Pastor Eric Chang | Matius 21:28-32 |

Saya ingin memulai pembahasan tentang perumpamaan ini dengan bertanya, “Apakah Anda sudah menanggapi panggilan Tuhan dengan sungguh-sungguh?” Bukan sekadar menanggapi, tetapi apakah Anda sudah menanggapinya dengan sungguh-sungguh?

Di dalam perumpamaan tentang dua orang anak ini (Matius 21:28-32) disebutkan,

28 “Namun, apa pendapatmu? Ada orang yang mempunyai dua anak laki-laki, dan ia datang kepada yang pertama dan berkata, ‘Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini di kebun anggur.’
29 Dan, ia menjawab, ‘Ya, Bapa,’ tetapi setelah itu ia tidak pergi.
30 Kemudian ayah itu pergi kepada yang kedua dan mengatakan hal yang sama. Anak itu menjawab, ‘Tidak mau,’ tetapi ia menyesal dan pergi.
31 Siapakah dari kedua anak itu yang mematuhi ayahnya?” Mereka berkata, “Yang terakhir.” Yesus berkata kepada mereka, “Sesungguhnya, aku mengatakan kepadamu bahwa para pengumpul pajak dan pelacur-pelacur akan masuk ke dalam Kerajaan Allah mendahului kamu.
32 Sebab, Yohanes datang kepadamu dalam jalan kebenaran dan kamu tidak memercayainya, tetapi, para pengumpul pajak dan pelacur-pelacur memercayainya. Dan, kamu, ketika melihat hal ini bahkan tidak menyesal sesudahnya sehingga kamu dapat memercayainya.”

Perumpamaan ini sangat mirip dengan perumpamaan tentang anak yang memboroskan harta warisannya (Luk 15:11-32). Dalam perumpamaan tersebut, ada dua orang anak — yang satu pergi meninggalkan ayahnya, sedangkan yang satunya lagi tetap tinggal bersama ayahnya, mengira bahwa ia sudah melakukan kehendak ayahnya padahal ia tidak. Terlihat jelas adanya kesejajaran yang sangat dekat di antara kedua anak di dalam kedua perumpamaan ini.

Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan di dalam perumpamaan ini. Pertama adalah kata “hari ini” (ay 28). Tanggapan terhadap panggilan dari Allah bukanlah sesuatu yang akan kita lakukan pada masa depan. Allah memanggil kita “hari ini”; Ia berbicara kepada kita pada “hari ini” juga.


DUA JENIS PENYESALAN

Selanjutnya, tanggapan dari anak yang kedua adalah “Tidak mau”. Ini merupakan jawaban yang sangat kasar yang tampaknya akan mengundang teguran dari sang ayah. Namun, kita tidak melihat adanya teguran dari sang ayah. Namun sesudah itu, si anak menyesal. Ada dua kata yang bisa dipakai dalam bahasa Yunani untuk istilah “menyesal”. Salah satu dari kata itu memiliki makna “perubahan pikiran”. Akan tetapi, kata yang dipakai di dalam perumpamaan ini adalah kata yang satunya lagi yang menunjukkan reaksi penyesalan yang sangat mendalam atas perilakunya. Kata ini menunjukkan penyesalan yang mendalam. Ketika si anak menyadarinya, ia merasa bahwa ia telah berbuat sangat kasar terhadap ayahnya dan merasa sangat bersalah atas hal itu. Kata yang dipakai di sini menyatakan betapa ia merasa sangat tidak senang dan risih terhadap dirinya sendiri. Si anak merasa demikian karena telah berkata atau berlaku seperti itu terhadap ayahnya.

Sekalipun kata Yunani lainnya untuk ungkapan “menyesal” juga memiliki makna rasa bersalah yang sangat mendalam pada diri seseorang, tetapi hal itu tidak selalu membawa pada tindakan yang benar. Kata yang satu ini lebih menekankan pada perasaan itu sendiri ketimbang pada tindakan berikutnya dari orang yang menyesal itu. Artinya, penyesalan tersebut tidak selalu diikuti oleh tindakan yang benar. Sebagai contoh, Yudas, ketika ia merasa sangat sedih atas pengkhianatannya terhadap Yesus. Ia merasa sangat jijik terhadap dirinya sendiri, sedemikian pedih dan menyesalnya dia sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Kata “menyesal” dipakai dalam pengertian yang seperti ini di Matius 27:3. Jadi, suatu tekanan penyesalan yang kuat bisa saja membawa seseorang untuk mengambil tindakan yang benar atau pun yang salah. Di dalam perumpamaan ini, perasaan tersebut membawa kepada tindakan yang benar, tetapi di Matius 27 — dalam kasus Yudas — kejadiannya berbeda.


RASA TIDAK LAYAK

Memang dibutuhkan penyesalan yang mendalam ketika Anda menyadari kegagalan dan ketidakberartian diri Anda. Ini merupakan langkah pertama dalam menanggapi panggilan Anda. Sebagai contoh, ketika Allah berurusan dengan Yesaya, dia segera merasakan betapa tidak berartinya diri ini (Yesaya 6). “Celakalah aku,” kata Yesaya, “aku ini orang yang najis bibir.” Yesaya memiliki masalah kebiasaan berbicara terburu-buru, orang yang najis bibir.  Ini adalah persoalan yang menimpa banyak dari antara kita — tidak mampu berperilaku yang pantas karena kurangnya kendali diri.

Kita sering menanggapi dengan cara seperti ini ketika Allah memanggil kita. “Aku sangat tidak layak bagi Tuhan, aku tidak layak menjadi anak-Nya. Aku tidak layak menjadi hamba-Nya. Ada begitu banyak kekurangan dan kegagalan.” Nah, Anda masih belum menjadi orang Kristen jika rasa tidak layak ini belum menantang Anda. Banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan Yesaya, kebiasaan berbicara buru-buru, memiliki bibir yang najis. Panggilan Allah akan menghadapkan kita dengan rasa tidak layak tersebut.

Bagaimana dengan anak yang pertama? Ia menanggapi dengan cara yang berbeda. Ketika ayahnya menyuruh dia untuk pergi bekerja di kebun anggur, ia menjawab tanpa ragu, “Baik bapa, aku akan pergi.” Anak itu menjawab dengan sangat santun. Akan tetapi, ia tidak pergi.

Yesus bertanya, “Anak yang mana yang melakukan kehendak bapanya?” Anak yang tadinya berkata “tidak” tetapi belakangan menjadi “ya”, atau yang berkata “ya” tetapi tidak pergi? Jelaslah bukan apa yang kita katakan melainkan apa yang kita lakukan, itulah yang penting. Inilah persoalan yang sesungguhnya. Anak yang pertama berkata “ya”, tetapi ia tidak pergi.

Lalu, Yesus menutup perumpamaan ini dengan kalimat berikut, “Sebab, Yohanes datang kepadamu dalam jalan kebenaran” (ay 32). Kehidupan Kristen, bahkan Injil itu sendiri, disebut sebagai jalan kebenaran (2Ptr 2:21). Alasan mengapa kita memiliki rasa tidak layak ini adalah justru karena kita menyadari bahwa kita masih jauh dari jalan kebenaran yang dituntut dari kita.


ALLAH MEMANGGIL SEMUA

Sekarang kita sampai pada poin utama dari perumpamaan ini. Pertama, sang ayahlah yang datang dan berbicara kepada anaknya. Adakah panggilan di sini? Anda mungkin berkata, “Saya tidak melihat adanya panggilan di sini.” Apa itu panggilan? Di dalam Kitab Suci, panggilan sudah terjadi ketika firman Allah sampai kepada Anda. Itulah panggilan. Sekarang ini pun, ketika Anda sedang membaca artikel ini, saat Anda mendengar firman Allah disampaikan kepada Anda, berarti Anda sedang dipanggil. Jika Anda seorang non-Kristen, firman Allah sedang ditujukan kepada Anda dan memanggil Anda sekarang.

Mengapa firman Allah itu sendiri adalah panggilan? Karena firman-Nya selalu menuntut tanggapan. Firman-Nya bukanlah sekadar materi kuliah atau bahan filsafat atau pun literatur, yang tidak membutuhkan tanggapan Anda. Terhadap hal-hal tersebut, Anda bisa saja mendengarkan tanpa harus menanggapinya karena mereka hanya sekadar bahan pengetahuan yang Anda masukkan ke otak Anda. Sebagai contoh, jika Anda mempelajari matematika, fisika atau pun kimia, Anda tidak perlu membuat tanggapan. Hal-hal itu hanya sekadar pengetahuan yang Anda dapatkan dan mungkin suatu saat akan Anda pergunakan. Akan tetapi, firman Allah tidak seperti ini. Firman Allah selalu menuntut tanggapan. Bahkan dengan tidak membuat tanggapan sebenarnya Anda sudah menunjukkan tanggapan, karena tidak menanggapi itu berarti “menolak”. Firman Allah selalu menghadapkan kita dengan kebutuhan untuk membuat tanggapan dan itu sebabnya firman Allah merupakan panggilan.

Perjanjian Lama memberikan banyak contoh tentang makna panggilan. Saya sudah menyebutkan tentang Yesaya 6, ketika datangnya firman Allah kepada Yesaya merupakan panggilan. Firman itu menuntut sebuah tanggapan. Hal yang sama juga ditemukan di Hosea 1:1, Yoel 1:1, Mikha 1:1 dan Zefanya 1:1. Anda akan mendapati berkali-kali para nabi itu berkata,

“Firman YAHWEH yang datang kepada…”

Itu berarti firman Allah itu dialamatkan kepada mereka dan dengan menanggapi firman tersebut mereka menjadi nabi. Tokoh-tokoh itu menjadi nabi karena firman Allah datang kepada mereka dan mereka menanggapinya. Dalam cara yang sama, beginilah seharusnya cara Anda menjadi orang Kristen sekarang ini — ketika firman Allah datang dan Anda menanggapinya. Jika Anda menolaknya, berarti Anda telah berkata “tidak” kepada Allah dan menyisihkan diri Anda dari Kerajaan kecuali jika setelah itu, sama halnya dengan si anak yang kedua, Anda bertobat.


PANGGILAN UNTUK BEKERJA

Hal kedua yang perlu diperhatikan dari panggilan Allah adalah panggilan itu merupakan panggilan untuk melayani. Di dalam perumpamaan ini, Ia datang kepada anak-anak-Nya dan berkata, “Pergi dan bekerjalah di kebun anggur.” Jadi, panggilan Allah kepada kita dalam menjadi orang Kristen tak pernah merupakan sekadar panggilan agar Anda mengangkat tangan dan berkata, “Aku orang Kristen.” Itu bukanlah Kekristenan. Setiap orang Kristen mempunyai tugas yang harus dilakukan. Tidak ada orang Kristen yang tidak diberikan tugas yang harus dikerjakannya. Jika Anda orang Kristen yang menganggur, itu berarti Anda sedang berada di tempat yang salah. Itu berarti Anda tidak sedang berada di tengah gereja karena semua gereja Allah adalah tempat untuk melayani. Setiap orang Kristen menerima panggilan untuk melayani. “Pergi dan bekerjalah di kebun anggur”. Kebun anggur tentu saja adalah lambang bagi kerajaan Allah di bumi ini. Jadi, kita dipanggil untuk melayani Allah di dalam kerajaan-Nya.

Hal ketiga yang perlu kita perhatikan adalah bahwa segala sesuatu sangat bergantung pada tanggapan kita terhadap Allah. Bagaimana kita menanggapi Allah merupakan hal yang sangat menentukan. Mungkin saja pada awalnya kita menanggapi dengan cara yang kasar, “Tidak mau!” Kemudian kita menyesali hal itu. Saya sendiri bersikap seperti ini dulu. Saya tidak punya waktu untuk Kekristenan. Saya berkeras menolak Injil, bukan karena saya telah memiliki pengetahuan tentang Kekristenan, tetapi karena kesaksian orang-orang Kristen yang berhubungan dengan saya pada saat itu. Saat saya mengamati mereka, sejujurnya, saya merasa muak, jadi saya sama sekali tidak berminat dengan Injil. Jadi, tanggapan awal saya adalah, “Aku tidak mau mendengarkan; aku tidak mau mendengar ajaran ini.” Namun, sejalan dengan waktu, saya mulai merasa malu melihat diri ini, melihat keangkuhan saya. Saya mulai memahami bahwa saya perlu berpaling kepada Allah. Setelah pengalaman saya bersama Allah di sebuah kamp tahanan di China, di mana saya berjumpa dengan Allah, seluruh kehidupan saya berubah sepenuhnya. Saya menanggapi panggilan-Nya di dalam kamp tahanan. Firman Allah datang kepada saya dan saya berkata, “Ya.”


MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH

Hal yang paling penting adalah melakukan kehendak Allah, bukan sekadar mendengarkan. Bukan tanggapan yang sekadar berkata “ya” atau “tidak”. Mengerjakan kehendak-Nya berarti benar-benar melayani Allah sepenuhnya. 

Apa artinya berkata “ya” pada panggilan Allah? Kita lihat anak yang kedua, yang awalnya berkata “tidak”, yang mewakili para pemungut cukai dan perempuan sundal — kalangan yang dipandang sebagai sampah masyarakat. Anak yang pertama, yang berkata “ya”, mewakili orang-orang Farisi dan pemimpin agama. Merekalah yang berkata, “Baik, bapa”, tetapi tidak mengerjakan kehendak Allah.

Hal yang seringkali gagal kita pahami adalah bahwa mereka yang paling berpotensi dalam hal-hal rohani adalah mereka yang dipandang sebagai sampah masyarakat oleh dunia. Pada masa itu, pemungut cukai dan perempuan sundal bukanlah orang-orang yang paling miskin di masyarakat. Sebenarnya, banyak pemungut cukai yang cukup kaya. Demikian pula dengan perempuan sundal. Sekalipun mereka dipandang sebagai orang-orang yang menjalani pekerjaan yang menjijikkan, secara ekonomi mereka tidaklah miskin. Akan tetapi, mereka memang miskin secara moral.


ANAK YANG KEDUA MEWAKILI PARA PENGUMPUL PAJAK DAN PELACUR

Selama masa pelayanan saya yang sekitar 30 tahunan ini, saya mendapati bahwa orang-orang yang paling berpotensi secara rohani biasanya bukanlah orang-orang yang religius. Bukan pengunjung setia gereja yang akan menjadi landasan pekerjaan Allah, hal yang sangat mengejutkan kita semua. Orang-orang yang terlihat bermoral ini memiliki  cara yang aneh dalam menolak kehendak Allah. Lihatlah apa yang terjadi pada Charles Wesley. Ia diusir dari gereja dan pelayanannya justru berkembang sesudah itu, dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika ia dikucilkan oleh gerejanya, ia mulai berkhotbah di jalan-jalan. Seiring dengan pelayanannya di jalanan, banyak orang yang berpaling kepada Tuhan, mengawali sebuah gelombang kebangkitan yang tidak dapat disaingi oleh zaman mana pun di Inggris. Itu sebabnya, sebagai orang Kristen, kita tidak boleh meremehkan mereka yang berada di luar lingkungan Kekristenan. Kita seharusnya menyadari bahwa di luar sana ada potensi yang besar bagi pengembangan gereja. Jangan pernah memandang para pelacur sebagai orang-orang yang menjijikkan dan pemberontak. Banyak yang terjerumus karena desakan kebutuhan hidup, dan hanya itu jalan yang mereka tahu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan pernah merasa lebih unggul dengan menghakimi moral orang lain.

Yesus disebut sebagai sahabat orang-orang berdosa, pemungut cukai dan yang sejenisnya (Mat 11:19). Mereka adalah kalangan yang mendapat belas kasihan-Nya secara khusus. Para pemungut cukai dibenci oleh orang-orang Yahudi karena mereka dipandang sebagai pengkhianat dengan mengumpulkan pajak bagi pemerintah Romawi dari saudara sebangsa mereka. Orang yang nasionalis dan setia kepada bangsa akan memandang apa yang dikerjakan oleh si pemungut cukai itu menjijikkan. Tak diragukan lagi, sangatlah mudah untuk menghakimi orang lain berdasarkan standar kita sendiri. Itu merupakan sebuah kesalahan karena kita tidak tahu mengapa mereka mengerjakan hal itu. Apakah mereka rakus dan tamak? Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup mereka juga. Sekalipun kita tidak setuju dengan standar moral mereka, apa hak kita untuk menghakimi?

Dalam hal respon, jauh lebih mudah mendapatkan tanggapan yang positif and jelas dari orang non-Kristen ketimbang dari orang Kristen. Banyak orang Kristen cenderung mengidap penyakit kesombongan. Mereka mengira dirinya jauh lebih baik daripada orang lain padahal dalam kenyataannya mereka justru jauh lebih buruk. Kesombongan yang melekat ini seringkali tampil dalam bentuk yang santun dan tertata rapi. Nah, ketika Allah berbicara kepada Anda, bagaimana tanggapan Anda terhadap panggilan-Nya? Jawabannya mungkin, “Baik, Bapa.” Akan tetapi, apakah Anda mengerjakan kehendak Allah? Apakah orang-orang Farisi dan para pemimpin agama mengira bahwa mereka tidak mengerjakan kehendak Allah? Saya rasa tidak. Lalu, bagaimana dengan kita, mengapa kita tidak mengerjakan kehendak Allah? Mengapa kita berkata “ya”, tetapi tidak melakukannya?


BERKATA “YA” DALAM PERKATAAN, TETAPI “TIDAK” DALAM KENYATAAN

Kita bisa saja menganalisa hal ini dan berkata bahwa orang-orang Farisi dan para pemimpin agama itu dengan sengaja berlaku tidak taat. Mereka berkata, “Baik, Bapa,” hanya untuk mengolok-olok. Mereka tidak benar-benar mau mengerjakan kehendak Allah, walaupun mereka menyanggupinya. Akan tetapi, saya rasa ini adalah penalaran yang sangat keliru. Hal inilah yang merupakan bagian yang mengerikan dalam menanggapi panggilan Allah. Jika kita mengaku bahwa kita tidak seperti para pemimpin agama itu karena kita tidak sekadar menyanggupi di mulut saja, bahwa kita tidak akan berlaku tidak taat secara sengaja, maka kita sudah memandang diri kita lebih unggul ketimbang orang-orang Farisi itu. Akan tetapi, semakin saya mempelajari Alkitab, dan semakin saya mempelajari tentang orang-orang Farisi, semakin saya mendapati bahwa ternyata kita ini sangat mirip dengan mereka. Mereka tidak lebih buruk jika dibandingkan dengan kita. Saat saya mempelajari kehidupan dan kepribadian orang-orang Farisi, saya mendapati bahwa di dalam kebanyakan hal, mereka jauh lebih baik daripada kita.

Kita selama ini diajari bahwa orang-orang Farisi tidak lebih dari sekumpulan orang munafik, tetapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Anda cukup mempelajari karya-karya ilmiah tentang kehidupan orang-orang Farisi, dan Anda akan segera melihat betapa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagumkan, dan sangat tulus. Ketulusan mereka sungguh murni. Bagi saya, hal ini merupakan penemuan yang mengejutkan, karena sebelumnya saya biasa berkata, “Nah, aku bukan orang yang tidak tulus dan munafik. Jadi, aku bukan orang Farisi.” Akan tetapi, ketulusan orang-orang Farisi tidak kalah dari siapa pun. Oleh karena mereka adalah orang-orang yang tulus, maka tentunya ada penjelasan lain bagi ketidaktaatan mereka.

Hal ini membawa kita kepada poin yang lain di dalam pembahasan kita. Kita bisa saja berkata “ya” kepada panggilan Allah, seperti yang telah dilakukan oleh banyak orang Kristen. Saat kita berbicara tentang panggilan dari Alkitab, kita tidak berbicara tentang pelayanan purna waktu. Di dalam Perjanjian Baru, panggilan tersebut tidak berkaitan dengan pelayanan purna waktu. Semua orang Kristen adalah orang-orang yang terpanggil. Anda hanya perlu mempelajari pemakaian kata “panggil” di dalam Perjanjian Baru, dan Anda akan melihat bahwa kita semua adalah orang-orang yang terpanggil.

Kata “panggil” di dalam pengertiannya yang khusus — terpanggil untuk menjalani pelayanan purna waktu — tidak akan Anda temukan di dalam Perjanjian Baru. Ini merupakan ciptaan orang Kristen. Kita telah melakukan hal yang mirip dengan tindakan orang-orang Farisi. Kita telah memasukkan makna kita sendiri ke dalam firman. Ketika saya mempelajari kata “panggil” di dalam Perjanjian Baru, saya terkejut karena makna yang lazim dari kata itu — yaitu panggilan untuk masuk ke dalam pelayanan purna waktu — tidak terdapat di sana.

Tahukah Anda bahwa setiap orang Kristen adalah orang-orang yang terpanggil? Saya mendapati bahwa di dalam Alkitab, panggilan selalu berarti firman Allah yang ditujukan kepada setiap orang Kristen, setiap orang yang telah menanggapinya. Jika Anda telah menanggapi firman-Nya, berarti Anda telah dipanggil. Anda tidak bisa berkata, “Hanya orang-orang yang masuk ke sekolah Alkitab yang menerima panggilan. Kita ini tidak.” Ini adalah sebuah penyalahgunaan atas makna “panggilan” dari Alkitab.


5 ALASAN “YA” KITA MENJADI “TIDAK”

PERTAMA, KITA MENYANGKA “MENGIYAKAN” BERARTI “MENGERJAKAN”

Kita mungkin menyangka bahwa dengan menjawab panggilan Allah, mengiyakan Firman Allah, berarti kita sudah mengerjakan apa yang harus dilakukan. Ini adalah semacam penipuan terhadap diri sendiri, hal yang sangat mengerikan. Sebagai contoh, kita mungkin merasa sudah melakukan apa yang diminta oleh Allah dari kita pada saat kita mengangkat tangan dalam sebuah KKR, ketika si pengkhotbah bertanya, “Apakah Anda mau menanggapi firman Allah?” Oleh karena karena kita sudah berkata “ya” di dalam sebuah KKR, maka kita mengira diri ini sudah menanggapi firman Allah, dan bahwa hal itu sudah dianggap sebagai sudah mengerjakan kehendak-Nya.

Sangat berbahaya jika kita berpikir seperti ini. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat mengira bahwa mereka sudah mengerjakan kehendak Allah ketika mereka mengiyakan firman Allah. Di dalam perumpamaan ini, anak yang pertama mengira bahwa dengan berkata “ya” berarti ia sudah menyenangkan hati bapanya, tidak ada hal lain lagi yang harus dikerjakan. Apakah ia benar-benar pergi bekerja di kebun anggur atau tidak, bukan masalah karena ia sudah menyenangkan hati bapanya dengan berkata “ya”.

Kedengarannya aneh, saya mendapati bahwa ada orang-orang Kristen yang berpikir persis seperti ini. Jika mereka sudah mengangkat tangannya di dalam sebuah KKR dan berkata ya, mereka mengira bahwa mereka sudah menaati Allah. Adakah hal lain lagi yang perlu mereka kerjakan? Sebagai akibatnya, kata “ya” dari mereka itu di dalam pelaksanaannya telah menjadi “tidak”.

Saya gemetar memikirkan sudah berapa banyak KKR yang saya hadiri dan pengkhotbahnya berkata, “Berapa orang dari antara Anda yang mau mengangkat tangan untuk menyerahkan diri Anda kepada Tuhan dalam pelayanan purna waktu?” dan saya melihat sangat banyak tangan yang terangkat. Akan tetapi, di mana orang-orang itu ketika tiba saatnya untuk masuk ke dalam pelayanan purna waktu? Mereka tidak terlihat. Apa yang telah mereka lakukan di dalam KKR itu? Apa yang terlintas di dalam benak mereka? Apakah mereka dengan sengaja telah menipu diri sendiri dan juga si pengkhotbah saat itu? Mengapa mereka mengangkat tangannya jika mereka sebenarnya tidak mau masuk ke dalam pelayanan?


KEDUA, BERKATA “YA” TETAPI TIDAK SEGERA MELAKUKAN

Penjelasannya sederhana, mereka mengacungkan tangannya dengan niat untuk melayani Tuhan sepenuh waktu pada masa nanti, besok atau mungkin lusa. “Suatu hari nanti, aku akan melayani Tuhan,” begitu kata mereka pada diri sendiri. Mereka mengira dengan melakukan hal itu, menjawab dalam kerangka seperti itu, maka mereka sudah memenuhi hal yang harus mereka kerjakan. Mereka merasa sangat puas, dan mengira sudah menyenangkan hati Allah, si pengkhotbah, dan diri sendiri. Apakah mereka tidak jujur? Tidak. Mereka memang serius bahwa suatu hari nanti mereka akan melayani Tuhan. Akan tetapi, masa depan itu selalu didorong jauh ke depan lagi. Mungkin hari yang ditunggu-tunggu itu akan benar-benar tiba ketika mereka memasuki masa pensiun dan memiliki banyak waktu luang, dan dengan demikian mereka bisa melayani Tuhan sepenuh waktu, setelah berusia sekitar 60-an tahun, jika mereka masih hidup sampai usia itu. Jika mereka tidak mencapai usia itu, mereka menganggap bahwa pelayanan purna waktu ternyata bukan kehendak Allah bagi mereka. Saya tidak memahami cara berpikir seperti ini dan telah menanyakan banyak orang tentang hal ini. Mereka akan berkata, “Oh, ya, suatu hari nanti. Tunggu saja.” Kapan hari yang dinantikan itu tiba? Tak ada yang tahu.


KETIGA, AKU AKAN MELAKUKANNYA DENGAN CARAKU SENDIRI

Ada lagi kemungkinan yang lain, tentang mengapa seseorang berkata “ya” dan tetap saja “ya” itu menjadi “tidak”. Orang-orang seperti ini akan berkata, “Oh ya, aku akan mengerjakannya, tetapi dengan caraku sendiri.” Ingatkah Anda akan lagu dari Frank Sinatra yang berjudul My Way (Caraku)? Lagu itu ditutup dengan kalimat: “I did it my way.” (Kulakukannya dengan caraku.) Poinnya adalah mengerjakan dengan cara kita sendiri. Bisa saja kita berkata “ya” kepada Allah di dalam kerangka bahwa kita akan melayani Allah dengan cara kita sendiri.

Saya juga tidak mengerti pola pikir seperti ini. Saya pernah bercakap-cakap dengan seseorang tentang keputusannya untuk melayani Tuhan sepenuh waktu. “Tidakkah Anda telah membuat komitmen untuk melayani sepenuh waktu?” saya bertanya. Ia berkata, “Ya.” Saya katakan, “Nah, apakah Anda tidak akan segera menjalankan komitmen tersebut?” Ia menjelaskan kepada saya, “Oh, saya melayani Tuhan pada waktu luang saya.”

Sangat sulit memahami penalarannya. Apakah ia secara sengaja telah menipu dirinya sendiri? Apakah kawan Kristen yang sedang bercakap-cakap dengan saya saat itu tidak tahu bahwa melayani Tuhan di waktu luangnya berarti tidak melayani Tuhan sepenuh waktu? Lalu, mengapa ia membuat komitmen itu di depan orang banyak? Mengapa “ya” yang ia ucapkan menjadi “tidak”? Akan tetapi, orang-orang seperti ini, terlihat tidak terganggu hati nuraninya. Saya sangat bingung melihat kenyataan betapa orang-orang Kristen bisa menipu diri sendiri dengan cara seperti ini. Sangat menggelisahkan saya. Saya rasa kawan Kristen ini berpikir dalam kerangka seperti itu. Ia mengira dengan mengikuti banyak kegiatan keagamaan, ia sudah melayani Tuhan sepenuh waktu. Mengapa tidak jujur saja berkata, “Tidak, aku tidak mau”? Itu jelas merupakan jawaban yang jujur. Jawaban “tidak” lebih baik daripada berkata “ya”, jika kita tidak menjalankannya. Apakah mereka mengira mereka bisa mengelabui Allah?

Sungguh aneh melihat cara kita menipu diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa saya berkata bahwa hal ini menakutkan saya. Apakah Anda sudah benar-benar menanggapi panggilan Allah untuk menjadi seorang Kristen, yaitu untuk melayani Dia? Pelayanan penuh waktu atau paruh waktu tidak dipersoalkan di sini. Yang ingin saya tanyakan adalah, “Apakah Anda menjalani kehidupan Kristen seperti yang dikehendaki Allah bagi Anda?” Jika tidak, apa maksud dari kata “ya” Anda? Dengan cara bagaimana tanggapan Anda bisa menjadi tanggapan dari jenis yang dikehendaki oleh Allah dari Anda?


KEEMPAT, TIDAK MEMULIAKAN ALLAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Mari kita bawa pembahasan ini ke tingkat kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, apakah Anda sering marah? Jika benar, bagaimana Anda akan menjelaskan bahwa kata “ya” dari Anda itu sebuah tanggapan atas panggilan Allah? Tidakkah Ia memanggil kita untuk memikul salib dan mengikut Dia? Tidakkah Ia memanggil kita untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati? Tidakkah Ia memanggil kita untuk memuliakan Dia di dunia ini dan untuk bersinar sebagai terang dunia? Nah, apakah kehidupan Anda memberi kemuliaan bagi Dia? Jika tidak, bagaimana kata “ya” dari Anda itu bisa benar-benar berarti “ya”? Bukankah “ya” Anda sudah menjadi “tidak”? Apakah keberadaan Anda di kantor, di sekolah, dan di rumah, memuliakan nama-Nya? Apakah Anda bersinar sebagai terang dunia? Jika tidak, ada apa dengan kata “ya” dari Anda saat menjawab panggilan Allah?

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Anda harus menjadi sempurna, tetapi apakah perbuatan-perbuatan Anda yang melawan kehendak Allah tidak membuat Anda merasa sangat sedih? Jika Anda telah gagal, apakah Anda merasa sedih dan sangat risih melihat diri sendiri? Apakah hal itu tidak membawa Anda untuk berubah sehingga Anda tidak mengulanginya lagi?

Kita begitu cepat melihat kesalahan orang-orang Farisi. Kita melihat dengan jelas selumbar di mata mereka, sementara balok di mata sendiri kita tidak lihat. Sudah sering saya mendengar orang-orang yang berkata bahwa orang Kristen bahkan tidak mampu menunjukkan moral yang rata-rata, apalagi yang luar biasa, dan hal itu sangat menyedihkan hati saya. Kita gagal dan gagal lagi, tetapi kita tetap mengira bahwa kita telah berkata “ya” kepada Allah. Yang penting bukan apakah Anda telah berkata “ya”, tetapi apakah Anda sedang menjalankan kehendak-Nya.

Penekanan kita harus benar. Kita harus menanyakan diri ini setiap saat, “Apakah hidup saya memuliakan nama-Nya? Semua yang saya lakukan di rumah, di gereja atau di mana saja, apakah semua itu memuliakan nama-Nya?” Jika tidak, kata “ya” dari saya sudah bermakna “tidak” karena saya tidak mengerjakan kehendak-Nya. Kita tahu apa kehendak-Nya itu. Jangan berkata bahwa kita tidak mengetahui apa kehendak-Nya, “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Mulailah dengan memuliakan nama-Nya. Itulah hal yang dapat Anda kerjakan. Mulailah dengan menjalani hidup ini sedemikian rupa sehingga teman-teman Anda akan berkata, “Aku telah melihat dengan mataku sendiri seperti apa orang Kristen yang sejati itu. Aku hanya perlu mengamati kehidupannya dan aku sudah mendapat pemahamannya. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar apa arti Kekristenan itu. Aku hanya perlu mengamati kehidupan orang ini. Itulah Kekristenan. Itulah arti menjadi orang Kristen.”

Sekarang ini hampir setiap orang berkata kepada saya, “Aku tidak mau menjadi orang Kristen karena perilaku orang Kristen menjijikkan.” Jika ada orang yang berkata, “Dengan mengenalmu, aku tahu lebih baik aku tidak menjadi orang Kristen,” itu berarti kata “ya” dari Anda sebenarnya bermakna “tidak”. Sikap seperti itu merupakan penghinaan kepada Injil dan kepada Tuhan, tidak peduli seberapa sopan cara Anda berkata “ya” kepada Tuhan.

Terlebih lagi, kata “Bapa” yang diterjemahkan di dalam ayat 29 ini merupakan kata Yunani yang sama dengan kata “Tuan” sehingga hal ini akan mengingatkan kita pada perkataan Yesus di Lukas 6:46,

“Mengapa kamu memanggil Aku, ‘Tuan, Tuan,’ tetapi tidak melakukan apa yang Aku ajarkan?”

Yesus sedang bertanya kepada kita, “Mengapa kamu berseru kepadaku, ‘Tuan, Tuan’, lalu bertengkar dengan istrimu? Mengapa kamu berseru kepadaku, ‘Tuan, Tuan’, tetapi tetap menjadi orang yang pemarah? Apakah kamu tidak mau mengerjakan apa yang aku katakan kepadamu? Aku berkata bahwa kamu harus menjadi lemah lembut dan rendah hati, menjadi terang dan garam dunia. Seluruh isi Khotbah di Bukit memberitahu kamu bagaimana kamu harus berperilaku. Kamu berseru kepadaku, ‘Tuan, Tuan’, tetapi kamu tidak melakukan apa yang kukatakan kepadamu. Kamu tidak menolong mereka yang kekurangan dan tidak mengasihi sesamamu manusia. Kamu juga tidak berbelas kasih kepada mereka yang lemah. Lalu mengapa kamu memanggil-Ku ‘Tuan’?”

Apakah kita lebih baik daripada orang-orang Farisi? Saya rasa tidak. Mungkin kita malah lebih buruk daripada mereka. Kita juga berpuas diri di tengah segala macam kegagalan dan kebobrokan ini. Apakah kita mampu menempatkan berahi kita di bawah kendali? Itu adalah wilayah di mana orang-orang muda selalu saja mengalami kegagalan. Begitu sulit menempatkan berahi di bawah kendali. Apakah kita melakukan hal-hal yang mempermalukan Tuhan?  “Mengapa kamu berseru kepadaku, ‘Tuan, Tuan’, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?”

Pada zaman yang penuh “kesempatan”, sebagaimana zaman ini disebut, kesempatan untuk berbuat dosa terbuka di mana-mana. Saat saya merenungkannya, saya gemetar jika teringat sudah berapa kali saya nyaris menghancurkan hidup saya dulu. Sekarang ini orang-orang muda tinggal di kediamannya sendiri, dan punya kamar sendiri. Sangat mudah untuk berbuat apa saja tanpa diketahui oleh orang lain. Saya teringat betapa saya nyaris jatuh ke dalam dosa pada masa sekolah saya. Namun, berkat kemurahan Allah saya tidak, jika tidak, saya sama sekali tidak mempunyai kesaksian untuk diberikan.

Itu sebabnya saya bukan menyudutkan generasi muda dalam berbicara tentang hal ini. Jika Anda sedang bergumul, dan merasa lemah dalam pergumulan ini, saya beritahukan, saya pernah berada dalam keadaan lemah seperti Anda. Mungkin Anda masih jauh lebih kuat daripada saya pada usia yang sama. Namun, waspadalah terhadap kesalahan kecil, satu saja kecerobohan, Anda akan berakhir dalam penyesalan seumur hidup. Anda akan mendapati bahwa diri Anda menjadi lebih buruk daripada orang-orang Farisi. Jika Anda memandang mereka sebagai orang-orang munafik, lihat saja bakat kemunafikan Anda nanti, saat Anda mencoba tampil sebagai orang Kristen baik-baik, tetapi menjalani kehidupan rahasia yang penuh dosa. Lalu, kata “ya” dari Anda sebenarnya adalah “tidak”.


KELIMA, KITA BERUSAHA MELAKUKAN, TETAPI MENGALAMI KEGAGALAN

Penjelasan lain mengapa kita tidak mengerjakan kehendak Tuhan adalah bahwa kita mencobanya, tetapi mengalami kegagalan. Akibatnya, kita berkata, “Aku berkata ‘ya’, dengan niat untuk melakukannya, tetapi aku tidak bisa memenuhinya. Aku benar-benar bermaksud untuk melakukannya, tetapi ketika sampai pada pelaksanaan, aku gagal. Aku tidak ingin menjadi orang yang tidak tulus Tuhan, tetapi ajaran-Mu terlalu sukar buatku. Semua ini terlalu berat bagiku. Sifatku jelek; aku tidak mampu mengendalikan sifat pemarahku. Aku telah mencoba mengendalikan sifat buruk ini, aku benar-benar ingin berkata ‘ya’, tetapi aku tak sanggup memenuhinya.” Lalu, kita berharap Tuhan memaklumi kegagalan kita.

Apakah Allah akan berbelas kasihan? Bisa ya, bisa juga tidak, bergantung seperti apa tanggapan kita. Jika kita berkata bahwa kehidupan Kristen itu tidak akan bisa dicapai, berarti kita sedang menuduh bahwa Allah telah meminta kita untuk mengerjakan hal yang mustahil dengan memberi kita ajaran yang tidak bisa dijalankan. Seperti menyuruh kita mengejar mimpi. Kita memandang bahwa kegagalan kita adalah karena Tuhan tidak menyediakan pertolongan untuk kita bisa menjalankan kehendak-Nya. Ia telah memberi kita pengajaran yang tidak realistis yang tak mungkin bisa dijalankan. Hal yang mustahil untuk dikerjakan. “Jadi, aku memang berkata ‘ya’, dan memang mengupayakannya, tetapi aku tak mampu menjalankannya. Maafkan aku. Aku tetap berkata ‘ya’ sekalipun aku selalu gagal setiap saat. Semoga Allah berbelas kasihan dan memaklumi kegagalanku.”

Saya beritahukan kepada Anda, hal itu tidak cukup. Sebenarnya Allah telah memberi kita kuasa untuk menjalankannya. Jadi, janganlah kita mengalihkan tanggung jawab kepada-Nya dan berkata, “Tuhan, Engkau telah memberi ajaran yang mustahil untuk dijalankan, jadi semua itu salah-Mu sendiri, bukan salahku. Niatku untuk menjalankan semua itu selalu ada. Engkau tahu isi hatiku. Aku berniat untuk menjalankannya, tetapi aku tidak sanggup. Dan karena aku tidak sanggup untuk menjalankannya, maka itu salah-Mu sendiri karena menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang mustahil.” Anda tidak akan lolos dengan kerangka berpikir seperti ini. Itu sebabnya kita mengalami Pentakosta, saat di mana Allah memberi kita Roh Kudus karena Ia tahu bahwa kita tidak sanggup mengerjakan hal itu. Ia memberi kita Roh Kudus untuk menguatkan kita supaya kita dapat mengerjakannya. 

Allah telah memberi kita kuasa untuk memindahkan gunung (Mat 17:20). Ia akan memberi kita kuasa untuk mengerjakan hal-hal yang tidak mampu kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri seperti mengendalikan emosi dan mengatasi kekhawatiran. Jadi, kita tidak boleh menuduh Allah, gereja ataupun orang lain ketika kita berbuat salah. Ia menyediakan kuasa bagi kita supaya kita tidak jatuh ke dalam jerat dosa. Sekalipun kita mungkin pernah jatuh sebelumnya, kita bisa bangkit kembali, karena kuasa Allah dapat mengangkat kita kembali. Kita dapat melayang lagi seperti rajawali, jika kita bertobat. Namun, bukan jenis pertobatan yang terus menerus — mengamuk, lalu bertobat, lalu mengamuk lagi, lalu bertobat lagi, dan seterusnya. Bukan jenis pertobatan yang berputar tanpa ujung, tetapi pertobatan yang mendorong kita untuk bergantung pada Allah supaya kita tidak jatuh lagi — minimal tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Bukan merupakan pertobatan yang sejati jika kita bertobat atas suatu kesalahan lalu mengulangi kesalahan itu lagi. Itu bukanlah pertobatan yang sejati. Jika kita benar-benar bertobat, kita akan mengalami kuasa, realitas dan kebenaran Allah di dalam hidup kita.


HAL MASUK KERAJAAN ALLAH

Masuk ke dalam kategori yang manakah Anda? Pada awal khotbah ini, saya menanyakan satu hal kepada Anda: Sudahkah Anda menanggapi panggilan Allah? Jika Anda sudah menanggapi, tanyakanlah pada diri Anda, apakah kata “ya” dari Anda itu benar-benar berarti “ya”, atau apakah sudah berubah menjadi “tidak”. Jika telah berubah, mengapa?

Apakah Anda akan masuk ke dalam kerajaan Allah atau tidak — apakah Anda akan masuk ke dalam hidup Allah yang kekal atau tidak — bergantung pada pertobatan ini. Di Matius 21:31, kita diberitahu bahwa lantaran jawaban “ya” dari orang-orang Farisi telah berubah menjadi “tidak”, maka mereka tidak akan masuk ke dalam kerajaan Allah. Sementara para pemungut cukai dan perempuan sundal yang tadinya berkata “tidak”, lalu menjadi “ya” lewat pertobatan, akhirnya masuk ke dalam kerajaan Allah.


“YA” DARI ALLAH JUGA MENJADI “TIDAK”!

Perhatikanlah hal ini: “Pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Bukan berarti orang-orang Farisi akan menyusul di belakang. Artinya adalah mereka akan masuk dan meninggalkan orang-orang Farisi di belakang. Orang-orang Farisi itu, mereka telah menutup kesempatan untuk masuk ke dalam kerajaan Allah. Kita melihat hal ini dinyatakan secara khusus di ayat 43,

Karena itu, Aku berkata kepadamu, Kerajaan Allah akan diambil darimu dan akan diberikan kepada orang-orang yang menghasilkan buah darinya.

Renungkanlah hal ini. Jika kata “ya” dari Anda berubah menjadi “tidak”, kata “ya” dari Allah juga berubah menjadi “tidak”. Kerajaan Allah tadinya menjadi milik mereka — orang-orang Yahudi adalah umat pilihan Allah — dan kemudian apa yang terjadi? Kerajaan itu diambil dari mereka dan diberikan kepada orang-orang yang menaati firman-Nya. Jelaslah, cara Anda menanggapi panggilan Allah — apakah Anda mengerjakan kehendak-Nya atau tidak — akan menentukan apakah Anda akan masuk ke dalam kerajaan-Nya. Bagi mereka yang telah mendengar Allah berkata, “Pergilah”, dan menaatinya, Allah akan berkata kepadanya, “Marilah”. Di Matius 25:34, kita mendapati ayat ini berkata,

“Marilah, kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, warisilah Kerajaan yang disediakan untukmu dari permulaan dunia.”

Sebaliknya, mereka yang telah mendengar Allah berkata, “Pergilah”, tetapi menolak, maka pada hari Penghakiman nanti Ia akan berkata,

“Pergilah dari hadapan-Ku, kamu yang terkutuk…” (Mat 25:41).

Jika kita tidak menanggapi panggilan pertama dari Allah untuk “pergi” (perintah Allah untuk pergi dan melayani Dia di tengah jemaat-Nya), perintah “pergi” yang kedua merupakan perintah yang terakhir dari-Nya, yaitu perintah untuk, “Pergi dan jangan pernah kembali lagi!” Ini adalah perintah yang mengerikan, bukankah begitu? Akan tetapi, bagi mereka yang bersedia mengerjakan kehendak Allah, Ia akan berkata, “Marilah, kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu.”

Ujilah diri Anda dengan sejujurnya di hadapan Allah karena kesejahteraan kekal Anda bergantung padanya. Jangan menipu diri Anda dengan berpikir bahwa Anda sudah pernah berkata “ya”, tetapi menurut salah satu dari lima jenis penalaran di atas, jawaban Anda sebenarnya telah berubah menjadi “tidak”. Inilah keputusan terpenting di dalam seluruh hidup Anda. Jika Anda pernah berkata “ya”, Anda harus memahami bahwa jawaban tersebut berarti Anda harus mengerjakan kehendak-Nya pada setiap waktu, menjalani hidup yang memuliakan nama-Nya, dan bergantung pada kekuatan Allah untuk mengerjakan semua itu.

Berikan Komentar Anda: