Pastor Eric Chang | Matius 25:14-30 |
Perumpamaan tentang Talenta (atau, tentang Tiga Pelayan) terdapat di Matius 25:14-30
14 “Sebab, Kerajaan Surga sama seperti seseorang yang akan pergi ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan miliknya kepada mereka.
15 Kepada yang seorang, ia memberikan 5 talenta. Kepada yang lainnya, 2 talenta, dan kepada yang lainnya lagi, 1 talenta. Masing-masing sesuai kemampuannya. Kemudian, ia pergi.
16 Orang yang menerima 5 talenta itu langsung pergi, dan menjalankan talenta itu, dan ia menghasilkan 5 talenta lagi.
17 Demikian juga orang yang menerima 2 talenta, ia juga menghasilkan 2 talenta lagi.
18 Akan tetapi, orang yang menerima 1 talenta itu pergi, menggali lubang di tanah, dan menyembunyikan uang tuannya.
19 Lama sesudah itu, tuan dari hamba-hamba itu datang dan mengadakan perhitungan dengan mereka.
20 Orang yang telah menerima 5 talenta itu menghadap dan membawa 5 talenta lagi, katanya, ‘Tuan, engkau mempercayakan 5 talenta kepadaku. Lihatlah, aku telah menghasilkan 5 talenta lagi.’
21 Tuannya berkata kepadanya, ‘Bagus sekali, hamba yang baik dan setia. Kamu setia dengan hal-hal kecil, aku akan mengangkat engkau atas banyak hal, masuklah ke dalam sukacita tuanmu.’
22 Dan, orang yang menerima 2 talenta juga menghadap dan berkata, ‘Tuan, engkau mempercayakan 2 talenta kepadaku. Lihat, aku telah menghasilkan dua talenta lagi.’
23 Tuannya menjawab, ‘Bagus sekali, hamba yang baik dan setia. Kamu setia dengan hal-hal kecil, aku akan mengangkat engkau atas banyak hal, masuklah ke dalam sukacita tuanmu.’
24 Kemudian, orang yang menerima 1 talenta juga menghadap dan berkata, ‘Tuan, aku tahu engkau orang yang kejam, menuai di tempat yang engkau tidak menabur, dan mengumpulkan di tempat yang engkau tidak menyebarkan benih.
25 Karena itu, aku takut, dan pergi dan menyembunyikan talentamu di dalam tanah. Lihat, engkau memiliki apa yang menjadi milikmu.’
26 Namun, tuannya menjawab dan berkata kepadanya, ‘Kamu hamba yang jahat dan malas! Kamu tahu bahwa aku menuai di tempat yang aku tidak menabur dan mengumpulkan di tempat yang aku tidak menyebarkan benih.
27 Karena itu, seharusnya kamu menyimpan uangku di bank dan ketika aku kembali, aku akan menerima milikku kembali dengan bunganya.
28 Ambillah 1 talenta itu darinya dan berikan kepada dia, yang memiliki 10 talenta itu.
29 Sebab, setiap orang yang memiliki akan diberi lagi, dan ia akan berkelimpahan. Akan tetapi, dari orang yang tidak memiliki, bahkan apa yang ia miliki akan diambil.
30 Lemparkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling pekat. Di tempat itu akan ada tangisan dan kertak gigi.’”
Perumpamaan ini memiliki makna yang sangat kaya dengan isi yang sangat tegas. Kita diberi gambaran tentang sebuah rumah tangga yang terdiri dari seorang majikan dengan para hambanya, sebuah gambaran yang akrab di dalam Injil. Di bagian akhir dari Matius 24, mulai dari ayat 45 dan selanjutnya, kita lihat gambaran yang sama tentang seorang majikan dengan sekumpulan hambanya. Hamba yang diberi kewenangan ternyata menyalahgunakan kekuasaan itu dan memukuli para hamba yang lain, sambil bermabuk-mabukan dan berpesta pora, sama sekali tidak peduli dengan hamba yang lain.
GEREJA SEBAGAI KELUARGA ALLAH
Di dalam Perjanjian Baru, gereja sering digambarkan sebagai sebuah rumah tangga. Konsep ini sangat perlu kita pahami karena merupakan hal yang mendasar di dalam ajaran Alkitab. Rasul Paulus berbicara tentang keluarga orang seiman di Galatia 6:10, dan tentang keluarga Allah di Efesus 2:19.
Karena itu, jika kita mendapat kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, khususnya kepada keluarga dalam iman. (Gal 6:10)
Jadi, kamu bukan lagi orang-orang asing dan pendatang, tetapi sesama warga dengan orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, (Ef 2:19)
Demikianlah, Paulus menggambarkan ajaran Yesus tentang keluarga Allah di mana Yesus menjadi Tuan atau Majikan dan yang lainnya — yaitu Anda dan saya — adalah hambanya. Menurut pengertian ini, kita semua adalah hambanya. Tidak ada pengecualian. Di dalam rumah tangga ini, setiap orang adalah hamba yang melayani Tuan yang sama.
Di dalam bahasa Yunani, kata “hamba” ini ditulis dengan memakai kata doulos, yang berarti “budak”. Muncul pertanyaan, adakah budak paruh waktu (part-time) di dalam rumah tangga Yesus? Sudah tentu tidak ada budak semacam itu. Seorang budak merupakan milik sang majikan sepenuhnya. Inilah konsep Perjanjian Baru tentang gereja. Sudah waktunya bagi kita untuk memahami seperti apa konsep gereja menurut Perjanjian Baru.
Di dalam perumpamaan ini, sang majikan yang pergi jauh dan kemudian kembali lagi adalah Yesus, yang pergi ke sisi Bapanya, dan akan datang lagi kepada kita. Ini merupakan poin utama dari perumpamaan ini. Perhatikan letak perumpamaan ini, yaitu sesudah pasal 24 yang berbicara tentang akhir zaman serta kedatangannya kembali. Di bagian ini, Yesus mengarahkan perhatian kita pada fakta bahwa kita berada di dalam rumah tangganya. Kita semua adalah hambanya. Kita sering hanya menekankan pada kedudukan kita sebagai anak dan mengabaikan tanggung jawab kita yang terkandung di dalam ide perhambaan.
HAMBA ALLAH: TIDAK LAGI HIDUP UNTUK DIRI SENDIRI
Rasul Paulus sangat bersukacita menyandang satu gelar, yaitu sebagai budak Yesus Kristus. Ia tidak banyak berbicara tentang dirinya sebagai anak Allah. Ia mengirim surat-surat dengan kata pembukaan berikut, “Paulus, hamba atau budak Yesus Kristus.” Bagi Paulus, gelar ini merupakan kemuliaan yang tertinggi. Bagi Paulus, gelar ini lebih berharga ketimbang pengangkatan sebagai anak. Bukankah hal ini luar biasa? Anda mungkin berharap agar Paulus membuka suratnya dengan ucapan, “Paulus, anak Allah.” Akan tetapi, Paulus tidak memakai istilah itu. Ia cenderung menyebut dirinya sebagai budak Yesus Kristus. Ia juga memandang semua orang di dalam jemaat sebagai hamba Allah atau budak Yesus Kristus, yang menjalani kehidupan yang kudus bagi Kristus sebagaimana halnya semua budak yang sepenuhnya merupakan milik sang majikan, menjalani hidup hanya bagi sang majikan.
Andai saja kita semua bisa menangkap konsep yang dipakai oleh Perjanjian Baru mengenai gereja sebagai rumah tangga Allah di mana kita semua adalah hamba-Nya! Setiap orang memiliki tanggung jawab penuh untuk menjadi hamba Allah, budak Yesus Kristus, sepenuh waktu. Artinya kita semua harus menjalani hidup ini demi Dia, tak peduli apakah kita ini menjadi pekerja purna waktu di gereja atau bukan. Sekarang ini, gereja dipenuhi oleh para pekerja paruh waktu (part-time), bukannya hamba atau budak Yesus Kristus. Kita seperti pendatang musiman di rumah tangga Allah yang hanya bekerja jika ada waktu luang untuk Dia. Hal ini sama sekali bukan gambaran yang dimaksudkan oleh Perjanjian Baru. Jika setiap orang di dalam gereja adalah pekerja sepenuh waktu bagi Allah, budak sejati Yesus Kristus, mereka bisa dilatih untuk menjadi pekerja full-time. Paulus berbicara tentang jemaat secara keseluruhan yang merupakan kumpulan orang-orang yang sudah dilatih dan dibekali sepenuhnya, kecuali mungkin orang-orang yang baru menjadi Kristen yang masih harus menjalani pelatihan dan pembekalan. Yang kita bicarakan ini adalah gagasan dalam Perjanjian Baru di mana tidak ada orang Kristen yang menjalani hidupnya bagi diri sendiri melainkan bagi Kristus saja. Paulus membahas hal ini di Roma 14:7-9 ketika ia memberitahu kita apa arti menjadi seorang Kristen. Ia tidak sedang berbicara tentang sekelompok kecil pekerja Kristen yang khusus, melainkan tentang orang Kristen secara umum. Pada intinya, ia berbicara seperti ini,
7 Sebab, tidak seorang pun dari kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri.
8 Sebab, jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, atau jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi, baik kita hidup atau kita mati, kita adalah milik Tuhan.
9 Karena untuk itulah Kristus mati dan bangkit, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati maupun orang-orang hidup.
Apakah Yesus menjadi Tuan di atas hidup Anda? Jika benar, Anda akan menjalani hidup demi dia, bukan demi Anda lagi. Anda hanya bertanggung jawab kepadanya dan seluruh hidup Anda dijalani dalam kebersamaan dengan dia sebagai tujuan hidup itu sendiri. Jika Anda mengaku sebagai seorang Kristen sejati, dapatkah Anda dengan setulus hati mengatakan bahwa itulah tujuan hidup Anda, bahwa Anda hidup bagi Dia?
Mari kita lihat 2 Korintus 5:15 untuk memastikan bahwa kita telah memahami persoalan ini dengan baik. Di sini Paulus berkata,
Dan, Dia mati untuk semua supaya mereka yang hidup tidak lagi hidup untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk Dia, yang telah mati dan dibangkitkan demi mereka.
Yesus telah mati bagi kita; ia mati bagi kita supaya kita tidak lagi hidup untuk kepentingan pribadi melainkan untuk dia. Sanggupkah kita berkata dengan jujur — jika kita mengaku sebagai orang Kristen dan menyatakan bahwa Yesus telah mati bagi kita — bahwa sejak saat ini kita hidup untuk dia?
SETIAP JEMAAT ADALAH PELAYAN FULL-TIME
Jika kita semua sebagai jemaat hidup untuk Yesus, lalu di mana letak perbedaan antara pelayan full-time dengan orang Kristen yang menjalani pekerjan sekuler? Apakah para pelayan full-time menjalani hidupnya untuk Yesus lebih daripada yang lain? Sekarang ini tampaknya begitu. Para pelayan full-time sekarang ini memang menjalani hidupnya untuk Yesus lebih daripada yang lain. Namun, apakah itu merupakan hal yang seharusnya terjadi? Alkitab berkata bahwa jika Yesus benar-benar mati bagi kita, kita tidak lagi menjalani hidup ini bagi diri sendiri. Beranikah Anda dengan setulus hati berkata seperti itu? Jika kita memang hidup hanya untuk Dia setiap hari, setiap saat, kehidupan kita seharusnya tidak berbeda dengan para pelayan full-time. Lalu, bagaimana kita akan mendefinisikan makna pelayan full-time?
Seorang pelayan full-time bisa saja terjun ke dalam pekerjaan sekuler yang memberikan penghasilan. Larangan terhadap hal itu jelas tidak alkitabiah. Kita mengetahui bahwa ketika menghadapi kebutuhan keuangan, Paulus bekerja menjahit tenda dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini juga terjadi pada para pelayan full-time di gereja-gereja yang saya gembalai di berbagai belahan dunia. Mereka bisa saja memanfaatkan keahlian mereka untuk memperoleh penghasilan. Namun, bagi mereka hidup ini adalah untuk Yesus. Ketika tiba saatnya mereka harus mengerjakan pekerjaan Tuhan, mereka segera mengundurkan diri dari pekerjaan mereka agar bisa melayani Tuhan dengan sepenuh perhatian. Bagi sebagian dari mereka, jika pekerjaan yang sedang dijalani ternyata menyita waktu secara berlebihan sehingga mereka tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan Tuhan, mereka berusaha mencari pekerjaan yang tidak menuntut alokasi waktu yang berlebihan. Dengan demikian, mereka bisa memanfaatkan lebih banyak waktu bagi Tuhan. Jadi, sekalipun mereka terlibat dengan pekerjaan sekuler, mereka mengerjakan semua itu bagi Tuhan. Tujuan hidup mereka adalah untuk Tuhan. Komitmen mereka bukan kepada pekerjaan melainkan kepada Tuhan. Jika hal ini bisa berlaku bagi mereka, mengapa tidak bagi orang Kristen yang lain?
Jika Anda terlibat di dalam sebuah pekerjaan, yang manakah yang menjadi prioritas Anda? Jika pekerjaan yang menjadi prioritas Anda, lalu bagaimana Anda akan menjalani hidup demi Yesus? Cobalah bayangkan sebuah gereja yang semua jemaatnya hidup bagi Yesus. Seharusnya setiap jemaat memang menjalani hidupnya bagi Yesus, bukankah demikian? Tidakkah Alkitab secara gamblang menyatakan hal itu? Itulah yang seharusnya, yang normal. Saya harap, oleh anugerah Allah, pengajaran yang alkitabiah ini bisa menjadi kenyataan di dalam kehidupan setiap orang Kristen di mana-mana.
Kebanyakan dari kita memiliki pekerjaan sekuler. Siapkah kita untuk melepaskan pekerjaan kita saat Tuhan menghendakinya? Bagaimana jika strategi peperangan rohani menuntut kita untuk pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain? Tidak akan mudah untuk berkata, “Baik, aku berangkat. Aku siap menjalankan perintah Tuhan setiap saat. Aku selalu siap melayani-Nya.” Kalimat seperti itukah yang paling sering terdengar dari mulut kita? Jika seperti itu cara berpikir sebagian besar orang di gereja, itu berarti kita sedang membangun gereja Perjanjian Baru di mana setiap orang secara tulus menjalani segenap hidupnya untuk Yesus. Saya memakai kata “secara tulus” karena saya tahu kebanyakan orang Kristen akan mudah berkata dalam kepura-puraan, “Oh ya. Aku hidup untuk Yesus.” Namun, sangat diragukan apakah pernyataan mereka itu bisa dibuktikan dalam kehidupan mereka.
Mari kita usahakan, oleh anugerah Allah, untuk menangkap visi tentang gereja Perjanjian Baru ini. Gereja bisa menjungkir-balikkan dunia jikalau semua orang dapat melihat betapa setiap anggota jemaat membaktikan hidupnya bagi Allah. Jika orang mengamati kehidupan Anda, apakah mereka akan terpesona dengan pengabdian Anda atau hanya pada kefasihan lidah Anda dalam membahas perkara rohani? Apakah pengabdian Anda kepada Allah juga terlihat bahkan sampai ke dalam kehidupan Anda di tempat kerja, di sekolah dan di kampus? Mungkin saat berada di sekolah Anda justru menjadi penakut dan malu dengan kekristenan sehingga Anda sangat enggan membicarakannya. Kekristenan kita tampaknya hanya untuk ditampilkan di gereja saja. Secara figuratif, mungkin gambarannya seperti ini, saat ke gereja, kita mengenakan pakaian khusus untuk gereja, dan pada saat pergi ke kampus atau ke tempat kerja, kita mengenakan pakaian khusus untuk bekerja atau kuliah. Apakah menjalani kehidupan untuk Yesus merupakan sebuah kenyataan dalam hidup kita? Saat teman atau kerabat datang mengunjungi kita, apakah mereka akan berkata, “Wow! Orang ini benar-benar hidup untuk Yesus! Tak ada hal lain yang lebih penting bagi dia. Seluruh pengabdiannya hanya untuk Yesus. Ia memang mempunyai pekerjaan sekuler, dan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik, tetapi tujuan hidupnya hanya bagi Yesus!” Kiranya Allah berkenan menganugerahkan gereja-gereja semacam itu bagi kita, karena tanpa itu dunia tidak akan mau melirik gereja jika hanya diisi dengan kefasihan lidah saja.
Dari perumpamaan ini, kita melihat bahwa setiap orang di dalam rumah tangga Allah memiliki kesamaan ikatan dalam arti setiap orang mendapatkan tugas, mendapatkan tanggung jawab. Yesus, sebagai contoh, tidak memberi satu orang dengan lima talenta, satunya lagi dengan dua talenta, lalu yang ketiga tidak menerima satu talenta pun. Setiap orang menerima tanggung jawab masing-masing.
SATU “TALENTA” SETARA DENGAN UPAH SELAMA 15 TAHUN
Kata “talenta” di dalam perumpamaan ini tidak ada kaitan sama sekali dengan bakat kita. Ia hanya sekadar merupakan satuan ukur atas jumlah uang. Kata “talenta” awalnya memiliki makna jumlah timbangan perak atau emas. Di dalam Perjanjian Lama, Anda dapat menemukan istilah-istilah seperti satu talenta emas, perak atau kuningan. Tidak ada kaitannya dengan istilah bahasa Inggris talent, yang memiliki makna “bakat” atau “pembawaan seseorang sejak lahir”. Kata “talenta” dalam perumpamaan ini hanya mengacu pada jumlah uang. Satu talenta merupakan jumlah uang yang sangat banyak pada zaman itu. Jika Anda memiliki Alkitab versi RSV (Revised Standard Version), Anda akan melihat di bagian catatan kakinya bahwa satu talenta itu sama dengan pendapatan seorang pekerja selama lebih dari lima belas tahun. Artinya, jika Anda bekerja selama lima belas tahun, jumlah uang yang Anda peroleh nilainya sama dengan satu talenta! Jika rata-rata seorang pekerja di Kanada mendapatkan penghasilan sebanyak $20.000 dalam setahun, satu talenta itu sebanding dengan $300.000. Pada zaman itu, perdagangan antar negara dinilai dalam satuan uang yang besar, yaitu talenta. Jadi, perumpamaan ini menunjukkan bahwa hal yang dipercayakan kepada setiap orang yang mengikut Tuhan nilainya sangatlah luar biasa. Bahkan ada yang dipercaya untuk mengelola lima talenta. Dalam hitungan zaman sekarang, itu bisa berarti jutaan dolar.
Akan tetapi, kita juga melihat bahwa setiap orang menerima jumlah yang berbeda-beda untuk dikelola. Yang pertama menerima lima talenta, yang kedua menerima dua talenta, dan ada yang menerima satu talenta. Apa yang menjadi penentunya? Perumpamaan ini menjelaskan kepada kita bahwa jumlah itu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing hamba itu (ay 15). Tuan hamba memberi lima talenta kepada yang satu, lalu dua talenta kepada yang satunya lagi, dan satu untuk yang terakhir, semua sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di dalam Perjanjian Baru, kata “kemampuan” tidak boleh diartikan berdasarkan bakat alamiah seseorang.
“KEMAMPUAN” TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN “BAKAT ALAMIAH”
Allah tidak mempercayakan lebih kepada seseorang hanya karena orang itu memiliki bakat yang lebih daripada yang lain. Bakat seseorang tidak selalu menjadi hal yang berguna dalam menjalankan pekerjaan Allah. Malahan bisa menjadi penghambat jika bakat tersebut menumbuhkan kesombongan pada orang itu. Orang yang memiliki kelebihan dalam hal kemampuan, biasanya, akan sangat menyadari kelebihannya. Mereka tahu akan kelebihan mereka karena ada banyak kesempatan untuk membandingkannya dengan kemampuan orang lain, dan hal ini membuat mereka sangat sadar akan kelebihan mereka. Tak peduli seberapa kuatnya mereka berusaha untuk rendah hati, tetap sangat sulit karena mereka tahu persis bahwa mereka lebih unggul daripada orang lain.
Orang seperti Muhammad Ali tentu saja tidak berusaha untuk merendah ketika ia berkata, “Aku yang terbaik. Aku yang nomor satu.” Pada masa itu, ketika ia masih menjadi petinju yang terbaik, ia sering mengumbar kata-kata tentang kemampuannya, dan orang berpikir, “Orang ini bermulut besar. Benar-benar sombong!” Akan tetapi, Ali tahu bahwa ia memang hebat. Ada juga orang yang memahami keunggulan mereka dan bersikap seolah-olah tidak menyadarinya. Akan tetapi, di dalam hati mereka berkata, “Aku yang terbaik, tetapi aku tidak akan menyombongkannya.” Kerendahan hati yang sejati ada jika kita tidak mengingkari kelebihan yang ada pada diri kita. Jika kita memiliki kelebihan di satu bidang, tidak masalah. Kita tidak usah berpura-pura dan berkata bahwa kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Namun, kita harus tahu bahwa di dalam kenyataan rohani, keunggulan alamiah kita tidak selalunya menguntungkan pekerjaan Allah. Dengan demikian, kita memiliki alasan yang tulus untuk menjadi rendah hati. Dasar kerendahan hati kita bukanlah kegagalan dalam mengenali keunggulan alamiah kita, melainkan kesadaran bahwa keunggulan itu bukanlah hal yang penting atau berguna bagi Allah. Hal itu malah bisa menghambat kemajuan karena kita akan cenderung untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan pertimbangan dan kehendak sendiri, mengandalkan kemampuan diri sendiri dan bukannya mengikuti cara Allah. Kita bisa menjadi terlalu percaya diri dan mengabaikan perlunya meletakkan kepercayaan kepada Allah. Sementara orang lain yang lemah serta menyadari kelemahannya, mengerti bahwa mereka harus mengandalkan Allah jika berurusan dengan perkara rohani. Sangatlah penting bagi mereka yang memiliki keunggulan alami untuk memahami bahwa di dalam dunia rohani bakat mereka tidak diperhitungkan dalam peperangan rohani. Kuasa Allah yang terwujud di dalam diri kita, itulah yang penting.
Paulus adalah orang yang sangat cakap. Cukup dengan membaca surat-suratnya, kita akan segera tahu betapa pandai dan betapa berbakatnya dia — baik dalam hal manajemen maupun dalam hal kemampuan memahami Alkitab dan perkara-perkara rohani. Namun justru karena keunggulannya itu, maka Allah menanamkan duri di dalam dagingnya. Paulus terlalu cerdas dan cakap sehingga Allah harus menanamkan duri di dalam dagingnya (2Kor 12:7). Paulus memahami bahwa itu untuk membuatnya tetap rendah hati. Akan tetapi, hal itu juga membuatnya sangat merasa sakit dan lemah. Lalu, ia memohon kepada Allah agar “duri” itu disingkirkan dari dirinya, tetapi duri itu tetap Anda. Tuhan berkata, “Duri itu akan terus ada di sana.” Paulus berkata, “Aku tahu. Hal ini karena aku sangat sombong dan aku harus tetap rendah hati. Itu sebabnya, mulai saat ini, aku akan bersukacita di dalam kelemahanku supaya kuasa Allah terwujud di dalam hidupku.” Demikianlah, kita bisa melihat bahwa ketika bakat dan kepandaian Paulus mulai menjadi penghalang, Allah terpaksa menanamkan “duri” di dalam dagingya. Beberapa orang dari antara kita ada yang harus mengalami hal ini karena keunggulan alaminya mulai menyuburkan kesombongan, dan mulai mengganggu cara dia melayani Allah.
“KEMAMPUAN” BERMAKNA “KEKUATAN”
Kalau kita bisa memahami poin ini, kita bisa mengerti bahwa Tuhan membagikan talenta-talenta kepada para hamba-Nya tidak didasari oleh kemampuan jasmani dan duniawi dari orang tersebut. Kata yang diterjemahkan dengan “kemampuan” itu, di dalam bahasa Yunaninya sebenarnya bermakna “kekuatan” atau “kuasa”. Setiap orang mendapatkan talentanya berdasarkan kuasa dan kemampuan rohaninya. Ide kunci di sini adalah kemampuan rohani. Kita mempercayakan tanggung jawab kepada seseorang berdasarkan kemampuannya. Kita tidak akan mempercayakan kuasa kepada orang yang kita pandang tidak akan mampu mengelola kuasa itu. Sebagai contoh, kita tidak akan menyerahkan granat yang masih aktif kepada seorang bocah berusia 12 atau 5 tahun. Seorang anak berusia 12 tahun mungkin cukup mengerti barang apa yang dia terima, dan Anda mungkin bisa mempercayakan granat tersebut padanya. Akan tetapi, bisa saja suatu saat ia terpicu amarah dan menarik pin kunci granat tersebut. Bagi seorang anak berusia lima tahun, ia jelas tidak tahu benda apa yang ia terima, dan ia mungkin mengira bahwa dengan menarik pin di granat itu akan terjadi sesuatu yang hebat. Tentu saja dia benar. Hanya saja, dia mungkin tidak akan sempat melihat hal hebat apa yang sedang terjadi! Ini karena ia masih belum mencapai kapasitas moral yang memadai untuk berhadapan dengan tanggung jawab memegang bahan peledak sehebat itu. Sama halnya dengan kita, ketika Allah mempercayakan sejumlah tanggung jawab kepada kita, Ia akan melihat apakah kita mampu mengelola tanggung jawab itu.
Sangat penting juga bagi kita untuk memahami bahwa kapasitas atau kemampuan kita tidak bersifat tetap. Bukti-bukti alkitabiah menunjukkan bahwa kita bisa meningkatkan kapasitas ini. Kita mungkin memulai sebagai orang Kristen yang menerima satu talenta saja — dalam pengertian rohani — lalu meningkat menjadi orang Kristen dua talenta, dan mungkin bahkan bisa sampai menjadi orang Kristen lima talenta suatu hari nanti.
Mari kita tinjau kata “-nya” di dalam anak kalimat “sesuai kemampuannya”. Di dalam hal ini, kata “-nya” tidak menunjukkan bahwa kita sudah memiliki kemampuan atau kuasa dari dalam diri masing-masing, atau kita dilahirkan dengan kuasa atau kemampuan yang berbeda-beda. Di Lukas 1:17, malaikat Tuhan berbicara tentang “roh dan kuasa Elia”. Kata “kuasa” di dalam anak kalimat tersebut berasal dari kata Yunani yang sama dengan yang diterjemahkan dengan kata “kemampuan” di dalam perumpamaan ini. Mungkin Anda akan bertanya, “Apa itu kuasa Elia? Apakah Elia memang memiliki kuasa yang berasal dari dirinya sendiri?” Tidak. Kuasa Elia berarti kuasa Allah yang bertindak melalui Elia. Pada dasarnya itu adalah kuasa Allah dan kuasa itu bekerja lewat Elia, jadi boleh disebut sebagai kuasa Elia. Kuasa itu diberikan kepada Elia, maka dalam pengertian tertentu kuasa itu sesungguhnya miliknya..
KEKUATAN BERASAL DARI IMAN
Jumlah talenta yang diberikan kepada seseorang bukanlah sesuatu hal yang sudah ditentukan atau ditakdirkan. Tidak bisa diartikan bahwa Allah sudah menetapkan bahwa seseorang akan menerima lima talenta, dan yang lain ditakdirkan menerima dua talenta. Paham seperti itu sangat tidak alkitabiah. Malahan Alkitab berkata bahwa setiap orang bisa maju sampai ke tingkatan Elia dan memiliki kuasa yang sama dengan yang bekerja di dalam diri Elia. Apa yang menjadi penentunya?
Untuk menjawab hal ini, mari kita lihat Roma 4:20,
… dia (Abraham) tidak dibimbangkan terhadap janji Allah oleh ketidakpercayaan. Sebaliknya, imannya dikuatkan sehingga ia memberikan kemuliaan kepada Allah,
Kata “dikuatkan” di dalam naskah Perjanjian Baru Yunani, yaitu bahasa sumbernya, memiliki dasar kata yang sama dengan kata yang diterjemahkan dengan “kemampuan” di dalam perumpamaan ini, dan dengan kata yang diterjemahkan sebagai “kuasa” Elia di Lukas 1:17. Ketiganya adalah kata yang sama. Kata Yunani endunamoo memiliki arti “peningkatan kuasa”. Saat Abraham berhadapan dengan kenyataan mandulnya Sara, yang tampaknya akan membuat janji Allah untuk menjadikan keturunannya sebanyak jumlah bintang di langit terlihat mustahil, tidak membuat kepercayaan Abraham terhadap janji Allah goyah. Malahan ia dikuatkan dalam imannya. Jadi, Abraham diperkuat oleh iman. Dengan demikian, kuasa ini datang melalui iman.
Di Kisah 9:22, kita lihat betapa Paulus memiliki iman seperti Abraham. Di sini, Paulus sudah menjadi Kristen, tetapi namanya belum diganti dari Saulus menjadi Paulus. Sekalipun berhadapan dengan penolakan yang kuat dari masyarakat Yahudi, ia tidak bergeming.
Akan tetapi, Saulus menjadi semakin kuat dan membingungkan orang-orang Yahudi yang tinggal di Damsyik dengan membuktikan bahwa Yesus adalah Kristus. (Kis 9:22).
Kata “semakin kuat” diterjemahkan dari kata Yunani yang persis sama dengan yang kita lihat di Roma 4:20, yaitu endunamoo, yang berasal dari kata dunamis yang berarti “menjadi semakin kuat”. Saulus menjadi semakin kuat. Ia tidak memulai dari kekuatan atau kuasa yang tadinya besar, melainkan mengalami pertumbuhan melalui iman. Poin ini terus muncul di sepanjang Perjanjian Baru.
Sebagai contoh, di Efesus 6:10,
Akhirnya, jadilah kuat dalam Tuhan dan dalam kuat kuasa-Nya.
Filipi 4:13, di mana Paulus berkata,
Aku dapat melakukan segala sesuatu melalui Dia yang memberi kekuatan kepadaku.
Artinya, Paulus sedang berkata bahwa, “Allah menambahkan kekuatanku sehingga aku dapat mengerjakan semua itu.” Ini menunjukkan bahwa kepercayaan Paulus kepada Yesus tidak terbatas, ia benar-benar percaya bahwa Allah dapat melakukan segalanya melalui dia dan dengan begitu ia dapat mengerjakan segalanya melalui Kristus. Kekristenan semacam itulah yang kita butuhkan di tengah jemaat sekarang ini. Jika iman kita termasuk jenis yang seperti itu, jika iman kita termasuk jenis yang membuat kekuatan kita bertumbuh lewat iman, Allah akan mempercayakan lebih banyak talenta kepada kita.
PENTINGNYA MEMILIKI “EKSTRA” PADA HARI PENGHAKIMAN
Kita sekarang masuk ke bagian utama dari perumpamaan ini. Di dalam Perumpamaan tentang Sepuluh Gadis, kita melihat bahwa minyak cadangan itulah yang membedakan kedua kelompok gadis tersebut. Baik kelima gadis yang bijaksana maupun kelima gadis yang bodoh sama-sama memiliki pelita yang menyala. Dalam hal ini tidak terlihat ada perbedaan. Yang membedakan kedua kelompok itu adalah bahwa lima dari antara mereka membuat persiapan untuk jangka waktu yang selanjutnya. Cadangan minyak mereka tidak menunjukkan manfaat pada saat-saat awal, dan baru menjadi sangat berguna pada masa berikutnya. Memiliki cadangan minyak merupakan pokok utama di dalam perumpamaan ini. Bagaimana cara memahami gambaran ini — bagaimana kita bisa mengungkapkan hal yang tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut, bukan merupakan hal yang penting. Ingat saja pada kata “cadangan”, “ekstra”, atau “peningkatan”. Itulah ide kunci di sini.
Dalam Perumpamaan tentang Sepuluh Gadis, setiap gadis membawa sebuah pelita — yang berarti terang hidup. Di dalam Perjanjian Lama, misalnya di dalam Amsal, pelita yang menyala melambangkan kehidupan. Saat pelita padam, maka seseorang mati. Jika pelita itu menyala, artinya orang tersebut hidup. Kalau kita ikuti penalaran ini, pelita adalah lambang dari tubuh manusia. Api melambangkan kegiatan dari orang yang hidup. Saat minyaknya habis, habis jugalah kehidupan seseorang, dan apinya padam. Minyak sangat perlu bagi pelita, melambangkan kehidupan. Saat minyak habis, kehidupan orang itu juga habis, yang berarti api itu padam. Jika inilah gambaran yang kita dapatkan dari Perumpamaan tentang Sepuluh Gadis tersebut, minyak cadangan itu tentunya melambangkan kehidupan yang ekstra, cadangan kehidupan.
Namun, ini tidak berarti bahwa kehidupan itu sejak awal sudah ada pada kesepuluh orang gadis tersebut. Minyak itu tidak berada di dalam para gadis itu; minyak itu dibawa oleh mereka. Apa artinya? Di dalam perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus, satu perumpamaan dapat dipakai untuk menjelaskan perumpamaan yang lain. Alih-alih memakai gambaran cadangan minyak, Yesus sekarang mengubah gambaran itu ke dalam istilah talenta. Akan tetapi, ide dasar dari perumpamaan ini sama dengan perumpamaan tentang sepuluh orang gadis itu.
Setiap hamba memulai dengan menerima kepercayaan mengelola sejumlah uang, atau talenta. Yang membedakan mereka adalah apakah mereka bisa menghasilkan lebih banyak talenta lagi pada saat dilakukan perhitungan nanti — yaitu saat Penghakiman — dan bukannya pada saat sekarang. Ini persis seperti cadangan minyak, dalam arti apakah Anda akan memiliki kelebihan nantinya. Jika Anda memiliki lima talenta, paling tidak nantinya akan menghasilkan tambahan lima talenta lagi. Jika Anda memiliki dua talenta, paling tidak nantinya akan ada dua talenta tambahan. Jika Anda memiliki satu talenta, tentunya diharapkan bisa bertambah dengan satu talenta lagi. Oleh karena hamba yang terakhir dalam perumpamaan ini, tidak menghasilkan tambahan, maka ia berada dalam kesulitan. Ia dilemparkan keluar, ke dalam kegelapan di luar di mana terdapat ratap tangis dan kertakan gigi. Setiap orang harus menghasilkan tambahan.
KITA SEMUA MEMULAI DARI GARIS YANG SAMA
Apa yang dilambangkan oleh tambahan talenta itu? Untuk bisa memahami gambarannya, mari kita bandingkan perumpamaan tentang talenta ini dengan Perumpamaan tentang Uang Mina. Perumpamaan tentang Uang Mina menekankan satu aspek dari kehidupan rohani yang jelas kepada kita, yaitu kita semua berangkat dari titik yang sama. Setiap orang mendapatkan satu mina. Di dalam Perumpamaan tentang Uang Mina, setiap orang mendapatkan satu mina sebagai modal awal. Poin ini disajikan dalam banyak bagian Alkitab. Sebagai contoh, Kisah 11:17 berkata bahwa kita semua memiliki “karunia yang sama”. Idenya adalah bahwa setiap orang menerima karunia yang sama pada titik awal — setiap orang memulai dengan satu mina. Artinya kita menerima karunia kehidupan yang sama, yaitu Roh Kudus yang sama. Jadi, bangsa-bangsa asing dan bangsa Yahudi keduanya sama-sama memiliki kehidupan. Pada zaman sekarang ini, kita juga diberikan kehidupan rohani yang sama oleh Allah. Namun, bukan dalam arti Anda dan saya menerima kehidupan yang sama persis, melainkan dalam arti sebanding. Jadi, Allah memperlakukan setiap orang dengan sebanding, memberikan mereka Roh Kudus yang sama, hidup yang sama, takaran kehidupan yang sama.
Kata “sama” ini muncul lagi di 2 Petrus 1:1, yang berkata bahwa kita memiliki iman yang sama, Injil yang sama. Demikianlah kita semua memulai dengan satu mina yang sama, yang kita terima dari Tuhan. Artinya kita menerima hidup, Injil, dan Roh Kudus yang sama dari Tuhan.
ANUGERAH YANG SAMA, TETAPI HASIL YANG BERBEDA
Sebagai contoh, ada sekelompok orang yang menghadiri kebaktian di gereja pada hari Minggu. Mereka semua mendengarkan khotbah yang sama. Bagaimana khotbah yang sama itu bisa menghasilkan raksasa rohani dan juga orang-orang murtad dari kumpulan orang tersebut? Ajaib, bukankah begitu? Firman Allah yang sama didengarkan oleh orang-orang di gereja. Mereka mendengarkan khotbah yang sama dari Minggu ke Minggu, tetapi yang satu bertumbuh menjadi raksasa rohani, yang satu lagi menjadi liliput rohani, sementara yang lain mungkin malah menjadi murtad. Mengapa bisa begitu? Hal ini dijelaskan di dalam Perumpamaan tentang Uang Mina. Di sana ada orang yang menerima satu mina, sama dengan yang lainnya, dan ia kemudian menghasilkan sepuluh mina pada saat perhitungan diadakan. Yang satunya memulai dengan satu mina, dan menghasilkan lima mina. Namun, ada yang memulai dengan satu mina, dan akhirnya malah uang tersebut bahkan disita darinya!
Ini merupakan kenyataan di dalam hidup kita, bukan? Kehidupan rohani yang dijalankan juga sama. Ambillah contoh sekumpulan orang dari sebuah gereja, yang dibaptis pada hari yang sama. Perhatikanlah hal yang terjadi pada mereka dalam waktu lima tahun. Mereka semua terlihat memiliki api semangat bagi Tuhan pada hari mereka dibaptis. Namun, di dalam waktu lima tahun, perbedaan yang muncul bisa sangat menyolok. Lima tahun dari sekarang, mungkin akan ada seseorang yang pertumbuhan rohaninya jauh meninggalkan yang lain. Ada juga yang mungkin malah tidak bertumbuh, dan mungkin ada pula mengalami pertumbuhan yang sedang-sedang saja. Mereka semua memulai dengan modal yang sama — dibaptiskan pada hari yang sama. Apakah orang yang paling pesat pertumbuhannya ini mendengarkan Injil yang berbeda? Tidak, mereka semua mendengarkan khotbah yang sama, disampaikan oleh pendeta yang sama di gereja yang sama.
IMAN YANG MEMBEDAKAN HASIL
Perbedaan pentingnya terletak pada tanggapan mereka. Itulah yang kita sebut dengan “iman”. Iman adalah tanggapan kepada Allah, dan tanggapan inilah yang menentukan kemampuan atau kuasa yang akan mereka miliki nanti. Kuasa pada diri mereka mulai menunjukkan perbedaan, dan perbedaan kuasa itu akan menjadi semakin jauh seiring dengan berjalannya waktu. Paulus menggambarkan hal ini dengan istilah perlombaan. Kita berangkat dari titik yang sama. Saat kita mendengar aba-aba, “Bersiap! Mulai!” Pistol diletuskan, dan kita mulai berlomba, saling balap mulai dari titik keberangkatan yang sama. Setelah beberapa saat, akan ada orang yang berlari di depan, ada yang di tengah-tengah, dan ada yang jauh tertinggal, sedang berusaha mengatur nafasnya. Begitulah jalannya perlombaan ini.
Sekarang tentunya gambaran itu sudah cukup jelas bagi Anda. Anggaplah dalam sebulan seseorang menghasilkan sepuluh mina, dan ada yang menghasilkan lima mina. Dari titik ini, Anda bisa melihat awal dari Perumpamaan tentang Talenta. Pada suatu titik, di antara awal dan akhir, berlakulah Perumpamaan tentang Talenta. Pada saat itu, sudah ada yang memiliki lima, ada yang memiliki dua, dan ada yang tidak menghasilkan apa-apa. Itulah situasi yang tergambar lewat perumpamaan tentang talenta. Apakah orang yang memiliki sepuluh talenta itu akan secara tiba-tiba menghsilkan sepuluh talenta pada hari perhitungan? Ia memulai dengan satu talenta, lalu mulai bertambah pada hari kedua, hari ketiga, kelima, kedua puluh dan akhirnya, setelah sebulan, ia sudah memiliki sepuluh talenta atau sepuluh mina.
Perbedaan antara uang mina dengan talenta tidak menjadi masalah di sini. Hanya sekadar perbedaan bahasa. Ide keduanya, pada dasarnya, sama saja. Orang yang akhirnya memiliki sepuluh mina itu menghasilkannya hari demi hari. Pada hari awal, ia memulai dengan satu mina. Pada hari selanjutnya, mungkin ia sudah mendapat hasil sedikit. Pada akhir Minggu, mungkin ia sudah memiliki dua mina. Pada akhir minggu selanjutnya, ia sudah memiliki lima mina. Begitulah jalan ceritanya.
Di dalam kehidupan rohani, segala sesuatunya berasal dari anugerah. Tidak ada hal di dalam kehidupan rohani yang tidak berasal dari anugerah. Ingatkah Anda akan hal yang dikatakan oleh Paulus? “Aku dapat melakukan segala sesuatu melalui Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Pada dasarnya, segala sesuatu yang dikerjakan oleh Paulus berasal dari anugerah. Sebagai contoh, sekalipun Anda berhasil memperoleh pendapatan, apakah itu karena kekuatan Anda sendiri? Tidak, itu bersumber dari anugerah juga. Setiap saat, Tuhan menguatkan Anda. Seperti yang dinyatakan oleh Paulus, Allah mengerjakan di dalam diri Anda untuk berkehendak dan bekerja (Flp 2:13), tetapi itu berlangsung dengan kerjasama dari kita. Iman Andalah yang akan menentukan seberapa besar kehendak dan pelaksanaan yang akan Ia kerjakan di dalam diri Anda. Iman Anda adalah faktor penentunya.
BEDA PERUMPAMAAN TENTANG TALENTA DARIPADA UANG MINA
Pertama, Perumpamaan tentang Uang Mina menunjukkan seperti apa sesungguhnya kehidupan Kristen itu pada titik awalnya. Kemudian, Perumpamaan tentang Talenta berkaitan dengan suatu titik di sepanjang kehidupan Kristen itu, di mana telah terjadi peningkatan kuasa yang berkelanjutan, dan Allah mulai mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar lagi kepada kita. Apakah Allah telah mempercayakan segalanya kepada Anda sejak titik awal? Di dalam pengertian tertentu, akan terlihat seperti itu. Mungkin saja terjadi bahwa tanggapan Anda kepada Allah sudah penuh sejak awalnya. Namun, di dalam beberapa kasus, ada orang-orang yang memberi tanggapan kecil saja pada titik awalnya, tetapi kemudian berubah total dan ia lalu memberi tanggapan sepenuhnya. Jadi, Perumpamaan tentang Talenta menggambarkan kehidupan Kristen di titik yang lebih lanjut dan Perumpamaan tentang Uang Mina menggambarkan kehidupan Kristen di titik awal. Namun, apa pun pertumbuhan yang kita hasilkan, semua itu berasal dari anugerah melalui iman.
Ini juga berarti bahwa di dalam gereja, jarak itu akan semakin lebar, dan jarak yang semakin melebar itulah yang membuat perbedaan di dalam kehidupan Kristen. Anda akan mulai melihat terbentuknya tingkatan-tingkatan di dalam jemaat, beberapa orang tumbuh menjadi pemimpin karena kapasitas rohani mereka meningkat seiring dengan iman mereka. Yang lain tertinggal di belakang, dan bahkan ada yang tidak bertumbuh serta menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tengah jemaat. Sayangnya, ada banyak orang Kristen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya di tengah jemaat. Apakah itu terjadi karena Allah kurang baik terhadap mereka? Bukan, itu terjadi karena tanggapan mereka terhadap Allah sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali. Jika orang itu bersedia menyingkirkan halangan di dalam diri mereka terhadap anugerah Allah dan menyerahkan diri mereka sepenuhnya tanpa syarat kepada Allah, mereka akan memiliki kuasa yang sama dengan orang-orang yang menjadi pemimpin rohani. Selanjutnya, Allah akan mempercayakan lebih banyak talenta, lebih banyak tanggung jawab, dan lebih banyak karunia kepada mereka.
ALLAH DAPAT MENGERJAKAN PERKARA YANG AJAIB
Saya kenal orang yang memulai kehidupan Kristennya tanpa kemampuan untuk berkhotbah sama sekali. Anda mungkin berkata, “Orang itu tidak bisa berkhotbah. Anda tidak akan bisa menjadikannya sebagai penginjil!” Kemudian, Allah mengubahnya, mengurapi bibirnya dan menjadikannya hamba yang luar biasa — orang ini pada awalnya dipandang remeh oleh manusia. Allah dapat mengerjakan perkara ajaib melalui setiap orang dari kita, jika kita memiliki tanggapan iman tanpa syarat kepada-Nya. Kuncinya adalah tanpa syarat. Uji saja perkataan saya ini, ujilah pernyataan Alkitab, dan lihatlah apa yang dikerjakan oleh Allah melalui Anda. Tak ada orang yang tak dapat diubahnya menjadi manusia Allah yang luar biasa. Ia sanggup mengerjakan perkara yang ajaib!
Jika Allah telah mempercayakan sesuatu kepada Anda, apakah itu satu mina atau satu talenta, apa yang akan Anda kerjakan dengan itu? Pada hari Penghakiman nanti, apakah Anda akan berkata, “Tuhan, aku berterima kasih kepada Engkau yang telah memberi hidup kepada aku. Inilah hidup yang telah Kau berikan kepadaku — hidup itu masih utuh. Lihatlah, ini dia. Aku telah menyimpannya selama ini untuk-Mu.” Anda akan berada dalam masalah jika itu saja yang telah Anda lakukan. Setiap orang yang mengira bahwa dirinya akan selamat hanya karena telah menerima anugerah hidup yang kekal itu dan mengira bahwa hidup itu boleh dia simpan untuk dirinya sendiri, akan menghadapi kejutan besar. Jelas, dia tidak mengerti sama sekali pesan dari Yesus.
Allah memberikan hidup ini bukan agar kita bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia memberi kita hidup ini dengan kepercayaan bahwa kita akan melayani Dia dengan hidup itu. Kita bertanggung jawab kepada-Nya atas apa yang kita perbuat dengan hidup itu. Kita harus melakukan sesuatu dengan kehidupan yang telah diberikan itu karena hidup itu diberikan bukan untuk sekadar disimpan. Ia harus dijalani.
Pada hari Penghakiman, akan ada beberapa orang Kristen yang menghadap kepada Tuhan dan berkata, “Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberiku hidup. Aku telah menyimpannya dengan aman selama bertahun-tahun, tetapi aku belum pernah berbuat sesuatu dengannya. Aku takut kehilangan hidup itu. Jadi kusimpan saja. Ini dia. Masih ada padaku.” Tuhan akan berkata, “Enyahlah, engkau hamba yang tidak berguna!” Anda berkata, “Tuhan, mengapa Engkau marah kepadaku? Sabar dulu. Aku tahu Engkau adalah orang yang keras, jadi aku menyimpan hidup ini baik-baik. Aku takut hal ini akan terjadi, maka aku menyimpannya dengan aman, ini dia kukembalikan kepada-Mu.” Jika Allah telah memberi kita hidup yang kekal, kita harus menjadi saluran hidup yang kekal itu dan membagikannya kepada orang lain. Kita harus hidup untuk orang lain dan untuk Dia.
MENJADI SALURAN HIDUP BAGI ORANG LAIN
Sekarang Anda bisa mulai memahami mengapa kami mengutip kata-kata tersebut di bagian awal. Jika Kristus telah mati bagi kita, kematiannya itu dimaksudkan agar kita tidak lagi hidup untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk Dia. Hidup untuk dia artinya adalah kita menjadi saluran hidup kekal itu, yang telah diberikannya untuk kita kepada orang lain.
Bagaimana cara menyalurkan hidup itu? Bagaimana caranya menghasilkan talenta atau mina tambahan itu? Saat Anda membawa seseorang kepada Kristus, dan Anda membuat orang lain menjadi murid Kristus — apakah hidup di dalam diri Anda akan berkurang? Apakah takaran hidup di dalam diri Anda itu menurun? Tidak sama sekali. Di situlah keajaibannya. Anda masih memiliki hidup itu, dan sekarang ada orang lain yang ikut memiliki hidup itu melalui Anda. Artinya, hidup di dalam diri Anda sekarang sudah menjadi dua karena Anda telah memberikan hidup itu kepada orang lain. Anda menjadi saluran hidup buat dia. Jika Anda berikan lagi hidup kepada yang lainnya dan orang itu menjadi murid Tuhan, hidup yang awalnya hanya satu di dalam diri Anda, sekarang berkembang menjadi dua, tiga dan mungkin empat, lima, enam, tujuh, atau bahkan sepuluh! Ini mengingatkan kita pada perkara minyak cadangan, tambahan talenta dan tambahan mina yang sedang kita bicarakan. Begitulah! Itulah yang dimaksud dengan cadangan atau penghasilan. Anda masih memiliki hidup itu di dalam diri Anda, dan terjadi penambahan karena adanya orang lain yang ikut menerima hidup itu melalui Anda, dan penambahan ini berlanjut terus. Awal penambahan terjadi saat Anda mulai membagikan hidup itu.
Pada Hari Penghakiman nanti, saat kita berdiri di hadapan Yesus, kita tidak akan sekadar berkata, “Tuan, engkau telah memberi aku hidup. Inilah hidup itu, aku telah menyimpannya dengan baik.” Akan sangat indah jika kita bisa berkata, “Ada hidup yang ini, ada yang itu, ada lagi yang di sana!” Paulus berkata, “Siapa yang menjadi sukacita dan mahkotaku? Kalianlah sukacita dan mahkotaku. Kalianlah bukti dari hidup yang ada padaku karena kalian telah menerima hidup yang sama denganku dan yang masih ada padaku.” Semua jemaat di Korintus, di Efesus, di Filipi — sungguh banyak “talenta” yang dihasilkan oleh Paulus! Paulus telah menjadi seorang jutawan rohani!
Siapa saja yang mengira dirinya selamat, ia akan kehilangan keselamatan itu. “Tetapi, barangsiapa yang kehilangan nyawanya demi Aku dan Injil,” kata Yesus, “akan memperolehnya sampai pada hidup yang kekal.” Saat Anda memberikan hidup Anda bagi orang lain, saat Anda memuridkan dia, Anda sedang memberikan waktu dan tenaga Anda. Mungkin Anda bahkan menjadi susah tidur ketika orang itu mengalami masalah. Dapat dikatakan bahwa apa yang Anda lakukan adalah tindakan memberikan hidup Anda bagi orang itu. Anda memang memberikan hidup itu, tetapi Anda memperolehnya kembali berlipat ganda justru pada saat memberi. Jika Anda bermaksud menyembunyikan atau menyimpannya di dalam diri Anda saja, yang terjadi justru Anda tidak akan bisa mempertahankannya, Anda akan kehilangan — bahkan kehilangan hidup yang ada pada diri Anda itu. Itulah Injil Yesus. Itulah hal yang dia sampaikan. Terlebih lagi, Anda tidak akan sekadar kehilangan hidup itu, Anda bahkan akan menghadapi masalah besar. Perhatikanlah bagian akhir dari perumpamaan ini. Apa yang dikatakan oleh Yesus di sini? Ia berkata, “Ambil satu talenta yang ada pada dirinya” (Mat 25:28). Jika talenta itu adalah hidup yang telah diberikannya kepada Anda, dan satu talenta itu kemudian disita dari Anda, berarti Anda kehilangan segalanya. Anda telah kehilangan hidup yang tadinya diberikan kepada Anda! Poin ini ditegaskan secara gamblang di ayat 30,
Lemparkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling pekat. Di tempat itu akan ada tangisan dan kertak gigi.
KEGELAPAN YANG PALING PEKAT
Di dalam Alkitab, hidup selalu diasosiasikan dengan terang. Itu sebabnya Yesus berbicara tentang hal menjadi terang hidup. Terang dan hidup selalu berkaitan. Jika ada terang, ada hidup; jika ada hidup, ada terang. Ini juga berarti bahwa kegelapan selalu berkaitan dengan kematian. Kegelapan dan kematian selalu beriringan. Kegelapan di luar berarti tempat kematian. Di dalam pengertian rohani, itu adalah tempat bagi kematian kekal, lawan dari kehidupan kekal. Rasul Petrus menjelaskan bahwa kegelapan yang paling dahsyat ini disediakan bagi para pendosa yang dikuasai nafsu zinah (2Ptr 2:17). Meratap dan mengertakkan gigi merupakan hal yang akan mereka lakukan di dalam kegelapan yang paling dahsyat itu. Inilah tempat bagi orang-orang munafik (Mat 24:51). Sama halnya dengan hamba yang tidak berguna, ia juga akan ditempatkan bersama dengan orang-orang munafik. Dua kali kita diberitahu bahwa tempat bagi orang-orang munafik itu adalah Gehenna (Mat 23:15,33), yaitu neraka. Dua kali kita menemukan kata “neraka” di sana, dan ke sanalah hamba yang tidak berguna itu dicampakkan.
Juga, dua kali di Matius 13:42,50, Yesus menyebutkan tempat bagi ratap tangis dan kertakan gigi itu sebagai dapur api. Itu sebabnya mengapa neraka sering digambarkan sebagai dapur api. Gambaran itu diambil dari kegiatan orang memotong dahan-dahan pohon. Apa yang dilakukan dengan dahan-dahan yang dipotong itu? Dimasukkan ke dalam dapur api untuk dibakar! Dari situ, gambaran tentang kegelapan dan api digabungkan. Api melambangkan kebinasaan di dalam neraka, dan kegelapan juga melambangkan hal yang sama. Kebinasaan adalah lawan dari kehidupan, suatu keadaan di mana kita dipisahkan dari Allah dan dari terang-Nya. Kegelapan dan kebinasaan total! Dapur api adalah tempat kegelapan rohani yang tidak diinginkan oleh setiap orang.
KEHILANGAN NYAWA UNTUK MEMPEROLEHNYA
Di dalam perumpaman ini, orang yang memiliki dua talenta harus menghasilkan paling sedikit dua talenta lagi. Orang yang memiliki satu talenta hanya perlu menghasilkan satu talenta, tetapi ternyata ia tidak berhasil memenuhinya. Di sini terlihat adanya hubungan langsung antara komitmen dengan hasil.
Tidaklah mengejutkan kalau hamba yang menerima satu talenta itu kemudian menjadi hamba yang gagal. Ia menerima satu talenta, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Ia tidak memiliki “kelebihan, ekstra atau cadangan” yang menjadi pokok bahasan kita di dalam perumpamaan ini. Komitmennya yang rendah terhadap majikannya sudah terlihat dari fakta bahwa ia hanya dipercaya untuk mengelola satu talenta.
Komitmen seperti apa yang ada pada diri Anda? Sanggupkah Anda dengan setulus hati berkata bahwa Anda hidup untuk Dia? Jika tidak sanggup, berhati-hatilah, karena kalau tidak ada “ekstra, kelebihan atau cadangan”, pada Hari Perhitungan itu nanti Anda tidak akan bisa berkata, “Lihat, anakku laki-laki dan perempuan telah mengikut Engkau. Aku telah membawa mereka kepada Engkau. Lihat juga teman-temanku dan banyak jemaat di gereja. Hidup yang ada padaku sudah menggandakan diri di dalam mereka.” Jika Anda telah membawa mereka semua kepada Tuhan, mereka akan menjadi sukacita dan mahkota Anda pada Hari Penghakiman itu. Merekalah yang akan menjadi bukti dari anugrah dan kuasa Allah di dalam hidup Anda. Ingatlah, dalam kehilangan hidup, Anda memperolehnya. Di dalam memberikan diri, Anda melipatgandakan hidup di dalam orang lain.
Memang bukan jalan yang mudah. Namun, Anda akan melihat betapa layaknya jalan itu ditempuh pada saat Anda nanti berdiri di hadapan-Nya dan bersukacita bersama malaikat di atas sana.