Pastor Eric Chang | Yohanes 12:23-26|
Khotbah ini adalah bagian dari seri “Pemuridan dan Harga yang Harus dibayar untuk menjadi seorang Murid”. Sebelumnya kita telah melihat Matius 16:24-26 (Hambatan Kebesaran Rohani); Lukas 14:25-33 (“Membenci” – Mempersembahkan apa yang Anda Cintai); dan Lukas 9:25-25 (Makna Salib bagi Seorang Murid). Kita tidak akan dapat menjalani kehidupan sebagai seorang murid yang baik jika kita tidak dengan benar memahami ciri-ciri dan prinsip-prinsip pemuridan.
Salib Yesus dan Salib Kita
Di khotbah “Makna Salib bagi seorang Murid”, kita telah membahas arti dari memikul salib. Apa artinya memikul salib pemuridan di pundak kita? Kita melihat bahwa artinya adalah Yesus telah memanggil kita untuk ikut serta di dalam pelayanannya bagi keselamatan umat manusia, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri kita saja, melainkan agar kita ikut serta bersama dengan dia menjadi para penyelamat.
Dalam mempelajari hubungan di antara salib Yesus dengan salib kita, kita telah melihat bahwa kata “salib” dipakai sebanyak enam kali di dalam Injil Sinoptik, dan di dalam setiap kasus, kata itu mengacu kepada salib murid. Yesus tidak pernah memakai kata “salib” untuk mengacu kepada salibnya atau pada pengorbanannya sendiri. Ini adalah hal yang sangat signifikan.
Paulus menggunakan kata “salib” sekitar sepuluh kali di dalam surat-suratnya, akan tetapi dia tidak pernah mengacu pada salib murid. Ketika Paulus menggunakan kata “salib”, dia selalu mengacu kepada salib Kristus. Bagaimana memahami hal ini? Tidaklah sulit memahami hal ini. Di dalam pemberitaan Paulus, ia selalu menganggap bahwa orang yang mendengar pesannya sudah mengerti pesan Injil. Sayangnya di zaman ini, rata-rata orang Kristen tidak mengerti apa yang diajarkan Yesus. Padahal Paulus menganggap bahwa kita telah mengerti ajaran Yesus. Hal ini sangatlah penting untuk dipahami saat membaca tulisan-tulisan Paulus. Tulisan-tulisan Paulus pada dasarnya adalah penafsiran tentang ajaran Yesus. Karena dia menganggap bahwa Anda telah memahami sepenuhnya apa saja yang diajarkan oleh Yesus, maka tidaklah perlu bagi dia untuk menggunakan kata-kata yang sama untuk mengulangi apa yang sudah diajarkan oleh Yesus.
Pertanyaan lain yang perlu kita ajukan adalah: Apakah hubungan antara salib Kristus dengan salib kita?
Salib Kristus: Penebusan bagi kita
Pertama, salib Kristus selalu mengawali salib kita, yaitu, Yesus memikul salibnya di depan dan kita sebagai murid-muridnya, mengikuti jejaknya. Salibnya selalu di depan. Salib kita selalu berlandaskan salibnya. Inilah alasan mengapa saya katakan bahwa Paulus beranggapan bahwa kita sudah memahami ajaran Yesus.
Apa artinya? Ketika Paulus berbicara tentang salib Kristus – hal itu selalu disampaikan dengan memakai bentuk perfect tense, atau di dalam bentuk past tense. Kematian Kristus, salib Kristus selalu disebut dalam bentuk past tense atau perfect tense. Paulus saat memakai kata salib Kristus ini, dia selalu mengacu pada peristiwa yang telah lampau, pada karya penebusan Kristus bagi dosa-dosa kita.
“Aku telah disalibkan dengan Kristus,” kata Paulus di Gal 2:20. Di sini, dia menggunakan perfect tense, “Aku telah disalibkan…” yang berarti, “salib Kristus telah diterapkan ke atasku dulu”. Sebagai seorang Kristen, kita memandang ke belakang, kepada salib Kristus. Kita memasuki kehidupan yang baru melalui salib Kristus, bukan melalui salib kita. Keselamatan selalu bergantung pada salib Kristus, bukan salib kita. Kita disalibkan bukan untuk menyelamatkan diri kita sendiri, kita tak mampu memenuhi itu. Kematian kita tidak mempunyai nilai penebusan. Salib Kristuslah yang menebus dosa.
Salib kita: Mati dan Hidup Bersamanya
Akan tetapi di saat Yesus berbicara tentang salib kita, dia membicarakan salib sebagai sesuatu yang terjadi di saat sekarang dan di masa akan datang. Salib Kristus berkaitan dengan masa lalu kita. Ia menyucikan dosa-dosa kita, membuka jalan kehidupan baru bagi kita. Tetapi mulai dari sini, datanglah salib kita. Salib Kristus berkaitan dengan masa lalu; salib kita berkaitan dengan masa kini. “Pikullah salibmu setiap hari,…” suatu hal yang berkelanjutan, yang memakai bentuk present tense. Setiap saat, pikullah salibmu. Dosa-dosa Anda di masa lalu sudah dihapuskan oleh Salib Kristus. Sekarang giliran Anda untuk memikul salib setiap hari, sampai ke masa depan, sampai pada kita menggenapi pekerjaan pelayanan keselamatan yang telah dipercayakan oleh Kristus kepada kita.
Di khotbah yang lalu kita juga melihat mengenai hubungan di antara kedua salib itu, bahwa salib Kristus menghapus dosa-dosa kita; selanjutnya salib kita merupakan suatu proses di mana kita menyalurkan hidup yang telah kita terima itu kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat di dalam kutipan yang indah dari surat Paulus di 2 Kor 4:11,12. Dia berkata, “Jadi maut giat di dalam diri kami tetapi hidup giat di dalam kamu. Kami mati supaya kamu bisa hidup. Kami menyalurkan hidup ini kepada kamu.”
Sangatlah penting untuk memahami hubungan antara kedua salib itu.
Dampak Salib Kristus Terhadap kita – Mati bagi Dunia
Terlebih lagi, konsep Paulus tentang salib Kristus berbeda dengan konsep kita sekarang. Dia tidak menyatakan bahwa kita harus percaya kepada salib. Tidak sama sekali! Kita harus percaya kepada Kristus. Kristuslah yang menyelamatkan kita melalui salib. Obyek dari iman bukanlah suatu benda, atau bahkan suatu perbuatan. Obyek dari iman selalu merujuk kepada satu Pribadi, yaitu Yesus sendiri. Akan tetapi Paulus tidak memandang bahwa kita diselamatkan cukup dengan sekadar mempercayai karya Kristus. Dia memandang pada salib sebagai memiliki suatu dampak yang pasti terhadap hidup kita. Bukan sekadar sebagai obyek dari kepercayaan. Salib adalah sesuatu yang terjadi pada diri kita di dalam Kristus. Itu sebabnya dia bisa berkata di Galatia 6:14, “Aku bermegah di dalam salib Kristus yang olehnya aku telah disalibkan bagi dunia dan dunia disalibkan bagiku.” Dia tidak memandang salib sebagai benda yang harus dipercayai. Dia memandang salib sebagai peristiwa yang terjadi ke atas dirinya. Salib telah memutuskan hubungannya dengan dunia. Salib telah memisahkan dia sepenuhnya dari dunia. Dan pemisahan inilah yang dimaksudkan Alkitab sebagai kekudusan. Salib telah menjadikan kita kudus melalui kuasa Allah dengan memisahkan kita atau dengan memutuskan hubungan kita dengan dunia.
Konsep Paulus tentang keselamatan bukanlah “kepercayaan” yang gampangan. Dia tidak memandang salib Kristus sebagai sesuatu yang telah sedemikian kuno sehingga Anda hanya perlu mempercayainya sekadar sebagai suatu fakta sejarah saja. Tidak, tidak! Yang dia maksudkan adalah kita begitu menyatu dengan Kristus sehingga salib Kristus memisahkan kita dari dunia. Ini juga berarti bahwa jika kita belum dipisahkan dari dunia ini oleh salib Kristus maka ini berarti kita masih belum bersatu dengan Kristus karena hubungan kita dengan dunia ini belum terputus. Jadi poinnya sangat sederhana: Jika saya hidup demi dunia, ini berarti dampak keselamatan dari salib masih belum terwujud bagi saya.
Apakah Anda menjalani hidup ini demi dunia, sama seperti setiap orang di tengah masyarakat dunia yang mementingkan dirinya sendiri? Itukah pola pikir Anda? Atau, apakah Anda ini domba dan bukannya serigala? Yesus menggambarkan masyarakat dunia ini sebagai masyarakat serigala. Ini adalah ungkapan yang sangat sering digunakan – mereka menegakkan hukum dengan taringnya! Serigala memiliki taring yang tajam. Mereka tentu saja akan menancapkan taring atas segala sesuatu. Dan domba tidak berkeliling dengan taring yang mengancam. Kita terpisah dari masyarakat jenis ini karena Yesus ingin membangun masyarakat jenis baru. Suatu masyarakat domba di mana kekuasaan tidak diraih dengan menginjak dan menekan orang lain. Dengan menggunakan taring panjang yang saya miliki, dengan gigi-gigi yang tajam, saya akan memaksa orang untuk taat. Tidak, tidak. Itu adalah masyarakat dunia. Yesus berkata, “Di dunia ini, mereka berusaha saling menguasai.” Itulah masyarakat serigala akan tetapi di antara Anda, tidak demikian halnya, karena masyarakat yang baru ini merupakan masyarakat yang terdiri dari para pemikul salib, suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang membagikan keselamatan kepada umat manusia.
Sikap yang benar di dalam memikul salib
Hari ini saya mau menekankan tentang sikap kita di dalam memikul salib. Sangatlah penting bagi kita untuk memiliki sikap hati yang benar dalam kaitannya dengan hal memikul salib. Banyak orang yang mengerjakan hal yang benar dengan sikap hati yang tidak benar. Dan hal itu jelas sangat disayangkan. Sikap yang salah hanya akan merusak segalanya dan menjadikan perbuatan Anda sia-sia, karena Allah melihat pada apa yang ada di dalam hati. Dia tidak sekadar melihat apa yang sedang Anda lakukan. Inilah alasan atas pernyataannya mengenai persembahan seorang janda di Lukas 21:1-3. Yesus sedang duduk di Bait Allah sambil mengamati orang-orang menaruh uang di kotak persembahan. Orang-orang Farisi, orang-orang religius dan juga orang kaya sedang menaruh uang di kotak persembahan dengan keras sehingga kedengaran suara jatuhnya uang tersebut di dalam kotak persembahan. “Anda lihat betapa religiusnya saya? Apakah Anda lihat berapa banyak uang yang saya persembahkan kepada Allah?”
Salahkah mempersembahkan uang untuk pekerjaan Tuhan? Tidak. Akan tetapi sikap hatinya yang salah, dan dengan demikian perbuatan yang benar menjadi tidak berarti karena sikap hatinya salah.
Sikap hati yang saya takutkan adalah kita berkata, “Kalau Allah melalui Yesus menghendaki supaya aku memikul salib, tentu saja aku harus memikul salib. Maksudnya, siapa yang bisa membantah? Aku ingin diselamatkan, dan kalau syaratnya adalah, ‘Pikullah salib,’ aku akan memikul salib.” Jadi aku akan mengerjakannya karena memang tidak ada jalan lain. Ini adalah sikap hati yang salah. Kita berkata, Abraham yang malang karena Allah berkata kepadanya, “Persembahkanlah Ishak.” Jadi ia terpaksa melakukannya. Apakah Anda mengira bahwa Allah hanya mementingkan tindakan mempersembahkan Ishak? Tidak! Dia melihat ke dalam hati Abraham untuk memastikan sikap hatinya. Anggaplah Abraham saat itu menyeret Ishak dan membawanya ke Gunung Moria sambil mengomel, mengeluh dan menggerutu, “Allah macam apa ini? Dia memberikan apa yang telah Dia janjikan dan sekarang Dia malah menyuruh aku untuk membunuh anakku. Maksudku, apa dayaku, aku tetap harus melakukannya. Dia adalah Allah. Aku tidak boleh membantahNya. Aku harus berhadapan dengan Dia nanti, dan aku sangat takut jika tidak mengerjakan apa yang Dia perintahkan padaku. Jadi, Ishak, maafkan aku. Jangan salahkan aku. Semua ini salah Allah. Dia yang menyuruhku untuk membunuhmu. Dia tidak selalu bisa dipahami. Akan tetapi Dia adalah Allah, jadi kita berdua tidak bisa membantahNya. Berbaringlah yang baik supaya aku bisa segera menggorok tenggorokanmu.”
Apakah sikap semacam itu akan berkenan di hadapan Allah? Tentu saja tidak! Dia memang sedang mengerjakan perbuatan yang benar akan tetapi dengan sikap hati yang salah. Dan Allah tidak akan menerima hal ini, karena Allah melihat ke dalam hati. Saya khawatir kita akan berkata, “Baiklah, kita harus menjadi murid. Kita harus memikul salib. Siapa yang boleh membantah? Letakkanlah salib ini di pundak kita dan kita akan mengeluh dan menggerutu sepanjang perjalanan dan kalau aku sudah sampai di sana, aku akan menanyakan Allah, “Mengapa Engkau menyuruhku mengerjakan hal ini? Maksudku, hidup tentunya akan jauh lebih mudah jika Engkau tidak mempersulitnya.” Sikap hati yang salah. Dan sikap hati sangatlah menentukan.
Faktor Penentu: Sikap Hati
Hal yang membuat kita lebih besar daripada Yohanes Pembaptis tidak terletak pada kemampuan kita untuk berkhotbah sehebat Yohanes Pembaptis, atau bahwa kita dapat melakukan lebih banyak mukjizat ketimbang Yohanes Pembaptis atau secara eksternal kita memiliki komitmen kepada Allah yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis! Dia memakai baju kulit binatang, baiklah, aku juga bisa mencari baju kulit binatang dan memakainya. Kita semua bisa saja mengenakan baju kulit domba. Kita bisa menjahitnya atau meminta ibu kita menjahitnya bagi kita dan berkata, “Lihat, aku terlihat seperti Yohanes Pembaptis sekarang. Jika Yohanes Pembaptis bisa melakukannya, aku juga bisa. Jadi, aku akan pergi ke padang gurun dan memperlihatkan komitmenku. Aku juga akan memakan madu dan belalang.” Kita bisa saja menirunya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan. Yang diperhitungkan adalah sikap hati kita. Itulah hal yang paling penting! Saya harap Anda bisa menangkap artinya.
Segala pertempuran rohani terjadi terlebih dahulu di tingkat hati. Kemenangan atau kekalahan di dalam peperangan rohani terjadi di dalam hati Anda. Jika di tingkat hati Anda kalah, maka Anda akan kalah. Sekalipun dari luarnya kita terlihat memenangkan beberapa pertempuran, tetapi sebenarnya kita sudah kalah telak.
Tak ada persembahan yang berkenan di hadapan Allah kecuali yang berasal dari sikap hati yang benar. Jika Anda datang ke gereja dan Anda berkata, “Baiklah, Allah menghendaki perpuluhan, aku harus mempersembahkan sepuluh persen dari kekayaanku. Baiklah, Allah, inilah setoran pajakku, apalah dayaku? Jika tidak kubayar, Engkau akan menyeretku ke pengadilan. Aku tidak sanggup menghadapi hal itu, jadi ambillah, ini dia, Kau terimalah bagian sepersepuluhMu itu. Aku sangat membutuhkan uang itu, namun karena, Engkau telah memberikan perintah itu, ambillah. Ambillah apa yang memang bagianMu.”
Apakah Anda pikir Allah menghendaki uang Anda? Tidak, Dia tidak menginginkan hal semacam itu. Di saat kita memberi, kita harus memberi dengan sukacita. Itulah yang dikatakan Tuhan. Di mengasihi pemberi yang bersukacita. Dia tidak menginginkan pemberian Anda. Dia menginginkan sukacita di dalam pemberian Anda. Semua pertempuran dimenangkan atau dikalahkan di dalam hati ini. Artinya sikap hati Anda akan sangat menentukan apakah Anda akan berkemenangan atau kalah, apakah Anda akan menjadi manusia Allah yang perkasa atau apakah Anda tidak menjadi apa-apa. Semuanya bergantung pada sikap hati.
Di dalam perumpamaan tentang seorang penabur, mengapa ada benih yang menghasilkan seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, yang lainnya tiga puluh kali lipat? Benihnya sama. Benihnya berasal dari Allah. Lalu mengapa benih yang sama memberikan hasil yang berbeda? Adakah penjelasan lain selain persoalan sikap hati? Tidak ada penjelasan lain. Jika benihnya sama, maka perbedaannya tentu terletak pada tanahnya. Tanah, seperti yang dijelaskan oleh perumpamaan ini, adalah hati. Jadi sikap hatilah yang membuat semua perbedaan itu.
Untuk memahami visi Tuhan bagi gereja, yaitu gereja di mana setiap orang, bahkan yang terkecil sekalipun harus lebih perkasa daripada Yohanes Pembaptis, maka kita harus datang pada Tuhan dengan sikap hati yang benar. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah di dalam peperangan rohani, dapat diketahui cukup dengan memperhatikan sikap hati yang dimiliki.
Ada beberapa orang yang sangat kuat karena sikap hatinya yang sangat kokoh. Sikap hati mereka sangat teguh. Terdapat sukacita di dalamnya, ada kedalaman sukacita di tengah beban dan persoalan. Sementara yang lainnya, Anda perhatikan sikap hati mereka dan Anda akan tahu bahwa mereka tidak akan bertahan lama karena mereka tidak punya cukup kekuatan untuk bertahan. Tidak terdapat sikap hati yang benar di sana. Orang-orang yang hatinya bersikap sangat negatif tidak akan bertahan. Mereka tidak akan pernah sukses dalam hal apapun. Sikap hati mereka sudah menentukan kekalahan mereka sejak titik awal. Saya tidak tahu apakah Anda termasuk salah satu dari mereka. Mereka adalah orang-orang yang ketika diminta untuk melakukan sesuatu akan berkata, “Oh…terlalu sulit, aduh…terlalu banyak masalah di sana.” Baiklah, bagaimana dengan yang ini? “Tidak, tidak, tidak, yang ini juga tidak bisa.” Semuanya tidak bisa. Tidak ada yang bisa dikerjakan. Karena sikap hati mereka selalu negatif. Mereka selalu bersikap negatif terhadap segala hal. Jadi mereka telah memastikan kekalahan mereka sendiri sejak dari titik awalnya. Jika orang-orang ini ingin sukses di dalam kehidupan rohaninya, harus ada perubahan yang mendasar di dalam sikap hatinya. Kita tidak akan pernah menjadi saluran kemurahan keselamatan Allah sebelum sikap hati kita diubah secara total.
Anda tahu kisah tentang Joni Earekson Tada, gadis perenang dan atlet, remaja yang menyukai segala macam kegiatan olah raga. Dan kemudian pada suatu hari, dia mengalami kecelakaan dan tulang lehernya patah. Akibat dari patahnya tulang lehernya, dia mengalami kelumpuhan dari bagian leher ke bawah. Tiba-tiba gadis yang lincah ini, gadis yang sangat berbakat ini mendapati dirinya dalam keadaan lumpuh. Dari saat itu, sikap hatinya bisa saja menjadi, “Tamatlah sudah, riwayatku berakhir,” dan memang wajar jika ia bersikap seperti itu. Namun tidak dengan Joni. Setelah pergumulan berat pada awalnya, ia bertekad bahwa dengan apa yang tersisa dalam hidupnya, dia akan menjalani hidup bagi kemuliaan Allah, sekalipun dia sudah lumpuh. Tentu saja, pengalaman tersebut menghancurkan dirinya pada awalnya. Akan tetapi dia bangkit, dan berkata, “Aku akan memenangkan peperangan ini, sekalipun aku sudah lumpuh.”
Perlahan-lahan mulai ada kemajuan dalam kekuatan tubuhnya. Dia belajar untuk melukis dengan menggunakan mulutnya dan lukisannya sangatlah bagus dan sangat terkenal. Dan kabar tentang Joni menyebar serta membangkitkan semangat jutaan orang. Semangatnya tidak hancur sekalipun tubuhnya hancur. Peperangan ini berlangsung dan dimenangkan, di tingkat batiniah. Atau, kekalahan terjadi di dalam batin.
Jika dia bisa berhasil di tengah malapetaka itu, mengapa kita tidak? Anda tidak mengalami kelumpuhan. Semua anggota tubuh Anda masih bagus. Akan tetapi kebanyakan orang di dalam sepanjang hidupnya tak akan pernah mencapai hasil setinggi Joni di dalam kondisinya yang lumpuh itu. Meski segalanya terlihat seolah-olah menghambat dirinya, namun karena sikap hatinya benar, dia mampu untuk menang menghadapi rintangan yang sepertinya mustahil untuk dilewati. Kehidupan dia selanjutnya, bahkan sampai sekarang terus menjadi teladan, tentang apa yang bisa dikerjakan oleh Allah melalui sikap hati yang benar.
Kiranya kita bisa melihat potensi yang kita miliki. Sikap hati Anda sekarang inilah yang menentukan apakah di dalam hidup ini Anda akan menghasilkan sesuatu bagi Allah atau tidak. Apakah Anda akan dipakai Allah atau tidak, Andalah yang harus memutuskannya.
Pernah ada orang yang bertanya kepada seorang pengkhotbah berkulit hitam tentang subjek pemilihan (election) di dalam teologia. Pemilihan, tentu saja, berkaitan dengan masalah predestinasi. Si pengkhotbah rupanya tidak begitu memahami persoalan ini, jadi ketika dia ditanyai tentang hal pemilihan, dia berkata, “Pemilihan berarti pemungutan suara. Engkau memberikan suara bagi seorang calon presiden dan selanjutnya engkau membuatnya terpilih menjadi presiden. Itulah arti pemilihan. Di dalam kehidupan rohani, halnya adalah sebagai berikut. Allah selalu memberikan suaranya bagimu, dan iblis selalu memberikan suara yang menentangmu. Dan siapa yang akan memenangkan pemilihan bergantung pada siapa yang akan kau pilih. Itulah pemilihan.”
Ini memang bukan pernyataan teologia yang hebat, akan tetapi terkandung kebenaran di dalamnya. Kasih karunia Allah sudah tentu mencukupi bagi Anda. Akan tetapi apakah Anda akan mampu untuk memanfaatkan secara maksimal kasih karunia itu dan keluar sebagai pemenang sangat bergantung pada Anda. Kemana Anda akan memberikan suara? Bagaimana sikap hati Anda? Saya harap setiap orang di sini, dengan kasih karunia Allah, mengalami perubahan sikap hati yang sedemikian hingga kita bisa menghasilkan generasi para raksasa rohani. Jika kasih karunia Allah sudah mencukupi untuk menghasilkan itu, yang menjadi penghalang tentunya adalah diri kita sendiri. Kitalah yang menghalangi Dia. Kitalah yang menahan kepenuhan kasih karuniaNya. Kita terpaku pada keadaan kita, pada kebiasaan buruk kita, pada hal-hal remeh yang mengganggu kita. Dan semua hal yang remeh itu telah mengalahkan kita, sehingga secara rohani tidak ada lagi yang tersisa dari kita, tidak ada sama sekali. Dan kita menjadi beban bagi orang lain bahkan bagi diri kita sendiri. Jadi sikap hati kita sangat menentukan.
Elia: studi kasus tentang sikap hati
Bahkan di dalam diri seorang manusia Allah yang perkasa, sikap hati bisa membesarkan atau menghancurkan dia. Saya selalu saja tercekat jika mengamati apa yang terjadi pada Elia. Anda tentunya bagaimana Elia pergi ke gunung Karmel dan menantang segenap bangsa, termasuk sang raja dan ratu. Dia melangkah ke puncak gunung Karmel dan dari sana, nabi Elia menantang segenap bangsa Israel, karena bangsa Israel telah berpaling dari Allah. Mereka telah menyembah berhala, berpaling kepada roh-roh yang sia-sia. Mereka telah berpaling kepada Baal, berhala laki-laki, dan Asyera, berhala perempuan. Seluruh bangsa telah disesatkan oleh rajanya dan menyembah berhala, dan sudah melupakan Allah yang hidup. Mereka sudah lupa pada Allah mereka yang hidup.
Elia, nabi Allah yang masih tersisa, mendapat perintah untuk menantang segenap bangsa Israel. “Tampilkanlah semua nabimu, aku akan menghadapi mereka semua. Jika kamu yakin bahwa ilahmu itu nyata, bawalah dia. Dan kamu akan melihat siapa allah yang nyata. Lihat allah siapa yang nyata.”
Coba bayangkan adegan ini. Gunung Karmel adalah tempat yang luas. Segenap bangsa Israel dipanggil oleh para utusan untuk berkumpul di gunung Karmel menyaksikan pertarungan antara Allah yang hidup dan para ilah yang disebut Baal dan Asyera. Dan di sana sudah berkumpul delapan ratus lima puluh nabi, empat ratus lima puluh nabi Baal dan empat ratus nabi Asyera. Delapan ratus lima puluh melawan satu orang, Elia. Satu orang melawan delapan ratus lima puluh. Jadi Anda bisa bayangkan seperti apa suasananya. Mereka berada di atas gunung sehingga orang banyak yang duduk jauh di dataran di bawah bisa melihat pertarungan yang terjadi di atas puncak itu.
Elia berkata kepada para nabi Baal, dan para nabi Asyera, “Silahkan, taruh persembahanmu di mezbah akan tetapi jangan menyalakan api. Letakkan saja dan kita lihat apakah ilahmu akan menjawab. Jika ilahmu itu nyata, biarlah dia menghabiskan persembahanmu itu.” Baal adalah dewa api, dan ini menjadi salah satu dasar ujian. “Kalau kamu mengatakan bahwa ilahmu itu nyata dan dia mampu menjawab doamu dengan api, maka letakkanlah persembahanmu itu di atas mezbah, letakkan kayu bakar di bawahnya dan lihat apakah Baal bisa menerima persembahanmu. Biar dia yang menyalakan api jika dia memang dewa api.”
Kedelapan ratus lima puluh nabi itu memanggil, berteriak, menoreh-noreh diri mereka, “Baal, marilah, datanglah. Nyalakanlah api. Terimalah persembahan kami.” Tak terjadi sesuatu apapun. Tak terjadi apa-apa. Lalu Elia berkata, “Baiklah, di manakah ilahmu itu? Mungkin dia sedang tidur. Mungkin dia sedang berlibur. Berapa lama kita harus menunggu sampai dia datang menyalakan apinya?”
Setelah semua itu berlangsung sampai seharian, dia berkata, “Baiklah, baiklah. Sudah cukup. Sekarang giliranku. Sekarang, aku akan memperlihatkan kepadamu bahwa Allah yang kusembah adalah Allah yang hidup. Tunggu dan lihat saja.” Jadi, kayu bakar sudah diletakkan, dan persembahan sudah ditaruh di atasnya. Lalu, dia berkata kepada orang banyak, “Jika kalian mengira bahwa aku menyimpan tipuan di balik lengan bajuku, kalian tuanglah air sebanyak yang kalian suka di atas kayu dan kurban bakaran ini. Tuangkan saja.” Lalu mereka menuangkan air ke atas kayu dan kurban bakaran tersebut. Dan dia berkata, “Masih kurang. Ayo. Tambahkan lagi.” Dan mereka menuangkan lebih banyak air lagi. “Tambahkan lagi. Banjiri semuanya. Tambahkan lagi airnya. Aku ingin kalian menyaksikan bahwa Allah adalah Allah yang hidup. Dan setelah ini pilihlah antara Allah yang hidup atau ilah-ilah yang palsu itu.”
Anda tentu tahu apa yang terjadi selanjutnya, air yang dituangkan itu benar-benar membanjiri mezbah dan di sekelilingnya. Segalanya basah kuyup. Elia lalu mengucapkan doa yang sangat singkat, doa yang pelan saja. Suatu doa yang sangat singkat, bukannya doa yang berjela-jela kepada Allah. Dia hanya berkata, “Tuhan, sekarang giliranMu.” Lalu datanglah api, menyambar seperti kilat dari atas dan turunlah kuasa Allah dan seluruh korban bakaran itu tersambar hangus! Semua yang menyaksikan langsung berlutut. Allah, Allah yang hidup! Dialah Allah. Itulah nabi besar-Nya, Elia. Dapatkah Anda melihat sikap hatinya? Ia berdiri di sana dengan penuh kemenangan. Satu orang melawan segenap bangsa, melawan semua nabi-nabi palsu itu.
Namun yang indah dari Alkitab adalah ia tidak menyembunyikan kegagalan-kegagalan manusia-manusia Allah. Ia tidak hanya menyampaikan hal-hal yang menyenangkan saja dan mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan. Anda tahu apa yang terjadi. Izebel, sang ratu sangat marah, benar-benar marah ketika mengetahui bahwa para nabinya telah dibunuh oleh bangsa Israel setelah mereka melihat siapa nabi yang sejati dan siapa nabi yang palsu. Izebel menjadi sangat marah karena semua nabinya dibunuh. Jadi dia mengirimkan pesan kepada Elia dan katanya, “Kiralah aku ditangani ilahku dan bahkan lebih lagi, jika besok pada waktu yang sama engkau masih hidup. Aku akan membunuhmu sebelum esok hari,” ujarnya. Dan apakah yang terjadi? Manusia Allah yang perkasa ini, dengan keadaan yang patah semangat, melarikan dirinya.
Ada apa, oh Elia?? Ada apa ini? Di satu saat kita melihat keagungan dan kemuliaan Allah yang bekerja lewat engkau, dan di saat selanjutnya, ancaman dari seorang perempuan sudah membuat engkau lari ketakutan ke padang gurun?! Keadaannya sebenarnya masih sama. Bangsa Israel masih mendukungnya. Apa yang terjadi? Mengapa engkau lari, Elia?
Tahukah Anda apa yang terjadi? Saya menyampaikan hal ini kepada Anda karena iman sangat erat kaitannya dengan sikap hati kita. Sikap hati kita adalah ungkapan dari iman kita. Itu sebabnya mengapa hal ini menjadi sangat penting bagi keselamatan kita. Tak dapat disangkal bahwa keselamatan tidak dapat dipisahkan dari sikap hati karena sikap hati memperlihatkan apakah kita memiliki iman atau tidak. Kunci untuk memahami sikap hati Elia terdapat di 1 Raja-raja 19:3. Di dalam sebuah anak kalimat, “Lalu dia, Elia, menjadi ketakutan.” Dia ketakutan! Manusia Allah yang perkasa ini ketakutan menghadapi ancaman terhadap nyawanya.
Hal yang menonjol yang dapat kita lihat adalah bahwa ketakutan selalu berlawanan dengan iman. Ketakutan dan iman berada di posisi yang berlawanan. Camkanlah hal ini baik-baik. Jika saya merasa ketakutan, pada saat itu juga saya mendapati bahwa iman saya sangat lemah. Sama seperti ketika Yesus berkata kepada para muridnya di Matius 8:26, “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” Mengapa kamu takut? Anda ketakutan karena iman Anda kecil. Pada saat itu, iman Elia sepertinya lenyap. Kita bisa melihatnya dari pernyataan. “Dia menjadi ketakutan.” Dia ketakutan lalu ia melarikan diri. Hal ini saya sampaikan agar Anda menyadari bahwa seorang manusia Allah yang perkasa juga bisa kehilangan kendali atas sikap hatinya. Kadang kala dia tidak bisa memfokuskan sikap hatinya. Dan untuk sesaat dia akan melemah. Tentu saja, Elia pulih dengan cepat akan tetapi, untuk sesaat itu seolah-olah ia menyangkal imannya.
Sikap hati Yesus Kristus: contoh bagi kita
Lalu, bagaimana seharusnya sikap hati kita di dalam hal memikul salib ini? Dikarenakan segala sesuatunya bergantung kepada sikap hati ini, dan bahkan orang sekaliber Elia pun bisa mengalami saat lemah, (karena sikap hatinya yang salah saat itu) bagaimanakah seharusnya sikap hati kita jika kita ingin berkemenangan?
Perhatikanlah Yesus Kristus, yaitu sikap hatinya terhadap salib. Seperti apa sikap hatinya terhadap salib? Mari kita baca bagian dari Yoh 12:23-26:
Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.
Perhatikan kata-kata di ayat 23. “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.” Apa yang dimaksudkan dengan “dimuliakan”? Bagaimana Yesus dimuliakan? Mari kita baca di ayat 32 sampai 34:
‘dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku’. Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati. Lalu jawab orang banyak itu: “Kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engkau mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan? Siapakah Anak Manusia itu?”‘
Ayat-ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa dia sedang merujuk kepada cara kematiannya, tentang bagaimana dia akan mati. Lewat penyaliban, orang yang disalib itu akan dipakukan ke atas kayu salib. Pertama-tama kayu yang berbentuk salib itu akan diletakkan di atas tanah. Tidaklah mungkin korban yang akan disalibkan itu dapat dipaku ke kayu salib jika tiangnya sudah dalam keadaan berdiri tegak. Kayunya diletakkan di tanah dan si korban akan dibaringkan di atasnya dan kemudian, paku-paku akan ditancapkan melalui pergelangan tangannya, sedikit agak ke atas supaya tidak merobek urat nadinya. Kemudian kaki-kakinya juga dipaku. Setelah itu barulah, salib itu ditegakkan, dan dimasukkan ke dalam lubang penyangganya.
“Apabila Aku ditinggikan, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.”
Pokok yang menonjol dari ayat-ayat ini adalah cara Yesus memakai ungkapan yang bermakna ganda ini. Kata dimuliakan yang digunakan di sini memiliki makna ganda. Di dalam bahasa Yunani katanya adalah “uyow” Apa itu “uyow“? Arti harfiahnya memang ditinggikan, namun ia memiliki makna yang lain. Ia juga berarti dimuliakan dan ditinggikan. “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan.” Kata ini memang memiliki arti ditinggikan dan dimuliakan. Kata yang sama juga muncul misalnya di Kisah 2:33 di mana arti yang dipakai adalah ditinggikan, sekaligus dimuliakan, begitu juga di Kisah 5:31. Di Yakobus 4:10, “Dia akan meninggikanmu.” Kata ini dipakai sebanyak 18 kali di dalam Perjanjian Baru dan dengan demikian kita dapat dengan jelas memahami maknanya.
Apa arti semua ini? Artinya adalah bahwa Yesus memandang salib, bukan sebagai hal yang mengerikan yang akan terjadi padanya, akan tetapi dia memandang penyaliban itu sebagai peristiwa yang meninggikan dirinya. Ia memandang hal ditinggikan kepada Allah sebagai peristiwa yang memuliakan dirinya. “Anak Manusia akan ditinggikan.” Dia memandang kematiannya sebagai kemuliaan. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami. Jika kita memiliki sikap hati yang sama, kita akan memandang salib kita, bukan sebagai beban, bukan sebagai peristiwa yang memalukan kita, tetapi justru, sebagai peristiwa yang memuliakan kita. Yesus memakai istilah “ditinggikan” ini sebanyak lima kali di dalam Injil Yohanes. Di Yoh 3:14 misalnya, kata ini muncul dua kali; dan juga di Yoh 8:28, Yoh 12:32 dan 34. Ini sesungguhnya adalah sikap hati Yesus terhadap salib. Apakah kita memahami hal ini? Apakah kita memiliki sikap hati yang seperti ini? Atau justru kita memandang salib sebagai beban berat yang harus kita pikul?
Salib melambangkan Pengorbanan
Kalimat “Apabila Aku ditinggikan, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku” perlu dihayati sebaik-baiknya. Saya akan menguraikan beberapa hal yang menyangkut makna dari kalimat tersebut. Kata Yesus, saat aku ditinggikan di kayu salib, maka akan hadir kemuliaan yang akan menarik semua orang kepadaku. Demikian juga hanya jika kita ditinggikan, barulah kemuliaan Allah dapat bekerja melalui kita untuk menarik semua orang kepadanya. Apakah kehidupan Anda memiliki daya tarik yang membawa orang-orang kepada Tuhan? Apakah orang-orang – sekalipun mereka tidak suka dengan Anda, sekalipun mungkin mereka menentang iman Anda – merasakan daya tarik tersebut? Mereka tak kuasa mengingkari kekuatan tersebut; mereka merasakan daya tarik itu dan harus berusaha keras untuk menolaknya. Daya tarik atau kuasa tersebut begitu kuat sehingga mereka tidak bisa bersikap masa bodoh. Hal yang luar biasa di dalam pemberitaan Injil adalah bahwa orang-orang tak dapat bersikap masa bodoh terhadap Injil. Tarikan tersebut membetot mereka dengan sangat kuat sehingga mereka harus menunjukkan reaksi yang bermusuhan saat mereka berusaha menolak tarikan tersebut. Apakah kehidupan Anda memiliki daya tarik semacam ini terhadap orang lain, yang menarik mereka kepada Tuhan? Mereka tidak bisa menerangkannya akan tetapi mereka merasakan tarikan tersebut. Dan daya tarik ini adalah karena salib yang Anda pikul, karena kemuliaan yang hadir sebagai akibat dari ditinggikan tersebut.
Sama sekali tidak diragukan bahwa hal ditinggikan ini berkaitan dengan salib dan dengan hal pengorbanan. “Anak Manusia,” ujar Yesus, “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi semua orang.” Ia datang untuk menyerahkan nyawanya sebagai pengorbanan. Di dalam menyelamatkan kita, Yesus tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri; seperti yang tertulis di Matius 27:42, mereka berkata, “Orang lain Dia selamatkan; diriNya sendiri tidak dapat Dia selamatkan.”
Untuk menggambarkan poin ini, saya akan menceritakan tentang kisah seorang komandan satuan tugas penyelamatan di laut dan pantai. Para petugas ini bertanggungjawab untuk melakukan penyelamatan. Jika ada kapal yang kandas, atau atas sebab-sebab lainnya, mengalami kerusakan dan mulai tenggelam, atau terjebak dalam badai, kapal-kapal penyelamat ini akan berangkat. Tak peduli seburuk apapun cuaca yang dihadapi, para petugas penyelamat ini akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk berangkat dan menolong orang-orang yang dalam kesulitan itu. Pada suatu hari di tengah badai yang mengerikan, mereka menerima sinyal S.O.S., atau tanda bahaya dari sebuah kapal yang kandas dan sudah mulai tenggelam. Lalu komandan segera memerintahkan agar kapal penyelamat dikirimkan untuk menyelamatkan orang-orang yang bisa mereka temukan. Ketika dia sedang memberikan perintah, ada seorang petugas muda yang masih baru, sambil menatap ke arah badai yang menyeramkan itu, berkata kepada sang komandan, “Apakah Bapak serius. Kita tidak bisa berangkat di tengah badai seperti ini. Kita tidak akan bisa pulang dengan selamat.”
Yang membuat saya tercengang adalah jawaban dari sang komandan. Dia menatap ke arah anak muda ini dan berkata, “Kita harus berangkat tetapi kita tidak harus kembali.” Saya merenungkan kata-kata tersebut dengan mendalam. “Kita harus berangkat tetapi kita tidak harus kembali.” Nah itulah yang disebut pengorbanan. Itulah komitmen. Saya pikir, orang-orang itu tampaknya lebih memahami arti komitmen ketimbang kebanyakan orang Kristen. Bagi sang komandan, hanya ada satu tujuan – berangkat. Berangkat untuk menyelamatkan orang-orang. Jika kita ingin menyelamatkan mereka, kita mungkin tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri. Akan tetapi keputusan sudah kita buat, jadi kita tidak perlu lagi mempertimbangkan urusan lain seperti badai dan ribut. Kita tidak akan goyah. Kita akan berangkat. Kita tidak wajib kembali. Mudah-mudahan kita bisa kembali dan membawa serta mereka. Tetapi jika kita tidak bisa kembali, itu tidak menjadi persoalan.
Kata-kata yang penuh kuasa – kita harus berangkat; kita tidak harus kembali. Itulah makna yang dengan tepat menggambarkan kata-kata di Matius 27:42, “Orang lain Dia selamatkan; diri-Nya sendiri tak bisa Dia selamatkan.” Itulah ciri dari salib. Itulah ungkapan tertinggi mengenai makna salib saat Yesus berkata bahwa kita harus memikul salib kita dan mengikut dia. Itulah mentalitas yang diungkapkan oleh sang komandan. Memikul salib berarti kita berangkat menerjang badai, melakukan pekerjaan Allah, untuk menyelamatkan orang lain. Dan di dalam proses tersebut, mungkin kita akan kehilangan nyawa. Tidak menjadi persoalan. Kita tidak harus kembali. Inilah sikap hati yang tersimpul bagi kita, sikap hati seorang murid. Yesus ingin mendapatkan sikap hati semacam ini dalam diri setiap murid.
Memikul Salib berdasarkan Kerelaan bukan sekedar Ketaatan
Hal kedua yang harus kita pahami berkaitan dengan masalah memikul salib ini adalah bahwa ini bukanlah semacam nasib buruk yang akan menimpa kita. Kita sering mendengar, “Oh, kau tahu, kita harus memikul salib.” Kita sering memahaminya sebagai kita akan menghadapi berbagai kemalangan yang wajib kita lalui. Mungkin kesehatan saya akan memburuk dan itulah salib yang harus saya pikul. Atau mungkin orang-orang di lingkungan saya sangat kasar dan itu menjadi salib yang harus saya pikul. Atau, mertua saya sangatlah mengerikan, dia sangat menjengkelkan, dan itu menjadi salib yang harus saya pikul. Rekan sekamar saya sangat menyebalkan karena dia tidak pernah mencuci kaus kakinya, jadi saya harus tidur dengan menghidu bau ikan asin setiap malam! Oh, malang sekali, itulah salib yang harus saya pikul. Dia memang begitu, apa dayaku?
Izinkan saya menegaskan satu hal, saat kita berbicara tentang hal memikul salib, kita tidak sedang membicarakan hal-hal yang disebut di atas. Hal-hal yang disebut di atas tidak ada kaitannya dengan hal memikul salib yang diajarkan oleh Yesus. Jika hal-hal seperti itu termasuk memikul salib, maka bahkan orang non-Kristen juga pemikul salib. Mereka juga punya mertua yang menyebalkan; orang non-Kristen juga kesehatannya bisa memburuk; orang non-Kristen juga bisa saja mempunyai rekan sekamar yang tak pernah mencuci kaus kakinya! Ini tidak ada hubungannya dengan perkara memikul salib.
Memikul salib selalu dikaitkan dengan pilihan yang berdasarkan kerelaan. Ini bukan suatu hal yang ditimpakan kepada kita seperti nasib buruk. Jangan pernah menyalahgunakan istilah ini. Bahkan para pengkhotbah juga banyak yang menyalah-gunakannya, mengaitkan salib dengan berbagai persoalan di dalam hidup kita yang tidak dapat kita cegah. Kita tak bisa menolaknya dan kita terpaku di “salib” ini. Hal tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan makna ajaran Yesus.
Salib adalah hal yang saya terima atas dasar pilihan sukarela. Salib berkaitan dengan pilihan saya untuk berangkat tanpa harus kembali dalam rangka menyelamatkan orang lain. Itulah pilihannya. Dan tak seorangpun yang boleh menetapkan pilihan tersebut bagi Anda. Keputusan mengenai hal memikul salib itu sepenuhnya di tangan Anda. Yesus menggunakan kata-kata, “Tak seorangpun yang mengambil nyawaKu daripadaKu,” katanya di Injil Yohanes, “Aku memberikan nyawa-Ku atas keputusan-Ku sendiri.” [Yoh 10:18] Itulah yang disebut memikul salib.
Salib ini bukan sesuatu yang harus Anda pikul, bukan sesuatu hal yang ditimpakan oleh Allah kepada Anda. Andalah yang membuat keputusan apakah Anda akan memikulnya atau tidak. Jika Anda memihak Kristus, maka Anda memilih untuk memikul salib.
Suatu Hak Istimewa dan Sumber Sukacita
Yang ketiga adalah sukacita dalam pengorbanan. Bukan sekadar sukarela, tetapi juga juga melakukannya tanpa keluhan. Harus ada sukacita di dalam hal ini, sukacita bahwa saya telah menerima hak istimewa untuk ikut serta di dalam pelayanan keselamatan Yesus. Sukacita yang luar biasa! Bahwa dia telah memberi saya bagian dalam penderitaan ini. Mengapa? Apakah karena kita gemar menderita? Bukan, kita bukan penggemar penderitaan. Apakah Anda pikir bahwa Yesus itu gemar menderita? Tentu tidak. Apakah Anda pikir para petugas penyelamat itu menikmati saat-saat cemas ketika dia berangkat untuk menyelamatkan orang lain? Tentu tidak. Yang dipikirkan adalah bahwa tugas ini harus ditunaikan. Pekerjaan Tuhan harus dikerjakan dengan sukarela dan penuh sukacita.
Dalam berbicara tentang hal memikul salib kita cenderung untuk memikirkan perkara-perkara yang besar. Tapi mungkin secara praktek, kita seharusnya memikirkan hal memikul salib dalam perkara-perkara yang kecil, memulainya dengan perkara yang sangat remeh.
Mungkin, sebagai contoh, menanggung kelelahan dalam melayani orang lain. Pada waktu saya masih di London, terjadi kebangkitan Gereja. Siang dan pada malam hari orang-orang berdatangan kepada saya untuk berkonsultasi dan konseling. Seringkali saya harus melayani sampai jam satu dini hari. Saya benar-benar kelelahan dan sulit untuk berpikiran jernih. Akan tetapi selalu saja ada orang yang membutuhkan konseling untuk meluruskan hubungannya dengan Allah. Bagi saya ini adalah suatu pengorbanan yang sangat kecil. Jika dengan kelelahan saya mereka bisa memperoleh hidup yang kekal, biarlah saya mengalami kelelahan itu. Sungguh berkat yang luar biasa untuk bisa berbagi sedikit, secuil penderitaan ini bagi Tuhan. Jadi bukan saja kita mengerjakannya, tetapi kita mengerjakan dengan penuh sukacita.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang teman saya sewaktu masih di London. Sekarang dia menjadi dokter di Thailand. Pada waktu itu dia masih seorang mahasiswa kedokteran di London. Pengabdiannya kepada Tuhan dan kepada saya sangatlah mengharukan. Waktu itu saya diminta untuk berkhotbah di Northampton yang jaraknya cukup jauh dari London. Saudara ini memaksa untuk mengantarkan saya ke Northampton, walaupun dia sedang giliran tugas malam. Saat itu dia sudah menjalani giliran tugas malam selama beberapa hari. Akan tetapi dia memohon untuk diizinkan mengantarkan saya dengan kendaraannya ke Northampton. Saya bisa saja menumpang bus atau kereta, namun dia berkata, “Tidak, izinkan saya untuk mengantarmu.” Jadilah dia mengantarkan saya ke sana, padahal sedang menjalani beberapa hari tugas malam. Sekalipun dia sedang kelelahan luar biasa, dia tetap mengantarkan saya, dan menemani saya di sana sepanjang hari. Saya berkhotbah di pagi dan petang hari, dan malamnya dia mengantarkan saya kembali.
Ketika kami sampai di London setelah beberapa jam berkendaraan, saya teringat bahwa kami masih sempat berdiri di ruang tamu sambil mengobrol dengan beberapa orang, berbagi kesaksian tentang apa yang telah dikerjakan oleh Tuhan, dan saya menatap sekilas ke arah saudara ini dan saya melihat bahwa saat itu dia sedang tidur dalam keadaan berdiri! Dia sangat kelelahan. Itulah kali pertama saya melihat sendiri orang yang tertidur dalam keadaan berdiri. Saya belum pernah melihat hal itu sebelumnya. Dia berdiri di sana dan saya lihat matanya tertutup dan ia masih berdiri. Dan saya berpikir, dia bisa saja terjatuh ke lantai. Lalu saya berkata padanya, “Geoffrey, apakah kamu baik-baik saja?” Dan ia membuka matanya sedikit, menatap ke arah saya dan senyum mengembang di wajahnya. Saya membatin, “Sungguh luar biasa.” Di dalam kelelahan yang luar biasa, terlihat sukacita dalam menanggung penderitaan. Dia masih bisa tersenyum di dalam keadaan seperti itu. Sukacita seperti itu menimbulkan kesan yang sangat mendalam di hati saya. Jadi bukan sekadar, “Aku akan melakukannya,” melainkan, “Izinkan aku melakukannya dengan penuh sukacita.” Senyuman yang manis yang muncul di wajahnya ketika dia berjuang untuk membuka matanya benar-benar sangat mengharukan saya. Sukacita dalam menderita!
Orang-orang seperti inilah yang telah menunjukkan kemampuannya untuk menjalankan Firman kehidupan dalam perkara-perkara yang kecil. Kalau sudah seperti dia, bisalah kita berbicara tentang hal mengorbankan nyawa kita bagi orang lain. Jika kita bahkan tidak bersedia menanggung sedikit kelelahan bagi orang lain, apa gunanya kita berbicara tentang hal menyerahkan nyawa bagi orang lain? Sungguh suatu sikap hati yang luar biasa yang telah ditunjukkan oleh saudara ini! Tak heran jika saudara ini bersama keluarganya bisa melayani Tuhan di Thailand dan di Laos sampai waktu yang cukup lama di tengah hutan yang penuh dengan nyamuk malaria. Dia setiap hari mengekpos anak-anaknya pada bahaya malaria. Tanpa pernah ada keluhan!
Saat saya bertemu dengannya kembali, senyum itu terlihat lagi. Selalu bersukacita! Padahal, saat itu dia baru saja menerima kabar dari istrinya bahwa anaknya yang kecil terjatuh dan tulang tangannya tangan. Dan ketika dia menceritakan hal ini kepada saya, senyum mengembang di bibirnya. Itulah Geoffrey. Anda tidak bisa mematahkan semangatnya. Jauh di dalam hatinya, tentu saja, dia prihatin pada keadaan anaknya. Akan tetapi keyakinannya kepada Allah tidak akan goyah. Dia tidak khawatir. Dia tidak takut karena dia memiliki iman. Saya katakan padanya, “Geoffrey, engkau masih seperti yang dulu, bukankah begitu? Kamu bisa berbicara tentang anak perempuanmu yang jatuh sakit dan anak laki-lakimu yang patah tangan sambil tersenyum.” Dan senyum itu terlihat lagi, hidup yang penuh penyerahan dan keyakinan kepada Allah.
Komitmen Tuhan bagi yang Berkomitmen
Poin keempat adalah bagi Yesus, disalibkan bagi kita dalam kematian yang paling mengerikan merupakan suatu sukacita baginya. Hal ini dipandang sebagai hal yang memuliakan dirinya, hal ini menunjukkan sikap hatinya dalam berkomitmen pada kita. Jika kita memiliki pemahaman rohani untuk bisa mengerti hal itu, maka kita akan berdecak kagum dibuatnya. Dia begitu mengasihi kita sampai mati bagi kita merupakan sukacita buatnya!
Bagi Yesus, kehilangan nyawanya demi kita merupakan sukacita, bukannya beban. Hal itu merupakan suatu pemuliaan. Dapatkah Anda melihat kasih Yesus kepada kita? Kadang-kadang di saat tekanan terasa begitu berat dan saya kelelahan, saya duduk dan mengarahkan hati saya kepada Yesus. Dan pemikiran ini masuk lagi ke dalam hati saya. Dia berkomitmen sepenuhnya buat saya. Dia berkomitmen tanpa syarat kepada saya. Untuk apa saya takut? Persoalan apakah di dunia ini yang tidak bisa saya hadapi bersamanya? Ada orang yang sedang dalam masalah? Ada anggota keluarga yang terluka? Dia berkomitmen tanpa syarat kepada saya. Pikirkanlah hal itu sampai hal ini membakar hati Anda.
Saya memikirkan Firman Allah yang tertulis di Ibrani 13:5,
“Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”
Di China, saya sering mendapat kesempatan untuk merenungkan kata-kata tersebut di tengah-tengah tekanan yang berat. Ketika polisi menanyai saya tentang mengapa saya beribadah ke gereja, dan menyuruh saya untuk menuliskan nama saya jika saya pergi ke gereja, kata-kata di Ibrani 13:5 itu akan terdengar di dalam hati saya, Terjemahan harfiah dari bahasa aslinya, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Jaminan Tuhan kepada kita itu bersifat tanpa syarat dan permanen. “Aku berjanji bahwa Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku berkomitmen total kepadamu.” Akan tetapi kata-kata tersebut, tentu saja, tidak ditujukan kepada sembarang orang Kristen. Kata-kata tersebut dikutip dari Yosia 1:5 dan ditujukan kepada Yosua, seorang hamba Allah yang besar. Yosua adalah seorang hamba Allah yang memiliki komitmen yang total. Waktu itu dia bersama Kaleb – dua orang dari sekian banyak umat Israel yang mendapat jaminan untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Janji ini bukanlah ucapan yang bisa dikutip oleh orang-orang Kristen KTP. Kata-kata tersebut ditujukan kepada orang-orang Kristen yang berkomitmen. Jika Anda berkomitmen total kepada Allah, Anda boleh yakin bahwa Dia berkomitmen kepada Anda. Oh, sungguh indah merenungkan hal ini.
Mengapa salib dipandang sebagai hal yang “meninggikan”?
Dapatkah Anda memandang salib sebagai peninggian? Atau apakah Anda justru memandang salib sebagai beban, bukannya kemuliaan? Anda hanya dapat memandang salib sebagai kemuliaan jika Anda memiliki pandangan yang benar-benar baru atas segala sesuatu. Salib adalah penghukuman bagi pelaku kejahatan di zaman Romawi, bagi para musuh negara, bagi mereka yang oleh pemerintah Roma dinilai sebagai pemberontak. Mereka itulah orang-orang yang akan disalibkan – para pemberontak yang menentang kekaisaran Roma. Salib adalah bentuk dari hukuman mati dan penghinaan yang paling buruk. Tidak ada yang lebih rendah lagi daripada mereka yang dijatuhkan hukuman mati lewat salib pada zaman Romawi. Bagaimana mungkin penghinaan ini dipandang sebagai pemuliaan? Anda hanya bisa berpikir seperti ini setelah pikiran Anda sudah benar-benar berubah dan menjadi serupa dengan cara Tuhan menilai sesuatu. Apa yang mulia bagi dunia merupakan hal yang rendah di mata Allah. Tahukah Anda akan hal itu?
Jadi berhati-hatilah jika Anda dimuliakan di dunia ini. Firman yang dituliskan di Lukas 16:15 seringkali menyentak hati saya setiap kali saya merenungkannya:
Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.”
Apa yang mulia bagi dunia itu dibenci dan terlihat menjijikkan di mata Allah. Cara penilaian-Nya bertolak belakang dengan cara penilaian dunia. Jika kita rumuskan dengan kalimat yang lain, apa yang dipandang hina oleh manusia, adalah mulia di mata Allah. Itu sebabnya Yesus berkata kepada para muridnya, “Ketika orang memfitnah kamu, ketika mereka berbuat jahat kepadamu, ketika mereka menganiaya kamu, pujilah Allah akan hal itu, karena itulah hal yang telah mereka lakukan juga kepada para nabi.” Pujilah Dia. Bersukacitalah. Berbahagialah kamu jika semua hal itu terjadi atasmu. Dapatkah Anda memiliki sikap hati seperti ini? Saya mendapati bahwa hal itu sulit. Tak satupun dari antara kita yang senang mendengar jika ada orang lain menyampaikan hal yang buruk tentang kita, khususnya jika kita tahu bahwa kita sudah berusaha setia akan tetapi kemudian kita difitnah. Kita tidak suka akan hal itu. Perasaan itu muncul karena cara berpikir kita masih belum berubah. Cara berpikir kita masih belum diubah. Kita belum memiliki cara penilaian Allah. Kalau sudah maka ketika Anda dianiaya oleh orang-orang yang Anda kasihi, ketika mereka mengatakan hal-hal yang buruk tentang Anda, Anda akan bersyukur kepada Allah karena hal tersebut. Hal ini merupakan peristiwa yang meninggikan di mata Allah. Suatu cara berpikir yang revolusioner.
Dan juga di Yohanes 5:44,
“Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?”
Kita tidak bisa percaya karena cara penilaian kita masih belum berubah. Biarkanlah Allah mengubah pola pikir kita. Jika kita mengenal Allah yang hidup, kemuliaan duniawi tidak akan memiliki nilai apa-apa bagi kita. Ini yang saya rasakan. Saat orang-orang memuji saya, rasanya seperti menuang air di punggung bebek. Malahan, saat orang-orang memuji saya, saya justru merasa takut. Saya takut karena saya tidak tahu apakah saya sedang berada di jalur yang benar dalam hubungan dengan Allah. Saya takut dipuji. Saya lebih suka jika Allah saja yang menganugerahkan kemuliaan bagi saya. Dan saya belajar untuk menerima dengan penuh sukacita, penghinaan dan segala kesalahapahaman dari dunia, dan tetap bersyukur kepada Allah untuk hal itu. Karena itulah yang dialami oleh Tuhanku.
Pokok kedua mengapa salib itu meninggikan adalah karena salib merupakan ungkapan tertinggi dari kasih dan kuasa Allah. Pikirkanlah tentang salib. Pikirkanlah mengenai fakta bahwa saat Anda disalib, Anda ditelanjangi di depan banyak orang. Penghinaan ditambahkan di atas penderitaan. Orang banyak mengamati, menertawai dan mengejek Anda, “Ha, orang lain dia selamatkan. Dirinya sendiri tidak bisa dia selamatkan.” Anda malah diejek dan dicela saat Anda menderita dan kesakitan. Salib merupakan bentuk kematian yang terburuk yang pernah dicipta manusia. Namun renungkanlah satu fakta ini: Allah lewat Kristus mengubah alat penyiksaan yang mengerikan ini menjadi simbol kemuliaan. Dia telah mengubah simbol yang mengerikan ini menjadi simbol yang begitu indah sehingga bahkan para wanita sekarang senang mengenakannya di leher mereka, dengan bahan giok dan emas dan entah apapun itu. Dia telah menjungkir-balikkan nilai benda ini. Dia mengambil apa yang sangat dibenci dan menjadikannya sangat indah. Itulah kuasa Allah yang mendatangkan perubahan.
Manusia selalu melakukan hal yang bertentangan. Mereka mengambil apa yang sudah indah dan menjadikannya buruk. Kami mengadakan perkemahan musim panas di Hong Kong. Dan kawasan di luar tempat perkemahan dikotori oleh berbagai macam sampah – tempat yang indah dikotori oleh manusia. Anda menatap sekeliling dan Anda melihat semuanya kotor; sampah tercampak di mana-mana. Manusia mencemari segalanya. Manusia mengambil hal yang indah dan menjadikannya buruk. Allah melakukan hal yang bertolak belakang. Dia mengambil apa yang buruk dan menjadikannya sangat indah! Saya sering merenungkan, bagaimana satu orang saja dapat menimbulkan begitu banyak kematian. Sebagai contoh, perhatikan Hitler. Hanya seorang manusia, satu kehidupan dan dia berhasil menewaskan enam juta orang Yahudi. Satu orang bisa menimbulkan begitu banyak kematian. Lain halnya dengan Kristus, satu kematian menumbuhkan begitu banyak kehidupan. Bukankah sangat indah? Bagaimana halnya dengan diri Anda?
Satu pokok terakhir. Mengapa salib itu meninggikan? Jawabannya adalah karena salib adalah tempat untuk bersekutu dengan Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan (Fil.3:9-10). Ketika Anda menderita, Allah begitu dekat dengan Anda. Ingatlah hal itu. Saat Anda menderita adalah saat Anda berada paling dekat dengan Allah.
Ketika Anda sedang menikmati saat-saat yang menyenangkan, Anda mungkin sering mendapati bahwa Allah terasa jauh. Namun ada satu hal yang bisa Anda pastikan. Ketika Anda menderita, Allah berada tepat di sisi Anda. Jika Anda periksa peristiwa-peristiwa di dalam Kisah para Rasul, Anda akan melihat bahwa setiap kali para rasul ditekan dalam penderitaan, setiap kali mereka dianiaya, hadirat Allah ada di sana. Ketika Paulus sedang berada di dalam penjara, hatinya ditenteramkan dengan penglihatan dari Allah. Allah melakukan mukjizat saat mereka dipenjarakan di Filipi. Di saat Anda menderita bagi Dia, Anda akan mengalami suatu persekutuan yang indah dengan Dia. Di 1 Petrus 4:14, tertulis di sini, ketika Anda menderita, “Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kemuliaan ada pada Anda! “Apabila Aku ditinggikan,” kata Yesus, “Aku akan menarik semua orang kepada-Ku.” Roh kemuliaan ada padanya dan kemuliaan memiliki kualitas yang membuat orang tertarik. Kemuliaan adalah seperti magnit yang menarik semua orang kepada Allah.
Dapatkah Anda menarik orang-orang kepada Allah? Pernahkah Anda membuat orang tertarik untuk mengenal Allah? Khotbah ini ditujukan kepada hati kita. Mungkin karena masih ada yang salah dengan sikap hati Anda. Kehidupan Anda tidak punya kuasa. Tidak ada kemuliaan. Tidak memiliki keindahan yang bersumber dari Allah yang menimbulkan hasrat orang untuk memilikinya. Tidak ada apa-apanya. Apakah rekan-rekan Anda, di tempat kerja Anda, berkata, “Aku merasakan suatu kekuatan dari orang ini. Terdapat satu daya tarikan. Aku ingin berbicara dengannya.” Mereka ingin mendatangi Anda. Mereka ingin mendekat kepada Anda; ada kekuatan yang menarik. Jika Anda memandang salib sebagai sesuatu yang akan meninggikan Anda, itulah yang disebut pemuliaan. Di sisi lain, kita tidak akan memiliki kemuliaan jika kita belum memikul salib.