urusan kita. Kita harus membantunya tanpa syarat. Jika kita gagal melakukan itu, berarti kita telah gagal menuruti perintahnya. Jika kita tidak menaati perintahnya, berarti kita masuk ke dalam kutuk. Ingatkah Anda akan hal yang dijabarkan di dalam kitab Ulangan? Yesus berkata kepada mereka yang gagal menaati perintahnya, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk.” (ayat 41)
Iman dan ketaatan adalah hal yang tak terpisahkan dalam Alkitab. Kedua ungkapan ini pada dasarnya merupakan sinonim satu dengan yang lainnya. Iman yang tidak mengungkapkan diri dalam ketaatan kepada Allah bukanlah iman yang alkitabiah. Itu sebabnya mengapa kami mengartikan iman dengan memakai istilah komitmen, yang diambil dari arti komitmen untuk menaati. Oleh karena ketaatan itu sendiri merupakan sebuah komitmen, dengan demikian iman dalam pengertiannya yang alkitabiah adalah komitmen untuk menaati Tuhan. Jika Anda memahami pandangan dasar ini, apa yang disampaikan oleh Yesus di dalam perumpamaan ini akan menjadi sangat jelas. Kita sering gagal memahaminya karena kita tidak tahu betapa kasih di dalam jemaat itu bukanlah sebuah pilihan. Kita tidak punya pilihan lain. Satu-satunya jalan untuk menghindari kewajiban kasih adalah dengan cara tidak menjadi orang Kristen. Jika kita menjadi seorang Kristen, berarti kita membuat komitmen untuk mengasihi semua saudara di dalam jemaat Allah, dan itu tidak hanya mencakup saudara-saudara di gereja tempat kita beribadah, tetapi kepada semua orang Kristen sejati yang berada di gereja lain juga. Pilihan yang tersedia buat kita hanyalah untuk mengasihi. Kegagalan untuk menjalankan hal itu, seperti yang disampaikan dalam perumpamaan ini, akan membawa akibat yang sangat mengerikan. Namun, dasar kepribadian kita sebenarnya tidaklah mengasihi. Apakah Anda seorang yang sudah sejak awal memiliki watak mengasihi? Mengasihi bukanlah watak alami manusia. Perkara mengasihi membutuhkan transformasi watak. Tanpa transformasi di dalam kepribadian kita, kita tidak akan bisa mengasihi.
Seorang pendeta dari Argentina, Juan Ortiz, menulis dalam bukunya The Call to Discipleship (Panggilan Kepada Pemuridan) bahwa Argentina adalah negeri yang mempunyai banyak domba. Domba selalu berdempetan dengan arah kepala yang sama. Juga ada banyak kambing di sana, tetapi perilaku mereka agak berbeda. Mereka selalu saling membelakangi, saling beradu dan menendang. Saat kambing-kambing beradu, mereka akan mengarahkan tanduknya, siap untuk menyerang domba ataupun kambing, tetapi biasanya mereka menyerang kambing yang lain. Kambing gemar berkelahi. Oleh karena sifatnya yang individualistis; kambing biasanya saling membelakangi. Mereka baru mau beradu muka jika sedang bersiap-siap untuk berkelahi. Mereka selalu saling membelakangi sepanjang hari, dan itu dilakukan sambil saling menendang. Akan tetapi, sifat domba sangat berlawanan. Tidak heran jika domba bisa saling menghangatkan satu dengan yang lain. Mereka berdiri searah, seolah-olah sedang mengadakan konferensi, dengan cara begitu mereka bisa saling menghangatkan. Perbedaan karakter antara kambing dengan domba sangatlah menyolok.
Para hamba di dalam sebuah rumah tangga juga bisa sangat berbeda wataknya, seperti yang sudah kita lihat pada perumpamaan yang lalu. Ada yang digambarkan setia, dan ada pula yang tidak setia. Perbedaan watak ini juga terdapat di antara jemaat dalam sebuah gereja. Orang-orang Kristen wataknya tidak seragam, mereka tidak memiliki sikap yang sama. Jika seragam, tentunya yang akan terlihat adalah sekumpulan boneka, dan Anda tidak akan bisa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap orang harus memakai tanda nama, jika keadaan mereka seragam. Yang dibicarakan di dalam Alkitab bukanlah kumpulan orang-orang semacam ini. Bukannya kesamaan atau keseragaman karakter atau kepribadian semacam ini yang diinginkan, melainkan agar setiap orang Kristen memiliki sifat ilahi yang sama, yakni watak mengasihi. Inilah hal yang mendasar sekalipun cara pengungkapannya bisa saja berbeda-beda. Seseorang bisa mengungkapkannya dengan cara tertentu, sedangkan yang satunya lagi dengan cara yang lain. Yang penting adalah bahwa semua itu terisi oleh kasih. Kasih bukanlah hal yang bersifat pilihan di dalam Alkitab, tetapi merupakan keharusan. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin kambing menjadi orang Kristen?
Transformasi yang tidak utuh
Di dalam Alkitab, orang non-Kristen digambarkan sebagai serigala. Pada saat mereka bertobat, mereka mengalami perubahan watak. Sayangnya, dalam kebanyakan orang, perubahan yang terjadi masih belum utuh, yang berakibat pada kepribadian yang lama yang masih cukup kuat masih melekat pada diri orang-orang Kristen yang digambarkan sebagai kambing dalam perumpamaan ini. Perilaku mereka masih lebih mendekati perilaku orang non-Kristen. Dengan kata lain, secara rohani mereka masih bodoh, tidak bisa mengenali perkara-perkara rohani dan dengan demikian masih tidak berhikmat, atau masih tidak taat dan setia kepada Allah. Karakteristik orang non-Kristen masih melekat pada diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus terus membiarkan Allah bekerja mengubah diri kita, dan terus membiarkan proses itu berlangsung tanpa berhenti di satu titik saja. Ada banyak orang Kristen yang berhenti pada suatu tahapan di jalur perubahan ini. Mereka tidak melanjutkan perubahan tersebut, dan hanya berubah sedikit sejak menjadi orang Kristen. Hal itu tidak cukup karena perubahan yang sepenuhnya masih belum terjadi. Mereka mempertahankan watak lama mereka yang akan menimbulkan banyak persoalan nantinya.
Bagaimana terjadinya proses transformasi yang vital ini? Ini adalah hasil dari karya kuasa Allah yang datang ke dalam hidup kita. Pada tahap yang pertama, terjadi sebuah perubahan instan. Akan tetapi, jika kita berhenti pada titik ini, kita akan berakhir sebagai kambing karena sebenarnya proses perubahan cara berpikir itu harus berlanjut. Menurut Paulus, kita harus berubah oleh pembaruan akal budi kita (Rm 12:2). Inilah tahap yang kedua. Lalu, bagaimana terjadinya pembaruan akal budi itu? Hanya firman Allah yang memiliki kuasa untuk melakukan hal ini. Akal budi kita akan diperbarui setiap hari sejalan dengan penelaahan Alkitab yang kita lakukan. Kita harus terus melanjutkan proses transformasi ini. Sejalan dengan perubahan cara berpikir kita melalui firman Allah, setahap demi setahap kita melangkah menuju kepenuhan kepribadian ilahi. Sama seperti Yesus yang disebut sebagai Anak Domba, maka kita sebagai umat-Nya akan disebut domba.
Tentu saja, bahasa yang memakai simbol memiliki keterbatasannya. Yang digambarkan di sini adalah bahwa sekalipun sekumpulan orang termasuk dalam satu keluarga besar, watak mereka bisa sangat berbeda. Sekalipun watak kambing lebih mendekati domba ketimbang serigala, tetapi masih cukup jauh perbedaannya dengan watak domba. Kita dapat berkata bahwa kambing adalah orang Kristen yang wataknya belum sepenuhnya berubah. Memang, kambing tidak seganas serigala. Anda bisa menempatkan kambing dan domba di tempat yang sama, dan kambing tidak akan memakan domba, hal yang pasti akan dilakukan oleh serigala. Akan tetapi, kambing masih cukup galak, walaupun tidak sampai memakan atau membunuh domba. Pada dasarnya, mereka tidak terlalu berbahaya.
Saya cenderung berpikir bahwa kebanyakan orang sekarang ini masih dalam tahapan kambing, bukan karena mereka sengaja mau menjadi kambing melainkan karena mereka belum mendapatkan pengajaran firman Allah secara memadai atau belum meluangkan waktu yang cukup untuk merenungkan firman Allah. Bagaimana mungkin mereka bisa melanjutkan perubahan jika mereka tidak mendapat pelajaran tentang firman Allah? Waspadalah jika Anda bertemu dengan seorang Kristen yang sangat agresif, penyendiri dan individualistis. Atau, jika ia sangat sulit untuk diajak berbicara dan berkomunikasi karena alasan-alasan ini. Orang Kristen semacam ini, bisa jadi adalah orang Kristen yang tulus karena ia telah mengalami pengalaman pertobatan. Namun, mereka berperilaku seperti itu karena belum mengalami perubahan dalam cara berpikir. Sekalipun ia seorang Kristen, tetapi ia masih berperilaku seperti orang non-Kristen. Jika gambaran seperti ini ternyata cocok dengan keadaan diri Anda, biarlah ayat-ayat dalam pembahasan saat ini menguji hati Anda. Ayat-ayat ini memperingatkan kita bahwa jika kita terus saja berada dalam posisi sebagai kambing, kita tidak akan mampu mengasihi. Jika kita tidak mampu mengasihi saudara-saudara kita, berarti kita masuk ke dalam keadaan rohani yang berbahaya.
Indahnya kemampuan untuk mengasihi
Ayat-ayat yang kita bahas kali ini menekankan masalah karakter. Di dalam pembahasannya, terdapat unsur yang sangat mengejutkan. Ketika Yesus berkata kepada para domba bahwa mereka memberinya makan ketika ia kelaparan dan memberinya pakaian ketika ia telanjang, ternyata mereka terkejut. “Kapan kami melakukan semua ini? Kami tidak ingat kapan kami mengunjungi engkau di penjara. Kami juga tidak ingat kapan kami memberimu pakaian.” Jawaban Yesus adalah, “Sebenarnya, apa yang telah kalian perbuat kepada mereka yang paling hina dalam keluargaku, berarti kalian telah melakukannya kepadaku.” Nah, orang Kristen yang telah belajar tentang firman Allah tentu tahu bahwa apa yang ia perbuat terhadap saudara seimannya sama artinya dengan ia telah berbuat bagi Yesus. Seharusnya ini tidak menjadi hal yang mengagetkan mereka. Lalu, mengapa para domba ini bisa tidak ingat telah berbuat hal-hal tersebut? Hal ini mengungkapkan dan menekankan sekali lagi satu unsur kepribadian yang sangat penting dalam ayat-ayat ini. Jika Anda melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari watak Anda, biasanya Anda tidak akan mengingatnya. Anda tidak akan mengingat-ingat hal tersebut karena Anda melakukannya secara naluriah.
Orang yang menolong orang lain tidak akan mengingat-ingat semua orang yang telah menerima pertolongannya, jika pertolongan itu didasari oleh dorongan wataknya. Ia tidak akan mencatat itu semua lalu berkata, “Hei, aku telah menolong orang ini; aku telah memberi uang kepada orang itu; dan orang yang satu lagi telah menerima pemberian jaketku.” Orang yang memiliki watak mengasihi tidak akan mengingat itu semua. Ia melakukannya karena memang sudah wataknya mengasihi sesama manusia. Oleh karena wataknya yang mengasihi sesama manusia, maka ia cenderung melupakan semua itu. Kita bisa mengingat hal-hal yang kita tuliskan, tetapi setelah lewat beberapa waktu biasanya kita tidak ingat apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Kadang kala saat kita berterima kasih pada seseorang atas kebaikannya beberapa tahun yang telah lalu, ia mungkin akan berkata, “Wah, apakah saya pernah melakukan itu untuk kamu? Saya tidak ingat.” Jika Anda bertemu dengan orang seperti ini, Anda tahu bahwa saat ia berbuat baik kepada Anda atau menolong Anda, ia melakukan itu bukan untuk menanam budi. Ia melakukan itu karena memang wataknya seperti itu.
Saat kita benar-benar bisa mengasihi orang lain, kita akan mendapati bahwa kita seringkali lupa akan pertolongan yang pernah kita berikan kepada orang lain. Karena ini adalah bagian dari hal yang selalu kita lakukan untuk orang lain, hal yang sudah menjadi bagian dari watak kita. Yesus menjelaskan tentang karakter ini secara indah di dalam perumpamaan ini. Dapat dikatakan bahwa ini adalah kasih yang bergerak secara alami tanpa kita sadari. Kita melakukannya karena kita digerakkan oleh kasih Kristus untuk melakukannya; kita melakukannya karena kita sudah menjadi seperti itu oleh kasih karunia Allah.
Apakah pengajaran melalui perumpamaan yang diberikan oleh Yesus ini menekankan keselamatan lewat perbuatan? Apakah kita menyelamatkan diri kita dengan mengerjakan perbuatan baik seperti mengunjungi orang-orang di penjara, dan menyumbangkan uang buat orang miskin supaya mereka bisa membeli makanan atau pakaian? Jika kita memahami bahwa yang ditekankan di sini adalah masalah watak, kita akan tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Yang penting bukan masalah kita sudah melakukannya atau belum melainkan apakah itu sudah menjadi watak kita atau belum. Itulah yang penting. Kita melakukannya tanpa menganggap bahwa diri ini sudah berjasa karena memang sudah seperti itulah watak kita. Ini semua terjadi karena Allah sudah mentransformasi kita.
Kita diselamatkan melalui transformasi watak kita. Oleh karena imanlah kita bisa mengalami perubahan yang utuh itu. Menurut Paulus, iman ini bekerja melalui kasih (Gal 5:6) dan hanya iman semacam inilah yang bisa menyelamatkan. Kasih merupakan indikator apakah kita sudah masuk ke dalam hidup atau belum. Yohanes berkata,
“Kita tahu bahwa kita sudah keluar dari kematian menuju kehidupan karena kita mengasihi saudara-saudara.” (1Yoh 3:14).
Kita bersedia mengasihi saudara-saudara tidak hanya sebatas kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Saat melihat ada saudara yang kekurangan, kita segera menolongnya (1Yoh 3:17). Saat saudara kita kelaparan, kita memberinya makan. Saat ia kedinginan, kita memberinya pakaian. Saat ia di dalam penjara karena kesaksiannya demi Tuhan, kita menjenguknya.
Standar minimum bagi orang Kristen
Orang non-Kristen tidak berada di dalam lingkup pengajaran Yesus yang satu ini, di mana kita keluar dari kematian menuju kehidupan karena mengasihi saudara seiman. Istilah “saudara” yang dipakai di 1 Yohanes 3:14 merupakan istilah yang sama persis dengan yang dipakai di Matius 25,
“…segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Apa yang telah dilakukan bagi saudara seiman, bukannya terhadap orang non-Kristen, itulah hal yang dibicarakan oleh Yesus. Akan tetapi, ini bukan berarti orang Kristen tidak mengasihi mereka yang non-Kristen; menarik kesimpulan semacam itu jelas salah. Mengasihi saudara seiman hanya merupakan standar minimum bagi seorang Kristen. Jika kita tidak bisa mengasihi saudara seiman, mana mungkin kita bisa mengasihi orang non-Kristen? Jika kita tidak bisa mengasihi anggota keluarga sendiri, bagaimana mungkin kita bisa mengasihi orang luar? Jika kita dihakimi berdasarkan standar apakah kita mengasihi orang non-Kristen, itu berarti kita sedang dihakimi dengan standar yang sangat tinggi. Lagi pula, sangat sulit mengasihi orang yang tidak kita kenal, khususnya yang non-Kristen. Mengasihi sesama Kristen saja sudah cukup sulit bagi kita. Jadi, kita sebenarnya dihakimi berdasarkan standar yang lebih rendah, yaitu mengasihi sesama Kristen di lingkungan gereja yang tentunya sudah kita kenal dengan cukup baik. Jika kita tidak peduli dengan mereka yang satu lingkungan dengan kita, bagaimana kita bisa peduli dengan orang yang berada di luar lingkungan? Kita tidak akan peduli pada mereka, karena terhadap orang yang kita kenal dekat pun, kita tidak peduli. Jadi, standar penghakiman terhadap kita bukan apakah kita mengasihi orang non-Kristen, melainkan apakah kita mengasihi sesama orang Kristen.
KASIH ADALAH KESAKSIAN BAGI DUNIA
Jika demikian halnya, kasih harus ada perwujudannya. Sebagaimana yang sudah kita lihat sebelumnya, kasih bukanlah sekadar masalah perasaan, melainkan masalah pengungkapan dalam perbuatan. Yesus berkata kepada kita,
“Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).
Apakah orang lain mengenali kita sebagai orang Kristen karena kita saling mengasihi? Atau, hanya karena kita menenteng Alkitab dan pergi ke gereja? Yesus tidak berkata seperti ini, “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah orang Kristen – yaitu jikalau kamu memakai kemeja hitam, tidak minum minuman keras, tidak merokok. Dan jangan lupa, memakai kata-kata yang sopan setiap kali berbicara!” Tidak satu pun dari hal-hal tersebut berkaitan dengan kekristenan seseorang. Satu-satunya tanda bahwa kita adalah orang Kristen, yaitu kita saling mengasihi satu dengan yang lain. Orang lain harus bisa melihat perwujudan kasih di antara sesama di dalam lingkungan jemaat.
Bagaimana mungkin orang lain mengetahui bahwa kita saling mengasihi kalau mereka tidak melihat adanya kasih itu? Bagaimana caranya membuat agar kasih itu bisa terlihat? Kasih menjadi terlihat jika kita mewujudkannya dalam bentuk menjenguk saudara yang dipenjara, khususnya jika kita harus menempuh resiko besar dalam upaya menjenguk ini. Dalam hal memberi uang, Alkitab memberitahu kita untuk tidak membiarkan tangan kiri tahu apa yang diperbuat oleh tangan kanan, dan sebaliknya. Jadi, jika orang lain tidak tahu bahwa kita telah memberi uang kepada seseorang, bagaimana mereka bisa tahu bahwa kita memiliki kasih jika tindakan kita itu dirahasiakan? Bagaimana kasih itu bisa terlihat? Menjenguk saudara yang di penjara adalah salah satu caranya. Memberi makan orang lain bisa saja terlihat atau tidak terlihat oleh orang lain, karena kita bisa saja merahasiakannya. Jadi banyak hal yang mungkin tidak akan terlihat.
Menjadikan kasih sebagai kesaksian bagi dunia adalah hal yang sangat penting. Kita tahu bahwa kita harus saling mengasihi; dan kita juga tahu bahwa dalam hal saling mengasihi, kita harus membuat agar dunia melihatnya. Akan tetapi, kita tidak bisa memamerkan tindakan memberi uang karena hal itu memang bukan sesuatu yang perlu diperlihatkan. Kita tidak akan pamer. Kita akan bertindak menolong tanpa diketahui oleh yang menerima pertolongan itu. Bagaimana kasih bisa terlihat di tengah masyarakat, misalnya di Amerika di mana tidak ada orang yang dipenjarakan karena menjadi Kristen? Jika tidak ada kebutuhan untuk menjenguk saudara yang dipenjara karena imannya? Bagaimana kita bisa mewujudkan kasih jika kita tinggal di tengah masyarakat yang sebagian besar tidak kelaparan dan tidak miskin? Kebanyakan orang, di negara maju, tinggal dalam keadaan yang cukup berkelimpahan secara materi. Memang ada beberapa orang yang miskin di sana, tetapi sebagian besar tidak. Lalu, bagaimana caranya agar orang lain tahu bahwa kita adalah murid-muridnya?
Sekarang ini kebiasaan saling rangkul atau bergandengan tangan di kalangan Kristen sudah mulai hilang. Saya perhatikan bahwa orang Kristen sekarang ini cenderung malu untuk mengungkapkan kasihnya kepada saudara seiman secara terbuka lewat cara ini. Mengapa? Lalu, bagaimana kita akan memenuhi perintahnya untuk mengungkapkan kasih agar orang lain tahu bahwa kita saling mengasihi? Kita tentunya ingin menaati perintahnya sampai ke perinciannya sehingga orang lain tahu bahwa kita saling mengasihi. Saya mendapati bahwa ini masih menjadi cara yang sangat memungkinkan bagi kita untuk memperlihatkan kasih di antara kita terhadap orang luar. Orang-orang akan berkata, “Lihat, itu orang-orang Kristen. Lihat betapa mereka saling mengasihi satu dengan yang lain!”
Ringkasan
Pada Hari Penghakiman, Yesus hanya akan menanyakan satu pertanyaan, “Apakah engkau telah memenuhi perintahku untuk mengasihi sesama saudara seiman?”
Pengajaran dari Yesus ini menekankan satu fakta bahwa kasih di antara kita bukanlah hal yang bersifat pilihan, dan pada saat Penghakiman nanti, Allah tidak akan menanyakan hal-hal seperti, “Kapan kamu dibaptis? Hari apa? Tunjukkan surat baptismu untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan.” Ia bahkan tidak akan menanyakan hal seperti, “Seberapa ortodoks imanmu? Apakah engkau percaya pada hasil keputusan konsili Nicea? Apakah engkau percaya pada Kredo Iman Kristen saat baptisan? Di gereja mana kamu beribadah? Apakah itu gereja besar?” Ia tidak tertarik sama sekali dengan itu semua. Ia hanya akan menanyakan satu hal pada Anda, “Apakah engkau mengasihi saudara-Ku? Apakah engkau peduli pada mereka saat mereka sedang kekurangan?” Hanya itu pertanyaan yang akan diajukan-Nya.
Jadi, jangan pusingkan masalah surat baptis saat Penghakiman nanti. Surat itu tidak akan berguna sedikit pun bagi Anda nantinya. Orang-orang yang baru saja dibaptis, mungkin sekarang ini sedang menunggu kapan surat baptisan mereka bisa diambil. Saya beritahukan Anda, Anda boleh mengambil surat baptisan itu kapan saja Anda menginginkannya, tetapi janganlah surat itu digantungkan sebagai hiasan dinding. Biasanya, kami tidak menerbitkan surat baptis, kecuali jika dibutuhkan untuk keperluan resmi. Surat itu tidak akan berguna bagi Anda pada Hari Penghakiman nanti, karena satu-satunya hal yang penting pada Hari itu adalah: Apakah Anda telah memenuhi perintah-Nya untuk mengasihi?
Setelah mengetahui itu semua, maka masalahnya tinggal apakah kita sudah melakukannya. Yesus berkata,
“Berbahagialah orang-orang yang mendengarkan firman Allah dan menaatinya.” (Luk 11:28).
Jika kita melakukannya, memenuhinya secara terus menerus di dalam hidup kita, kita akan mengalami kedalaman kualitas kehidupan Kristen dan kedalaman kuasa yang sebelumnya tidak kita ketahui dan alami sepenuhnya.