Pastor Eric Chang | Matius 21:28-32 |

Saya ingin memulai pembahasan tentang perumpamaan ini dengan bertanya, “Apakah Anda sudah menanggapi panggilan Tuhan dengan sungguh-sungguh?” Bukan sekadar menanggapi panggilan Tuhan, tetapi apakah Anda sudah menanggapinya dengan sungguh-sungguh?

Di dalam perumpamaan tentang dua orang anak ini (Matius 21:28-32) disebutkan,

“Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.”

Perumpamaan ini sangat mirip dengan perumpamaan tentang anak yang memboroskan harta warisannya (Lukas 15:11-32). Dalam perumpamaan tersebut, ada dua orang anak – yang satu pergi meninggalkan ayahnya sedangkan yang satunya lagi tetap tinggal bersama ayahnya, mengira bahwa ia sudah melakukan kehendak ayahnya padahal ia tidak. Terlihat jelas kesejajaran yang sangat dekat di antara kedua anak di dalam kedua perumpamaan ini.


Mencintai kebenaran

Sangatlah penting bagi seorang Kristen untuk memiliki komitmen dalam mencintai kebenaran. Anda bukanlah seorang Kristen yang sejati jika Anda hanya mencintai agama saja. Mencintai cara berpikir yang Kristiani juga bukan jawabannya. Untuk menjadi orang Kristen yang sejati, Anda harus benar-benar berkomitmen untuk mencintai kebenaran.

Mungkin banyak di antara Anda yang berpikir bahwa selama ini saya hanya berbicara tentang kebenaran tanpa pernah memberikan penjelasan tentang arti dari kebenaran itu sendiri. Baiklah, saya bukannya tidak menyadari akan hal ini. Bagaimanapun jika Anda mau mendapatkan definisi kebenaran sebelum Anda mau percaya, maka itu berarti bahwa Anda masih belum memahami apa itu kebenaran yang alkitabiah. Kebenaran di dalam Kitab Suci bukanlah soal definisi. Kebenaran adalah sesuatu yang Allah ungkapkan kepada Anda. Jika Ia tidak mengungkapkannya kepada Anda, maka tidak ada definisi tentang kebenaran yang dapat menolong Anda untuk memahaminya. Di dalam Alkitab, kebenaran adalah suatu pewahyuan, dan bagi mereka yang tidak mencintai kebenaran, Yesus berkata, “Aku juga tidak akan menyatakannya kepadamu. Aku tidak akan menyatakan kepadamu tentang artinya. Aku tidak akan menyatakan kepadamu tentang siapakah aku ini. Aku tidak akan menyatakan kepadamu dari mana kuasa-ku berasal.” Jadi, Yesus menolak untuk mengungkapkan kebenaran bagi mereka yang tidak memiliki komitmen untuk mencintainya. Itu sebabnya persoalan di dalam Alkitab bukanlah apa arti atau definisi dari kebenaran itu tetapi pengalaman dari kebenaran itu sendiri. Karena pada saat Allah mengungkapkan kebenaran kepada Anda, Anda tidak sekadar akan memahaminya, akan tetapi Anda juga mengalaminya.

Jika Anda ingin mendapatkan definisi tentang kebenaran, carilah di dalam kamus Oxford. Di bawah kolom kebenaran (truth) Anda diberikan definisi seperti ini: quality (kualitas), state of being true or accurate (berada dalam keadaan yang benar atau tepat), honest or sincere or loyal (jujur atau tulus atau setia), or accurately shaped or adjusted (atau secara akurat dibentuk atau disesuaikan). Sekalipun definisi yang diberikan ini tidak terlalu memberikan pencerahan, tetapi kita tidak bisa begitu saja menyalahkan kamus tersebut. Memang tidak ada cara yang lain untuk mendefinisikan kebenaran; kebenaran bukanlah suatu hal yang dapat Anda jelaskan lewat kata-kata. Sebenarnya, definisi dari kamus tersebut tidak terlalu buruk. Definisi tersebut memberitahukan Anda bahwa kebenaran mengacu kepada siapa diri Anda, bukan pada apa yang Anda ketahui. Seorang yang jujur, tulus atau setia – itu menjelaskan keberadaan seseorang. Bagaimana Anda bisa menjadi seperti itu? Dengan jalan dijadikan serupa dengan kepribadian Allah. Kebenaran adalah sesuatu yang dapat Anda ketahui karena Allah telah mengungkapkannya kepada Anda. Sebagai akibat dari pewahyuan rohani ini, lewat pengalaman akan kebenaran itu, Anda menjadi satu pribadi yang dapat digambarkan sebagai benar.

Kebenaran adalah relatif dengan hal-hal yang berada di luarnya. Anda menyatakan sesuatu itu benar jika ia cocok dengan realitas tertentu. Sebagai contoh jika Anda mengamati sebuah foto, atau lukisan, Anda akan mengatakan bahwa gambar itu benar atau salah bergantung pada keakuratan gambar tersebut. Contohnya ada pelukis yang sedang menggarap karyanya dan di depannya duduk seorang model. Lalu Anda berdiri di belakang pelukis tersebut, dan mengamati lukisan yang dibuatnya. Anda melihat betapa miripnya lukisan tersebut dengan model yang ditirunya. Saat Anda mengatakan bahwa lukisan tersebut adalah potret yang benar, itu berarti bahwa lukisan tersebut cocok dengan realitas subyeknya.

Jika Anda mengatakan bahwa sesuatu itu benar, maka Anda sedang mencocokkan acuan yang Anda miliki terhadap obyek yang Anda amati. Karena kebenaran memiliki kerangka acuan di luar dirinya, maka apa yang dapat dijadikan standar dari kebenaran di saat Anda berbicara tentang kebenaran? Itulah sebabnya Yesus berkata, “Akulah kebenaran” (Yohanes 14:6). Setiap realitas kerohanian harus sesuai dengan realitas Allah. Sesuatu itu dinyatakan benar atau salah bergantung pada perbandingannya terhadap diri Yesus itu – Dia adalah kebenaran.

Lalu bagaimana kita bisa menjadi benar? Bagaimana caranya mengenali kebenaran? Nah, di dalam ayat-ayat yang sedang kita bahas ini terlihat bahwa kebenaran berkaitan dengan tanggapan kita terhadap panggilan dari Allah. Apakah Anda akan mengetahui atau tidak mengetahui kebenaran itu ditentukan oleh respon Anda kepada panggilan Allah. Di dalam perumpamaan ini, ada seseorang yang memiliki dua anak laki-laki. Kata ‘anak laki-laki’ yang diterjemahkan di sini sebenarnya memiliki makna ‘anak’ saja, akan tetapi bisa diterjemahkan sebagai ‘anak laki-laki’. Kata yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah teknon, yang bermakna ‘anak’. Akan tetapi karena mereka disuruh bekerja di kebun anggur, maka boleh disimpulkan bahwa mereka adalah anak laki-laki.

Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan di dalam perumpamaan ini. Pertama adalah kata ‘hari ini’ (ay.28). Tanggapan terhadap panggilan dari Allah bukanlah sesuatu yang akan kita lakukan di masa depan. Allah memanggil kita hari ini; Ia berbicara kepada kita di hari ini juga.

Selanjutnya, tanggapan dari anak yang kedua adalah “Aku tidak mau pergi”. Ini adalah jawaban yang sangat kasar yang tampaknya akan mengundang teguran dari sang ayah, akan tetapi kita tidak melihat adanya teguran dari sang ayah. Namun sesudah itu, si anak menyesal. Ada dua kata yang bisa dipakai dalam bahasa Yunani untuk istilah ‘menyesal’. Salah satu dari kata itu memiliki makna ‘perubahan pikiran’. Akan tetapi kata yang dipakai di dalam perumpamaan ini adalah kata yang satunya lagi yang menunjukkan suatu reaksi penyesalan yang sangat mendalam atas perilaku diri sendiri. Kata ini menunjukkan penyesalan yang mendalam. Ketika si anak menyadarinya, ia merasa bahwa ia telah berbuat sangat kasar terhadap ayahnya dan merasa sangat bersalah atas hal itu. Kata yang dipakai di sini menyatakan betapa ia merasa sangat tidak senang dan risih terhadap dirinya sendiri. Si anak merasa demikian karena telah berkata atau berlaku seperti itu terhadap ayahnya.

Sekalipun kata Yunani lainnya untuk ungkapan ‘menyesal’ juga memiliki makna rasa bersalah yang sangat mendalam pada diri seseorang, namun hal itu tidak selalu membawa kepada suatu tindakan yang benar. Kata yang satu ini lebih menekankan pada perasaan itu sendiri ketimbang pada tindakan berikutnya dari orang yang menyesal itu. Artinya, penyesalan tersebut tidak selalu diikuti oleh tindakan yang benar. Sebagai contoh, Yudas, ketika ia merasa sangat sedih atas pengkhianatannya terhadap Yesus. Ia merasa sangat jijik terhadap dirinya sendiri, sedemikian pedih dan menyesalnya dia sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Kata ‘menyesal’ dipakai dalam pengertian yang seperti ini di dalam Matius 27:3. Jadi suatu tekanan penyesalan yang kuat bisa saja membawa seseorang untuk mengambil tindakan yang benar atau pun yang salah. Di dalam perumpamaan ini, perasaan tersebut membawa kepada tindakan yang benar, akan tetapi di dalam Matius 27 – dalam kasus Yudas – kejadiannya berbeda.

Memang dibutuhkan penyesalan yang mendalam ketika Anda menyadari kegagalan dan ketidak-berartian diri Anda. Ini adalah langkah pertama dalam menanggapi panggilan Anda. Sebagai contoh, ketika Allah berurusan dengan Yesaya, dia segera merasakan betapa tidak berartinya diri ini (Yesaya 6). “Celakalah aku,” kata Yesaya, “aku ini orang yang najis bibir.” Yesaya memiliki masalah kebiasaan berbicara terburu-buru, orang yang najis bibir.  Ini adalah persoalan yang menimpa banyak dari antara kita – tidak mampu berperilaku yang pantas karena kurangnya kendali diri.

Kita sering menanggapi dengan cara seperti ini ketika Allah memanggil kita. “Aku sangat tidak layak bagi Tuhan, aku tidak layak menjadi anak-Nya. Aku tidak layak menjadi hamba-Nya. Ada begitu banyak kekurangan dan kegagalan.” Nah, Anda masih belum menjadi orang Kristen jika rasa tidak layak ini belum menantang Anda. Banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan Yesaya, kebiasaan berbicara buru-buru, memiliki bibir yang najis. Panggilan Allah akan menghadapkan kita pada rasa tidak layak tersebut.

Bagaimana dengan anak yang pertama? Ia menanggapi dengan cara yang berbeda. Ketika ayahnya menyuruh dia untuk pergi bekerja di kebun anggur, ia menjawab tanpa ragu, “Baik bapa, aku akan pergi.” Anak itu menjawab dengan sangat santun. Akan tetapi ia tidak pergi.

Yesus bertanya, “Anak yang mana yang melakukan kehendak bapanya?” Anak yang tadinya berkata ‘tidak’ tetapi belakangan menjadi ‘ya’, atau yang berkata ‘ya’ tetapi tidak pergi? Jelaslah bahwa bukan apa yang kita katakan melainkan apa yang kita lakukan itulah yang penting. Inilah persoalan yang sesungguhnya. Anak yang pertama berkata ‘ya’ tetapi ia tidak pergi.

Lalu Yesus menutup perumpamaan ini dengan kalimat berikut, “Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu” (ay. 32). Kehidupan Kristen, bahkan Injil itu sendiri, disebut sebagai jalan kebenaran (2 Petrus 2:21). Alasan mengapa kita memiliki rasa tidak layak dan lemah ini adalah justru karena kita menyadari bahwa kita masih jauh dari jalan kebenaran yang dituntut dari kita.


Allah memanggil semuanya

Sekarang kita sampai pada poin utama dari perumpamaan ini. Pertama, sang ayahlah yang datang dan berbicara kepada anaknya. Adakah panggilan di sini? Anda mungkin berkata, “Saya tidak melihat adanya panggilan di sini.” Apa itu panggilan? Di dalam Kitab Suci, panggilan sudah terjadi ketika Firman Allah sampai kepada Anda. Itulah panggilan. Sekarang ini pun, ketika Anda sedang membaca artikel ini, saat Anda mendengar Firman Allah disampaikan kepada Anda, berarti Anda sedang dipanggil. Jika Anda seorang non-Kristen, maka Firman Allah sedang ditujukan kepada Anda dan memanggil Anda sekarang.

Mengapa Firman Allah itu sendiri adalah panggilan? Karena Firman-Nya selalu menuntut tanggapan. Firman-Nya bukanlah sekadar materi kuliah atau bahan filsafat atau pun literatur, yang tidak membutuhkan tanggapan Anda. Terhadap hal-hal tersebut, Anda bisa saja mendengarkan tanpa harus menanggapinya karena mereka hanya sekadar bahan pengetahuan yang akan Anda masukkan ke otak Anda. Sebagai contoh, jika Anda mempelajari matematika, fisika atau pun kimia, Anda tidak perlu membuat tanggapan. Hal-hal itu hanya sekadar pengetahuan yang Anda dapatkan dan mungkin suatu saat akan Anda pergunakan. Akan tetapi Firman Allah tidak seperti ini. Firman Allah selalu menuntut tanggapan. Bahkan dengan tidak membuat tanggapan pun sebenarnya Anda sudah menunjukkan satu tanggapan, karena tidak menanggapi itu berarti ‘menolak’. Firman Allah selalu menghadapkan kita dengan kebutuhan untuk membuat tanggapan dan itu sebabnya Firman Allah selalu merupakan panggilan.

Perjanjian Lama memberikan banyak contoh tentang makna panggilan. Saya sudah menyebutkan tentang Yesaya 6, di mana datangnya Firman Allah kepada Yesaya sudah merupakan panggilan. Firman itu menuntut satu tanggapan. Hal yang sama juga terdapat dalam Hosea 1:1, Yoel 1:1, Mikha 1:1 dan Zefanya 1:1. Anda akan mendapati berkali-kali para nabi itu berkata, “firman Tuhan yang datang kepada…” Ini berarti bahwa Firman Allah itu dialamatkan kepada mereka dan dengan menanggapi Firman tersebut mereka menjadi nabi. Tokoh-tokoh itu menjadi nabi karena Firman Allah datang kepada mereka dan mereka menanggapinya. Dalam cara yang sama, beginilah seharusnya cara Anda menjadi orang Kristen sekarang ini – ketika Firman Allah datang dan Anda menanggapinya. Jika Anda menolaknya maka berarti bahwa Anda telah berkata ‘tidak’ kepada Allah, dan menyisihkan diri Anda dari kerajaan kecuali jika setelah itu, sama halnya dengan si anak yang kedua, Anda bertobat.

Hal kedua yang perlu diperhatikan dari panggilan Allah adalah panggilan itu merupakan panggilan untuk melayani. Di dalam perumpamaan ini, Ia datang kepada anak-anak-Nya dan berkata, “Pergi dan bekerjalah di kebun anggur.” Jadi panggilan Allah kepada kita dalam menjadi orang Kristen tak pernah merupakan sekadar panggilan agar Anda mengangkat tangan dan berkata, “Aku orang Kristen.” Itu bukanlah Kekristenan. Setiap orang Kristen mempunyai tugas yang harus dilakukan. Tidak ada orang Kristen tanpa tugas yang harus dikerjakannya. Jika Anda adalah orang Kristen yang menganggur, itu berarti bahwa Anda sedang berada di tempat yang salah. Berarti Anda tidak sedang berada di tengah gereja karena semua gereja Allah yang hidup adalah tempat untuk melayani. Dan setiap orang Kristen menerima panggilan untuk melayani. “Pergi dan bekerjalah di kebun anggur”. Kebun anggur tentu saja adalah lambang bagi kerajaan Allah di bumi ini. Jadi, kita dipanggil untuk melayani Allah di dalam kerajaan-Nya.

Hal ketiga yang perlu kita perhatikan adalah bahwa segala sesuatu sangat bergantung pada tanggapan kita terhadap Allah. Bagaimana kita menanggapi Allah merupakan hal yang sangat menentukan. Mungkin saja pada awalnya kita menanggapi dengan cara yang kasar, “Aku tidak mau pergi.” Kemudian kita menyesali hal itu. Saya sendiri bersikap seperti ini dulu ketika belum menjadi Kristen. Saya tidak punya waktu untuk Kekristenan. Saya berkeras menolak Injil, bukan karena saya telah memiliki pengetahuan tentang Kekristenan, tetapi karena kesaksian orang-orang Kristen yang berhubungan dengan saya pada saat itu. Saat saya mengamati mereka, sejujurnya, saya merasa muak, jadi saya sama sekali tidak berminat dengan Injil. Jadi, tanggapan awal saya adalah, “Aku tidak mau mendengarkan; aku tidak mau mendengar ajaran ini.” Namun sejalan dengan waktu, saya mulai merasa malu melihat diri ini, melihat keangkuhan saya. Saya mulai memahami bahwa saya perlu untuk berpaling kepada Allah. Setelah pengalaman saya bersama Allah di sebuah kamp tahanan di China, di mana saya berjumpa dengan Allah, seluruh kehidupan saya berubah sepenuhnya. Saya menanggapi panggilan-Nya di dalam sebuah kamp tahanan. Firman Allah datang kepada saya dan saya berkata, “Ya.”

Hal yang sangat penting adalah melakukan kehendak Allah, bukan sekadar mendengarkan. Bukan tanggapan yang sekadar berkata ‘ya’ atau ‘tidak’. Mengerjakan kehendak-Nya berarti benar-benar melayani Allah sepenuhnya. Poin ini akan kita bahas nanti.

Apa artinya berkata ‘ya’ pada panggilan Allah? Kita lihat anak yang kedua, yang awalnya berkata ‘tidak’, yang mewakili para pemungut cukai dan perempuan sundal – kalangan yang dipandang sebagai sampah masyarakat. Anak yang pertama, yang berkata ‘ya’, mewakili orang-orang Farisi dan pemimpin agama. Merekalah yang berkata, “Baik, bapa,” tetapi tidak mengerjakan kehendak Allah.

Hal yang seringkali gagal kita pahami adalah bahwa mereka yang paling berpotensi dalam hal-hal rohani adalah mereka yang dipandang sebagai sampah masyarakat oleh dunia. Di masa itu, pemungut cukai dan perempuan sundal bukanlah orang-orang yang paling miskin di masyarakat. Sebenarnya, banyak pemungut cukai yang cukup kaya raya. Demikian pula halnya dengan perempuan sundal. Sekalipun mereka dipandang sebagai orang-orang yang menjalani pekerjaan yang menjijikkan, secara ekonomi mereka tidaklah miskin. Akan tetapi mereka memang miskin secara moral.


Bagaimana kita akan menanggapi Firman Allah?

Selama masa pelayanan saya yang sekitar 30 tahunan ini, saya mendapati bahwa orang-orang yang paling berpotensi secara rohani biasanya bukan orang-orang yang religius. Bukan pengunjung setia gereja yang akan menjadi landasan pekerjaan Allah, hal yang sangat mengejutkan kita semua. Orang-orang yang terlihat bermoral ini memiliki satu cara yang aneh dalam menolak kehendak Allah. Lihatlah apa yang terjadi pada Charles Wesley. Ia dikeluarkan dari gerejanya dan pelayanannya justru berkembang sesudah itu, dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika ia dikucilkan oleh gerejanya, ia mulai berkhotbah di jalan-jalan. Seiring dengan pelayanannya di jalanan, banyak orang yang berpaling kepada Tuhan, mengawali sebuah gelombang kebangkitan yang tidak dapat disaingi oleh jaman mana pun di Inggris. Itu sebabnya, sebagai orang Kristen, kita tidak boleh meremehkan mereka yang berada di luar lingkungan Kekristenan. Kita seharusnya menyadari bahwa di luar sana ada suatu potensi yang besar bagi pengembangan gereja. Jangan pernah memandang para pelacur sebagai orang-orang yang menjijikkan dan pemberontak. Banyak yang terjerumus karena desakan kebutuhan hidup, dan hanya itu jalan yang mereka tahu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan pernah merasa lebih unggul dengan menghakimi moral orang lain.

Yesus disebut sebagai sahabat orang-orang berdosa, pemungut cukai dan yang sejenisnya (Matius 11:19). Mereka adalah kalangan yang mendapat belas kasihan-Nya secara khusus. Para pemungut cukai dibenci oleh orang-orang Yahudi karena mereka dipandang sebagai pengkhianat dengan mengumpulkan pajak bagi pemerintah Romawi dari saudara sebangsa mereka. Orang yang nasionalistik dan setia kepada negara mungkin akan memandang apa yang dikerjakan oleh si pemungut cukai itu menjijikkan. Tak diragukan lagi, sangatlah mudah untuk menghakimi orang lain berdasarkan standar kita sendiri. Dan itu akan menjadi suatu kesalahan karena kita tidak tahu mengapa mereka mengerjakan hal itu. Apakah mereka rakus dan tamak? Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup mereka juga. Sekalipun kita tidak setuju dengan standar moral mereka, apa hak kita untuk menghakimi?

Dalam hal respon, adalah jauh lebih mudah mendapatkan tanggapan yang positif and jelas dari orang non-Kristen ketimbang dari orang Kristen. Banyak orang Kristen cenderung mengidap penyakit kesombongan. Mereka mengira dirinya jauh lebih baik dari pada orang lain padahal dalam kenyataannya mereka justru jauh lebih buruk. Kesombongan yang melekat ini seringkali tampil dalam bentuk yang santun dan tertata rapi. Nah, ketika Allah berbicara kepada Anda, bagaimana tanggapan Anda terhadap panggilan-Nya? Jawabannya mungkin, “Baik, Bapa.” Akan tetapi apakah Anda mengerjakan kehendak Allah? Apakah orang-orang Farisi dan para pemimpin agama mengira bahwa mereka tidak mengerjakan kehendak Allah? Saya rasa tidak. Lalu bagaimana dengan kita, mengapa kita tidak mengerjakan kehendak Allah? Mengapa kita berkata ‘ya’ tetapi tidak melakukannya?

Kita bisa saja menganalisa hal ini dan berkata bahwa orang-orang Farisi dan para pemimpin agama itu dengan sengaja berlaku tidak taat. Bahwa mereka berkata, “Baik, Bapa,” hanya untuk mengolok-olok. Mereka tidak benar-benar mau mengerjakan kehendak Allah, walaupun mereka menyanggupinya. Akan tetapi, saya rasa ini adalah penalaran yang sangat keliru. Hal inilah yang merupakan bagian yang mengerikan dalam menanggapi panggilan Allah. Jika kita berkata bahwa kita tidak seperti para pemimpin agama itu karena kita tidak sekadar menyanggupi di mulut saja, bahwa kita tidak akan berlaku tidak taat secara sengaja, maka kita sudah memandang diri kita lebih unggul ketimbang orang-orang Farisi itu. Akan tetapi, semakin saya mempelajari Alkitab, dan semakin saya mempelajari tentang orang-orang Farisi, semakin saya mendapati bahwa ternyata kita ini mirip dengan mereka. Mereka tidak lebih buruk jika dibandingkan dengan kita. Saat saya mempelajari kehidupan dan kepribadian orang-orang Farisi, saya mendapati bahwa di dalam kebanyakan hal, mereka jauh lebih baik ketimbang kita.

Kita selama ini diajari bahwa orang-orang Farisi tidak lebih dari sekumpulan orang munafik, akan tetapi hal itu tidak benar. Anda cukup mempelajari karya-karya ilmiah tentang kehidupan orang-orang Farisi, dan Anda akan segera melihat betapa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagumkan, dan sangat tulus. Ketulusan mereka sungguh murni. Bagi saya, hal ini adalah suatu penemuan yang mengejutkan, karena sebelumnya saya biasa berkata, “Nah, aku bukan orang yang tidak tulus dan munafik. Jadi aku bukan orang Farisi.” Akan tetapi ketulusan orang-orang Farisi tidak kalah dari siapapun. Karena mereka adalah orang-orang yang tulus, maka tentunya ada penjelasan lain bagi ketidaktaatan mereka.

Hal ini membawa kita kepada poin yang lain di dalam pembahasan kita. Kita bisa saja berkata ‘ya’ kepada panggilan Allah, seperti yang telah dilakukan oleh banyak orang Kristen. Saat kita berbicara tentang panggilan dari Alkitab, kita tidak berbicara tentang pelayanan purna waktu (full-time). Di dalam Perjanjian Baru, panggilan tersebut tidak berkaitan dengan pelayanan purna waktu. Semua orang Kristen adalah orang-orang yang terpanggil. Anda hanya perlu mempelajari pemakaian kata “memanggil/panggilan” (call) di dalam Perjanjian Baru, dan Anda akan melihat bahwa kita semua adalah orang-orang yang terpanggil.

Kata ‘panggilan’ di dalam pengertiannya yang khusus – terpanggil untuk menjalani pelayanan – tidak akan Anda temukan di dalam Perjanjian Baru. Ini adalah ciptaan orang Kristen. Kita telah melakukan hal yang mirip dengan tindakan orang-orang Farisi. Kita telah memasukkan makna kita sendiri ke dalam Firman. Ketika saya mempelajari kata ‘panggilan’ di dalam Perjanjian Baru, saya terkejut karena makna yang lazim dari penggilan – yaitu panggilan untuk masuk ke dalam pelayanan purna waktu – tidak terdapat di sana.

Tahukah Anda bahwa setiap orang Kristen adalah orang-orang yang terpanggil? Saya mendapati bahwa di dalam Alkitab suatu panggilan selalu berarti Firman Allah yang ditujukan kepada setiap orang Kristen, setiap orang yang telah menanggapinya. Jika Anda telah menanggapi Firman-Nya, berarti Anda telah dipanggil. Anda tidak bisa berkata, “Hanya orang-orang yang masuk ke sekolah Alkitab yang menerima panggilan. Kita ini tidak.” Ini adalah suatu penyalahgunaan makna ‘panggilan’ dari Alkitab.

Kita mungkin menyangka bahwa dengan menjawab panggilan Allah, mengiyakan Firman Allah, berarti kita sudah mengerjakan apa yang harus dilakukan. Ini adalah semacam penipuan terhadap diri sendiri, hal yang sangat mengerikan. Sebagai contoh, kita mungkin merasa sudah melakukan apa yang diminta oleh Allah dari kita pada saat kita mengangkat tangan dalam sebuah KKR, ketika si pengkhotbah bertanya, “Apakah Anda mau menanggapi Firman Allah?” karena kita sudah berkata ‘ya’ di dalam sebuah KKR, maka kita mengira diri ini sudah menanggapi Firman Allah, dan bahwa hal itu sudah dianggap sebagai sudah mengerjakan kehendak-Nya.

Sangat berbahaya jika kita berpikir seperti ini. Orang-orang Farisi dan ahli taurat mengira bahwa mereka sudah mengerjakan kehendak Allah ketika mereka mengiyakan Firman Allah. di dalam perumpamaan ini, anak yang pertama mengira bahwa dengan berkata ‘ya’ berarti ia sudah menyenangkan hati bapanya, tidak ada hal lain lagi yang harus dikerjakan. Apakah ia benar-benar pergi bekerja di kebun anggur atau tidak, bukan masalah karena ia sudah menyenangkan hati bapanya dengan berkata ‘ya’.

Kedengarannya aneh, saya mendapati bahwa ada orang-orang Kristen yang berpikir persis seperti ini. Jika mereka sudah mengangkat tangannya di dalam sebuah KKR dan berkata ya, mereka mengira bahwa mereka sudah menaati Allah. Adakah hal lain lagi yang perlu mereka kerjakan? Sebagai akibatnya, kata ‘ya’ dari mereka itu di dalam pelaksanaannya telah menjadi ‘tidak’.

Saya gemetar memikirkan sudah berapa banyak KKR yang saya hadiri dan pengkhotbahnya berkata, “Berapa orang dari antara Anda yang mau mengangkat tangan untuk menyerahkan diri Anda kepada Tuhan dalam pelayanan purna waktu?” dan saya melihat sangat banyak tangan yang teracung. Akan tetapi di mana orang-orang itu ketika tiba saatnya untuk masuk ke dalam pelayanan purna waktu? Mereka tidak terlihat. Apa yang telah mereka lakukan di dalam KKR itu? Apa yang terlintas di dalam benak mereka? Apakah mereka dengan sengaja telah menipu diri sendiri dan juga si pengkhotbah saat itu? Mengapa mereka mengacungkan tangannya jika mereka sebenarnya tidak mau masuk ke dalam pelayanan?

Penjelasannya sederhana, mereka mengacungkan tangannya dengan niat untuk melayani Tuhan sepenuh waktu di masa nanti, besok atau mungkin lusa. “Suatu hari nanti, aku akan melayani Tuhan,” begitu kata mereka pada diri sendiri. Mereka mengira bahwa dengan melakukan hal itu, menjawab dalam kerangka seperti itu, maka mereka sudah memenuhi hal yang harus mereka kerjakan. Mereka merasa sangat puas, dan mengira sudah menyenangkan hati Allah, si pengkhotbah, dan diri sendiri. Apakah mereka tidak jujur? Tidak. Mereka memang serius bahwa suatu hari nanti mereka akan melayani Tuhan. Akan tetapi masa depan itu selalu didorong jauh ke depan lagi. Mungkin hari yang ditunggu-tunggu itu akan benar-benar tiba ketika mereka memasuki masa pensiun dan memiliki banyak waktu luang, dan dengan demikian mereka bisa melayani Tuhan sepenuh waktu, setelah berusia sekitar 60-an tahun, jika mereka masih hidup sampai usia itu. Dan jika mereka tidak mencapai usia itu, mereka menganggap bahwa pelayanan purna waktu ternyata bukan kehendak Allah bagi mereka. Saya tidak memahami cara berpikir seperti ini, dan telah menanyakan banyak orang tentang hal ini. Mereka akan berkata, “Oh, ya, suatu hari nanti. Tunggu saja.” Kapan hari yang dinantikan itu tiba? Tak ada yang tahu.

Ada lagi kemungkinan yang lain, tentang mengapa seseorang berkata ‘ya’ dan tetap saja ‘ya’ itu menjadi ‘tidak’. Orang-orang seperti ini akan berkata, “Oh ya, aku akan mengerjakannya. Tetapi dengan cara-ku sendiri.” Ingatkah Anda akan lagu dari Frank Sinatra yang berjudul My Way (Cara-ku.)? Lagu itu ditutup dengan kalimat: “I did it my way (Kulakukan dengan caraku.)” Poinnya adalah mengerjakan dengan cara kita sendiri. Bisa saja kita berkata ‘ya’ kepada Allah di dalam kerangka bahwa kita akan melayani Allah dengan cara kita sendiri.

Saya juga tidak mengerti pola pikir seperti ini. Saya pernah bercakap-cakap dengan seseorang tentang keputusannya untuk melayani Tuhan sepenuh waktu. “Tidakkah Anda telah membuat komitmen untuk melayani sepenuh waktu?” saya bertanya. Ia berkata, “Ya.” Saya katakan, “Nah, apakah Anda tidak akan segera menjalankan komitmen tersebut?” Ia menjelaskan kepada saya, “Oh, saya melayani Tuhan di waktu luang saya.”

Sangat sulit memahami penalarannya. Apakah ia secara sengaja telah menipu dirinya sendiri? Apakah kawan Kristen yang sedang bercakap-cakap dengan saya saat itu tidak tahu bahwa melayani Tuhan di waktu luangnya berarti tidak melayani Tuhan sepenuh waktu? Lalu mengapa ia sudah membuat komitmen itu di depan dengan orang banyaki? Mengapa ‘Ya’ yang ia ucapkan menjadi ‘Tidak’? Akan tetapi orang-orang seperti ini, terlihat, tidak terganggu hati nuraninya. Saya sangat bingung melihat kenyataan betapa orang-orang Kristen bisa menipu diri sendiri dengan cara seperti ini. Sangat menggelisahkan saya. Saya rasa kawan Kristen ini berpikir dalam kerangka seperti itu. Ia mengira bahwa, sebagai contoh, dengan mengikuti banyak kegiatan keagamaan maka ia sudah melayani Tuhan sepenuh waktu. Mengapa tidak jujur saja berkata, “Tidak, aku tidak mau”? Itu jelas merupakan jawaban yang jujur. Jawaban ‘tidak’ lebih baik daripada berkata ‘ya’, jika kita tidak menjalankannya. Apakah mereka mengira bahwa mereka bisa mengelabui Allah?

Sungguh aneh melihat cara kita mengerjakan sesuatu. Itulah sebabnya mengapa saya berkata bahwa hal ini menakutkan saya. Apakah Anda sudah benar-benar menanggapi panggilan Allah untuk menjadi seorang Kristen dan untuk melayani Dia? Pelayanan penuh waktu atau paruh waktu tidak dipersoalkan di sini. Yang ingin saya tanyakan adalah, “Apakah Anda menjalani kehidupan Kristen seperti yang dikehendaki Allah bagi Anda?” Jika tidak, apa maksud dari kata ‘ya’ Anda? Dengan cara bagaimana tanggapan Anda bisa menjadi tanggapan dari jenis yang dikehendaki oleh Allah dari Anda?


Saat Anda berkata ‘ya’ kepada Tuhan

Mari kita bawa pembahasan ini ke tingkat kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, apakah Anda sering marah? Jika benar, bagaimana Anda akan menjelaskan bahwa kata ‘ya’ dari Anda itu suatu tanggapan atas panggilan Allah? Tidakkah Ia memanggil kita untuk memikul salib dan mengikut Dia? Tidakkah Ia memanggil kita untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati? Tidakkah Ia memanggil kita untuk memuliakan Dia di dunia ini dan untuk bersinar sebagai terang dunia? Nah, apakah kehidupan Anda memberi kemuliaan bagi Dia? Jika tidak, bagaimana kata ‘ya’ dari Anda bisa benar-benar berarti ‘ya’? Bukankah ‘ya’ Anda sudah menjadi ‘tidak’? Apakah keberadaan Anda di kantor, di sekolah, dan di rumah, memuliakan nama-Nya? Apakah Anda bersinar sebagai terang dunia? Jika tidak, ada apa dengan kata ‘ya’ dari Anda saat menjawab panggilan Allah?

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Anda harus menjadi sempurna, akan tetapi apakah perbuatan-perbuatan Anda yang melawan kehendak Allah tidak membuat Anda merasa sangat sedih? Jika Anda telah gagal, apakah Anda merasa sedih dan sangat risih melihat diri sendiri? Apakah hal itu tidak membawa Anda untuk berubah sehingga Anda tidak mengulanginya lagi?

Kita begitu cepat melihat apa saja kesalahan orang-orang Farisi. Kita melihat dengan jelas selumbar di mata mereka, sementara balok di mata sendiri tidak terlihat. Sudah sering saya mendengar orang-orang yang berkata bahwa orang Kristen bahkan tidak mampu menunjukkan moral yang rata-rata, apalagi yang luar biasa, dan hal itu sangat menyedihkan hati saya. Kita gagal dan gagal lagi, akan tetapi kita tetap mengira bahwa kita telah berkata ‘ya’ kepada Allah. Yang penting bukan apakah Anda telah berkata ‘ya’ tetapi apakah Anda sedang menjalankan kehendak-Nya.

Penekanan kita harus benar. Kita harus menanyakan diri ini setiap saat, “Apakah hidup saya memuliakan nama-Nya? Semua yang saya lakukan di rumah, di gereja atau di mana saja, apakah semua itu memuliakan nama-Nya?” Jika tidak, maka kata ‘ya’ dari saya sudah bermakna ‘tidak’ karena saya tidak mengerjakan kehendak-Nya. Dan kita tahu apa kehendak-Nya itu. Jangan berkata bahwa kita tidak mengetahui apa kehendak-Nya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Mulailah dengan memuliakan nama-Nya. Itulah hal yang dapat Anda kerjakan. Mulailah dengan menjalani hidup ini sedemikian rupa sehingga teman-teman Anda akan berkata, “Aku telah melihat dengan mataku sendiri seperti apa orang Kristen yang sejati itu. Aku hanya perlu mengamati kehidupannya dan aku sudah mendapat pemahamannya. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar apa arti kekristenan itu. Aku hanya perlu mengamati kehidupan orang ini. Itulah kekristenan. Itulah arti menjadi orang Kristen.”

Sekarang ini, bagaimanapun juga, hampir setiap orang berkata kepada saya, “Aku tidak mau menjadi orang Kristen karena perilaku orang Kristen menjijikkan.” Jika ada orang yang bisa berkata, “Dengan mengenalmu, aku tahu bahwa lebih baik aku tidak menjadi orang Kristen,” maka itu berarti kata ‘ya’ dari Anda sebenarnya bermakna ‘tidak’. Sikap seperti itu (‘ya’ menjadi ‘tidak’) merupakan suatu penghinaan kepada Injil dan kepada Tuhan, tidak peduli seberapa sopan cara Anda berkata ‘Ya,’ kepada Tuhan.

Terlebih lagi, kata ‘bapa’ (sir) yang diterjemahkan di dalam ayat 29 ini adalah kata Yunani yang sama dengan kata ‘Tuhan’ (Lord), sehingga hal ini akan mengingatkan kita pada perkataan Yesus di dalam Lukas 6:46, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuan, Tuan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” Yesus sedang bertanya kepada kita, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku, ‘Tuan, Tuan’, lalu bertengkar dengan istrimu? Mengapa kamu berseru kepada-Ku, ‘Tuan, Tuan’, namun tetap menjadi orang yang pemarah? Apakah kamu tidak mau mengerjakan apa yang Ku-katakan kepadamu? Aku berkata bahwa kamu harus menjadi lemah lembut dan rendah hati, menjadi terang dan garam dunia. Seluruh isi Khotbah di Bukit memberi tahu kamu bagaimana kamu harus berperilaku. Kamu berseru kepada-Ku, ‘Tuan, Tuan’, tetapi kamu tidak melakukan apa yang Kukatakan kepadamu. Kamu tidak menolong mereka yang kekurangan dan tidak mengasihi sesamamu manusia. Kamu juga tidak berbelas kasih kepada mereka yang lemah. Lalu mengapa kamu memanggil-Ku ‘Tuan’?”

Apakah kita lebih baik daripada orang-orang Farisi? Saya rasa tidak. Mungkin kita malah lebih buruk daripada mereka. Kita juga berpuas diri di tengah segala macam kegagalan dan kebobrokan ini. Apakah kita mampu menempatkan berahi kita di bawah kendali? Itu adalah wilayah di mana orang-orang muda selalu saja mengalami kegagalan. Begitu sulit menempatkan berahi di bawah kendali. Apakah kita melakukan hal-hal yang mempermalukan Tuhan?  “Mengapa kamu berseru kepadaKu, ‘Tuan, Tuan’, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?

Di jaman yang penuh kesempatan, sebagaimana jaman ini disebut, kesempatan untuk berbuat dosa terbuka di mana-mana. Saat saya merenungkannya, saya gemetar jika teringat sudah berapa kali saya nyaris menghancurkan hidup saya dulu. Sekarang ini orang-orang muda tinggal di kediamannya sendiri, dan punya kamar sendiri. Sangat mudah untuk berbuat apa saja tanpa diketahui oleh orang lain. Saya teringat betapa saya nyaris jatuh ke dalam dosa di masa sekolah saya. – nyaris saja. Namun berkat kemurahan Allah saya tidak, jika tidak, saya sama sekali tidak mempunyai kesaksian untuk diberikan.

Itu sebabnya saya bukan menyudutkan generasi muda dalam berbicara tentang hal ini. Jika Anda sedang bergumul, dan merasa lemah dalam pergumulan ini, saya beritahukan, saya pernah berada dalam keadaan lemah seperti Anda. Mungkin Anda masih jauh lebih kuat dari pada saya di usia yang sama. Namun waspadalah terhadap kesalahan kecil, satu saja kecerobohan, dan Anda akan berakhir dalam penyesalan seumur hidup. Dan Anda akan mendapati bahwa diri Anda menjadi lebih buruk daripada orang-orang Farisi. Jika Anda memandang mereka sebagai orang-orang munafik, lihat saja bakat kemunafikan Anda nanti, saat Anda mencoba tampil sebagai orang Kristen baik-baik namun menjalani kehidupan rahasia yang penuh dosa. Lalu kata ‘ya’ dari Anda sesungguhnya adalah ‘tidak’.

Penjelasan lain mengapa kita tidak mengerjakan kehendak Tuhan adalah bahwa kita mencobanya tetapi mengalami kegagalan. Akibatnya, kita berkata, “Aku berkata ‘ya’, dengan niat untuk melakukannya, tetapi aku tidak bisa memenuhinya. Aku benar-benar bermaksud untuk melakukannya, tetapi ketika sampai pada pelaksanaan, aku telah gagal. Aku tidak ingin menjadi orang yang tidak tulus Tuhan, tetapi ajaran-Mu terlalu sukar buatku. Semua ini terlalu berat bagiku. Sifatku jelek; aku tidak mampu mengendalikan sifat pemarahku. Aku telah mencoba mengendalikan sifat buruk ini, aku benar-benar ingin berkata ‘ya’, tetapi aku tak sanggup memenuhinya.” Lalu kita berharap semoga Tuhan memaklumi kegagalan kita.

Apakah Tuhan akan berbelas-kasihan? Bisa ya, bisa juga tidak, bergantung pada seperti apa tanggapan kita. Karena jika kita berkata bahwa kehidupan Kristen itu tidak akan bisa dicapai, berarti kita sedang berkata bahwa Allah telah meminta kita untuk mengerjakan hal yang mustahil dengan memberi kita ajaran yang tidak bisa dijalankan. Seperti menyuruh kita mengejar mimpi. Kita memandang bahwa kegagalan kita adalah karena Tuhan tidak menyediakan pertolongan untuk kita bisa menjalankan kehendak-Nya. Ia telah memberi kita pengajaran yang tidak realistis yang tak mungkin bisa dijalankan. Hal yang mustahil untuk dikerjakan. “Jadi, aku memang berkata ‘ya’, dan memang mengupayakannya, tetapi aku tak mampu menjalankannya. Maafkan aku. Aku tetap berkata ‘ya’ sekalipun aku selalu gagal setiap saat. Semoga Allah berbelas kasihan dan memaklumi kegagalanku.”

Saya beritahukan kepada Anda, hal itu tidak cukup. Sebenarnya Allah telah memberi kita kuasa untuk menjalankannya. Jadi janganlah kita mengalihkan tanggungjawab kepada-Nya dan berkata, “Tuhan, Engkau telah memberi ajaran yang mustahil untuk dijalankan, jadi semua itu salah-Mu sendiri, bukan salahku. Niatku untuk menjalankan semua itu selalu ada. Engkau tahu isi hatiku. Aku berniat untuk menjalankannya, tetapi aku tidak sanggup. Dan karena aku tidak sanggup untuk menjalankannya, maka itu salah-Mu sendiri karena menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang mustahil.” Anda tidak akan lolos dengan kerangka berpikir seperti ini. Itu sebabnya kita mengalami Pentakosta, saat di mana Allah memberi kita Roh Kudus karena Ia tahu bahwa kita tidak sanggup mengerjakan hal itu. Ia memberi kita Roh Kudus untuk menguatkan kita supaya kita dapat mengerjakannya. Itu sebabnya saya menekankan bahwa kebenaran itu harus dialami, Anda harus mengalami sendiri untuk melihat apakah Firman Allah itu benar, apakah Firman Allah itu bisa dijalankan. Kalau tidak, katakan bahwa Firman Allah itu tidak benar, “Ia menyuruhku untuk mengerjakan hal-hal yang mustahil, jadi Firman-Nya itu tidak benar. Tidak bisa dijalankan.”

Allah telah memberi kita kuasa untuk memindahkan gunung (Matius 17:20). Dan Ia akan memberi kita kuasa untuk mengerjakan hal-hal yang tidak mampu kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri seperti mengendalikan emosi dan mengatasi kekhawatiran akan hal-hal tertentu. Jadi kita tidak boleh menuduh Allah, gereja ataupun orang lain ketika kita berbuat salah. Ia menyediakan kuasa bagi kita supaya kita tidak jatuh ke dalam jerat dosa. Sekalipun kita mungkin pernah jatuh sebelumnya, kita bisa bangkit kembali, karena kuasa Allah dapat mengangkat kita kembali. Kita dapat melayang lagi seperti rajawali, jika kita bertobat. Namun bukan jenis pertobatan terus menerus – mengamuk, lalu bertobat, lalu mengamuk lagi, lalu bertobat lagi, dan seterusnya. Bukan jenis pertobatan yang berputar tanpa ujung, akan tetapi pertobatan yang mendorong kita untuk bergantung pada Allah supaya kita tidak jatuh lagi – minimal tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Bukan merupakan suatu pertobatan yang sejati jika kita bertobat atas suatu kesalahan lalu mengulangi kesalahan itu lagi. Itu bukanlah pertobatan yang sejati. Jika kita benar-benar bertobat, kita akan mengalami kuasa, realitas dan kebenaran Allah di dalam hidup kita.

Masuk ke dalam kategori yang manakah Anda? Pada awal bab ini, saya menanyakan satu hal kepada Anda: Sudahkah Anda menanggapi panggilan Allah? Jika Anda sudah menanggapi, tanyakanlah pada diri Anda, apakah kata ‘ya’ dari Anda itu benar-benar berarti ‘ya’, atau apakah sudah berubah menjadi ‘tidak’. Jika telah berubah, mengapa?

Apakah Anda akan masuk ke dalam kerajaan Allah atau tidak – apakah Anda akan masuk ke dalam hidup Allah yang kekal atau tidak – bergantung pada pertobatan ini. Di dalam Matius 21:31, kita diberitahu bahwa lantaran jawaban ‘ya’ dari orang-orang Farisi telah berubah menjadi ‘tidak’, maka mereka tidak akan masuk ke dalam kerajaan Allah. Sementara para pemungut cukai dan perempuan sundal yang tadinya berkata ‘tidak’, lalu menjadi ‘ya’ lewat pertobatan, akhirnya masuk ke dalam kerajaan Allah.

Perhatikanlah hal ini: “Pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Bukan berarti bahwa setelah itu orang-orang Farisi akan menyusul di belakang. Artinya adalah bahwa mereka akan masuk dan meninggalkan orang-orang Farisi di belakang. Sedangkan orang-orang Farisi itu, mereka telah menutup kesempatannya sendiri untuk masuk ke dalam kerajaan Allah. Kita melihat hal ini dinyatakan secara khusus di dalam ayat 43,

“Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”

Renungkanlah hal ini. Jika kata ‘ya’ dari Anda berubah menjadi ‘tidak’, maka kata ‘ya’ dari Allah juga berubah menjadi ‘tidak’. Kerajaan Allah tadinya menjadi milik mereka – orang-orang Yahudi adalah umat pilihan Allah – dan kemudian apa yang terjadi? Kerajaan itu diambil dari mereka dan diberikan kepada orang-orang yang menaati Firman-Nya. Jelaslah, cara Anda menanggapi panggilan Allah – apakah Anda mengerjakan kehendak-Nya atau tidak – akan menentukan apakah Anda akan masuk ke dalam kerajaan-Nya. Bagi mereka yang telah mendengar Allah berkata, “Pergilah”, dan menaatinya, Allah akan berkata, “Mari”, di dalam Matius 25:34, kita mendapati ayat ini berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu.” Sebaliknya, mereka yang telah mendengar Allah berkata, “Pergilah”, tetapi menolak maka di hari Penghakiman nanti Ia akan berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk!” (Matius 25:41).

Jika kita tidak menanggapi panggilan pertama dari Allah untuk pergi (perintah Allah untuk pergi dan melayani Dia di tengah jemaat-Nya) maka perintah pergi yang kedua merupakan perintah yang terakhir dari-Nya, yaitu perintah untuk, “Pergi dan jangan pernah kembali lagi!” Ini adalah perintah yang mengerikan, bukankah begitu? Akan tetapi bagi mereka yang bersedia mengerjakan kehendak Allah, Ia akan berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu.

Ujilah diri Anda dengan sejujurnya di hadapan Allah karena kesejahteraan kekal Anda bergantung padanya. Jangan menipu diri Anda dengan berpikir bahwa Anda sudah pernah berkata ‘ya’ tetapi menurut salah satu dari ke lima jenis penalaran di atas jawaban Anda sebenarnya telah berubah menjadi ‘tidak’. Ini adalah suatu keputusan terpenting di dalam seluruh hidup Anda. Jika Anda pernah berkata ‘ya’, maka Anda harus memahami bahwa jawaban tersebut berarti Anda harus mengerjakan kehendak-Nya di setiap waktu, menjalani hidup yang memuliakan nama-Nya, dan bergantung pada kekuatan Allah untuk mengerjakan semua itu.

 

Berikan Komentar Anda: