Pastor Eric Chang | Mark 10:46-11:16 |

Di dalam bab ini, kita akan mempelajari hakekat dari iman, dan apa yang dicari serta diharapkan oleh Allah dari umat-Nya. Pembahasan ini didasari oleh ayat-ayat dari Markus 10:46-11:26. Namun kita akan memulai dengan melihat isi Markus 11:12. Peristiwa yang mengawali perumpamaan ini adalah suasana meriah ketika Yesus memasuki Yerusalem, yang dapat dibaca dari Markus 11:1 dst., akan tetapi kita akan melihat perikop ini  mulai dari ayat 12.

Keesokan harinya sesudah Yesus dan kedua belas murid–Nya meninggalkan Betania, Yesus merasa lapar.

Yesus sedang dalam perjalanan dari Betania ke Yerusalem. Mungkin Anda perlu tahu sedikit tentang geografi di sana untuk dapat memahami bagian ini. Betania terletak di sebelah timur Yerusalem. Dari Betania ke Yerusalem, Anda harus mengelilingi Bukit Zaitun, melalui jalur selatan Bukit Zaitun, turun ke Lembah Kidron, lalu naik ke Yerusalem. Jadi, Yesus keluar dari Betania, yang terletak di sisi lain Bukit Zaitun, dan berjalan sepanjang jalur selatan dari Bukit Zaitun menuju ke Yerusalem. Dan di ayat 13-16 tertulis,

“Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau-kalau Ia mendapat apa-apa pada pohon itu. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. Maka kata-Nya kepada pohon itu: ‘Jangan lagi seorangpun makan buahmu selama-lamanya!’ Dan murid-murid-Nyapun mendengarnya. Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem. Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan–Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah.”

Para penukar uang itu menggunakan halaman Bait Allah sebagai jalan pintas. Mereka melintasi halaman Bait Allah agar tidak usah berjalan mengelilinginya. Jadi mereka mengangkut barang-barang – dagangan, air dari sumur, atau apa pun itu – dan memperlakukan halaman Bait Allah seperti jalan umum di mana mereka bebas melintas bersama barang bawaannya.

“Lalu Ia mengajar mereka, kata-Nya: ‘Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!’ Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mendengar tentang peristiwa itu, dan mereka berusaha untuk membinasakan Dia, sebab mereka takut kepada-Nya, melihat seluruh orang banyak takjub akan pengajaran-Nya. Menjelang malam mereka keluar lagi dari kota. Pagi-pagi ketika Yesus dan murid-murid-Nya lewat, mereka melihat pohon ara tadi sudah kering sampai ke akar-akarnya. Maka teringatlah Petrus akan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata kepada Yesus: ‘Rabi, lihatlah, pohon ara yang Kaukutuk itu sudah kering.’ Yesus menjawab mereka: ‘Percayalah kepada Allah!’ Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”

Bagian ini menimbulkan banyak kesulitan bagi banyak orang Kristen karena ini merupakan satu-satunya kejadian di mana Yesus menggunakan kuasa-Nya untuk membinasakan. Di sepanjang isi Injil, kita melihat kuasa-Nya dalam menyembuhkan. Sungguh mengejutkan, di sini Ia menggunakan kuasa-Nya untuk membinasakan. Jika Anda memiliki kuasa, Anda dapat memakainya apakah untuk tujuan yang membangun atau membinasakan. Kuasa dapat digunakan untuk hal yang baik (menyembuhkan) atau untuk menghakimi (membinasakan). Yesus ingin agar kita memahami dengan baik bahwa sekalipun Ia datang untuk menyelamatkan, Ia juga datang untuk menghakimi. Jangan kita lupakan hal ini. Dalam satu kalimat, Ia membinasakan pohon ara itu dan membuatnya layu sampai ke akar-akarnya. Jadi, seperti yang diingatkan oleh peristiwa di Bait Allah ini kepada kita, Yesus tidak selalu harus kita bayangkan sebagai Pribadi yang lemah lembut dan tidak pernah marah. Seolah-olah Ia tidak bisa marah melihat ketidakadilan, tidak bisa sedih melihat kejahatan, dan bukan seorang yang benar. Orang yang bersedia untuk berkompromi dengan segala sesuatu – sekalipun sesuatu itu berupa kejahatan, ketidakbenaran atau ketidakadilan – bukanlah orang benar. Namun kemarahan orang benar sangatlah menakutkan, dan kemarahan Allah yang benar akan jauh lebih dari itu. Dari sini terlihat bahwa kita tidak suka melihat Allah berperan sebagai Hakim. Siapa yang suka? Hati nurani kita terlalu mengganggu sampai terasa seperti sedang berhadapan dengan hakim. Sangat jelas bahwa kita tidak suka melihat Yesus menggunakan kuasa-Nya untuk membinasakan.

Perumpamaan kali ini adalah sebuah perumpamaan peraga, artinya perumpamaan ini diaksikan. Perumpamaan ini menekankan karakter dari mukjizat yang terjadi. Dengan memakai istilah dari seorang cendekiawan Perancis, Louis Marin, menyebut perumpamaan ini sebagai perumpamaan parabolik – peristiwa yang memiliki ciri sebuah perumpamaan sekaligus pengajaran yang tegas. Begitu susahnya para cendekiawan memahami perumpamaan ini – karena sangat bertentangan dengan perasaan kita – sampai Profesor Edward Schweitzer dari Swiss, sebagai contoh, mengabaikannya begitu saja di dalam pembahasannya tentang kitab Matius. Ia sama sekali tidak menafsirkannya. Saya mencari pembahasan atas bagian ini di dalam tafsiran Schweitzer, dan saya tidak menemukannya. Saya hanya ingin tahu apa yang akan ia sampaikan tentang hal ini, tetapi ia tidak menyatakan apa-apa. Itu memang jalan pintas untuk mengatasi masalah – apa pun hal yang tidak Anda sukai dari Alkitab, abaikan saja. Sekalipun ini adalah jalan yang mudah untuk mengatasi masalah, tetapi bukan merupakan jalan yang bisa dibenarkan.

Persoalannya menjadi semakin mendalam jika Anda perhatikan bahwa bagian ini menyebutkan “sebab memang bukan musim buah ara” (ay.13). Pohon itu kena kutuk karena tidak berbuah, padahal saat itu memang bukan musimnya. Sekarang Anda akan dapat memahami mengapa Schweitzer memutuskan untuk mengabaikan saja perumpamaan ini. Dengan tidak membahasnya, akan menyingkirkan banyak persoalan yang mungkin muncul.

Jika kita perhatikan ayat-ayat ini, kita akan merasa kecewa karena tampaknya Allah telah berlaku tidak adil. Pohon itu sedang bertumbuh dengan bagusnya, dengan dedaunan yang hijau dan segar. Lalu Yesus datang, dan ketika Ia tidak mendapatkan buah di sana, Ia mengutuk pohon itu dan pohon yang malang itu layu. Ini bukan musim buah ara, bagaimana mungkin Ia mengharapkan pohon ara itu berbuah? Kita merasa kecewa dan mulai kehilangan kepercayaan kepada-Nya. Apakah Ia benar-benar Pribadi yang adil? Kita tergoda untuk berkata, “Nah! Tak perlu kita baca Alkitab lagi. Dengan Allah semacam ini, kami tidak mau lagi membaca Alkitab.” Jadi, bagaimana kita akan memahami perumpamaan ini? Saya tidak mau lari dari persoalan ini, jadi mari kita pelajari perumpamaan ini secara sistematis untuk mencari jawabannya.

Saya bersyukur kepada Allah dengan adanya perumpamaan semacam ini. Perumpamaan ini lebih berbicara tentang diri kita ketimbang tentang Allah. Ada unsur diagnosa di dalam setiap perumpamaan. Artinya, perumpamaan ini berbicara tentang diri Anda atau berkata kepada orang lain tentang siapa diri Anda. Ketika ada orang yang bertanya kepada saya, kadang-kadang isi pertanyaan itu lebih bercerita tentang dirinya sendiri ketimbang tentang persoalan yang diajukan. Pertanyaan yang dikemukakan mengungkapkan apa isi hatinya; malahan, segala pernyataan yang dibuatnya mengungkapkan sesuatu tentang dirinya.


Seberapa jauh Anda mempercayai Allah?

Hal yang menarik dari perumpamaan ini adalah kita bisa melihat apa reaksi kita.. Sebenarnya, reaksi kita mengungkapkan lebih banyak hal ketimbang apa yang tertulis di dalam perumpamaan ini. Reaksi pertama kita adalah bahwa Allah telah berlaku tidak adil, suatu cerminan dari kepercayaan kita yang sangat kecil terhadap keadilan Allah. Hal inilah yang disampaikan oleh perumpamaan itu kepada kita. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya – setidaknya di dalam hati kecil kita – bahwa Allah itu adil dan benar. Bila kita benar-benar percaya bahwa Allah itu adil, kita tidak akan pernah percaya bahwa Dia akan melakukan satu pun hal yang tidak benar. Apakah kita percaya bahwa Allah mungkin akan melakukan sesuatu hal yang tidak benar? Jawaban bagi mayoritas orang Kristen tampaknya adalah ‘ya’. Jika kita punya perasaan seperti ini terhadap Allah, bagaimana mungkin kita bisa memiliki iman kepada-Nya?

Jika kita tidak sungguh-sungguh percaya kepada keadilan Allah, dasar iman kita akan dengan mudah digoyahkan. “Binasakan orang-orang Kanaan,” kata Allah. Ini adalah suatu ungkapan keadilan Allah. Ia menimbulkan gempa bumi dan orang-orang yang tidak tahu apa-apa menjadi korban binasa. Di mana keadilan Allah dalam hal ini? Seorang anak kecil yang tertabrak mobil – terlihat tidak adil, namun setidaknya kita masih bisa menyalahkan si pengemudi mobil itu. Akan tetapi di dalam kasus gempa bumi, kita tidak bisa menyalahkan si pengemudi mobil, yang akan kita salahkan adalah Allah. Allah telah berlaku tidak adil karena Ia membiarkan gempa bumi itu terjadi. Dan tak seorang pun yang dapat berkata bahwa Allah tidak mengijinkan hal itu terjadi karena Ia berkuasa penuh atas gempa bumi itu. Manusia tidak punya kendali atas peristiwa gempa bumi. Inilah yang saya maksudkan sebagai unsur diagnostik di dalam Firman Allah. Landasan iman kita sangat rapuh. Kita tidak mempercayai keadilan-Nya, paling tidak di dalam kasus-kasus seperti ini. Kita mungkin akan berkata, “Ya, Dia 98% adil, atau mungkin bisa 99%, akan tetapi dalam yang 1% sisanya ternyata Ia tidak begitu adil.” Bukankah kadang-kadang kita berpikir seperti ini? Mari kita jujur terhadap diri kita sendiri.

Kita kembali pada isi perumpamaan ini dengan mengajukan pertanyaan berikut: “Apa kesalahan pohon ara yang tidak berbuah karena memang bukan musimnya? Bagaimana mungkin kita mengharapkan pohon ara berbuah di luar musimnya? Mengapa Allah mengutuk pohon ara itu?” Kita mungkin akan berkata, “Keterlaluan! Kalau demikian kejadiannya, aku tidak mau mendengarkan lagi!” Dan saya juga tidak usah memberitakan firman lagi. Ini salah satu bentuk reaksi yang mungkin timbul.

Salah satu cara untuk menjatuhkan semangat orang Kristen yang over-religius adalah dengan jalan menghadapkannya dengan ayat-ayat seperti Markus 11:13. Anda berkata, “Mari, duduk sebentar dulu. Biar kudinginkan kepalamu. Aku akan menenangkan semangatmu. Biar kubacakan Markus 11:13 buatmu.” Dan Anda akan melihat betapa ia akan terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, sama seperti Profesor Edward Schweitzer. Profesor ini memutuskan untuk tidak membahas bagian ini dalam buku tafsirannya. Mungkin ada orang-orang tertentu, dengan niat yang jahat, yang memasukkan bagian ini ke dalam Injil Markus untuk merusak reputasi Alkitab. Mungkin naskah aslinya tidak memuat bagian yang ini, jadi kita bisa membuangnya sekalian. Apakah bagian ini dimasukkan oleh pihak lawan yang menaburkan lalang di antara gandum?

Mungkinkah kita beriman kepada Allah jika kita meragukan keadilan Allah? Apakah mungkin Allah melakukan hal yang tidak adil atau pun tidak benar? Ataukah Anda berpikir bahwa karena Dia adalah Allah, maka Dia berhak melakukan apapun yang dikehendaki-Nya? Jika Dia bermaksud untuk melakukan hal yang tidak benar, maka Dia bebas untuk menjalankannya. Jika Dia ingin berbuat jahat, maka itu terserah pada-Nya karena Dia adalah sumber hukum. Pada jaman dahulu, jika seorang rakyat melakukan tindak pembunuhan, maka dia akan dihukum gantung. Akan tetapi jika yang membunuh itu adalah raja, dengan mudah ia lolos dari hukuman gantung karena dia adalah raja. Anda tidak bisa bertengkar dengan sang raja karena dia adalah sumber hukum bagi negara itu. Lalu kita memandang Allah sama seperti sang raja ini. Apa yang dinyatakan benar oleh Allah secara otomatis menjadi kebenaran bagi kita. Jika Dia berkata bahwa membunuh itu benar, maka itulah kebenaran. Jika Dia berkata bahwa membunuh itu salah, maka salahlah itu. Terserah Dia mau mengatakan apa saja. Jika Dia berkata bahwa membunuh itu salah, tetapi Dia berkata bahwa hal itu bisa benar bagi diri-Nya, maka itupun harus diterima. Karena Dia-lah Allah, siapa yang bisa mempersoalkan tindakan-Nya?

Jika konsep Anda tentang Allah adalah seperti itu, akuilah hal itu. Mari kita jujur kepada diri masing-masing, karena kita ingin membangun iman kita kepada Allah. Iman harus ditegakkan di atas landasan yang teguh. Jika cara pandang Anda seperti itu, maka akui saja dengan jujur karena Anda tidak akan bisa membangun apa-apa di sana. Anda tidak akan bisa membangun di atas landasan keraguan terhadap keadilan Allah.

Lalu Anda berkata, “Wah, aku tidak mengerti ayat-ayat ini. Menurutku sebagian besar hal yang dikerjakan oleh Allah itu memang benar. Kadang-kadang Ia mungkin mengerjakan sesuatu hal yang tidak dapat kupahami, hal yang menurutku tidak adil, tetapi mungkin Dia punya penjelasan tersendiri untuk itu.” Hal ini menunjukkan bahwa Anda masih tidak yakin dan tidak sepenuhnya percaya kepada Allah. Jika Anda memiliki keyakinan penuh terhadap keadilan Allah, maka ayat-ayat ini tidak akan menimbulkan kesangsian dalam diri Anda. Karena Anda percaya penuh bahwa Allah tidak akan pernah mengerjakan hal yang tidak adil atau pun salah. Sekalipun saat ini Anda mungkin tidak mengerti apa penjelasan dari ayat-ayat ini, Anda akan tetap berkata, “Saya percaya sepenuhnya bahwa Allah itu kudus, dan karena Dia kudus maka Dia tak akan pernah mengerjakan hal yang jahat.”

Sungguh aneh jika dilihat betapa mudahnya keyakinan kita goyah, begitu cepatnya kita menjadi sangsi pada keyakinan sendiri. Yang lebih buruk lagi, kita mudah meragukan Allah. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki iman kepada Allah jika kita bahkan tak bisa menuntaskan pertanyaan dasar ini di dalam hati kita? Hal ini harus dibereskan setuntasnya karena pada saat kita terus terganggu dengan perkara ini, tidak ada iman yang bisa kita bangun. Kita tidak akan memiliki dasar bagi iman jika pertanyaan, “Apakah Allah itu adil?” belum dituntaskan. Selama Anda masih terombang-ambing di antara kedua jawaban, maka Anda akan terus dibelenggu oleh keraguan. Selagi Anda masih ragu, maka doa Anda tidak akan efektif, Anda tidak akan bisa memohon apa pun dari Allah dan dengan demikian Anda tidak akan memperoleh apa-apa secara rohaniah. Di dalam ayat 23, Yesus berkata,

“Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya.”

Adakah orang yang tidak diliputi oleh keraguan? Jauh di lubuk hati Anda, jika ditelusuri dengan teliti di bagian dasarnya, jika dicermati akar dari apa yang Anda sebut sebagai iman, seberapa besar keraguan yang sebenarnya tersembunyi di sana? Keraguan yang tersembunyi adalah hal yang menakutkan. Itulah sebabnya Anda harus menghadapinya saat ini juga.

Anda harus membuat keputusan. Jika Allah sesungguhnya Allah, maka layanilah Dia. Jika Dia bukan Allah, tinggalkan saja. Jika Allah itu tidak nyata, lupakan saja. Sekalipun Dia itu nyata, tetapi jika tidak adil, lupakan saja. Lagi pula, siapa yang mau melayani Allah yang tidak benar dan tidak adil, yang mengerjakan segala sesuatu menurut pengertian-Nya sendiri tentang keadilan? Kekudusan macam apa ini? Jika saya berhak melebarkan atau menyempitkan definisi tentang keadilan sesuai dengan selera saya sendiri, maka itu bukanlah kekudusan. Apakah Anda memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan tentang kebenaran Allah? Apakah Anda memiliki keraguan? Jujur sajalah. Anda harus menuntaskan pertanyaan ini, jika tidak, segala pembahasan tentang iman akan menjadi sia-sia.

Iman tidak boleh dibangun di atas kekuatan penalaran karena ada begitu banyak persoalan di dunia ini yang tidak bisa dipahami dengan daya nalar saja. Sangatlah menyedihkan jika Anda membangun iman berdasarkan daya nalar. Segala persoalan memiliki jawabannya. Semuanya bisa dipecahkan, tetapi Anda mungkin akan bisa melakukannya karena tidak mempunyai pengetahuan, keterampilan dan bahkan kapasitas logika yang memadai untuk bergumul dengan hal-hal tersebut. Jika iman Anda dibangunkan di atas dasar daya nalar, atau berdasarkan besarnya pengetahuan yang Anda miliki, maka Anda akan selalu diliputi keraguan. Hal ini terjadi karena Anda masih belum menuntaskan masalah pokok tentang kepribadian Allah: Apakah Dia adil atau tidak?

Selama bertahun-tahun mengenal Allah, saya sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa Allah sungguh-sungguh benar. Saya bisa saja tidak memahami semua tindakan-Nya akan tetapi saya sanggup berkata seperti Abraham, “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” (Kej. 18:25). Apapun yang Ia lakukan pasti benar, sekalipun sekarang ini mungkin kita belum mengerti. Kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah selalu mengerjakan hal yang benar. Ia tidak akan pernah melakukan hal yang jahat atau tidak benar. Kita mungkin saja tidak mengerti atau tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang ada. Kita tidak tahu apa yang sedang berlangsung di dalam kekekalan. Kita tidak memiliki informasi yang cukup untuk bisa memahami segala situasi yang berlangsung. Sebagai contoh, saya tidak tahu mengapa terjadi gempa bumi yang menewaskan anak-anak yang tidak bersalah apa-apa. Yang saya ketahui adalah bahwa anak-anak itu pasti akan memperoleh perlakuan yang adil di dalam kekekalan. Allahku tidak akan pernah mengerjakan hal yang salah, Ia tak akan pernah berbuat salah. Ia akan memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan. Saya tidak tahu mengapa seorang penjahat di New York bisa menikmati hidup yang mewah, dengan lima limusin dan harta milik yang tak terkira banyaknya, sementara orang-orang benar harus mengalami kelaparan, berjuang keras untuk menghidupi keluarga besarnya. Ini tidak adil. Saya mungkin tidak sanggup untuk memahami keadaan ini akan tetapi tidak menjadi soal buat saya. Itu bukan permasalahan yang penting. Poin yang utama adalah apakah saya memiliki keyakinan mutlak pada karakter Allah.

Saya bisa saja menganalisa keadaan masyarakat; saya dapat mengungkapkan fakta bahwa dosa telah menggerogoti seluruh kehidupan umat manusia. Karena itu terjadilah segala macam ketidakseimbangan dan ketidakadilan seperti itu. Saya bisa menjelaskan semua itu; malahan sampai ke tahap yang lebih dalam. Saya bisa menjelaskan bahwa berdasarkan Roma pasal 8, segala sesuatu sampai peristiwa gempa bumi itu terjadi karena dosa umat manusia. Dosa manusia telah mempengaruhi bukan saja cara kerja dunia ini, melainkan juga seluruh alam semesta. Itulah yang disampaikan oleh Alkitab. Dosa bukanlah suatu peristiwa yang berdampak lokal, dan tidak sekadar mempengaruhi manusia saja. Dosa memiliki dampak terhadap hewan dan juga tumbuhan, dengan melihat polusi sebagai contohnya. Secara tidak langsung, dosa juga berdampak pada cara alam semesta berfungsi. Anda mungkin sudah atau belum mengetahui hal ini, dan Anda mungkin tidak tahu bahwa Alkitab mengajarkan seperti ini. Akan tetapi jika iman Anda didasari oleh pengetahuan yang Anda miliki sekarang ini, maka sudah pasti setiap kali Anda menghadapi hal-hal yang tidak bisa Anda pahami, Anda akan segera meragukan Allah. Hal ini merbahaya karena dasar iman Anda sangat goyah. Seperti agar-agar, akan selalu berguncang setiap kali disendok. Jika seperti ini halnya, apakah mungkin Anda bisa memiliki iman yang sejati kepada Allah?

Kita harus memastikan sendiri apakah Allah itu adil atau tidak. Jika Dia tidak adil – sekalipun Dia itu nyata, dan sekalipun Dia itu Allah yang hidup – kita tidak ingin melayani-Nya. Artinya kita tidak ingin menjadi orang Kristen. Siapa yang mau melayani Allah yang tidak adil? Apakah alasan kita melayani-Nya adalah karena Dia itu maha kuasa? Biarlah Dia membinasakan kita. Lebih baik dilenyapkan saja sekalian. Yang jelas, saya tidak akan mau melayani Allah yang tidak adil, tidak kudus dan tidak benar. Satu-satunya alasan saya mau melayani-Nya adalah karena saya memiliki, dengan kasih karunia-Nya, keyakinan yang tak tergoyahkan pada kekudusan dan keadilan-Nya.

Setelah menguraikan pokok di atas, kita kembali pada analisa tentang ayat-ayat yang sedang kita bicarakan ini. Anda mungkin saja memiliki atau tidak memiliki informasi yang memadai untuk memahami ayat-ayat ini. Lalu apa yang akan Anda lakukan? Yesus mengutuk pohon ara itu karena tidak berbuah, padahal memang itu bukan musim buah ara. Apakah itu adil? Iman Anda pada keadilan Allah sangat diuji sekarang. Dapatkah Anda tetap mengatakan, “Saya memiliki iman yang tak tergoyahkan pada keadilan Yesus”? Dapatkah Anda berkata, “Saya tetap percaya sekalipun saya mungkin tidak mengerti, saya tahu bahwa Allah punya penjelasan akan hal itu, bahwa Yesus punya alasan mengapa Ia melakukan hal itu”? Kita semua adalah orang-orang terpelajar dan orang-orang yang terpelajar tidak akan mau menerima penjelasan yang kabur seperti itu. “Segenap bekal pendidikan saya menolak tindakan itu. Jelaskan secara pasti atau saya tidak mau mempercayainya karena penalaran adalah ukuran atas semua tindakan,” demikian kata-kata yang mungkin akan kita ucapkan. Begitulah, kita kembali lagi pada mendasarkan bangunan iman kita pada daya nalar dan seluruh keyakinan kita didasarkan pada pengetahuan yang terbatas.

Sebelum saya melanjutkan pembahasan, perlu saya tekankan bahwa kita seharusnya tidak membangun iman berdasarkan penalaran atau analisa. Iman harus dibangunkan dengan Allah sebagai dasarnya. Ini poin saya yang pertama. Keberadaan suatu penjelasan tidak menjadi penentu dalam penilaian kita terhadap kepribadian Allah. Tentu saja segala sesuatu pasti mempunyai penjelasan, hanya mungkin kita tidak mengetahuinya.

Poin yang kedua, saya akan menunjukkan bahwa tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dijelaskan, bahkan tak ada hal yang tidak masuk akal. Mari kita ajukan pertanyaan ini dengan cara yang lain. Mengapa Yesus mengutuk pohon ara yang satu ini, dan bukan pohon ara yang lain di bukit Zaitun itu? Saat itu memang bukan musim buah ara, tentu semua pohon ara di sana tidak sedang berbuah. Lalu mengapa Ia tidak mengutuk semuanya? Mengapa Ia memilih satu pohon saja? Jika Anda tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, maka Anda akan punya jawaban atas persoalan di dalam perumpamaan ini.

Saya menelusuri bahan-bahan bacaan tentang pohon ara. Pertama-tama, ada banyak macam pohon ara dan tidak satu pun yang menghasilkan bunga. Di dalam bahasa Mandarin, kita menyebutnya wu hua guo shu. Wu hua guo shu artinya berbuah tanpa bunga. Segera setelah daun-daunnya mulai tumbuh, ia mulai menghasilkan buah. Beberapa jenis pohon ara bahkan berbuah sepanjang 10 bulan dalam setahun.

Dengan sedikit pengetahuan tentang seluk beluk pohon ara, kita akan dibawa untuk masuk kepada pertanyaan yang lain, “Ketika rasul Markus berkata bahwa pohon ara itu tidak berbuah karena saat itu bukan musim buah ara, tidakkah pernyataan ini sangat membingungkan?” Akan tetapi Markus tidak menganggapnya demikian. Sebenarnya memang tidak ada persoalan di sana. Tidakkah Anda berpikir bahwa Markus akan segera menyadari adanya kesulitan jika ia berkata bahwa pohon itu tidak berbuah karena bukan dalam musimnya? Apa yang mau ia sampaikan lewat kalimat seperti yang ada di dalam ayat tersebut? Kalimat di dalam ayat itu sebenarnya menjelaskan mengapa Yesus turun tangan terhadap pohon yang satu ini dan bukannya terhadap pohon yang lain. Itulah pemecahan yang sederhana atas persoalan tersebut. Jika Anda tahu satu ciri dari pohon ara – bahwa ia berbuah setelah kemunculan daun-daunnya – maka Anda segera memahami mengapa Yesus berjalan ke arah pohon yang satu ini. Di dalam perumpamaan ini, pohon tersebut merupakan satu-satunya yang sudah berdaun. Jadi memang wajar jika Yesus mengharapkan untuk bisa mendapatkan buah ara di sana karena pohon ara yang lain tidak berdaun. Jadi Ia tidak mengutuk pohon ara yang lain karena mereka memang tidak menjanjikan akan ada buah di sana. Saat itu memang bukan musim buah ara, akan tetapi pohon ini sudah berdaun lebat dan dengan demikian Yesus mengharapkan untuk bisa mendapatkan buah ara di sana.

Di dalam penelitian saya tentang pohon ara, saya mendapati adanya pohon ara yang berbuah lebih awal ketimbang yang lainnya, tergantung pada tempat dan jenis pupuk yang diberikan. Tentu saja ini bukan hal yang aneh bagi orang yang biasa berurusan dengan pohon buah-buahan. Istri saya menanam beberapa pohon plum dan sebatang pohon apel di halaman rumah kami. Dan saya melihat bahwa pohon-pohon plum tersebut berbuah tidak secara bersamaan. Malahan, tahun lalu, ada satu pohon plum yang sudah berbuah beberapa bulan sebelum yang lainnya. Jadi, saat berbuah bisa berbeda dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Pupuk yang kita berikan ikut menentukan gizi yang ia dapatkan. Letak penanamannya – masalah penerimaan sinar matahari, keadaan cuaca dan lain-lainnya – juga ikut berpengaruh pada pertumbuhannya.

Ada satu kejadian yang pernah berlangsung saat musim dingin di Calgary, Kanada, beberapa tahun yang lalu. Terjadi kenaikan suhu yang mendadak dan cukup tinggi sehingga terasa seperti musim semi di tengah musim dingin di kota itu. Dan seluruh tumbuhan segera mengeluarkan daunnya. Koran-koran mengatakan bahwa semua itu terjadi karena kenaikan suhu yang mendadak yang membuat terciptanya suasana seperti di musim semi. Di tengah-tengah musim dingin, pepohonan mulai menumbuhkan daun karena kenaikan suhu tersebut. Ini memberi petunjuk kepada kita bahwa lokasi pohon ara itu juga punya pengaruh yang cukup berarti. Ia tumbuh di sebelah selatan bukit Zaitun, dan dengan demikian ia terlindung dari dinginnya angin utara. Ia mendapatkan segala kehangatan sinar matahari dari sebelah selatan. Jadi tidak terlalu mengherankan jika, berdasarkan pengetahuan kita tentang keadaan geografis di sana, pohon ini akan berbuah lebih awal ketimbang pohon ara yang lainnya.

Sekarang kita bisa melihat bahwa Markus menyatakan saat itu bukan musim buah ara untuk menjelaskan mengapa Yesus memusatkan perhatian-Nya kepada pohon ara yang satu ini. Demikianlah, perumpamaan ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, dan memang ada penjelasannya jika kita meluangkan sedikit waktu untuk mempelajari seluk beluk pohon ara. Seorang ahli pertanian tidak akan kesulitan dalam memahami perumpamaan ini. Akan tetapi seorang teolog tanpa pengetahuan yang memadai tentang pohon ara akan menemui banyak kesulitan. Ini menunjukkan jika kita mengandalkan daya nalar kita yang terbatas ini dalam membangun iman – seperti dalam kasus ahli teologi yang tidak punya pengetahuan tentang pohon ara atau pun tentang pertanian – maka kita tidak akan dapat memahami Yesus. Jika kita meminta penjelasan kepada seorang ahli pertanian, ia tidak akan melihat adanya masalah karena ia tahu perkara pertanian semacam itu. Sementara kita yang tidak tahu apa-apa tentang pohon ara, menjadi kebingungan setengah mati. Jika kita membangun iman berdasarkan pengetahuan, kita akan menjadi sangat mudah goyah karena begitu banyaknya hal yang tidak kita ketahui. Namun saat kita mendapatkan fakta yang kita butuhkan, maka makna dari hal-hal tersebut menjadi jelas.


Makna parabolik dari tindakan mengutuk pohon ara ini

Kita umumnya merasa berhak untuk menebang setiap pohon yang menjadi milik kita sendiri. Akan tetapi ketika Yesus memotong sebatang saja, kita merasa sulit untuk menerimanya. Tampaknya Yesus tidak memiliki hak seperti yang kita punyai. Jika Ia memakai sebatang pohon sebagai sarana dalam mengajarkan sesuatu hal yang penting – dengan cara membinasakannya, kita merasa sulit untuk menerimanya. Apa sebenarnya hal yang sedang diajarkan oleh Yesus di sini?

Pertama-tama, setiap orang – bahkan yang pengetahuannya tentang Alkitab sangat dangkal – tahu bahwa pohon ara melambangkan Israel. Pohon ara adalah perlambangan dari Israel. Yesus memakai perumpamaan tentang pohon ara yang mandul di dalam Lukas 13:6-9 untuk menekankan poin ini. Bayangkanlah jika segala sesuatu sudah dilakukan untuk sebatang pohon ara tetapi pohon itu tidak menghasilkan apa-apa. Si pemilik sudah memberi pupuk selama tiga tahun, menggembur dan menambah kesuburan tanah, dan pohon ara itu tidak memberi hasil apa-apa – sama seperti yang terjadi dengan beberapa orang Kristen, Anda sudah mengerjakan segala yang bisa Anda lakukan, tetapi orang itu tidak menghasilkan buah rohani yang Anda harapkan. Hal ini sangat mencirikan Israel pada waktu itu. Mereka mandul secara rohani namun mereka telah menerima setiap berkat yang dicurahkan Allah ke atas mereka. Hal yang sama terjadi dengan begitu banyak orang Kristen yang berkata, “Tuhan berikan aku ini, dan berikan aku itu.” Mereka mau mengambil segala yang Tuhan dapat berikan tetapi tidak mengembalikan apa-apa kepada-Nya. Tidak ada buah, tidak ada bukti rohani bahwa mereka hidup. Dan pohon ara merupakan perlambangan dari hal ini yang mencirikan bangsa Israel.

Perhatikan penempatan yang sangat luar biasa dari peristiwa dikutuknya pohon ara ini, terutama pengaturan waktunya. Perumpamaan yang ditampilkan dalam bentuk peragaan ini dibagi menjadi dua bagian di dalam Markus 11, dan di antara kedua bagian itu terselip peristiwa pembersihan Bait Allah (Mar. 11:15-19). Perhatikanlah ketepatan pengaturan waktunya. Yesus mengutuk pohon ara itu di dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Keesokan harinya ketika Ia kembali ke Yerusalem, karena ia berangkat di sore hari, para murid melihat pohon ara itu. Di sela-sela perumpamaan ini, terjadi peristiwa pembersihan Bait Allah. Semua peristiwa itu tidak terjadi secara kebetulan. Semuanya adalah bagian dari pengaturan waktu yang indah saat Allah mengerjakan sesuatu. Melalui kejadian ini, Ia ingin menanamkan kesan yang mendalam di dalam benak para murid-Nya.

Saat itu adalah masa perayaan Paskah, yang merupakan hari raya khusus di kalangan umat Yahudi. Pada saat-saat itu, para peziarah berdatangan menuju Yerusalem dari segenap penjuru negeri untuk beribadah di Bait Allah. Suasana di Bait Allah dipenuhi oleh berbagai macam kesibukan. Bait Allah penuh sesak dengan pengunjung dan para pedagang bisa meraih untung besar saat itu. Para penukar uang melayani penukaran uang para peziarah yang datang dari pelbagai tempat. Di jaman itu, persembahan uang di Bait Allah, menggunakan uang koin Tiria dan bukannya uang koin Roma karena mata uang Roma tercetak gambar manusia (yaitu kaisar) yang menurut pandangan umat Yahudi merupakan pemberhalaan terhadap manusia. Uang koin Roma tidak diterima untuk keperluan ibadah. Jika mereka bermaksud untuk memberikan persembahan dalam bentuk uang ke Bait Allah, uang koin Roma yang mereka miliki akan ditukar dengan koin Tiria. Ada juga para peziarah yang datang dari negeri-negeri lainnya, dan mereka juga perlu menukarkan uang yang mereka bawa. Jadi para penukar uang bisa meraih untung yang besar dari pelayanan ini.

Dari antara umat yang bersembahyang, tentu saja, ada yang akan memberikan persembahan kurban sembelihan. Tidak mungkin kambing domba dibawa dari negeri yang jauh, seperti Mesir, Itali, Siria, atau negeri lainnya. Jadi hewan kurban akan dibeli di tempat tujuan, yaitu di Bait Allah. Suara kambing mungkin bisa di salah satu sudut halaman, dan burung-burung dara di sudut yang lain halaman Bait Allah. Hewan-hewan lain juga ada tersedia, jadi suasana halaman Bait Allah menjadi sama dengan pasar. Kegiatan keagamaan juga sangat padat di saat itu karena banyaknya peziarah yang berdatangan. Kembali kepada gambaran dari pohon ara yang dikutuk itu, Anda bisa membayangkan bahwa pohon ara itu penuh dengan daun. Ke arah manapun Anda memandang, yang terlihat adalah kegiatan keagamaan, akan tetapi mana buah rohaninya? Yesus menjadi sangat kecewa sehingga Ia mengusir semua pedagang keluar dari Bait Allah. “RumahKu akan disebut sebagai rumah doa, tetapi apa yang kalian lakukan? Kalian telah mengubah rumah doa menjadi sarang penyamun!” Sekalipun Bait Allah saat itu dipenuhi oleh suasana keagamaan dan juga kegiatan keagamaan, tetapi tidak lagi menjadi tempat di mana orang bisa berdoa dan menyembah Allah. Perdagangan dan materialisme telah mengambil alih rumah doa Allah.

Demikianlah, ada orang yang bahkan mengira bahwa ibadah adalah sarana untuk mendapatkan keuntungan bisnis. “Engkau ingin menyembah Allah? Jika benar, engkau harus berbisnis denganku.” Segala kedangkalan religius, pengutamaan tata cara, adalah hal yang sudah lama dikecam oleh Tuhan di dalam Yesaya 1. Allah berkata, “Siapa yang menghendaki kurban sembelihanmu? Siapa yang mau dengan segala persembahanmu? Aku menghendaki kebenaran, kekudusan dan kerohanian yang nyata!” Akan tetapi bangsa Israel ternyata malah kembali kepada keadaan mereka seperti di jaman Yesaya – kembali kepada masa sebelum Bait Allah pertama kali dihancurkan, ke masa di mana mereka dulu harus mengalami pembuangan. Seperti yang dikatakan oleh Yohanes Pembaptis, “Kapak sudah tersedia di akar pohon.” Allah sudah membuat garis potongan di pohon, dan dalam ayunan yang berikutnya maka pohon itu akan tertebang. Yesus berkata di dalam satu perumpamaan di dalam Lukas 13: “Tebang saja pohon ini! Robohkan saja.” Pengurus kebun di dalam perumpamaan itu meminta tambahan satu tahun lagi dan permintaan itu dipenuhi. Masa tiga tahun yang diberikan kepada pohon itu sudah berakhir dan sebenarnya pohon itu sudah harus ditebang. Akan tetapi Allah masih memberi tambahan waktu satu tahun lagi. Begitu cocoknya perumpamaan ini dalam menggambarkan keadaan orang Israel saat itu. Mereka tidak mau bertobat, dan dengan demikian harus menghadapi murka Allah.


Allah mencari orang yang memiliki iman yang hidup

Allah mencari orang yang memiliki iman. Ia tidak berminat dengan kegiatan keagamaan kita. Ia melihat ke dalam hati dan mencari apakah ada iman yang hidup di sana. Jika Ia tidak melihat adanya iman yang hidup di sana, Ia tidak peduli seberapa religius kehidupan kita. Ia juga tidak peduli seberapa sering kita pergi ke gereja atau seberapa fasih kita berbicara tentang masalah keagamaan. Ia meneliti umat Israel dan tidak mendapatkan iman di sana. Ada banyak daun di sana tetapi tidak ada satupun buah kerohanian. Dan buah ini adalah iman. Inilah hal yang Tuhan cari dari umat-Nya. Lukas 18:8 memberi kita perumpamaan tentang doa, ungkapan dari iman yang sejati. Dan perkara tentang keadilan dan kebenaran yang sudah kita bicarakan tadi, juga disebutkan dalam perumpamaan tersebut. Yesus menutup perumpamaan tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya Kukatakan kepadamu, Ia (Allah) akan segera membenarkan mereka” (lihat Lukas 18:8). Allah adalah Allah atas kebenaran. Tetapi ketika Anak Manusia datang kembali, akankah Ia mendapati iman?

Kata kuncinya adalah ‘mendapati’ (find). Kata Yunani bagi ‘mendapati’ (find) di dalam Lukas 18:8 sama persis dengan kata ‘mendapati’ dan ‘melihat/mencari’ yang tertulis di dalam perumpamaan dalam Markus 11:12-13 ini. Keduanya memakai kata yang sama dalam bahasa Yunani – akankah ia mendapati atau menemukan. Kata yang sama juga dipakai di dalam Lukas 13:6-9. Di sana kita melihat tentang orang yang mencari buah di pohon ara dan tidak mendapati satupun. Di dalam semua ayat itu kita melihat pemakaian kata Yunani yang sama.

Tanpa iman, mustahil bagi kita untuk menyenangkan hati Allah. Jika kita sekadar menjalankan kegiatan agama tanpa memiliki iman, kita akan ‘ditebang’ oleh Allah. Kita tidak boleh merasa diri ini sudah benar hanya karena kita sudah menjalankan segudang kegiatan keagamaan. Allah tidak suka dengan polesan tampilan luar. Ia tidak berminat dengan kegiatan keagamaan. Yang Ia cari adalah iman yang sejati di dalam hati. Kita perlu memahami bahwa perumpamaan ini tidak sekadar berlaku terhadap orang-orang Israel, melainkan juga terhadap orang Kristen karena kitalah Israel yang baru, yaitu Gereja. Saat Yesus datang kembali, Ia akan mencari iman. Dan jika Ia tidak mendapati iman, apa yang akan terjadi? Paulus berkata, “Jika Ia tidak menyayangkan cabang yang asli tetapi memotongnya, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu” (Lihat Rom. 11:21). Jika Ia tidak menyayangkan pohon ara Israel, jangan mengira bahwa Ia akan mengistimewakan pohon ara gereja. Allah adalah Allah atas keadilan dan kebenaran yang mutlak. Ia tidak akan memperlakukan orang secara berbeda-beda dalam keadilan-Nya. Jika Israel ditebang, bodoh sekali seandainya ada orang Kristen yang mengira bahwa mereka tidak akan ditebang kalau mereka tidak menghasilkan buah.

Jangan tertipu oleh tampilan luar dari kehidupan keagamaan seseorang, termasuk diri kita sendiri. Jangan mengira bahwa kita adalah orang Kristen yang baik karena kita selalu membaca Alkitab. Jangan mengira bahwa kita adalah orang Kristen yang baik karena kita bersaat teduh setiap pagi. Kita tidak boleh menipu diri sendiri dengan segala kegiatan keagamaan seperti itu. Kita harus tanyakan pada diri sendiri, “Apakah saya memiliki iman yang sejati di dalam hati ini?” Keselamatan kita bergantung pada hal yang satu itu. Kita diselamatkan oleh iman, bukan oleh kegiatan keagamaan. Iman adalah sesuatu yang terletak di dasar hati kita yang mengungkapkan dirinya dalam keyakinan dan komitmen yang teguh kepada Allah.


Selalu mengambil tanpa pernah memberi

Ada orang-orang Kristen yang penampilannya seperti pohon ara ini. Mereka memiliki daun yang sangat lebat dalam pandangan kita, dan kita akan berpikir, “Oh, mereka pasti orang Kristen yang luar biasa. Lihat saja begitu banyaknya kegiatan mereka di gereja. Mereka mengerjakan ini dan itu. Mereka berkhotbah dengan sangat bagus.” Kita mungkin memandang mereka sebagai orang-orang Kristen yang hebat karena mereka berkhotbah dengan sangat bagus dan fasih. Tetapi janganlah Anda berpikir dengan cara seperti itu. Banyak orang Kristen yang hidupnya seperti kura-kura yang kami pelihara di rumah. Seorang saudara memberi putri saya seekor kura-kura saat ia masih kecil. Jadi saya punya kesempatan untuk mengamati kehidupan kura-kura. Saya berpikir, “Kita orang-orang Kristen hidupnya seperti kura-kura ini.” Sepanjang hari, kura-kura itu sama sekali tidak peduli dengan saya. Ia sama sekali tidak peduli dengan keberadaan saya. Namun di malam hari, ketika ia mulai lapar, mulailah ia menunjukkan perhatiannya kepada saya. Sebelum ia merasa lapar, ia tidak tertarik pada saya sama sekali. Saya berjalan lalu-lalang di dekatnya, dan ia bahkan tidak melirik sekejap pun. Namun pada saat ia lapar, ia tahu bahwa saya adalah sumber makanannya. Dengan kata lain, ia hanya tertarik pada saya jika ia punya kepentingan tertentu dengan saya, saat ia membutuhkan saya. Saat ia tidak membutuhkan saya, ia tidak tertarik pada saya.

Bagi saya, kura-kura itu merupakan gambaran yang sempurna tentang orang Kristen macam apakah kita ini. Kita tertarik kepada Allah atau kepada gereja hanya jika kita bisa memperoleh sesuatu dari sana. Lalu kita berkata, “Ya, mereka telah memenuhi kebutuhan saya saat ini.” Kita tidak pernah berpikir dalam kerangka memberi sesuatu bagi orang lain. Kita selalu berpikir dalam kerangka mencari sesuatu untuk diperoleh. Saat khotbah disampaikan, kita berkata pada diri sendiri, “Khotbahnya itu omong kosong belaka; aku tidak mau membuang-buang waktu mendengarkan khotbahnya.” Kita jarang berpikir untuk datang ke gereja demi membantu orang lain. “”Mungkin saya bisa menghibur hati orang lain di gereja. Mungkin saya bisa meneguhkan hati atau juga memberi sukacita bagi orang lain di sana. Mungkin ada orang yang butuh penghiburan. Aku akan pergi ke gereja.” Apakah niat kita seperti itu ketika datang ke gereja minggu yang lalu? Mari kita jujur karena kejujuran adalah hal yang sangat mendasar dalam iman. Atau, apakah kita pergi ke gereja karena kita merasa, “Aku lapar dan haus akan hal kerohanian. Sanatapan rohaniku yang terakhir adalah pada minggu yang lalu. Sekarang saatnya untuk mengisi ulang dan aku akan segera pergi ke gereja.”

Dengan mengacu pada perumpamaan kali ini, terlihat bahwa kita lebih menyerupai daun, tetapi di mana buahnya? Perhatikanlah sebatang pohon yang berbuah. Apakah pohon itu memakan buahnya sendiri? Buah itu tersedia bagi orang lain, bukan buat pohon itu sendiri. Akan tetapi daun menjadi milik dari pohon itu. Jika mengikuti kehendak pohon itu, lebih baik memiliki banyak daun ketimbang banyak buah, karena dengan semakin banyaknya daun yang dimiliki berarti semakin besar pula kemampuan untuk berfotosintesis, untuk mengolah sari makanannya. Pohon tidak bisa memakan buahnya sendiri. Buah itu tersedia bagi orang lain. Orang akan datang dan mengambil buah tersebut. Itulah hakekat buah, tersedia bagi orang lain. Lalu jika kita menjadi orang Kristen yang hanya mau menerima tanpa pernah mau memberi, kita menjadi sama seperti pohon buah-buahan tanpa buah. Kita harus waspada karena begitu banyak dari kegiatan keagamaan – seperti kegiatan keagamaan orang-orang Israel – semuanya hanyalah bagi diri kita. Segala hiruk-pikuk kesibukan di dalam Bait Allah, apakah itu semua demi kemuliaan Allah? Apakah menjadi berkat bagi orang lain? Semua itu demi keuntungan mereka sendiri. “Segalanya untukku. Itu sebabnya aku datang ke gereja; itu sebabnya aku beribadah ke Bait Allah, supaya Allah memberkatiku lebih banyak lagi.” Kapan kita berpikir tentang kebutuhan orang lain? Hidup kita bisa menjadi sangat mementingkan diri sendiri, dan sangatlah penting bagi kita untuk mengalami perubahan!


Tiga langkah menuju iman

Sekarang kita dapat melihat bahwa untuk bisa menjalankan iman, seluruh tujuan hidup kita harus berubah dari jenis kekristenan yang berorientasi pada penampilan luar, kepada komitmen hati yang mendalam untuk Allah. Jika belum mencapai itu, kita tidak akan bisa menjalankan iman. Jadi langkah yang pertama adalah memutuskan seperti apa Allah itu. Tanpa ini, kita tidak akan bisa membuat komitmen kepada-Nya.  Kita tidak akan bisa memberikan komitmen kepada Allah yang tidak kita yakini kebenaran dan keadilan absolut-Nya. Jika kita sudah menuntaskan persoalan ini, berarti kita sudah mengambil satu langkah menuju iman. Dengan menuntaskan masalah yang satu ini – bahwa Allah itu adil – maka kita tidak lagi membangun iman di atas landasan pengetahuan dan pemahaman yang kita miliki. Sebaliknya, kita akan membangun iman di atas landasan kepribadian Allah yang tak tergoyahkan dan tak akan berubah, yaitu bahwa Dia adalah kudus dan Dia adalah kasih.

Namun hal itu masih belum cukup. Kita masih harus mengambil langkah kelanjutannya dan membiarkan Allah mengubah seluruh tujuan hidup kita dari yang eksternal, yang mementingkan tampilan luar, yang gemar pamer – yang melakukan segala sesuatu demi tampilan religius dan hanya memuaskan hasrat pribadi saja. Kita harus bertekad untuk mengambil langkah berikutnya di dalam iman dengan menjalani hidup yang menjadi berkat bagi orang lain. Tujuan kita tidak lagi memperbanyak daun melainkan memperbanyak buah sehingga kita bisa hidup untuk membagikan berkat, dan membagikan hidup Allah, kepada orang lain. Seluruh tujuan hidup kita harus berubah dari yang mementingkan sisi luar menjadi yang mementingkan sisi dalam, dari yang eksternal kepada yang internal, dari yang dikuasai oleh kedagingan menjadi yang rohani. Itulah perubahan yang penuh kuasa yang disebut sebagai kelahiran kembali di dalam Alkitab. Itulah yang disebut oleh Alkitab sebagai lahir baru. Seluruh arah tujuan hidup kita berubah. Hal ini tak akan terjadi tanpa iman dan hanya bisa dijalankan dengan iman. Inilah langkah iman di mana kita berkata, “Aku tak dapat melakukannya, tetapi Tuhan, Engkau dapat. Ubahlah seluruh tujuan hidupku supaya menjadi sepertiMu.” Inilah langkah iman yang kedua.

Jika kita sudah menjalankan kedua langkah itu, maka kita siap untuk masuk ke langkah yang ketiga, yaitu menjawab tantangan yang diajukan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, “Percayalah kepada Allah. Pohon ara ini adalah lambang dari Israel yang tidak memiliki iman. Akan tetapi kamu, percayalah kepada Allah. Biarlah hidupmu, kekristenanmu, menjadi hal yang rohani” (lihat Markus 11:22 dst.).

Di ayat-ayat ini, dilanjutkan dengan, “Dan jika kamu berkata kepada gunung ini, ‘Terangkatlah dan tercampaklah ke dalam laut,’ dan kamu tidak ragu di dalam hatimu tetapi percaya bahwa hal itu pasti terjadi, maka hal itu akan terjadi”(lihat Markus 11:23). Di sini kita sampai pada unsur iman – disebabkan landasannya tertanam dengan benar, maka akan ada kepastian dan keyakinan yang penuh kuasa tentang iman. Kita sering berbicara tentang jaminan keselamatan di gereja-gereja. Akan tetapi ada jaminan yang sejati dan jaminan yang palsu. Jika Anda membangun kehidupan Anda berdasarkan jaminan yang palsu, Anda pasti akan tersapu dan hilang. Anda akan tersapu seperti rumah yang dibangun di atas pasir. Anda harus membangun iman Anda di atas jaminan yang sejati – jaminan dari dalam yang muncul dari komitmen iman yang mendalam.

Itu sebabnya Yesus melanjutkan dengan berkata,

“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (ayat 24).

Jika ada orang yang ingin menguji apakah Allah itu adalah Allah yang hidup, inilah kesempatan baginya. Tuhan sudah menyatakan diri-Nya dengan sedemikian rupa sehingga kita bisa menguji firman-Nya. Bukan Yesus yang takut menghadapi tantangan; diri kita inilah yang sebenarnya takut. Ia berkata, “Jika kamu melakukan apa yang sudah kukatakan ini, jika kamu mengikuti firmanKu, dan kamu punya iman untuk meminta dan percaya bahwa kamu telah menerimanya, maka kamu akan menerimanya.”

Lalu kita berkata, “Apakah tidak berbahaya bagi Yesus untuk berkata seperti itu?” Kita semua langsung menuntut, “Aku mau rumah yang ini, yang besar ini, bukan rumah yang kecil itu. Dan aku percaya bahwa aku sudah menerimanya. Aku dapat!” Dan rumah itu menjadi milik Anda. Kita menatap ke arah sebuah mobil mewah dan berkata, “Dengan iman, ya dengan iman, aku menghendakinya! Aku tidak ragu sedikitpun!” Dan mobil itu menjadi milik kita. “Wah, seperti sihir saja! Sihir yang seperti ini sungguh hebat; aku datang ke gereja untuk belajar sihir.”

Apakah ajaran Yesus tidak akan disalah-gunakan? Tidak, karena Anda telah menjalankan dua langkah yang pertama tadi. Seseorang yang telah berubah arah tujuan hidupnya, seseorang yang benar-benar telah menjadi rohani tidak akan meminta rumah dan mobil mewah untuk dirinya. Orang yang berpikir untuk menyalah-gunakan ajaran Yesus berarti sama sekali belum memahami apa yang diajarkan oleh Yesus. Kita baru saja melihat bahwa berubahnya arah tujuan hidup berarti kita sekarang hidup demi memuliakan Allah dan menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukan demi kepentingan pribadi. Jika sudah berubah, kita tidak akan meminta hal-hal seperti itu.

Jika kita harus meminta mobil bagi kebutuhan orang lain, jika kita harus meminta rumah bagi kebutuhan orang lain, kita akan menerimanya. Akan tetapi jika kita meminta semua itu untuk diri kita sendiri, maka hal itu tidak akan diberikan. Itulah kenyataannya, dan kita tidak akan bisa menyalah-gunakan Kitab Suci. Kita tidak bisa main-main dengan Firman Allah. Kita tidak bisa memanfaatkan Allah sebagai budak yang akan memenuhi segala keinginan kita, seolah-olah Dia adalah kakek rohani yang kepadanya kita meminta permen dan es krim.

Pertama-tama kita harus jalani dulu dua langkah awalnya. Jika kita sudah benar-benar menjadi rohani, maka yang akan kita minta adalah hal-hal yang sesuai dengan kehendak Allah. Karena kita bergerak ke arah yang sama dengan-Nya, maka kita akan melihat kuasa-Nya bekerja. Anda akan melihatnya. Hal ini tidak perlu diragukan lagi.

Yang terakhir, ijinkan saya menyampaikan sebuah ilustrasi tentang bagaimana kuasa Tuhan juga bisa diarahkan untuk membinasakan kalau hal itu memang bermanfaat bagi orang lain. Di dalam Alkitab, kita punya beberapa contoh kejadian yang menggambarkan hal ini. Contohnya, ketika seorang hamba Allah menjalankan tindakan disiplin di tengah jemaat. Di 1 Korintus 5, Paulus menyerahkan seseorang ke tangan Iblis untuk membinasakan kedagingannya. Kuasa Allah datang untuk membinasakan orang tersebut seperti kuasa yang menimpa pohon ara ini supaya di dalam proses kebinasaannya orang itu mau bertobat dan diselamatkan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “…sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.” Kuasa Allah dapat dan akan dipakai untuk penghakiman. Karena orang yang disebutkan di dalam 1 Korintus 5 itu melakukan hubungan seksual sedarah, maka ia akan dibinasakan tubuhnya dengan kuasa Allah supaya ia mau bertobat dan tahu bahwa ia sedang berurusan dengan Allah yang hidup.

Atau lihatlah Kisah Para Rasul 13:11 sebagai contoh, ketika Paulus juga memakai kuasa Allah dalam pengertian yang menghancurkan. Ia membutakan mata si tukang sihir karena orang tersebut berusaha menghalang-halangi Sergius Paulus, Gubernur di Pafos, untuk mengenal Tuhan. Dengan satu kalimat, orang itu dibutakan.

Selanjutnya, kita akan melihat seorang hamba Allah yang bernama Guy Bevington. Di dalam kesaksiannya, ia selalu mengacu kepada Markus 11:24. Ia adalah orang yang selalu percaya bahwa Allah telah memberinya segala yang ia minta dalam doanya. Setiap permintaannya dipenuhi tanpa ada satupun yang terlewatkan. Di dalam penutupan buku kesaksiannya, ia berkata bahwa di sepanjang pelayanannya kepada Allah – saat itu ia sudah berusia 74 tahun – tak pernah sekalipun Allah gagal memberikan apa yang ia minta karena ia berdoa secara rohaniah. Sekalipun bukunya, Remarkable Miracles (Mujizat-mujizat yang Luar Biasa), penuh berisi kejadian-kejadian yang ajaib, saya mengambil satu contoh di mana ia memakai kuasa Allah dalam rangka menimbulkan kebinasaan sebagai penutup bab ini karena contoh ini cocok dengan karakter perumpamaan tentang pohon ara. Dan hal yang cukup menarik adalah, di sepanjang buku itu, hanya satu kali saja kuasa Allah dipakai untuk membinasakan, namun demi membagikan berkat bagi orang -orang.

Bevington saat itu tinggal sebagai tamu di rumah sepasang suami-istri yang masih muda, yang baru saja menikah. Dengan menjual segala harta dan dibantu oleh pemberian dari beberapa orang, pasangan muda ini membeli sebidang tanah pertanian seluas enam are. Akan tetapi kemiskinan membuat mereka kesulitan untuk mengolah lahan tersebut. Dua ekor kuda yang dipakai untuk membajak tanah tersebut sangat lemah, jadi untuk membajak tanah saja susahnya bukan main. Dan disebabkan tanah itu tidak tuntas dibajak pada musim dingin, akibatnya seluruh lahannya terserang ulat dan hama. Tanah harus dibajak supaya ulat dan hama mati selama musim dingin. Namun karena lemahnya kuda mereka, maka tanah itu gagal dibajak. Ulat memenuhi tanah pertanian mereka, dan memakan habis bibit jagung yang mereka tanam. Pasangan muda ini harus menghadapi kebangkrutan. Saat orang itu berbicara tentang masalahnya kepada saudaranya, Bevington lalu menyela pembicaraan mereka dan berkata (pasangan ini adalah orang-orang Kristen), “Apakah kamu percaya bahwa Allah dapat menolong kamu di saat seperti ini?” Orang itu menjawab, “Ya, kupikir Ia bisa, tetapi apakah Dia mau?” Bevington berkata, “Apakah kamu percaya bahwa Dia sanggup membinasakan hama yang merusak ladangmu?” Sekali lagi orang itu berkata, “Tentunya Dia bisa, tetapi apakah Dia mau?” Itulah persoalan utamanya. Kita tidak akan memiliki kepastian tentang kehendak Allah jika kita belum masuk ke dalam langkah yang kedua seperti yang sudah saya sebutkan tadi – perubahan total arah tujuan hidup kita.

Demikianlah, Bevington menghabiskan waktu seharian untuk mencoba membangun iman pasangan ini kepada Allah. Mereka tidak yakin apakah Allah mau melakukan hal ini atau tidak. Mereka sama sekali tidak yakin kepada Allah. Pada hari berikutnya. Lewat pengajaran yang diberikan oleh Bevington, mereka mulai memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada Allah. Ketika ia melihat bahwa iman mereka mulai sampai pada tingkat di mana mereka mulai percaya kepada Allah, ia berkata, “Mari kita pergi ke tengah ladang dan meminta Allah untuk membasmi hama yang telah melenyapkan hasil ladang ini.” Pada saat itu, jika mereka menyekop tanah di ladang, maka yang terlihat adalah ulat-ulat yang sedang memakan habis segala sesuatu. Ketika mereka sampai di tengah ladang, mereka berlutut dan berdoa memohon Allah untuk membasmi hama tersebut. Lalu pasangan ini bertanya pada Bevington, “Apakah kamu yakin bahwa Allah akan menjawab?” Ia berkata, “Ya, aku sangat yakin bahwa Dia akan menjawab.” Lalu mereka melanjutkan doa tersebut. Bevington juga berdoa bagi mereka, bukan buat dirinya sendiri, supaya Allah membuka jalan bagi mereka untuk masuk ke dalam iman.

Setelah berdoa beberapa saat, si istri berseru, “Oh, glori! Glori!” Bevington tahu bahwa si istri sudah mulai masuk ke dalam iman. Dan sekarang ia harus menunggu sampai si suami juga masuk. Setelah beberapa saat, si suami mulai berkata-kata, “Amien! Amien!” Akhirnya mereka berdua mempunyai iman. Sekarang Bevington bisa meminta janji Firman Allah – jika dua atau tiga orang bersepakat atas segala sesuatu, maka hal itu akan terlaksana bagi mereka. Saat itu Bevington mengucapkan syukur kepada Tuhan, dan bangkit berdiri, lalu menyekop tanah, di dalam tanah yang terambil itu, terlihat ada sepuluh ekor ulat, dan semuanya mati!  Allah membinasakan ulat-ulat itu selagi mereka berdoa! Si istri mencoba menyekop lagi, dan terlihatlah tujuh ekor ulat yang sudah mati! Si suami menyekop juga, dan di sana ada delapan ekor ulat yang sudah mati!

Setelah beberapa saat, saudara dari si suami, yang terlibat di dalam pembicaraan sehari sebelumnya, datang kembali dari kota dan mendesak si suami untuk segera bertindak, seperti menyewa kuda untuk membajak ladangnya. Bevington berdiam, menunggu apakah pasangan suami istri ini akan berkata sesuatu. Saudara si suami ini melanjutkan, “Tadi, saat aku datang, aku menyekop tanah di ladangmu dan menemukan sembilan ekor ulat di dalamnya.” Pasangan ini hanya diam saja. Anda lihat, iman mereka masih tidak teguh. Lalu Bevington berkata kepada orang itu, “Semua ulat yang kau lihat tadi sudah mati.” Orang itu tidak percaya karena tadinya ia tidak melihat dengan teliti apakah ulat-ulat itu sudah mati atau belum. Begitu besarnya keparcayaan Bevington kepada Allah sehingga ia berani berkata, “Untuk setiap ulat yang dapat kau temukan dalam keadaan hidup di ladang ini, akan kubayar sebesar satu sen,” nilai satu sen, pada tahun 1920-an adalah jumlah yang cukup lumayan. Satu sen di jaman sekarang ini memang tidak berharga. Dan jika setiap kali menyekop orang ini bisa menemukan sembilan atau sepuluh ekor ulat yang hidup, maka ia akan mendapat sekitar 10 sen untuk setiap kali menyekop. Jika orang itu menyekop seluruh ladang seluas 6 are, Anda bisa bayangkan besarnya dana yang harus disediakan oleh Bevington!

Apakah Anda memiliki keyakinan seperti itu? Punyakah Anda rasa percaya sebesar itu? Bevington berkata, “Pergi dan sekoplah. Dan untuk setiap ekor ulat yang kau temukan dalam keadaan hidup, aku akan membayar satu sen.” Orang ini melompat dengan gembira, dan mengambil keranjang yang terbesar untuk menampung ulat-ulat yang akan dikumpulkannya, lalu bergegas menuju ladang. Bevington menceritakan bahwa orang itu pergi ke ladang, tetapi tidak pernah kembali lagi. Ia pergi meninggalkan ladang tersebut, karena tidak bisa menemukan ulat yang masih hidup!

 

Berikan Komentar Anda: