Pastor Eric Chang | Matius 20:1-16 |

1 “Sebab, Kerajaan Surga adalah seperti pemilik kebun yang pagi-pagi sekali pergi untuk mencari pekerja-pekerja bagi kebun anggurnya.
2 Ketika ia sudah sepakat dengan para pekerja itu untuk sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.
3 Dan, kira-kira pada jam ketiga ia pergi dan melihat yang lainnya sedang berdiri menganggur di pasar.
4 Lalu, ia berkata kepada mereka, ‘Kamu, pergilah juga ke kebun anggur dan apa yang pantas akan aku berikan kepadamu.’ Dan, mereka pun pergi.
5 Sekali lagi, sekitar jam keenam dan jam kesembilan ia pergi dan melakukan hal yang sama.
6 Dan, kira-kira pada jam kesebelas, ia pergi dan menemukan yang lainnya sedang berdiri dan berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu berdiri di sini menganggur sepanjang hari?’
7 Mereka berkata kepadanya, ‘Karena belum ada yang mempekerjakan kami.’ Pemilik kebun itu berkata kepada mereka, ‘Kamu, pergilah juga ke kebun anggurku.’
8 Ketika hari sudah mulai malam, pemilik kebun itu berkata kepada mandornya, ‘Panggillah para pekerja dan bayarkan kepada mereka upahnya, dimulai dengan yang terakhir sampai yang pertama.’
9 Ketika mereka yang dipekerjakan pada jam kesebelas, datang, masing-masing orang menerima 1 dinar.
10 Ketika mereka yang dipekerjakan pertama kali, datang, mereka mengira akan menerima lebih banyak. Namun, mereka masing-masing juga menerima 1 dinar.
11 Ketika menerimanya, mereka memprotes kepada pemilik kebun.
12 Mereka berkata, ‘Orang-orang yang masuk terakhir hanya bekerja selama 1 jam, dan engkau membuat mereka sama dengan kami, yang sudah menanggung beban dan panas terik seharian.’
13 Akan tetapi, pemilik kebun itu menjawab dan berkata kepada satu dari mereka, ‘Saudara, aku tidak bersalah kepadamu. Bukankah kamu sudah sepakat denganku untuk satu dinar?
14 Ambillah milikmu dan pergilah, tetapi aku ingin memberi kepada orang yang terakhir ini, sama seperti kepadamu.
15 Apakah aku tidak dibenarkan untuk melakukan apa pun yang kuinginkan terhadap milikku sendiri? Atau, apakah matamu jahat karena aku baik?’
16 Jadi, yang terakhir akan menjadi yang pertama, dan yang pertama akan menjadi yang terakhir.”

Tak seorang pun yang pernah berbicara atau mengajar seperti Yesus. Ia mampu mengajar dengan cara yang tidak dapat dilakukan bahkan oleh pengajar-pengajar terbaik di dunia. Yesus melakukan hal ini dengan cara yang sangat luar biasa sehingga seluruh isi hati kita terungkap di hadapannya. Walaupun kita mungkin tidak ingin mengungkapkan isi hati kita, tetapi Yesus dapat melihat ke dalam hati kita dan menunjukkan kepada kita seperti apa keadaan rohani kita sebenarnya.

Seringkali, jika Anda menyelidiki ajaran Yesus, Anda akan merasa tidak enak karena kata-katanya seperti berbicara langsung kepada Anda. Anda berharap agar firman tersebut ditujukan kepada orang lain saja. Akan tetapi, Firman itu tertuju langsung kepada Anda, dan Anda menyadari bahwa sekalipun Anda berusaha untuk melarikan diri dari kuasanya, Anda tidak sanggup melakukannya.

Perumpamaan ini berfungsi sebagai alat diagnosa, sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya di Perumpamaan Tentang Para Pekerja Kebun Anggur. Perumpamaan ini memaksa kita untuk menyadari seperti apa keadaan rohani kita sebenarnya. Apa reaksi Anda sangat tergantung pada kelompok mana Anda menyamakan diri. Sangat sedikit orang, jika ada, yang menyamakan dirinya dengan kelompok yang terakhir. Yang jelas, perumpamaan ini memberitahu kita tentang sikap dan watak kita sesungguhnya. Tak dapat disangkal, kita cenderung untuk memandang segala sesuatu dengan sikap “aku dulu” (me first). Kita selalu menempatkan kepentingan kita paling depan. Ketika para pekerja di kelompok pertama menjadi kecewa dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh si pemilik kebun, si pemilik kebun sampai harus mengingatkan mereka bahwa ia sama sekali tidak mempermainkan mereka, “Kalian telah setuju untuk menerima upah satu dinar untuk bekerja sehari. Aku memberikan apa yang telah kita sepakati sejak awalnya. Kontrak kita menyatakan bahwa kalian akan menerima satu dinar untuk pekerjaan kalian. Nah, terimalah upah tersebut. Lalu, apa yang kalian keluhkan?” Secara hukum, para pekerja itu tidak berhak untuk menuntut apa-apa karena mereka telah setuju untuk dibayar satu dinar, dan mereka telah menerima sesuai dengan hasil kerjanya.

Lalu, mengapa orang-orang itu menjadi kesal? Mereka merasa bahwa tidak adil jika orang-orang yang hanya bekerja selama satu jam menerima upah satu dinar sementara mereka juga menerima upah yang sama untuk pekerjaan selama 12 jam. Lalu, apa artinya keadilan? Berdasarkan definisi apa si pemilik kebun telah berlaku tidak adil? Perkara keadilan dan ketidakadilan ini sangat bergantung pada posisi di mana Anda berpihak, dan bagaimana cara Anda memandang persoalan ini. Mereka yang datang terakhir ke kebun anggur itu tidak mempersoalkan masalah keadilan. Akan tetapi, mereka yang datang pertama menganggap telah terjadi ketidakadilan. Mengapa? Masalah itu muncul karena adanya sikap cemburu. Lalu, apa penyebab kecemburuan itu? Seperti yang sudah kita lihat, sikap kita menjadi faktor yang paling berpengaruh. Sebelum kita mulai berbicara tentang jenis sikap yang baru, yang harus dimiliki oleh setiap orang Kristen, (sikap yang mudah untuk dipahami, tetapi sangat sulit untuk diterapkan) akan sangat membantu jika kita akui dulu bahwa kita punya kecenderungan alamiah untuk mengeluh bahwa Allah telah berlaku tidak adil kepada kita. Oleh karena itulah, lebih mudah bagi seekor unta untuk masuk melalui lubang jarum ketimbang kita, jika Allah tidak mengubah sikap kita secara radikal.


Perubahan sikap yang drastis

Apa artinya menjadi orang Kristen? Perkara ini merupakan pokok yang selalu saya ulang-ulang karena hal ini mendapatkan penekanan yang besar dalam pengajaran Yesus. Apakah Anda masih memandang bahwa menjadi orang Kristen itu berarti beribadah ke gereja, membaca Alkitab, dibaptis, menandatangani surat pernyataan, dan mempercayai ini dan itu? Semua itu hanya sebagian kecil saja dari Kekristenan, dan tidak termasuk bagian yang utama. Kita harus memahami apa inti dari kehidupan sebagai orang Kristen. Memang benar seorang Kristen pasti dibaptis, membaca Alkitab dan beribadah ke gereja. Itu adalah hal-hal yang mereka lakukan, dan mereka akan melakukannya dengan benar jika memang telah terjadi perubahan di dalam hidup mereka. Namun, menjadi seorang Kristen tidak sekadar mengerjakan hal itu semua. Menjadi Kristen tidak ada hubungannya dengan seberapa besarnya ukuran Alkitab Anda, tidak ada hubungannya dengan absensi Anda di gereja, tidak ada hubungannya dengan semua itu. Atau, bahkan tidak ada hubungan dengan apakah Anda sudah dibaptis atau belum.

Lalu, apa yang menentukan Kristen atau tidaknya seseorang? Yesus berkata bahwa semuanya bergantung pada adanya perubahan drastis di dalam pandangan hidup seseorang. Harus terjadi perubahan di dalam sikap Anda. Itulah artinya menjadi orang Kristen. Jika cara berpikir Anda belum berubah, di dalam pandangan Allah, tidak ada artinya Anda menjalani baptisan. Allah tidak tertarik dengan acara baptisan. Baptisan bahkan menjadi sia-sia jika hal itu bukan merupakan ekspresi dari perubahan yang sedang berlangsung di dalam hati. Jika tidak ada perubahan di dalam hati Anda saat Anda menjalani baptisan, baptisan itu tidak berguna sama sekali buat Anda. Baptisan hanya akan menjadikan Anda seorang Kristen pada nama saja karena tidak ada yang berubah di dalam diri Anda.

Menjadi orang Kristen melibatkan perubahan (Rm 12:2). Yang penting bukan apakah Anda mengetahui sesuatu, tetapi apakah Anda menerapkannya. Anda tidak akan diselamatkan oleh luasnya pengetahuan Alkitab Anda, melainkan oleh pelaksanaannya. Seperti yang disampaikan oleh Yesus, masalahnya bukan pada apakah Anda mengetahui kebenaran atau tidak, melainkan apakah Anda menjalankannya atau tidak. “Berbahagialah orang-orang yang mendengarkan firman Allah dan menaatinya.” (Luk 11:28) Pengetahuan saja tidaklah cukup. Jika Anda tahu apa yang dikatakan oleh Allah, tetapi tidak menjalankannya, tanggung jawab Anda besar sekali. Jika Anda tidak tahu, Allah masih memaklumi. Jika sudah mengetahui, tetapi menolak untuk melakukannya, berarti Anda sedang menempatkan diri di bawah penghakiman keras dari Allah. Itu sebabnya mengapa Paulus berkata,

“Karena itu, oleh kemurahan Allah, aku mendorong kamu, saudara-saudara, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah; itulah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1).

Kemudian Paulus melanjutkan dengan,

“Janganlah menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan akal budimu, sehingga kamu dapat membedakan apa yang menjadi kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.” (Rm 12:2).

Jika Anda mengaku sebagai seorang Kristen, tanyakanlah satu hal ini pada diri sendiri, “Apakah saya sudah mengalami pembaruan budi?” Salah satu persoalan terbesar yang melanda umat Kristen sekarang ini adalah mereka tidak tahu apa kehendak Allah. Ini terjadi karena cara pikir mereka belum diubah atau diperbaharui. Sebenarnya, tidak ada gunanya bagi saya untuk memberitahu Anda apa itu kehendak Allah, karena saya tidak tahu apa kehendak Allah bagi Anda. Anda harus menemukannya bagi diri Anda sendiri. Satu-satunya jalan untuk menemukan adalah dengan mengalami perubahan dan pembaruan budi sehingga Allah dapat berbicara kepada Anda. Sia-sia saja orang berkhotbah tentang bagaimana caranya mengetahui kehendak Allah jika cara pikir Anda belum berubah. Saat perubahan itu terjadi, Anda tidak membutuhkan pelajaran apa pun untuk mengetahui kehendak Allah. Anda akan tahu dengan sendirinya.

Seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam ayat tersebut, menjadi seorang Kristen berkaitan dengan menjadi tidak serupa atau tidak terbawa masuk ke dalam cara berpikir orang dunia, yaitu mengalami perubahan cara berpikir. Perkara yang sangat sulit! Bisa saja kita sudah mengalami sedikit perubahan, tetapi cara berpikir kita masih sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dunia. Pertanyaan yang tepat untuk diajukan kepada seorang Kristen adalah, “Apa perbedaan antara cara berpikir Anda dengan cara berpikir orang non-Kristen?” Bukankah hal itu yang cenderung ditanyakan oleh orang-orang non-Kristen? Menurut mereka orang Kristen ternyata berpikir dengan cara pikir yang sama dengan mereka. Jika sikap seseorang tidak berubah, perilakunya juga tidak akan berubah. Ia masih akan berperilaku serupa dengan orang non-Kristen. Tidak heran jika orang non-Kristen berkata, “Buat apa aku menjadi Kristen kalau cara berpikir dan perilakumu sama saja dengan aku? Kamu sama egoisnya seperti aku.” Untuk orang Kristen semacam ini, jelas tidak ada maaf baginya. Seharusnya orang Kristen berbeda daripada orang non-Kristen. Cara berpikirnya seharusnya mengalami transformasi. Itulah hal yang paling mendasar dalam diri orang Kristen, yaitu mengalami perubahan sepenuhnya.

Menjadi orang Kristen berarti menjadi “manusia baru”. Bagaimana mungkin kita menyebut diri “manusia baru” kalau cara berpikir kita masih seperti yang dulu? Bagaimana kita bisa menjadi satu masyarakat yang baru kalau kita semua masih sama egoisnya dengan yang dulu? Apa maksud Paulus ketika berkata bahwa kita adalah “ciptaan baru” di dalam Kristus Yesus (2 Kor 5:17)? Tidak ada artinya jika kita masih sama seperti yang dulu. Tidak heran jika orang lain menatap sinis dan berkata, “Itukah Kekristenan? Jika itu yang disebut sebagai Kekristenan, simpan saja sendiri. Saya tidak butuh itu.” Mereka benar. Banyak orang yang hanya berubah sedikit, atau malah tidak sama sekali. Jika begini kenyataannya, berarti selama ini yang kita miliki tidak lebih daripada sekumpulan orang yang menjadi Kristen hanya pada nama saja.

Yesus menggunakan perumpamaan seperti ini untuk mengungkapkan betapa kecilnya perubahan yang telah terjadi. Ia sedang berkata kepada para murid dan semua yang lain, “Dengarkanlah perumpamaan ini.” Setelah menyampaikan perumpamaan ini, ia berkata, “Bagaimana perasaan kalian terhadap perumpamaan ini?” Lalu, mereka menjawab, “Allah berlaku tidak adil.” Penilaian kita tentunya sama saja dengan cara pandang mereka saat itu. Karena, sama halnya dengan orang-orang itu, kita juga memiliki sikap dan cara pikir yang sama. Jika kita memiliki cara pikir yang berbeda, kita tidak akan berpikir bahwa Allah telah berlaku tidak adil. Justru karena cara berpikir kita yang belum berubahlah yang membuat kita memiliki pandangan yang sama dengan orang-orang yang mengeluh di dalam perumpamaan ini. Hal inilah yang membuat Yesus berkata kepada kita, “Aku telah menunjukkan kepada Anda seperti apa keadaanmu sekarang ini. Kamu seharusnya menyadari bahwa sebenarnya kamu ini masih belum berubah, atau baru sedikit berubah.”

Lalu, kita harus berubah menjadi apa? Seperti apa watak yang baru itu? Jika kita bereaksi dengan merasa senang atas cara si pemilik kebun anggur itu membayarkan upah, kita akan berkata, “Wow, bagus sekali jika pekerja yang datang terakhir menerima upah yang sama dengan pekerja lainnya!” Sekalipun kita menyamakan diri kita dengan para pekerja yang datang paling awal, tetapi jika kita memiliki cara berpikir yang baru, kita akan ikut bersukacita untuk mereka yang datang terakhir. Akan tetapi, memiliki perasaan seperti itu tidaklah alamiah. Jika kita termasuk kelompok yang pertama, secara naluriah kita tidak akan ikut bersukacita dengan mereka yang bekerja hanya satu jam saja. Hanya jika kita sudah mengalami perubahan watak, dan cara berpikir kita sudah diperbaharui, baru kita bisa bebas dari ketidaksenangan yang dilandasi oleh keegoisan ini. Di dalam perumpamaan ini, keegoisanlah yang mendasari rasa tidak senang kelompok yang pertama itu. Jika mereka tidak egois, mereka akan bersukacita melihat orang-orang yang masih belum mendapat pekerjaan sampai menjelang sore, tetapi sekarang bisa membawa pulang upah yang sama besar sehingga mereka tidak perlu melihat keluarganya kelaparan. Namun kenyataannya, kita lebih cenderung untuk iri hati. Jangan buru-buru menyangkal! Jika kita tidak dikuasai oleh kecemburuan, itu berarti kita sudah benar-benar berubah.

Anggaplah ada seseorang yang masuk ke gereja dan orang itu menyapa Anda dengan hangat. Saya yakin Anda akan merasa sangat senang. Namun, mari kita membalikkan perannya. Anggaplah Anda sedang mengunjungi sebuah gereja bersama teman Anda. Kemudian, salah seorang jemaat gereja itu menyapa teman Anda dengan sangat hangat, tetapi sama sekali tidak memperhatikan Anda, keadaannya pasti akan berbeda. Bagaimana jika seluruh jemaat gereja itu beramai-ramai menyapa teman Anda, tetapi sama sekali tidak memperhatikan Anda? Anda akan berdiri di sana dan berpikir, “Kapan dia akan menyapa saya? Apa dia tidak melihat saya? Apa saya ini tidak bisa dilihat?” Saat ia melanjutkan pembicaraan yang seru dengan teman Anda dan membiarkan Anda sendirian, tekanan darah Anda mulai meningkat. “Orang macam apa dia ini?” Anda bertanya-tanya. Mengapa Anda merasa kesal? Apakah karena dia sama sekali tidak memperhatikan Anda? Anda mungkin berkata, “Bukankah wajar untuk kecewa dalam keadaan seperti itu?” Nah, itulah poinnya. Anda masih seorang manusia duniawi, dan belum menjadi manusia rohani. Jika Anda melihat teman Anda menerima kehormatan, dan Anda bisa bersukacita bagi dia, itu berarti Anda sudah menjadi manusia rohani. Jika para pekerja dari kelompok yang pertama itu sudah mengalami perubahan karakter, mereka tidak akan merasa kecewa sama sekali. Akan tetapi, mereka tidak dapat bereaksi seperti itu. Mereka tidak bisa berpikir seperti itu karena mereka masih manusia duniawi. Manusia duniawi itu egois, selalu menempatkan diri sendiri sebagai prioritas yang paling depan di dalam segala hal yang menyangkut kepentingannya.

Mari kita masuk ke dalam kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan hal ini. Anggaplah Anda seorang remaja dan orangtua Anda lebih menyayangi saudara Anda dibandingkan Anda sendiri. Di dalam kemarahan, Anda berkata, “Aku tidak lebih buruk daripada dia! Orangtuaku betul-betul tidak adil, terlalu berat sebelah. Baiklah, mungkin dia sedikit lebih tampan; dan lebih tinggi. Lalu apa? Mereka selalu mendahulukan dia. Uang sakunya dua kali lipat jatahku. Ini sangat mengecewakan, sungguh tidak adil!” Lalu, Anda merasa wajar jika Anda dikuasai rasa cemburu dan dengki. “Secara alamiah, wajar kalau aku merasa seperti itu!” demikian kata Anda. Ya, tentu saja hal itu alamiah. Itulah poin utamanya: alamiah atau natural. Menjadi seorang Kristen berarti menjadi supernatural. Anda dilahirkan oleh Roh Allah. Saat Anda sanggup melihat kenyataan bahwa orangtua Anda memperlakukan saudara Anda lebih baik dibandingkan Anda dan Anda bisa bersukacita akan hal itu, berarti Anda sudah belajar untuk berpikir secara rohaniah. Tak ada orang yang berkata menjadi seorang Kristen berarti menjadi orang yang alamiah atau natural. Menjadi orang Kristen berarti menjadi supernatural.

Apa artinya dilahirkan kembali? Peristiwa itu tidak akan ada artinya kecuali jika Allah sudah mengerjakan karya-Nya di dalam diri Anda, memampukan Anda untuk berpikir dalam kerangka pikir yang sepenuhnya baru dan tak terduga. Hal itulah yang membuat seorang Kristen menjadi luar biasa; itulah hal yang membuat seorang Kristen sangat berbeda di tengah generasinya karena ia tidak bereaksi secara alamiah, ia tidak bereaksi menurut keegoisan. Itulah tepatnya hal yang disebut sebagai Kekristenan. Allah datang ke dalam hidup Anda dan membuat Anda jadi berbeda. Akibatnya, reaksi dan cara berpikir Anda menjadi berbeda, Anda menjadi pribadi yang berbeda sepenuhnya. Jika Kekristenan itu bukan sesuatu yang supernatural, lalu apa gunanya menjadi seorang Kristen? Sebagai contoh, untuk apa saya menjadi orang Kristen jika orang-orang Kristen memberi contoh perilaku yang sama dengan orang-orang non-Kristen? Apakah sekadar supaya saya bisa memperoleh jaminan keselamatan ganda? Yang jelas, menjadi seorang Kristen tidak sekadar supaya saya mendapatkan rasa aman dan nyaman lantaran saya telah pergi ke gereja setiap hari Minggu. Ini sama sekali bukan arti dari Kekristenan.

Kekristenan berarti perubahan, perubahan watak sepenuhnya, perubahan yang tidak mungkin dicapai dengan kekuatan orang itu sendiri. Itulah arti pernyataan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia. Kita tidak bisa mengubah cara berpikir kita dengan kekuatan sendiri; perubahan ini bukan sekadar perubahan moral yang dapat dengan mudah kita jalankan. Kita tidak dapat mengerjakannya. Perubahan itu dikerjakan oleh kuasa Allah yang datang ke dalam hidup kita, dan mengubah kita. Ketika kita berubah secara ini, kita akan menjadi luar biasa. Perilaku kita akan menjadi sangat menonjol karena kita berdiri di atas pijakan yang berbeda dengan orang lain. Itu sebabnya mengapa Yesus berkata, “Kamu adalah terang dunia.” Jika kita telah berubah, kita akan menjadi terang dunia karena perilaku kita menjadi sangat berbeda. Akan terlihat sebagai keajaiban yang luar biasa bagi dunia saat mereka melihat ada orang yang berpikir atau berperilaku seperti ini; mereka tidak dapat memahaminya.

Mari kita lihat contoh yang lain. Bagaimana jika teman Anda bekerja hanya selama satu jam, tetapi mendapat bayaran yang sama dengan Anda? Apakah Anda akan menyalaminya dan berkata, “Sungguh luar biasa! Aku ikut berbahagia bersamamu”? Lalu, teman Anda berkata, “Kamu serius? Jangan bercanda!” Anda menjawab, “Ya, aku serius. Aku benar-benar bersyukur kepada Allah karena kamu menerima upah yang sama denganku.” Apakah Anda akan bereaksi seperti ini? Atau, apakah Anda justru akan cemberut dan mengeluh? Mungkin Anda akan berkata, “Bos di sini benar-benar tidak adil. Aku mau mogok kerja! Aku akan mengadukannya ke serikat buruh! Ia benar-benar tidak adil!” Ya, begitulah cara manusia natural akan bereaksi. Akan tetapi, jika Anda berperilaku menurut prinsip rohani, orang-orang akan kebingungan melihat Anda. Mereka akan benar-benar takjub sehingga berkata, “Tak dapat dipercaya! Mengapa dia bersikap seperti itu?”


Sikap ketika menerima teguran

Ketika Anda menerima teguran, apakah Anda segera berkata, “Tidak adil! Tak seorang pun yang mau memahamiku. Mereka semua berkomplot melawan aku”? Atau, pernahkah Anda mengalami hal ini, yaitu ditegur karena mereka mengasihi Anda? Kemudian Anda merasa sangat bersyukur dan berkata, “Wah, mereka betul-betul peduli padaku, sampai-sampai mereka mau menyusahkan diri untuk menegurku.” Saya tidak mau berbicara tentang kebiasaan orang untuk bergosip di balik punggung karena hal ini sama sekali tidak ada manfaatnya. Itu bukan perilaku yang baik, itu adalah salah satu bentuk dari fitnah. Anda tidak bisa menolong seseorang dengan menggosipkannya karena dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menanggapinya. Orang itu bahkan tidak tahu bahwa Anda telah berkata seperti itu tentang dia. Perbuatan seperti itu jelas jahat serta menyesatkan. Akan tetapi, pernahkah Anda bersyukur kepada Allah karena ada orang yang mau datang kepada Anda dan menegur Anda dengan kasih tentang kesalahan Anda, sambil berkata bahwa Anda masih berpeluang untuk berubah? Apakah Anda akan merasa bersyukur atau justru merasa tersinggung dan marah?

Bacalah kitab Amsal dan Anda akan melihat bagaimana manusia rohani akan bereaksi. Saat Anda menegurnya dengan terus terang tentang kesalahan yang telah diperbuatnya, ia akan sangat bersyukur. “Kamu betul-betul memperhatikan saya sehingga mau menyampaikan apa yang menjadi kesalahan saya; kamu menempuh semua kesulitan ini untuk bisa memberitahu saya tentang seperti apa saya sebenarnya. Saya sangat bersyukur atas teguran itu. Terima kasih atas perhatianmu kepada saya.” Apakah Anda akan bereaksi seperti ini? Jika benar, Anda adalah seorang manusia rohani. Saat Anda menegur kesalahan orang lain, mereka cenderung untuk berkata, “Oh, kamu tidak mengerti maksud saya. Bukan itu yang saya maksudkan. Ini tidak adil. Kamu bertindak keterlaluan.” Demikianlah, cara seseorang bereaksi mencerminkan watak dan kepribadiannya. Terhadap seorang manusia rohani, Anda bahkan tidak akan bisa menghukumnya karena setiap bentuk hukuman menjadi berkat buatnya. Ia berterima kasih kepada Anda atas kesediaan Anda mengungkapkan hal-hal tersebut kepadanya. Ia sangat bersyukur karena Anda telah menyatakan kepadanya apa yang menjadi kesalahannya. Itu sebabnya, kita harus belajar untuk menjadi rohani, untuk bisa bertumbuh di dalam kasih karunia Allah sehingga kita bisa berpikir dalam kerangka pikir yang baru. Kita bahkan bisa bersyukur kepada Allah jika lawan-lawan kita sewaktu-waktu melakukan kejahatan terhadap kita. Setiap hari saya belajar untuk bersyukur kepada Allah dan berdoa bagi mereka yang telah memfitnah atau menjelek-jelekkan saya. Saya memahami bahwa mereka melakukan semua itu tanpa niat yang jahat. Mungkin mereka bertindak seperti itu karena mereka dipengaruhi oleh doktrin yang mereka anut, tetapi saya harus tetap mencoba untuk memahami mereka. Saya harus tetap bersabar terhadap mereka. Hal ini merupakan pelajaran yang sangat berat karena kita cenderung untuk membenarkan diri kita sendiri; manusia duniawi kita masih sangat kuat.

Beberapa dari antara Anda mungkin pernah mendengar tentang salah satu pemimpin jemaat yang terkenal di Taiwan, Wu Yong Zhang Lao (Penatua Wu Yong). Beberapa tahun yang lalu, ia datang ke Montreal dan meminta saya untuk bertemu dengannya. Kami lalu membuat janji pertemuan supaya kami bisa saling berbagi dan bersekutu untuk beberapa jam. Ia telah mendengar tentang beberapa persoalan yang saya hadapi. Saya saat itu sedang difitnah oleh beberapa pendeta di Inggris dan Kanada, dan ia ingin tahu lebih jauh tentang persoalan ini. Ketika saya menyampaikan apa yang sebenarnya sedang terjadi, ia merasa bahwa saya telah diperlakukan dengan tidak adil, ada sesuatu yang tidak benar, dan ia ingin meluruskan permasalahan. Namun, saya katakan kepadanya, “Saudaraku, biarlah saya tetap seperti sekarang ini. Saya tidak lagi menginginkan kemuliaan, saya tidak ingin diangkat ke tempat yang tinggi itu lagi di mana setiap orang membungkukkan badan kepada saya, di mana setiap orang memandang saya sebagai tokoh penting di tengah jemaat. Saya ingin belajar menjadi yang terakhir. Saya ingin belajar menjadi rendah hati; saya ingin berada di bawah. Saya tidak ingin lagi pergi ke puncak yang dulu. Jika mereka tidak lagi memfitnah saya dengan yang macam-macam, saya sudah puas. Allah telah begitu banyak memberkati saya lewat semua cobaan dan tekanan ini. Ini merupakan suatu berkat bagi saya sehingga saya berniat untuk tetap pada posisi sekarang ini.”

Saya bersungguh-sungguh dengan niat tersebut. Ini bukan sekadar masalah merendah. Saya sudah sampai pada pemahaman tentang kebaikan Allah, kemuliaan rencana ilahi-Nya. Sekalipun orang-orang itu berbuat tidak benar, salah tanggap, dan mengatakan hal-hal yang buruk tentang saya, kita seharusnya tetap bersyukur karena ada orang yang mau memberitahu kita tentang kesalahan kita dan mau bersusah-payah untuk melakukan hal itu demi kebaikan kita, sehingga dengan demikian kita bisa menjadi manusia ilahi sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah bagi kita.


Bersukacita bersama dengan orang lain

Menjadi seorang Kristen berarti memiliki cara berpikir yang sama sekali baru, mentalitas baru yang memampukan kita untuk bersukacita bersama mereka yang sedang bersukacita dan menangis bersama mereka yang sedang menangis. Para pekerja yang ada dalam kelompok pertama ini tidak bisa bersukacita bersama-sama dengan orang yang sedang bersukacita. Bagaimana dengan mereka yang menerima satu dinar untuk pekerjaan selama satu jam? Tentu saja mereka akan menari kegirangan. Namun, dapatkah mereka yang dari kelompok pertama ikut bersukacita dengan mereka yang dari kelompok terakhir? Tidak, walaupun sikap seperti itulah yang harus ditunjukkan oleh orang Kristen. Seperti yang dikatakan oleh Paulus kepada kita,

“Bersukacitalah dengan mereka yang bersukacita, dan menangislah dengan mereka yang menangis!” (Rm 12:15).

Kita tidak bisa bersukacita dengan orang yang sedang berbahagia karena kita baru bisa bersukacita jika sesuatu yang baik terjadi pada kita. Buat apa ikut bersukacita saat orang lain mengalami sesuatu yang baik? Kita tidak bisa berpikir seperti itu karena “diri” ini menuntut tempat utama dan kita tidak dapat menyamakan diri dengan orang lain. Inilah persoalan besar bagi jemaat dan setiap pribadi Kristen. Jika cara berpikir dan sikap kita berubah saat kita menjadi Kristen, kita tidak akan kesulitan untuk ikut bersukacita bersama dengan orang lain yang sedang bersukacita.

Sebagai contoh, jika seseorang memuji istri Anda, apakah Anda akan merasa cemburu? “Kamu memuji istriku? Kenapa bukan aku saja yang dipuji? Ini sungguh tidak adil!” Apakah Anda merasa seperti itu? Tentu tidak, kecuali jika perkawinan Anda sedang bermasalah. Jika Anda mengasihi istri Anda, dan ada orang yang memujinya, Anda akan merasa sangat senang. “Wah, menurut Anda istri saya sehebat itu? Benarkah? Bagus sekali!” Bagaimana jika ada orang yang berkata, “Masakan istrimu sangat enak”? Anda akan sangat senang karena istri Anda adalah bagian dari diri Anda. Pujian kepadanya berarti juga pujian bagi Anda, bukankah begitu? Tak perlu dikatakan lagi, istri Anda juga pasti sangat bahagia. Oleh karena Anda mengidentifikasikan diri sepenuhnya dengan istri Anda, Anda juga akan berbagi perasaan dengannya. Saat ada orang yang memuji masakannya, dia akan merasa bahagia, dan Anda juga. Akan tetapi, jika perkawinan Anda sedang bermasalah, pujian kepada istri Anda tidak akan membuat Anda ikut merasa senang. Anda akan menukas, “Siapa bilang masakannya enak?” Bagaimana cara Anda bereaksi sangat bergantung pada hubungan Anda dengan dia. Hal yang sebaliknya juga berlaku. Akankah seorang istri menjadi cemburu ketika seseorang memuji suaminya? Jelas tidak. Ia akan sangat bahagia jika suaminya menerima pujian, ini menunjukkan bahwa sang suami sudah menjadi bagian dari dirinya, dan ia mengidentifikasikan dirinya dengan suaminya.

Pernahkah Anda melihat ada orangtua yang cemburu ketika seseorang memuji anak mereka? Anggaplah ada orang yang berkata, “Anakmu baik sekali,” lalu ia menjawab, “Bagaimana dengan saya? Mengapa Anda memuji anak saya?” Jika hal seperti ini terjadi, Anda pasti akan terkejut dan bertanya-tanya apa masalahnya dengan orang ini. Tentu saja, peristiwa seperti itu tidak akan pernah terjadi. Seorang ayah biasanya akan sangat bahagia jika anaknya mendapat pujian. Ia akan merasa sangat sedih jika ada orang yang berkata buruk tentang anaknya.

Mari kita kembali pada contoh sebelumnya, tentang kunjungan Anda ke sebuah gereja bersama seorang teman. Seberapa besar kasih Anda kepada teman Anda? Jika seseorang menyapa teman Anda dengan hangat, dan asyik bercakap-cakap dengannya, sampai lupa bahwa Anda ada di situ, Anda tidak akan merasa kesal jika Anda mengasihi teman Anda. Anda akan bersukacita bersama teman Anda. Jika ada orang yang memuji sahabat Anda, buat apa Anda cemburu? Anda akan merasa cemburu jika Anda tidak mengasihinya. Namun, jika Anda mengasihinya, Anda akan mengidentifikasikan diri dengan dia dan tidak akan merasa cemburu. Itulah watak yang sangat berbeda. Masalahnya adalah kasih kita seringkali terbatas hanya sampai kepada suami, istri atau anak-anak, dan kita tidak bisa mengasihi orang lain di luar keluarga terdekat ini. Seandainya saja kita tidak terbelenggu dengan sikap seperti ini, kita akan bisa memiliki cara berpikir yang baru itu. Kita tidak akan iri atau cemburu terhadap orang lain. Jika kita benar-benar mengasihi teman kita dan saat dia menerima upah berlipat ganda melebihi yang kita terima, apakah kita akan iri hati? Kita justru akan berkata, “hebat!” Jika kita mengasihi orang lain, kita akan berhenti mementingkan diri sendiri.


Mengasihi sesama seperti diri sendiri

Ingatlah peristiwa saat orang muda yang kaya bertanya kepada Yesus tentang hidup yang kekal. Ia datang kepada Yesus dan bertanya,

“Guru, hal baik apa yang harus aku lakukan supaya mendapat hidup yang kekal?” (Mat 19:16)

Jawaban atas pertanyaan itu berkaitan dengan perumpamaan kita ini, sebagaimana yang dapat Anda lihat dari kata pertama dalam Matius 20:1, “Sebab, Kerajaan Surga adalah…” Kata “sebab” bersifat menjelaskan. Kata “sebab” ini menghubungkan pasal 20 dengan pasal 19. Jadi, semuanya merupakan penjelasan atas pokok yang sama. Jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang muda yang kaya itu adalah,

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 19:19)

Dalam kenyataannya, inilah dasar ajaran Perjanjian Baru. Pernyataan ini muncul dua kali dalam pengajaran Yesus di dalam Matius saja, yaitu di Matius 19:19 dan Matius 22:39. Paulus menyatakan hal ini beberapa kali, seperti di Roma 13:9 dan Galatia 5:14. Yakobus juga membahas hal ini di dalam Yakobus 2:8. Secara umum keseluruhan isi surat Yohanes yang pertama merupakan pembahasan tentang hal mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri sampai ke tahap mengorbankan nyawa.

Inilah hal yang dikatakan oleh Yesus kepada orang muda yang kaya itu, “Engkau menanyakan apa yang harus kau lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal. Kuberitahukan padamu, pergilah dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Orang ini berkata bahwa ia sudah melakukannya sejak dulu padahal ia masih belum memulainya. Ia tidak paham apa yang dimaksud oleh Yesus. Secara alamiah, Anda tidak bisa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran Yesus bukanlah keselamatan berdasarkan perbuatan di mana Anda mengandalkan kekuatan sendiri untuk mengasihi sesama manusia.

Coba saja, dan Anda akan tahu bahwa hal itu tidak akan bisa dilakukan. Sebenarnya natur orang kaya yang muda itulah yang harus diubah. Roh Allah perlu datang ke dalam hidupnya dan mengubah dia seutuhnya, sampai ke naturnya, sehingga dia menjadi manusia baru yang dapat melihat saudara seimannya di gereja serta mengasihinya seperti diri sendiri. Itulah keajaiban menjadi orang Kristen. Tanpa menjadi seperti itu, Anda tidak akan bisa masuk ke dalam kerajaan Allah. Jika Allah tidak mengubah Anda sedemikian rupa, Anda tidak akan dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Artinya, Anda tidak akan memperoleh hidup yang kekal karena itulah jawaban yang diberikan Yesus atas pertanyaan, “Apa yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?” Tanpa kuasa Allah yang memberi transformasi, tidak seorang pun dari kita yang akan dapat mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita hanya bisa berlutut dan berkata, “Tuhan, kasihanilah aku. Datanglah ke dalam hidupku dan ubahlah aku.”


Kuasa dari anugerah Allah

Apa itu anugerah? Anugerah adalah kuasa Allah yang memberi perubahan pada saat Anda tidak mampu berbuat apa-apa bagi diri Anda, saat Anda lemah dan tidak berdaya. Itulah anugerah. Anda dapat melihat definisi anugerah ini di Titus 2:11-12,

11 Sebab, anugerah Allah yang membawa keselamatan sudah nyata bagi semua orang,
12 untuk memampukan kita menolak hal-hal yang tidak saleh ataupun hawa nafsu duniawi sehingga kita dapat hidup menguasai diri, adil, dan saleh di zaman sekarang ini,”

Anugerah bukanlah kado yang bisa Anda kemas dan bawa pergi begitu saja. Jika Anda memahami anugerah seperti ini, Anda belum memahami Alkitab sama sekali. Banyak pengkhotbah yang mengajarkan tentang anugerah seperti semacam kehidupan yang diberikan sebagai kado, Anda tinggal menerima kado ini, menyimpannya, dan keselamatan Anda terjamin. Itu sama sekali bukan anugerah. Anugerah itu bersifat aktif dan penuh kuasa. Ia adalah kuasa Allah yang masuk ke dalam hidup Anda dan mengubah Anda.

Ayat-ayat di atas memberitahu kita bahwa anugerah “mendidik” kita (Titus 2:12). Itulah yang disebut sebagai transformasi atau perubahan, yaitu sebuah proses. Proses berarti Anda tidak bisa langsung mengasihi setiap orang dalam sekejap. Perubahan ini merupakan sebuah proses pendidikan di mana Anda dididik untuk meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi, dan hidup kudus berdasarkan kuasa dan kasih karunia Allah. Itulah yang disebut sebagai anugerah, bukannya semacam kado yang dapat Anda ambil dan taruh di dalam kantong sambil menunggu giliran masuk surga. Anugerah bukanlah semacam tiket masuk surga, tanpa mengira seperti apa kehidupan yang Anda jalani. Anugerah adalah sesuatu yang masuk ke dalam hidup Anda, mendidik Anda untuk meninggalkan kefasikan, dan menjadikan Anda kudus serta benar.

Oleh karena watak kita yang egois, kita mendapati bahwa menjalani kehidupan Kristen itu mustahil jika harus mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Yesus. Malahan yang kita lihat adalah orang-orang Kristen yang berperilaku egois dan memalukan di dalam kehidupan sehari-hari, sampai-sampai orang non-Kristen pun muak melihat mereka. Untuk menggambarkan jenis mentalitas sebagian orang Kristen pada zaman ini, mari kita ambil contoh dari kehidupan nyata sebagai bukti. Sebagai contoh, jika ada orang yang menaksir pacar Anda, bagaimana perasaan Anda? Apakah Anda akan berkata, “Oh, jadi Anda menyukai pacar saya? Silakan, maju terus.” Kemungkinan besar tidak. Anda akan menggulung lengan baju, mengepalkan tangan dan berkata, “Aku akan tunjukkan padamu siapa yang lebih baik!”

Sangat susah bagi kita untuk berubah. Jika ada dua pria yang mencintai satu gadis, orang yang rohani akan berkata, “Jika Allah menghendaki, jika Allah menginginkan saya untuk mendapatkan gadis ini, biarlah kehendak-Nya yang terjadi. Jika tidak, biarlah orang lain yang mendapatkannya.” Sama juga, jika ada dua wanita yang mengejar satu pria, yang rohani akan berkata, “Silakan, dia milikmu.” Tidak mudah untuk menjadi seorang Kristen. Bukankah begitu?


Mengutamakan kepentingan Allah

Yang perlu untuk dipelajari oleh orang Kristen adalah hal menempatkan kepentingan Allah di atas kepentingannya sendiri. Sekalipun hal ini merupakan hal yang sangat jarang bisa kita lihat dalam gereja zaman ini, dan juga bukanlah hal yang gampang untuk diterapkan, inilah tepatnya hal yang dibahas oleh perumpamaan ini. Jika kita memahaminya, makna dari perumpamaan ini menjadi sangat jelas. Perumpamaan ini menunjukkan kepada kita seperti apa cara berpikir yang rohani itu. Ini adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang Kristen. Secara realistis, watak manusia bukanlah hal yang mudah untuk diubah. Kita bisa melihat contohnya dari para rekan sekerja Paulus. Mereka semua mementingkan dirinya sendiri, kecuali Timotius (Flp 2:21). Di Filipi 2, Paulus berkata bahwa ia ingin mengutus seseorang kepada jemaat di Filipi, tetapi hanya Timotius yang layak diutus. Inilah yang Paulus katakan tentang mereka yang menyebut dirinya rekan sekerja,

19 Dalam Tuan Yesus, aku berharap dapat segera mengutus Timotius kepadamu supaya aku dihiburkan ketika mendengar kabar tentang kamu.
20 Sebab, aku tidak memiliki orang lain seperti dia, yang dengan tulus memedulikan kesejahteraanmu.
21 Sebab, yang lain hanya sibuk memedulikan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.” (Flp 2:19-21).

Bagi saya, Filipi 2:21 merupakan salah satu ayat yang paling menyedihkan di dalam Alkitab. Dari sekian banyak orang yang terdaftar sebagai rekan kerjanya, Paulus hanya bisa mengirimkan Timotius, hal yang tentunya sangat mengecewakan hati Paulus! Rekan sekerja yang lainnya, sedikit sebanyak mengutamakan kepentingan pribadi mereka, dan bukannya kepentingan Kristus.

Orang yang tidak mengutamakan kepentingan Kristus, tidak akan mengutamakan kepentingan orang lain. Ini karena ia mengutamakan dirinya sendiri. Sangat sedikit orang yang mendahulukan kerajaan Allah, yang mencari kerajaan dan kebenaran-Nya terlebih dahulu. Saya sangat kagum akan tajamnya daya pemahaman Paulus. Sebagai orang Kristen, kita tidak perlu berdalih. Kita memang seharusnya malu pada diri sendiri karena jika kita mencermati hati kita, kita akan melihat betapa kepentingan pribadi ini selalu menjadi yang nomor satu. Jadi, camkanlah baik-baik peringatan yang diberikan oleh Yesus ini: Barangsiapa mengutamakan kepentingan pribadinya akan ditempatkan sebagai yang terakhir di dalam kerajaan Allah. Malahan, mereka tidak akan mendapat tempat di sana.

Anda akan melihat bahwa orang yang menempatkan kepentingan pribadinya sebagai yang terutama, adalah orang yang selalu mengeluh dan menggerutu. Mereka adalah orang-orang Kristen yang tidak punya sukacita, dan tidak tahu apa artinya memiliki damai sejahtera dan sukacita. Banyak orang yang berkata kepada saya, “Ada pengkhotbah yang berkata bahwa jika saya menjadi orang Kristen, saya akan menerima damai sejahtera dan sukacita.” Ya, pengkhotbah itu telah berbohong, karena ia tidak menyatakan kebenaran secara utuh. Hanya jika Anda telah benar-benar menjadi orang Kristen yang sejati, jika sikap Anda telah berubah sepenuhnya, baru Anda bisa memperoleh damai sejahtera dan sukacita, karena dengan demikian sukacita semua orang akan menjadi sukacita Anda juga. Anda berbahagia  bukan hanya pada saat istri atau anak Anda dipuji; Anda juga bersukacita ketika ada saudara seiman yang menerima penghargaan karena mereka semua saudara Anda. Anda telah mengidentifikasikan diri Anda dengan seluruh tubuh Kristus dan dengan demikian mendapat sukacita.

Orang dengan sikap seperti itu menjadi orang yang tak terkalahkan karena Anda tidak akan bisa menjatuhkannya. Sewaktu-waktu orang itu mungkin bisa merasa lemah, tetapi Anda tidak akan mampu menjatuhkannya. Hati orang itu sangat lapang karena ada begitu banyak hal yang bisa membuatnya berbahagia. Dialah orang yang tahu artinya pernyataan Allah mengerjakan segala yang baik bagi mereka yang mengasihi-Nya. Segala bencana menjadi berkat baginya. Allah membolak-balikkan segala sesuatu bagi kebaikan dan kemuliaannya karena jika dia dipermuliakan, maka Allah juga dipermuliakan. Itu sebabnya mengapa Allah mau memuliakan dia. Paulus berkata,

Sebab, mereka yang telah dikenal-Nya sejak semula, juga telah ditentukannya sejak semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya…  juga dimuliakan-Nya. (Rm 8:29-30).

Jika kita merendahkan diri, Allah akan meninggikan kita. Jika kita meninggikan diri, ia akan merendahkan kita. Yang terakhir menjadi yang terdahulu, dan yang terdahulu menjadi yang terakhir.

Ada satu poin kesimpulan yang mesti kita amati dari perumpamaan ini. Kita harus memahami adanya dua macam “terdahulu” dan dua macam “terakhir”. Ada yang karena keadaan eksternalnya yang membuatnya “terdahulu” dan ada yang “terdahulu” karena keadaan internalnya. Siapa saja yang bisa memahami hal ini akan bisa menaklukkan dunia. Yesus berkata di Yohanes 16:33, “Aku telah mengalahkan dunia.” Jadi, kita bisa menjadi yang “terdahulu” atau yang “terakhir” karena keadaan. Hal ini tidaklah penting. Yang sangat menentukan adalah apakah kita menjadi yang “terdahulu” atau yang “terakhir” dalam hal sikap kita. Orang yang tahu apa artinya menjadi yang terakhir secara rohaniah akan menjadi yang terdahulu secara rohaniah. Tak ada situasi eksternal yang akan bisa menjatuhkannya.

Di dalam perumpamaan ini, kelompok yang datang pertama itu mulai kerja sejak pagi karena faktor-faktor eksternal. Keadaan merekalah yang memungkinkan mereka bekerja lebih awal. Mereka punya kesempatan untuk bekerja lebih dahulu. Akan tetapi, jika mereka memiliki sikap yang baru yang memampukan mereka untuk bersukacita bersama orang-orang yang datang belakangan, mereka tidak akan tersandung dalam jerat iri hati ketika melihat orang lain menerima bayaran yang sama untuk pekerjaan yang jauh lebih sedikit. Jika mereka tidak iri, mereka tetap menjadi yang terdahulu di mata Tuhan. Sikap atau watak mereka itulah yang membuat mereka tidak dapat menerima kebaikan hati si pemilik kebun anggur. Pikirkan saja, bagaimana pemilik kebun anggur itu akan bersikap jika ia melihat bahwa pekerja kelompok pertama ikut bersukacita bersama dengan kelompok yang terakhir, dengan bayaran yang sama. Bagaimana jika orang-orang ini memberi selamat kepada anggota kelompok terakhir karena bayaran yang sama, dan memuji si pemilik kebun atas kebijaksanaan dan kebaikannya yang sempurna? Anda tidak perlu berpikir keras untuk menebak apa yang akan dilakukan oleh pemilik kebun itu. Watak yang suka menggerutu dan membantah itulah yang membuat si pemilik kebun itu tidak mungkin dapat menambahkan kebaikannya kepada mereka. Itulah hal yang ingin diajarkan oleh Yesus kepada kita.


Yang terakhir akan menjadi yang pertama

Keadaan lahiriah kita tidak memiliki pengaruh. Jika Anda lahir di tengah keluarga kaya, itulah keadaan lahiriah Anda. Jika Anda lahir di tengah keluarga yang miskin, itulah keadaan lahiriah Anda. Akan tetapi, jika Anda memiliki sikap hati yang benar, Anda tidak akan pernah menjadi budak keadaan lahiriah Anda. Orang kaya yang bersikap sombong, yang mengira dirinya penting karena kekayaannya, adalah orang yang bodoh. Sama juga, orang yang minder karena kemiskinannya adalah orang yang bodoh. Kebesaran seseorang tidak ada hubungannya dengan kondisi lahiriahnya. Itu semua sangat bergantung pada sikap hatinya. Orang yang miskin materi, tetapi tahu bahwa ia kaya di dalam Kristus, ia adalah seorang raksasa rohani. Ia adalah orang yang besar. Sama halnya dengan itu, orang yang kaya materi, tetapi berperilaku dalam kerendahan hati adalah juga orang yang besar.

Sebagai orang Kristen, kita tidak pernah menjadi korban dari kondisi lahiriah kita. Apakah kita menjadi yang pertama atau yang terakhir secara lahiriah, tidak menjadi soal. Jika sikap hati kita selalu benar, Allah akan mengubah kondisi lahiriah yang kita hadapi. Jika kita menjadi yang terakhir di dunia ini, Allah akan menjadikan kita yang terdahulu. Kita mungkin menjadi orang yang melarat di dunia ini, tetapi Allah akan menjadikan kita kaya di dalam kerajaan-Nya karena Dia adalah Tuhan semesta alam. Melalui sikap yang benar kita memungkinkan Allah untuk juga mengubah keadaan kita melalui kuasa-Nya.

Ada orang-orang yang secara lahiriah tampak sangat mengesankan, tetapi berperilaku seperti orang yang sangat melarat. Pada dasarnya, mereka adalah para pengemis. Anda tahu bahwa apa yang saya katakan ini benar. Ada jutawan yang sebenarnya tidak lebih daripada seorang pengemis, dan ada pula orang-orang miskin yang memiliki kekayaan batin yang luar biasa. Saya sudah melihat banyak orang Kristen di China yang nyaris tidak punya apa-apa. Sekalipun mereka sangat melarat dan hanya hidup dengan sepotong roti, mereka memiliki sukacita, damai sejahtera dan kuasa yang tidak pernah saya lihat pada diri orang-orang kaya. Mereka memiliki kemerdekaan sejati. Mereka tahu bagaimana menjadi yang terdahulu sekalipun mereka merupakan yang terakhir secara lahiriah karena mereka memahami rahasia menjadi benar di hadapan Allah di tingkat hati.

Jika Anda memahami pengajaran Yesus ini, Anda akan tahu bahwa tidak ada perkara duniawi apa pun yang akan mampu membelenggu Anda. Segala keadaan lahiriah bisa dibalikkan. Segala keadaan lahiriah yang membuat seseorang menjadi yang terdahulu bisa mengakibatkan dia menjadi yang terakhir, demikian pula sebaliknya. Itulah kemuliaan dan sukacita menjadi orang Kristen. Anda tidak akan bisa dikalahkan karena kuasa Allah akan selalu bekerja bagi Anda untuk menjungkirbalikkan segala sesuatu. Dialah satu-satunya Pribadi yang bisa membolakbalikkan segala keadaan. Ia bisa membalik segalanya dalam sekejap.

Akan tetapi, apa prinsip yang harus dipahami supaya kuasa Allah ini bekerja? Pernahkah Anda mengalami keadaan di mana kuasa Allah mendatangkan perubahan? Kuasa Allah dapat mengubah segalanya, tetapi itu bergantung pada sikap Anda. Beberapa orang Kristen secara terus menerus mengalami mukjizat dari Allah karena mereka telah belajar rahasia dari akal budi dan sikap yang sudah diubah. Di dalam kehidupan Kristen saya, saya mengalami mukjizat demi mukjizat. Dapat dikatakan saya menjalani kehidupan penuh mukjizat. Di dalam setiap aspek, entah itu dalam hal penyembuhan penyakit, masalah keuangan, atau masalah kerohanian, saya selalu mengalami kuasa Allah. Tentu saja, itu semua bukan karena saya lebih baik daripada orang lain. Dengan menjalankan ajaran Yesus di dalam hidup saya, menaati ajarannya, memenuhi dan terus berusaha menjadi orang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, saya selalu mengalami mukjizat-Nya. Jika Anda mengerjakan hal itu, Anda juga akan tahu bahwa Dia adalah Allah yang hidup dan Anda akan mengalami kuasa-Nya.

Jika seseorang dipandang berada di tempat yang terdahulu, bukan berarti bahwa nantinya dia akan menjadi yang terakhir, atau sebaliknya. Allahlah yang menentukan hal itu. Dialah yang membalikkan semua keadaan; Ia menjungkirbalikkan dunia ini melalui hamba-hamba-Nya. Kita bisa menjadi hamba-Nya hanya jika kita membiarkan-Nya mengubah cara berpikir kita sepenuhnya. Jika kita sudah melakukannya, kita tidak perlu lagi melindungi diri sendiri karena Dia akan meluruskan segala persoalan bagi kita. Ia akan membereskan segala sesuatu.

Jika ada orang yang menampar Anda, apakah Anda akan membalasnya? Mengapa Anda ingin membalasnya? Bukankah karena, dengan tamparannya itu, ia menempatkan diri di depan dan Anda dijadikan yang terakhir? Ia menempatkan diri di tempat pertama karena tangannya mendarat di atas pipi Anda. Oleh karena ia menampar Anda, ia ditinggikan dan Anda direndahkan. Muka Anda merah oleh bekas tamparannya. Orang-orang lalu bertanya, “Ada apa dengan mukamu?” dan Anda merasa sangat dipermalukan. Namun, mengapa kita ingin melawan? Alasannya karena kita belum mengenal Allah. Jika Anda telah mengenal Allah sebagai Bapa Anda, Anda tidak akan merasa perlu untuk membalas jika ada orang yang menampar wajah Anda. Tunggu saja sampai Anda melihat bekas tamparan Allah di wajah orang itu, Anda akan berkata, “Ya Allah, kasihanilah dia. Janganlah menghajarnya terlalu keras.”

Jika Anda memukul anak orang lain, Anda harus berhadapan dengan ayah anak itu, yang mungkin saja bertubuh tinggi besar. Ia akan bertanya, “Apakah kamu yang memukul anakku? Berani sekali!” Si anak tidak perlu berkelahi dengan Anda, karena ia memang tidak mampu. Sekalipun anak itu mampu, ia tidak perlu melakukannya. Ayahnya yang akan mengurus persoalan ini. Inilah maksud dari pengajaran Yesus: jika ada orang yang menampar pipimu, berikanlah pipi yang sebelah lagi. Allah adalah Bapamu, Anda tidak perlu membalas karena Dialah yang akan membereskan persoalan. Ada orang yang berkata buruk tentang Anda? Biarkan saja. Orang itu akan berhadapan dengan Bapa Anda. Anda tidak perlu bertindak sendiri.

Inilah sikap seorang Kristen. Yang terdahulu menjadi yang terakhir. Allah yang menentukan urutan segala sesuatu. Allah yang akan membereskan segala perkara karena Dialah Allah yang hidup. Jika Anda tidak percaya pada Allah yang hidup, mengapa Anda menjadi orang Kristen? Saya sendiri memiliki kepercayaan penuh kepada Allah. Dengan demikian, jika orang ini bekerja hanya satu jam dan ternyata menerima satu dinar, haleluyah! Hebat sekali! Saat saya sedang kekurangan, Allah saya tidak pernah membiarkan saya kelaparan. Ia akan memenuhi kebutuhan saya, sama seperti Ia juga memenuhi kebutuhan orang itu. Buat apa saya merasa kesal? Itulah arti menjalani kehidupan sebagai orang Kristen.

Mengapa kita merasa sulit untuk tidak iri hati? Mengapa kita tidak mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri? Jawabannya sederhana: karena kita tidak mengenal Allah sebagai Allah yang hidup. Jika kita sudah mengenal-Nya seperti itu, bagaimana mungkin kita tidak bisa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri? Jika kita mengenal Allah sebagai Allah yang hidup, kita merasa memiliki lebih daripada yang dibutuhkan bagi diri kita sendiri. Anugerah Allah begitu melimpah sehingga kita bisa memakainya untuk mengasihi sesama manusia. Seluruh watak kita berubah dan selalu bertumbuh. Semakin kita menerapkan ajaran-Nya, semakin kita melihat betapa besar kuasa Allah. Semakin kita melihat betapa besar kuasa Allah, semakin kita berkeinginan untuk menjalankan ajaran-Nya, dan demikian seterusnya. Begitulah indahnya kehidupan Kristen!

 

Berikan Komentar Anda: