new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

K.P Yohannan |

Menurut Anda, apa yang kita butuhkan untuk kelangsungan hidup? Apa daftar hal paling esensil untuk kelangsungan hidup kita? Hal apa yang paling mendasar?

Mungkin sebuah rumah. Paling sedikit, sebuah rumah dengan satu kamar dan kamar mandi; itu sudah cukup. Bagaimana dengan dapur? Ya, mungkin dapur yang kecil. Kulkas? Sulit untuk hidup tanpanya! Mungkin kita butuh air ledeng – setidaknya ada pasokan air. Bagaimana dengan listrik? Sangat dibutuhkan. Bagaimana dengan televisi? Ya, kita perlu tahu apa yang sedang terjadi di dunia.  Bagaimana dengan kenderaan? Ya, sebuah mobil kecil – atau mungkin sepeda motor atau setidaknya sepeda. Bagaimana dengan pakaian? Kita sedang berbicara tentang kebutuhan mendasar, bukan apa yang kita ingini.

Coba renungkan dengan seksama, apa yang kita butuhkan untuk kelangsungan hidup? Daftar di atas agak minim. Tapi apakah kita sebetulnya membutuhkan semua itu?

Sebenarnya tidak. Jutaan orang di dunia ini hidup dan mati di jalanan di New York, Rio, Mumbai, kota Meksiko; dan di banyak tempat mereka tinggal di dalam kardus, di bawah jembatan dan di saluran air bawah tanah. Banyak orang yang bisa bertahan hidup tanpa semua yang kita daftarkan tadi.

Kita juga, sebenarnya, bisa hidup tanpa semuanya itu.

Hanya dua hal yang mutlak kita butuhkan: secangkir air dan sepotong roti (atau sedikit nasi).

Tidak lama dulu, saya bersama beberapa saudara dari Gospel for Asia sedang berpergian dengan mobil di India. Saya melihat sesuatu yang aneh di dalam selokan di tepi jalan; terdapat seorang pria yang terlantar di situ tanpa bergerak.

Apakah orang itu sudah mati. Tapi kata supir, “Pria itu sudah terlantar di sana selama enam hari.”

“Apa?” seru saya. “Apa yang terjadi?”

“Dia seorang pengemis tua yang telah lama hidup di jalanan. Enam hari yang lalu, dia ditabrak mobil dan kakinya patah. Tidak ada orang yang mau membantunya. Tapi seorang wanita tua datang setiap hari dan memberinya sedikit nasi dan air.”

Saya terkejut. “Jika Yesus ada di sini apa yang akan dia lakukan?” tanya saya.

Semua yang ada di dalam mobil terdiam.

Saat kami tiba ke tempat tujuan, saya menyarankan agar kami ke kantor polisi dan meminta izin untuk menjemput orang tua itu dan mengantarnya ke rumah sakit. Izin diberikan dan beberapa dari kami kembali lagi untuk menjemputnya.

Di rumah sakit, saat suster menanggalkan pakaianya untuk memandikannya, namun dia terus memukul para suster itu. Dia mencengkeram erat pakaiannya. Akhirnya seorang suster menemukan koin satu rupee terikat di hujung kainnya. Rupa-rupanya, dia takut kehilangan uang koinnya yang satu-satu. Setelah koin itu diberikan padanya, dia menjadi tenang .

Saya sempat beberapa kali ke rumah sakit untuk mengunjunginya dan berdoa bersama dia. Namanya Kuttappan, usianya 75 tahun dan dia sudah lama tinggal di jalanan. Dia tidak ada kerabat, istri maupun anak.

Pertanyaan saya adalah, “Apakah Kuttapan bisa bertahan hidup selama 75 tahun tanpa daftar barang-barang penting kita tadi?” Ya, dia terbaring tanpa bergerak di dalam selokan di tepi jalan dan bertahan hidup hanya dengan sedikit nasi dan secangkir air yang diberikan oleh seorang wanita tua.

Kita juga dapat hidup dengan sangat sedikit. Sebenarnya, kita tidak membutuhkan daftar panjang barang-barang untuk bisa hidup.Yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit roti dan air.

Tidak ada yang lebih penting dari air dan makanan untuk bisa bertahan hidup secara jasmani.

Kita bisa kehilangan segala sesuatu tapi kita masih membutuhkan air dan roti.

Namun di Yohanes 4, Tuhan Yesus memberitahu kita bahwa ada hal yang bahkan lebih penting dari roti dan air.

Apakah hal itu? Bagi Yesus, air dan roti tidak penting sama sekali apabila ada orang yang akan hidup dan mati tanpa mengenal kasih Bapa. Yang memberinya kekuatan; makanannya adalah melakukan kehendak Dia yang mengutusnya dan menyelesaikan pekerjaanNya (ay.34). Itulah yang dilakukannya di tepi sumur saat bertemu dengan wanita Samaria itu.

Yesus kenyang hanya dengan melakukan kehendak Bapanya, tidak dikatakan di sana bahwa Yesus makan setelah dia selesai menginjili wanita Samaria itu.

Sebagai manusia yang dalam darah dan daging, kita memusatkan perhatian pada apa yang ada sekarang – pakaian, rumah, pendidikan, karir, rekening bank, mobil dstnya.

Namun Yesus memanggil kita untuk mengangkat mata kita dan melihat pada apa yang dilihatnya, untuk merasakan urgensi yang dia rasakan, untuk membagi hatinya agar mulai menuai sebelum tuaian itu hilang buat selama-lamanya. Tuaiannya jauh lebih penting dari hal yang menurut kita sangat penting untuk kelangsungan hidup kita – roti dan air dan daftar panjang yang kita anggap sangat penting itu.

Hal yang paling mendasar untuk kita bisa hidup secara jasmanilah hanyalah sedikit roti dan air.

Dan hal yang paling mendasar, menurut Yesus di Yohanes 4, agar kita bisa hidup secara rohani, adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan  yang diamanatkan pada kita di ayat 35.

“Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai”.

(Ditulis berdasarkan buku Living in the Light of Eternity oleh K.P Yohannan, Pendiri Gospel for Asia,  yang dapat didownload secara gratis dari sini